CERKAK PENGHUNI GUA ANGKER

Negeri ini sangat menjunjung tinggi toleransi antar suku dan
agama, tapi negeri kita ini tidak semata-mata berdiri begitu saja. Banyak sekali
kejadian-kejadian pedih di masa lalu yang dialami oleh negeri kita.
Mulai penjajahan Kolonial Belanda yang terkenal dengan
eksploitasi hasil bumi yang begitu masif, dilanjutkan dengan penjajahan Kolonial
Jepang yang terkenal dengan sistem Romusa atau kerja paksa yang menelan banyak
sekali korban jiwa.
Setelah merdeka pun, bangsa kita masih dilanda ujian. Aksi
pemberontakan PKI tahun 1965 benar-benar menggemparkan bangsa kita kalau itu.
****
Bandi.
Pada masa penumpasan PKI di Indonesia, ternyata ada kisah
menarik tentang salah satu anggota PKI yang susah sekali dibunuh.
Dia punya ilmu hitam yang membuatnya kebal dari peluru dan
senjata tajam.
PKI adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah
bubar.
PKI adalah Partai Komunis non penguasa terbesar di dunia
setelah Uni Soviet dan Tiongkok yang pada akhirnya dihancurkan pada tahun 1965
dan dinyatakan sebagai partai terlarang
Di antara para pengikut PKI, ada seorang pengikut yang
bernama Bandi, 49 tahun.
Bandi adalah seorang petani. Sehari-harinya ia mengurus sawah
atau sesekali mengarit rumput untuk ternak peliharaannya.
Istri Bandi juga seorang petani, dia suka membantu suaminya
di sawah.
Bandi hanya punya satu anak perempuan dan anaknya itu sudah menikah
dua tahun lalu.
Anaknya sekarang tinggal bersama suaminya di kabupaten lain,
jadi Bandi sekarang hanya tinggal berdua bersama istrinya di sebuah rumah gubuk.
****
Penumpasan para
pengikut PKI.
Kala itu PKI sedang jadi idaman rakyat kecil, karena PKI
melancarkan program amal rakyat demi memikat rakyat kelas bawah. Program amal
rakyat ini merupakan kegiatan sosial.
PKI membangun fasilitas umum seperti Jalan, Sekolah, selokan,
dan Pemakaman.
Desanya Bandi merupakan salah satu target PKI untuk melancarkan
program amal rakyat.
Bandi menyaksikan sendiri bagaimana para pengikut Partai PKI
itu membangun desanya. Atas dasar itulah, Bandi tertarik menjadi bagian dari
PKI.
Istrinya Bandi yang bernama Marsiyah, dan tidak melarang
suaminya untuk menjadi bagian dari PKI.
Sejak saat itu, kegiatan Bandi pun bertambah, selain bertani
Bandi ikut secara aktif dalam kegiatan-kegiatan PKI. Seiring berjalannya waktu,
Bandi menjadi pengikut PKI garis keras. Bandi benar-benar mencintai Partai
Komunis itu.
Akan tetapi tak lama setelah itu, tepatnya di tahun 1965,
pemerintah menyatakan PKI sebagai partai terlarang, dan pembersihan pun dilakukan
secara masif.
****
Bandi yang kebal
terhadap peluru.
Para pemimpin militer yang diduga simpatisan PKI dicopot dari
jabatannya. Para pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa orang dibunuh
saat penangkapan.
pembersihan mulai meluas ke Jawa Tengah, Jawa Timur, juga
Bali.
Bandi yang saat itu menjadi simpatisan PKI memilih kabur ke
hutan untuk menghindar dari penangkapan, tapi nasib naas menimpanya.
Walaupun Bandi sudah kabur, tetap ditangkap dan dibawa ke Gunung
Kidul untuk dieksekusi. Bukan hanya Bandi saja yang ditangkap, tapi para simpatisan
PKI lainnya juga ikut ditangkap.
Mereka dibunuh satu per satu, lalu mayatnya dibuang ke dalam
sebuah gua tegak yang mirip dengan sumur.
Tiba giliran Bandi yang dieksekusi, namun anehnya peluru itu
tidak mampu menembus kulit Bandi.
Semua orang yang ada di sana semua terheran-heran melihat
kesaktian Bandi, karena tidak mempan oleh peluru.
Bandi pun dieksekusi dengan menggunakan benda tajam, tapi
tetap saja kulitnya kebal. Benda tajam pun tidak sanggup melukai Bandi. Mereka
tidak tahu kalau Bandi ternyata memakai susuk kekebalan.
Konon untuk menguasai susuk itu, Bandi pernah menelan lima
butir gabah dan sebutir peluru kecil. Bandi melakukan pertapaan selama beberapa
hari lalu berhasil menguasai susu kekebalan dan benda apa pun tidak akan mampu melukai
tubuhnya.
Karena Bandi sulit sekali dibunuh, maka kedua kaki dan
tangannya pun diborgol.
Bandi dimasukkan ke dalam karung goni, lalu diikat dengan erat,
hanya kepalanya saja yang tampak menonjol dari dalam karung.
Dalam situasi seperti itu, sangat mustahil bagi Bandi untuk
lepas dari borgol. Kepalanya juga ditutup dengan kain hitam lalu lehernya
diikat dengan tali.
Kemudian Bandi dilempar ke dalam gua dan tidak mungkin Bandi
bisa menggapai permukaannya karena memang gua tersebut sangat dalam.
Bandi akan dibiarkan kelaparan di dalam gua sampai mati!
****
Di kaki Gunung Kidul, ada seorang pemuda bernama Wasis,
berprofesi sebagai pemburu sarang walet. Wasis biasa mencari sarang walet di Gunung
Kidul
Pada suatu hari Wasis didatangi oleh dua orang tentara dan ditawari
sebuah pekerjaan yaitu mencari jasad simpatisan PKI di Gunung Kidul. Mereka ingin
memastikan kalau si Bandi dan para simpatisan PKI lainnya benar-benar sudah tewas.
Sebenarnya Wasis ragu menerima pekerjaan itu, tapi dia tetap mengiyakannya.
Lalu mereka menuju ke sebuah gua yang dulu pernah digunakan
untuk membantai para simpatisan PKI.
****
Setelah tragedi itu, kini menyisakan gua yang terbilang cukup
angker dan tidak ada yang berani masuk ke dalam gua itu. Selain angker gua itu
juga cukup berbahaya karena kedalamannya.
Setelah Wasis sepakat dengan pembayaran yang akan diterimanya,
maka keesokan paginya sekitar jam 03.00 dini hari ketiganya menuju gua.
Hari yang ditentukan tiba. saat itu hari masih sangat gelap, Wasis
sudah dijemput oleh dua tentara itu.
Entah kenapa para tentara itu memilih berangkat pagi-pagi
sekali, mungkin agar operasi pencarian ini tidak diketahui oleh warga lain,
pikir Wasis.
Mereka bertiga pun berangkat dari rumahnya Wasis menuju gua.
Jalanan saat itu becek, karena tadi malam sempat ada hujan. Wasis
dan kedua orang tentara sempat terpeleset berkali-kali.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di gua. Salah seorang tentara segera mengeluarkan
sebuah tali dari dalam tasnya. Kedua tentara melingkarkan tali itu ke badannya Wasis.
“Nanti pelan-pelan kami akan menurunkanmu dengan tali Ini,”
kata salah satu tentara.
Sebenarnya Wasis takut masuk ke dalam gua itu, namun setelah
tubuh Wasis diikat dia pun mulai
menuruni gua tersebut dengan dibekali sebuah senter.
Seorang tentara melingkarkan tali itu ke batang pohon lalu
mengulurnya pelan-pelan.
Tubuh Wasis yang kurus kerempeng memudahkan tentara menahan tali
tersebut.
Sementara itu, tentara yang satu lagi mengontrol Wasis dari
mulut gua.
“Komandan! teriak Wasis dari dalam gua.
Wasis belum sampai ke dasar, baru setengah jalan.
“Ada apa!” tanya tentara yang berjaga di mulut gua.
“Ada perempuan!” jawab Wasis suaranya menggema di dalam gua.
Mendengar Wasis berteriak begitu, kedua tentara itu saling tatap
mereka bingung kenapa ada perempuan di dalam gua.
“Masih hidup atau sudah mati!” tanya tentara itu dari mulut
gua.
“Masih hidup, Komandan! Dia memperhatikanku!” jawab Wasis
dari dalam gua.
“Lanjutkan saja! Jangan dihiraukan!” kata tentara itu.
Kedua tentara itu sadar kalau perempuan yang lagi dilihat oleh
Wasis pastilah makhluk halus, karena tidak mungkin ada perempuan di dalam gua.
Akhirnya Wasis pun memberanikan diri untuk tetap turun ke
dasar.
Wasis melihat sosok perempuan yang duduk di atas batu dengan
terus memandanginya. Perempuan itu berwajah pucat dan mengenakan pakaian layaknya
sinden.
Wasis berusaha sebisa mungkin untuk tidak menoleh pada perempuan
misterius itu.
Saat itu juga, dengan hati-hati Wasis pun mulai menelusuri
gua, dan tidak lama kemudian akhirnya dia menemukan bekas karung yang sudah
memudar.
Di dekat karung goni itu tergeletak sebuah tengkorak manusia.
Tanpa jijik, Wasis menyentuh tengkorak itu dan berusaha mencari bagian tulang
lainnya, namun tidak ada. Wasis hanya
menemukan tengkoraknya saja.
“Komandan, saya menemukan tengkorak dan bekas karung goni!”
teriak Wasis dari dalam dasar gua.
“Baik! Tunggu sebentar!” kata tentara itu dari mulut gua.
Kemudian Wasis melihat sebuah karung yang diturunkan perlahan
menggunakan tali.
“Wasis, kau masukkan barang yang kau temukan ke dalam karung
itu! Lalu ikat kembali dengan erat! Nanti aku akan tarik karung itu ke
permukaan!” kata si tentara.
“Baik, Komandan!” jawab Wasis. Suaranya menggema di dalam gua.
Wasis pun menuruti perintah tentara itu. Dia memasukkan
tengkorak dan bekas karung goni, lalu mengikatnya dengan sangat erat.
“Sudah, Komandan!” teriak Wasis.
Karung itu pun perlahan diangkat ke permukaan.
“Wasis, kau cari lagi tulang-tulang yang lain!” pinta tentara.
Setelah dua tentara berhasil menarik karung itu ke permukaan,
Wasis menyusuri setiap lekuk gua itu, sementara si perempuan berbaju kebaya masih
duduk di atas batu.
Sesekali Wasis melirik ke perempuan itu dan seketika Wasis
merinding ketika mulai sadar kalau perempuan yang ada di dalam gua itu pastilah
bukan manusia.
“Tidak ada apa-apa lagi, Komandan!” teriak Wasis dari dalam
gua.
Wasis sudah mulai putus asa karena memang tak menemukan apa-apa
lagi.
Entah ke mana sisa tulang-belulang simpatisan PKI yang dulu
pernah dibuang ke dalam gua, yang jelas Wasis hanya menemukan sebuah tengkorak
saja.
“Kami akan tarik kamu keluar dari dalam gua!” teriak satu
tentara.
Mendengar itu, segera Wasis mengikatkan kembali tali itu ke tubuhnya,
dan perlahan tubuh Wasis pun terangkat.
Wasis masih memperhatikan si perempuan yang mengenakan baju
kebaya di dalam gua, namun saat di tengah-tengah perjalanan menuju permukaan,
tiba-tiba saja tali itu seperti dilepas begitu saja.
Wasis pun jatuh. Badannya terbanting ke batu dasar gua.
Wasis tidak mengerti, ada apa dengan kedua tentara yang ada
di atas sana?
Sebenarnya kedua tentara itu tidak bermaksud menjatuhkan Wasis
saat mereka berdua berusaha mengangkat tubuh Wasis ke permukaan. Mereka melihat
ada sosok pocong yang berdiri di seberang mulut gua, karena takut, mereka
langsung lari tanpa memedulikan Wasis
dan salah satu dari tentara itu sempat membawa karung yang berisi tengkorak
manusia.
Untung saja setelah jatuh, Wasis masih sadarkan diri di dasar
gua.
Wasis meringis kesakitan. Dengan tertatih-tatih ia pun
bangkit, lalu mendongak ke atas.
“Komandan!” teriak Wasis tapi tidak ada jawaban dari atas sana.
“Komandan!” teriak Wasis sekali lagi.
“Iya, Wasis.” Terdengar ada jawaban dari atas sana.
Wasis mendengarnya memang menyerupai salah satu tentara, tapi
nadanya terdengar sangat datar dan bukan berteriak.
Sekali lagi Wasis tak memedulikan itu, justru dia ingin
segera sampai ke atas.
“Lemparkan talinya lagi, Komandan!” teriak Wasis sambil
meringis kesakitan, namun tidak ada jawaban.
Sesaat kemudian, perempuan berkebaya yang dari tadi hanya
duduk saja di atas batu, kini Wasis melihatnya mulai berdiri.
Perempuan itu menoleh ke arah Wasis. Itu membuat Wasis makin
ketakutan.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, namun tiba-tiba saja
Wasis melihat sekitarnya tampak ramai oleh para lelaki yang sedang mengerang
kesakitan. Para lelaki itu berwajah pucat, tubuh mereka penuh darah.
Mereka oleh ke arah Wasis sambil meminta tolong.
“Tolong!”
“Tolong jangan bunuh
aku,” kata mereka.
Melihat kejadian itu, Wasis seketika jatuh pingsan. Wasis
tidak sanggup melihat kengerian yang ada di hadapannya. Bisa saja para lelaki
itu adalah roh dari korban pembantaian simpatisan PKI.
****
Saat Wasis siuman, ternyata hari sudah mulai terang. Wasis mengucek-ngucek matanya dan perlahan
bangkit.
Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Baru pertama kalinya
dia masuk ke gua dan sangat mustahil Wasis bisa keluar dari gua itu tanpa
bantuan manusia.
“Tolong!”
“Tolong!” teriak Wasis dengan sisa tenaga yang ada.
“Tolong!”
Akan tetapi sepertinya tidak ada seorang pun yang mendengar
teriakannya.
Lagi pula, tempat itu terkenal angker, dan tidak ada yang
berani dekat-dekat ke arah gua.
Sampai sore Wasis belum bisa keluar dari dalam gua.
Wasis menangis, dia sangat takut berada di dalam gua itu sendirian.
Hingga malam tiba, Wasis masih berteriak minta tolong.
“Tolong!”
“Tolong!”
Wasis berharap ada seseorang yang datang menolongnya, tapi usahanya
itu tetap nihil, tidak ada satu orang pun yang mendengar teriakannya.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Wasis mendengar suara
gamelan dan langkah kaki orang-orang banyak.
Wasis menoleh ke arah kanan dan di sana dia melihat ada
sebuah iring-iringan yang sangat aneh.
Banyak lelaki yang berpakaian putih, dan pakaiannya itu penuh
dengan bercak darah, terlihat sedang menggotong sebuah singgasana.
Wasis melihat di atas singgasana ada seorang perempuan yang
berpakaian kebaya, sedang duduk manis layaknya seorang ratu kerajaan.
Di belakang iring-iringan terlihat ada juga orang-orang yang
menabuh gamelan.
Seketika Wasis mundur beberapa langkah. Nafasnya terengah-engah.
Wasis sangat takut dengan apa yang dilihatnya saat ini, tapi justru seketika suara
gamelan itu berhenti serentak.
Empat orang lelaki yang menggotong singgasana juga berhenti,
mereka menurunkan perempuan itu, perempuan yang wajahnya pucat seperti mayat mendekat
ke arah Wasis.
“Jangan takut. Kami sudah menerimamu menjadi warga di sini,”
ucap perempuan itu.
“Tidak! Aku tidak mau tinggal di sini! Tolong keluarkan aku.
Aku mohon. Hu hu hu.” Wasis menangis sambil berlutut.
Tampaknya perempuan itu tidak peduli, walaupun Wasis menangis
dia malah kembali pada rombongannya kemudian gamelan pun kembali ditabuh, dan perempuan
misterius itu mulai menari layaknya seorang Ronggeng.
Malam itu, Wasis hanya bisa memeluk lututnya di sudut gua sambil
menangis ketakutan soalnya makin lama makhluk yang ada di dalam gua itu semakin
banyak. Entah dari mana arah datangnya. Bahkan Wasis melihat ada makhluk yang
tinggi besar dan berbulu lebat, juga ada banyak pocong yang berdiri di berbatuan.
Tak ada yang bisa dilakukan Wasis. Dia hanya menangis sampai
pagi pun tiba.
****
Semalam suntuk Wasis tidak tidur. Kedua matanya merah,
tubuhnya mulai kelelahan. Tiba-tiba saja ada suara lelaki yang memanggil-manggil
Wasis dari permukaan gua.
Wasis sangat kenal lagi itu. Tidak salah lagi itu adalah bapaknya Wasis.
Dengan sisa tenaga yang ada Wasis pun bangkit lalu kembali berteriak.
“Pak, tolong aku, Pak!” terak Wasis.
Wasis mendongak dan melihat dari mulut gua ada sebuah tali diulurkan
perlahan ke dasar gua.
“Wasis, ayo naik!” teriak bapaknya.
Wasis pun menggenggam tali itu dengan sangat erat. Perlahan
Wasis ditarik keluar dari gua.
Bapaknya itu dapat informasi dari temannya yang sering
berburu sarang walet, maka pagi itu juga bapaknya Wasis bersama tiga warga
lainnya langsung berangkat ke gua untuk menyelamatkan Wasis.
Wasis pun berhasil dikeluarkan dari dalam gua. Ia ditandu
menggunakan kain sarung karena tubuhnya sangat kelelahan.
Semenjak saat itu, Wasis tidak mau lagi kalau ada orang yang
menyuruhnya masuk ke dalam gua. Wasis sangat syok karena melihat banyak sekali demit
di dalam gua.
****
Tiga hari kemudian.
Malam itu kondisi Wasis sudah benar-benar pulih. Dia berbaring di atas tempat tidurnya sambil menunggu
kantuk, sementara bapaknya Wasis masih sibuk membuat suling di dapur.
Kebetulan malam ini bapaknya Wasis tidak menginap di
perkebunan, jadi bapaknya Wasis bisa menginap di rumah yang ada di sebelah
rumah Wasis.
Sekitar pukul 24.00 Wasis dan bapaknya mendengar ada suara
perempuan di luar rumah yang memanggil nama Wasis
“Wasis.”
“Wasis.”
Perlahan bapaknya mengintip dari bilik dapur, dia melihat ada
seorang perempuan yang berpakaian kebaya berdiri di dekat rumahnya Wasis.
Buru-buru bapaknya Wasis beranjak ke rumah anaknya.
“Wasis, itu di luar siapa!” teriak bapaknya.
Wasis saat itu meringkuk di sudut kamar sambil memeluk
dengkul. Wajahnya sudah berkeringat. Dia sangat ketakutan mendengar suara
perempuan itu.
Wasis kenal siapa perempuan itu, dia adalah demit penghuni gua
yang pernah ia temui.
Beberapa saat kemudian pintu rumah Wasis digedor gedor dengan
sangat keras.
Karena kesal, bapaknya Wasis langsung lari ke dapur dan mengambil
sebilah golok yang sangat tajam.
“Bangsat! Kau berani-beraninya mengganggu anakku!” bapaknya Wasis
melangkah sambil mengacungkan golok.
Tapi anehnya, seketika tidak ada siapa-siapa di depan pintu
rumah Wasis.
****
Malam-malam berikutnya, Wasis terus menerima teror dari
penghuni gua. Bapaknya pun pergi ke seorang sesepuh di kampung itu.
Kata sesepuh, “Menurut cerita orang zaman dulu, memang pernah
ada seorang Ronggeng yang menuntut ilmu hitam di dalam gua itu,”
“Ronggeng tersebut bertapa di dalam gua, namun tidak pernah
keluar lagi.”
“Bisa saja Ronggeng itu
sudah menjadi makhluk halus di sana.”
“Ditambah lagi dengan mayat-mayat simpatisan PKI yang pernah
dibuang ke dalam gua itu. Jadilah gua itu sangat angker.”
Sesepuh itu memberikan tiga buah kertas yang sudah dituliskan
doa-doa dalam bahasa Arab. Ia menyuruh Wasis untuk menempelkan kertas itu di
dinding rumahnya, dan sejak saat itu, perempuan
Ronggeng tidak lagi mengganggu Wasis.
SELESAI
No comments:
Post a Comment