BENCANA DATANG KARENA TRADISI KAMPUNG YANG DIHILANGKAN
Pada saat itu aku yang lebih dikenal dengan nama Haryono
masih berusia 11 tahun, dan masih duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Aku tinggal bersama Kakek dan Nenek, sedangkan orang tua, dan
kedua kakakku, merantau di Negeri Jiran Malaysia.
Pada saat itu, di desaku sedang dilanda bencana gagal panen
dan wabah penyakit yang misterius. Kejadian yang sudah berlangsung selama hampir
satu setengah tahun itu membuat warga yang mayoritas petani sangat menderita
dan dicekam ketakutan.
Sudah gagal panen, ditambah lagi wabah penyakit yang tidak
diketahui sumber serta obatnya.
Seluruh padi di sawah mengalami gagal panen yang disebabkan
hama belalang.
Segala upaya sudah dilakukan, baik oleh dinas dan Sarekat,
maupun oleh tetua, dan warga kampung, akan tetapi tetap saja tidak membuahkan
hasil.
Belum lagi wabah penyakit aneh, dengan ciri yang terdampak
merasakan gatal-gatal di tubuhnya, disertai muntah, dan buang air secara
berlanjut.
Pada saat dibawa ke rumah sakit, dokter menjelaskan bahwa
pasien menderita muntaber, namun meski di opname maupun diberi obat, penderita
tidak juga sembuh. Hal itu membuat warga memilih pulang paksa dan dirawat di
rumah saja.
Aku sendiri merasa bersyukur karena terhindar dari bala
tersebut. Nenekku yang orang kuno selalu rutin memberi ramuan setiap pagi dan
malam hari menjelang tidur. Semenjak adanya wabah, Nenek rajin memberi ramuan
tersebut. Memang, Nenek dikenal warga sekitar adalah ahli pembuat jamu,
sedangkan Kakek, dikenal sebagai pembuat kerajinan dari bambu.
Selain itu, Kakek juga dikenal sosok yang tahu dalam hal ilmu
gaib, serta seorang tangguh pusaka.
Banyak orang di desa ini yang meminta untuk menjamasi benda
pusaka dan bertuah di setiap malam Satu Suro.
Atas hal itu banyak kerabat maupun tetangga meminta ramuan
dari Nenek, namun Nenek tidak mau ambil resiko. Nenek berpikir, jika jamurnya
tidak mempan pasti akan menjadi gunjingan, maka Nenek hanya memberi resep pada
setiap orang yang datang dan menyuruh mereka meracik sendiri.
Pada kenyataannya, dugaan Nenek benar, meskipun banyak yang
terhindar karena minum ramuan, namun banyak pula yang tetap terkena wabah. Warga
pun tidak menyalahkan Nenek yang memang keluarga besarnya tidak tersentuh oleh
wabah tersebut.
Warga hanya terheran saja, kami sekeluarga seperti dijauhi
wabah tersebut.
Malam itu gerimis menyirami dedaunan. Di bawah penerangan
lampu petromaks, Kakek membuat keranjang bambu pesanan Lek Jito, sedangkan Nenek,
duduk di lincak menunggu, sambil makan hidangan yang disediakan, yakni singkong
rebus.
Hampir bersamaan dengan suara geledek terdengar, ada seorang
mengucap salam.
Ternyata orang yang bertamu adalah Pak Joyo bersama anaknya. Kakek
mempersilahkan untuk duduk lalu menghentikan kegiatan menganyam.
Kakek menanyakan perihal kedatangan Pak Joyo yang juga
seorang Sarekat Desa itu. Pak Joyo rupanya meminta tolong dibuatkan obat untuk
kedua cucunya karena sudah dua hari dibawa ke rumah sakit tapi tidak juga kunjung
sembuh.
Mendengar itu, Nenek minta izin ke belakang untuk membuatkan
ramuan yang dipinta. Disaat itulah Pak Joyo menceritakan sekaligus menanyakan tentang
mimpi yang dialami empat malam berturut-turut kepada Kakek.
Terus terang, itu juga menjadi tujuan dari kedatangan Pak
Joyo. Dia seperti diarahkan untuk minta saran dari Kakek.
****
Di dalam mimpi tersebut, Pak Joyo dan para petinggi Desa
kehujanan sangat deras, anehnya mereka semua berlarian menuju pendopo punden desa,
dan anehnya mereka tidak berteduh di pendopo melainkan di bawah pohon beringin
yang sangat besar. Pohon yang sudah berusia sangat tua, di mana ada makam sang danyang di bawahnya.
Para petinggi desa termasuk Pak Joyo, sangat rapat berjajar. Tidak
berapa lama, kilatan petir terlihat mengerikan, disusul kemudian datang amukan
angin yang membuat ranting beringin berjatuhan. Anehnya tidak ada seorangpun
yang pergi dari tempat tersebut, hingga pada akhirnya tumbang pohon beringin
menimpa mereka.
Pak Joyo yang ikut dalam bencana tersebut merasa sesak nafas.
Sempat terlihat olehnya Pak Lurah dan Pak Petengan terhindar dari maut. Mereka
berdua tetap berdiri tanpa tertimpa bagian pepohonan, dan sebelum terbangun,
Pak Joyo melihat Kakek datang memandang mereka satu persatu.
Kehadiran Kakek di dalam mimpi itulah yang membuat Pak Joyo
bertamu, sekaligus minta ramuan untuk cucunya.
Sejenak setelah Pak Joyo selesai bertutur cerita.
****
Kakek menghela nafas panjang, kemudian datanglah Nenek,
membawa ramuan serta wedang kopi tulen.
Kakek berucap kalau ditilik dari mimpi yang dikisahkan maka
ada yang perlu diwaspadai.
Menurut Kakek, bala yang menghantui mereka akan berakhir,
namun ada bencana sebagai tumbalnya.
Kakek melanjutkan, jika Pak Joyo dan petinggi desa lainnya
agar selalu berdoa dan mendekatkan diri pada sang pencipta dan alangkah lebih
bagusnya jika melakukan acara yang menjadi tradisi desa yakni menggelar wayang
kulit semalam suntuk, selain menghormati sang danyang juga sebagai ritual tolak
bala.
Pak Joyo terdiam.
Sebelum pamit Pak Joyo berkata kalau akan mengusulkan saran Kakek
tersebut.
“Mugo-mugo wae ra ono warga seng keno bencono,” ucap Kakek
Pada Nenek selepas kepergian Pak Joyo.
Ada raut kekhawatiran yang sangat tidak biasa di mimik wajah
Kakek.
****
2 minggu kemudian.
Keadaan desa semakin mencekam, bukan bersumber dari wabah maupun
hasil panen, tapi bersumber dari kematian. Hal itu diawali dari meninggalnya Carik
yang kemudian diikuti Sarekat lain di selang 7 hari kematian.
Sebelum meninggal, para petinggi desa itu terkena wabah
penyakit terlebih dahulu, namun wabah tersebut hanya bersarang di tubuh mereka
semalam saja, dan paginya belum sempat dibawa ke rumah sakit, sudah meninggal
dunia terlebih dahulu.
Yang membuat bergidik dan kampung menjadi mencekam, adalah
tentang kemunculan mereka yang sudah meninggal dunia.
Banyak warga yang melakukan ronda rutin mengaku menemui sosok
para petinggi desa tersebut.
Kesaksian paling banyak, adalah semua petinggi telah
meninggal itu berjajar di jalan terjal menuju punden desa. Mereka semuanya
berdiri mematung tanpa ada reaksi. Wajahnya pucat pasi, yang membuat siapa pun
akan berlari ketakutan jika menemui sosok-sosok itu.
Di antara para petinggi desa, Pak Lurah dan Pak Petengan
adalah dua orang yang terhindar dari malapetaka.
Atas saran dari Kakek dan para tetua kampung, digelarlah
acara wayang kulit sehari semalam di pendopo punden desa.
Warga berharap musibah itu tidak merembet pada warga dan
segera tuntas.
Atas dana gotong royong maka acara pun dilaksanakan.
****
Selepas Isa, sebelum berangkat menuju punden, Kakek dan Nenek
sempat berbincang-bincang. Aku sendiri ikut membaur dan menyimak percakapan
mereka.
Nenek bertanya tentang Pak Joyo yang ikut meninggal dunia, padahal
Pak Joyo adalah orang yang diberi wangsit melalui mimpinya.
Sambil membenahi lintingan tembakau, Kakek pun menceritakan
apa yang dialami setelah kedatangan Pak Joyo.
****
Malam itu Kakek izin keluar, tidak untuk menjenguk serta
memberi rokok para peronda, melainkan datang ke punden yang gelap gulita.
Di bawah gerimis tipis, Kakek melakukan meditasi singkat, dan
dari perjalanan gaibnya itu Kekek pun mengetahui tentang musibah yang akan datang.
Semua musibah itu terjadi, karena para petinggi desa tidak
mengindahkan saran dari tetua kampung.
Dengan keputusan sepihak para petinggi desa mereka tidak
mengadakan pagelaran wayang kulit seperti masa lalu saat diadakan sedekah bumi.
Para Sarekat Desa memilih menghentikan tradisi yang dianggap musyrik tersebut. Warsinah
Warga desa sempat melakukan protes, dan hanya Pak Lurah serta
Pak Petengan saja yang berniat mengadakan acara tradisi peninggalan nenek
moyang itu, yang lain tetap kukuh pada prinsipnya, namun dua Sarekat itu
terkalahkan oleh keputusan Sarekat lain yang lebih banyak.
Sengaja malam itu, Kakek menyinggung secara halus pada Pak
Joyo yang juga ikut gagah menghentikan acara wayang di setiap tahunnya.
Kakek berharap Pak Joyo sadar dengan sikapnya yang keliru,
yang mengajak Sarekat lain ikut berbenah diri, namun harapan rakyat tidak
terjadi, Pak Joyo tidak mengindahkan caranya yang sebenarnya bukan omong kosong
belaka.
Memang kematian adalah rahasia Maha Pencipta, namun terkadang
ada tanda-tanda khusus yang mengiringi kematian seseorang. Entah itu berupa
firasat atau berupa wangsit, seperti yang dialami Pak Joyo.
Dari tanda-tanda tersebut, Tuhan memberi kesempatan pada
hambanya untuk mempertebal iman bagi yang sudah beriman, dan memulai iman bagi
yang belum memiliki.
****
Kakek menyudahi tuturnya dengan menyulut tembakau.
Setelah itu kami bersiap ke punden untuk menonton acara
wayang kulit, acara yang sudah 2 tahun tidak dilaksanakan di kampung, dan
semenjak itu pula, entah kebetulan atau memang kutukan, musibah datang berupa
wabah menghantui warga.
****
Matahari bersinar cerah. Warga tampak beraktivitas dengan
penuh semangat dan penuh keceriaan. Aku berharap kondisi seperti ini akan terus
terlihat damai serta menyejukkan jiwa, itulah yang kulihat semenjak malam pementasan
wayang, warga kembali tersenyum karena kehidupan kembali membaik. Wabah
penyakit hilang dengan kesembuhan para penderitanya, begitupun dengan hama di
persawahan. mereka senang saat datang panen dengan hasil yang berlebih.
Semenjak itu pula
pagelaran wayang kulit pasti diadakan di setiap datang acara sedekah bumi. Atas
kejadian yang menjadi pengalaman itu, tidak ada Sarekat desa yang berani
menghilangkan tradisi tersebut dan atas musyawarah warga serta tetua kampung,
di setiap acara sedekah bumi disisipi tahlilan sebelum acara makan besar.
Seiring berjalannya waktu warga membawa makanan kenduri dari
rumah. Setelah tahlil dan doa selesai mereka bertukar makanan yang dibawa
dengan warga lain, tujuannya adalah untuk menyatukan warga dalam satu wadah
sehingga tidak ada perselisihan.
No comments:
Post a Comment