DAHURU SEDO BAB 2
BAB 2
Tilulit … tilulit … tilulit.
Dering polifonik dari sebuah HP di
atas meja terus berbunyi.
Telurit … telurit … telurit.
Lelaki berambut keriting acak-acakan
meraihnya.
“Kang Noto? Ana apa isuk-isuk wes telepon,
arep nyelangi duwit mbok,” (Kang Noto?
Ada apa pagi-pagi sudah menelepon, mau beri pinjaman uang mungkin,) batin
lelaki itu menatap layar HP, selebar kotak korek batang pentol.
“Halo, ya Kang, nang apa sih,
isuk-isuk wes mbribeni bae lah.”( Halo,
ya Kang, ada apa sih, pagi-pagi sudah
berisik saja.)
“Mun!” suara di dalam telepon.
“Iya! Neng ngapa sih!” (Iya! Ada apa!)
“Halo! Mun!”
“Iya halo! Nang ngapa!” (Iya halo! Ada apa!)
“Halo!”
“Jiabang bayik, budek apa kepriwe
kiye uwong yak, wis disauri kok agi hola
halo bae!” (Ya ampun, tuli apa bagaimana
ini orang ya, sudah dijawab kok masih halo-halo saja!” umpat pemilik nama,
Saimun.
“O wedos!” (O kambing!) balas suara dari dalam telepon.
“Nyong wes konda neng
ngapa, tuli nyong dipadak-pakdakna wedos!” (Saya
sudah jawab ada apa, la kok saya disamakan dengan kambing!)
“Halo!”
“Iyaaaa! Nang ngapa sih!
Wis ngana Rika sit seng ngomog lah!” (Iyaaaa!
Ada apa! Sudah sana Anda dulu yang bicara!)
“Krungu enggak!” (Terdengar tidak!)
“Iya krungu!” (Iya dengar!)
“Saiki, saiki yo, enggak atek mengko-mengko, pokok langsung
budal neng omahe Sopyan, saiki yo!” (Sekarang, sekarang ya, tidak pakai
nanti-nanti, pokoknya langsung berangkat ke rumahnya Sopyan, sekarang ya!)
“Sih, kon ngomong apa nyonge,
arep ana pengajian apa kpriwe sih,” (Lo,
disuruh bicara apa saya, mau ada pengajian apa bagaimana ini,) jawab
Saimun.
“Biatukmu amblek! Ki yo rungokno, krungu gak!” (Jidat-mu amblas! Ini ya
dengarkan, dengar tidak!)
“Aja kaya kuwe lah Kang.” (Jangan seperti itu lah Kang.)
“Pak Rete, matek!” (Pak Rete, Meninggal!)
“Ha? Pak RT, mati?” Saimun
ternganga tak percaya.
“Innalillahi
wainailahirojiun.”
“Iyo!” (Iya!)
“Kapan? Reng ngendi,
kepriwe sih bisa mati dadakan kaya kuwe?” (Kapan?
Di mana, bagaimana kok bisa mati mendadak seperti itu?)
Saimun memencet sebuah
tombol.
Tit!
Loudspeaker aktif.
“Dowo, duowo ceritone,” (Panjang, panjang ceritanya,) balas
suara dari telepon terdengar lebih jelas.
“Ya wis, nyong langsung
njujug mrana ya?” (Ya sudah, saya
langsung ke sana ya?)
“Lang … sung kon ngu … mumno neng Mejid ….” (Lang … sung bilang untuk
… diumumkan di Masjid ….) Suara sedikit terputus-putus.
“Apa! Ra jelas, ngomong
apa sih Rika, halo! Kang!” (Apa! Tidak
jelas, bicara apa Anda, halo! Kang!)
“Keplek-keplekno HP-mu! Hp bosok jek panggah diingu ae! HP ki
koyok nek awakku ngene, android!” (Hempas-hempaskan HP-mu, HP buruk masih saja
dipelihara! Kalau HP paling tidak seperti punyaku begini, android!)
“HP-ne kana seng
ndat-ndet, nyong seng disalahna,” (HP-nya
sana yang terputus-putus, saya yang disalahkan,) batin Saimun.
“Wes mangkat gurung!” (Sudah berangkat belum!)
“Ya ki arep ngana.” (Ya ini mau berangkat.)
“Ladalah! Kat mau ngopo ae! Wes gek ndang!” (Ya ampun! Dari tadi
mengapa saja! Sudah sana berangkat!)
Tut … tut … tut … tut ….
“Sih, dipateni! Wis genah
telponan jek takon nyong gingapa, gemblung … gemblung,” (Yah, dimatikan! Sudah tahu masih menerima telepon masih tanya saya
lagi apa, gila … gila,) gerutu Saimun, lalu meletakkan HP dan bergegas
kembali ke belakang seraya menyambar kaus partai merah, bergambar kerbau
moncong putih.
****
“Innalillahi wainaillaihirojiun … telah berpulang saudara, bapak, tetangga kita, Bapak Agus Suntoro bin Mahrejodikto, Ketua RT dusun Bangorejo, tadi pagi pukul kosong lima
dua puluh lima, dihimbau kepada segenap warga dusun, untuk berkumpul di rumah duka, kami ulangi ….” Terdengar berita duka dari mulut pengeras Masjid, suara Ustaz Sopyan, setelah mendapat kabar dari Saimun.
“Woe! Pak RT sedo! Ayo do
laut! Ngayat!” (Woe! Pak RT meninggal! Ayo berhenti! Pergi melayat!) teriak
lelaki yang mengenakan caping dan bertelanjang dada.
“Seng tenan Lek!” (Yang
benar Lek!) sahut lelaki di seberang petak sawah.
Seketika dusun ramai, berbondong-bondong
menuju rumah Ketua RT, sebagian yang datang sudah memasang tenda yang dipikul
dari Masjid, tenda milik Rukun Kematian.
Isak tangis terdengar dari
dalam rumah, beberapa ibu-ibu berkumpul melingkar, setelah mengucapkan rasa
belasungkawa.
“Benar apa berita yang
disiarkan di masjid Kang?”
“Yo tenan! Mosok dolanan,
wes do krungu to seng ngumumno sopo? (Ya benar! Masak main-main, sudah dengar
‘kan siapa yang mengumumkannya?
“Ya Allah, tidak menyangka,
begitu cepat kabar duka ini.” Lelaki yang mengenakan peci itu mengelus dada.
“Halah! Kabeh menungso yo
bakal matek, ngono ae kok digawe nelongso!” (Halah! Semua manusia juga bakal
mati, begitu saja dibuat meratap!” Kuswanoto langsung pergi meninggalkan lelaki
yang masih duduk di kursi.
“Jang, Bujang! Jikok tas
seng onok mori lan barakane.” (jang, Bujang! Ambil tas yang berisi kafan dan
lainnya.)
“Di mana Pakde?”
“Neng omah-omahan
banduso.” (Di rumah-rumahan keranda.)
“Nggeh pakde,” (Ya Pakde)
ucap Bujang.
“Ajak ngisan bolo-bolomu,
usung kabeh papan seng onok, nggo kotakan jumlae papat, nggo anjang-anjang
rolas, mbek nggo maesan loro.”(Ajak sekalian teman-temanmu, bawa semua papan
yang ada, untuk kotak jumlahnya empat, untuk papan penutup kubur dua belas, sama
untuk nisan dua.)
“Semua itu Pakde?“
“Gak! Setugel! Yo kabeh to
nang, guobloke to yo.” (Tidak! Sepotong! Ya semua to anakku, gobloknya to ya.)
“O nggeh, siap Pakde
Noto.”
Halaman rumah sudah mulai
penuh dengan para pelayat, meski jenazah Ketua RT, belum juga datang dari Rumah
Sakit.
“Kang Noto! Dipanggil
Ustaz Sopyan!” teriak lelaki yang mengenakan batik lengan panjang.
Kuswanoto berjalan jemawa
menuju deret kursi paling belakang.
“Saya cuma mau bertanya?
Bagaimana kejadiannya?” tanya Ustaz Sopyan, sesampainya Kuswanoto dan duduk di
kursi sebelah kanan.
“Yo tenan Kok eg, mosok
tak gawe-gawe.” (Ya benar ya, masak saya buat-buat.)
Seketika beberapa
bapak-bapak berkumpul, ingin mendengarkan cerita sebenarnya dari Kuswanoto yang
menlihat kejadian itu.
“Awakku ngisi bengsin to
neng warunge Wakijo, lha Pak Rete lewat, ngwebut, wuss!” (Saya mengisi bensin
di warungnya Wakijo, la Pak Rete lewat, ngebut, wuss!) Kuswanoto menggerakkan
tangan dengan cepat, gambaran betapa kebutnya kendaraan yang dimaksud.
“awakku to wes weroh nek
iku Pak Rete,” (Saya sih sudah tahu kalau itu Pak Rete,) imbuh Kuswanoto,
bercerita.
“Terus ada mobil apa motor
di jalan itu Kang?” tanya Pardi memasang wajah penasaran.
“Gak onok,” (Tidak ada,)
jawab Kuswanoto.
“Terus ... terus,” sela Birin
menggeser kursi.
“Yo terus onok suara
gedubrak.” (Ya terus ada suara gebrak.) Kuswanoto mengusap kumis tebalnya.
“Sudah begitu saja?” tanya
Kohar.
“Yo ngono, e ....” (Ya
begitu, e ....) Kuswanoto mengerutkan dahi.
“Tetapi benar itu Pak RT?”
kejar Mugiono.
“Ladalah! Awakmu kabeh iki
takok opo kate interogasi awakku to!” (Ya ampun! Kalian semua ini bertanya atau
menginterogasi saya to!)
“Ya bukannya begitu Kang,
siapa tahu cerita Panjenengan itu tidak valid,” tutur Samamudin.
“Wes to, gak sue neh pesti
onok mobil ambulans teko, wes gek ndang disiapno kabeh.” (Sudah ya, tidak lama
lagi pasti ada mobil ambulans datang, sudah sana disiapkan semua.)
“Itu benar Pak RT, apa
Njenengan tahu dan menolongnya?” kejar Samamudin yang mengenakan arloji kerepyak.
“Koen gak percoyo ambi
awakku tah!” (Kamu tak percaya denganku apa!) Kuswanoto mulai meradang.
“Sudah, sudah, tidak
pantas berbicara keras di suasana berduka seperti ini,” kata Ustaz Sopyan,
terdengar lembut, mengingatkan Kuswanoto.
Tepat di saat-saat seperti
itu, Bujang datang dengan tas besar serta beberapa teman-temannya memikul
papan.
“Langsung ae digowo mlebu,
Jang!” (Langsung saja dibawa masuk, jang!) teriak Kuswanoto menyuruh Bujang.
“Bagaimana ini Pak Ustaz?
Apa kita langsung ke kubur untuk menggali saja? Satu lelaki bercelana kolor
pendek memikul cangkul datang.
“Kita tunggu kabar saja
dulu,” balas Ustaz Sopyan. “Wes gak atek nunggu-nunggu, langsung keduk ae!”
(Sudah tidak pakai menunggu, langsung gali saja!” sambar Kuswanoto, seraya
membetulkan letak pecinya yang miring.
Semua mata menatap
Kuswanoto yang bertingkah seakan menggantikan Ketua RT.
“Tenang Kang, tenang,
jangan terburu-buru seperti itu.” Samamudin berkata dengan mengepak telapak
tangan agar Kuswanoto duduk.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment