Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

DAHURU SEDO BAB 2

BAB 2

Tilulit … tilulit … tilulit.

Dering polifonik dari sebuah HP di atas meja terus berbunyi.

Telurit … telurit … telurit.

Lelaki berambut keriting acak-acakan meraihnya.

“Kang Noto? Ana apa isuk-isuk wes telepon, arep nyelangi duwit mbok,” (Kang Noto? Ada apa pagi-pagi sudah menelepon, mau beri pinjaman uang mungkin,) batin lelaki itu menatap layar HP, selebar kotak korek batang pentol.

“Halo, ya Kang, nang apa sih, isuk-isuk wes mbribeni bae lah.”( Halo, ya Kang, ada apa sih, pagi-pagi sudah  berisik saja.)

“Mun!” suara di dalam telepon.

“Iya! Neng ngapa sih!” (Iya! Ada apa!)

“Halo! Mun!”

“Iya halo! Nang ngapa!” (Iya halo! Ada apa!)

“Halo!”

“Jiabang bayik, budek apa kepriwe kiye uwong yak, wis disauri kok agi  hola halo bae!” (Ya ampun, tuli apa bagaimana ini orang ya, sudah dijawab kok masih halo-halo saja!” umpat pemilik nama, Saimun.

“O wedos!” (O kambing!) balas suara dari dalam telepon.             

“Nyong wes konda neng ngapa, tuli nyong dipadak-pakdakna wedos!” (Saya sudah jawab ada apa, la kok saya disamakan dengan kambing!)

“Halo!”

“Iyaaaa! Nang ngapa sih! Wis ngana Rika sit seng ngomog lah!” (Iyaaaa! Ada apa! Sudah sana Anda dulu yang bicara!)

“Krungu enggak!” (Terdengar tidak!)

“Iya krungu!” (Iya dengar!)

“Saiki, saiki yo, enggak atek mengko-mengko, pokok langsung budal neng omahe Sopyan, saiki yo!” (Sekarang, sekarang ya, tidak pakai nanti-nanti, pokoknya langsung berangkat ke rumahnya Sopyan, sekarang ya!)

“Sih, kon ngomong apa nyonge, arep ana pengajian apa kpriwe sih,” (Lo, disuruh bicara apa saya, mau ada pengajian apa bagaimana ini,) jawab Saimun.

“Biatukmu amblek! Ki yo rungokno, krungu gak!” (Jidat-mu amblas! Ini ya dengarkan, dengar tidak!)

“Aja kaya kuwe lah Kang.” (Jangan seperti itu lah Kang.)

“Pak Rete, matek!” (Pak Rete, Meninggal!)

“Ha? Pak RT, mati?” Saimun ternganga tak percaya.           

“Innalillahi wainailahirojiun.”

“Iyo!” (Iya!)

“Kapan? Reng ngendi, kepriwe sih bisa mati dadakan kaya kuwe?” (Kapan? Di mana, bagaimana kok bisa mati mendadak seperti itu?)

Saimun memencet sebuah tombol.

Tit!

Loudspeaker aktif.

“Dowo, duowo ceritone,” (Panjang, panjang ceritanya,) balas suara dari telepon terdengar lebih jelas.

“Ya wis, nyong langsung njujug mrana ya?” (Ya sudah, saya langsung ke sana ya?)

“Lang … sung kon ngu … mumno neng Mejid ….” (Lang … sung bilang untuk … diumumkan di Masjid ….) Suara sedikit terputus-putus.

“Apa! Ra jelas, ngomong apa sih Rika, halo! Kang!” (Apa! Tidak jelas, bicara apa Anda, halo! Kang!)

“Keplek-keplekno HP-mu! Hp bosok jek panggah diingu ae! HP ki koyok nek awakku ngene, android!” (Hempas-hempaskan HP-mu, HP buruk masih saja dipelihara! Kalau HP paling tidak seperti punyaku begini, android!)

“HP-ne kana seng ndat-ndet, nyong seng disalahna,” (HP-nya sana yang terputus-putus, saya yang disalahkan,) batin Saimun.

“Wes mangkat gurung!” (Sudah berangkat belum!)

“Ya ki arep ngana.” (Ya ini mau berangkat.)

“Ladalah! Kat mau ngopo ae! Wes gek ndang!” (Ya ampun! Dari tadi mengapa saja! Sudah sana berangkat!)

Tut … tut … tut … tut ….

“Sih, dipateni! Wis genah telponan jek takon nyong gingapa, gemblung … gemblung,” (Yah, dimatikan! Sudah tahu masih menerima telepon masih tanya saya lagi apa, gila … gila,) gerutu Saimun, lalu meletakkan HP dan bergegas kembali ke belakang seraya menyambar kaus partai merah, bergambar kerbau moncong putih.

****

“Innalillahi wainaillaihirojiun … telah berpulang saudara, bapak, tetangga kita, Bapak Agus Suntoro bin Mahrejodikto, Ketua RT dusun Bangorejo, tadi pagi pukul kosong lima


dua puluh lima, dihimbau kepada segenap warga dusun, untuk berkumpul di rumah duka, kami ulangi ….” Terdengar berita duka dari mulut pengeras Masjid, suara Ustaz Sopyan, setelah mendapat kabar dari Saimun.

“Woe! Pak RT sedo! Ayo do laut! Ngayat!” (Woe! Pak RT meninggal! Ayo berhenti! Pergi melayat!) teriak lelaki yang mengenakan caping dan bertelanjang dada.

“Seng tenan Lek!” (Yang benar Lek!) sahut lelaki di seberang petak sawah.

Seketika dusun ramai, berbondong-bondong menuju rumah Ketua RT, sebagian yang datang sudah memasang tenda yang dipikul dari Masjid, tenda milik Rukun Kematian.

Isak tangis terdengar dari dalam rumah, beberapa ibu-ibu berkumpul melingkar, setelah mengucapkan rasa belasungkawa.

“Benar apa berita yang disiarkan di masjid Kang?”

“Yo tenan! Mosok dolanan, wes do krungu to seng ngumumno sopo? (Ya benar! Masak main-main, sudah dengar ‘kan siapa yang mengumumkannya?

“Ya Allah, tidak menyangka, begitu cepat kabar duka ini.” Lelaki yang mengenakan peci itu mengelus dada.

“Halah! Kabeh menungso yo bakal matek, ngono ae kok digawe nelongso!” (Halah! Semua manusia juga bakal mati, begitu saja dibuat meratap!” Kuswanoto langsung pergi meninggalkan lelaki yang masih duduk di kursi.

“Jang, Bujang! Jikok tas seng onok mori lan barakane.” (jang, Bujang! Ambil tas yang berisi kafan dan lainnya.)

“Di mana Pakde?”

“Neng omah-omahan banduso.” (Di rumah-rumahan keranda.)

“Nggeh pakde,” (Ya Pakde) ucap Bujang.

“Ajak ngisan bolo-bolomu, usung kabeh papan seng onok, nggo kotakan jumlae papat, nggo anjang-anjang rolas, mbek nggo maesan loro.”(Ajak sekalian teman-temanmu, bawa semua papan yang ada, untuk kotak jumlahnya empat, untuk papan penutup kubur dua belas, sama untuk nisan dua.)

“Semua itu Pakde?“

“Gak! Setugel! Yo kabeh to nang, guobloke to yo.” (Tidak! Sepotong! Ya semua to anakku, gobloknya to ya.)

“O nggeh, siap Pakde Noto.”

Halaman rumah sudah mulai penuh dengan para pelayat, meski jenazah Ketua RT, belum juga datang dari Rumah Sakit.

“Kang Noto! Dipanggil Ustaz Sopyan!” teriak lelaki yang mengenakan batik lengan panjang.

Kuswanoto berjalan jemawa menuju deret kursi paling belakang.

“Saya cuma mau bertanya? Bagaimana kejadiannya?” tanya Ustaz Sopyan, sesampainya Kuswanoto dan duduk di kursi sebelah kanan.

“Yo tenan Kok eg, mosok tak gawe-gawe.” (Ya benar ya, masak saya buat-buat.)

Seketika beberapa bapak-bapak berkumpul, ingin mendengarkan cerita sebenarnya dari Kuswanoto yang menlihat kejadian itu.

“Awakku ngisi bengsin to neng warunge Wakijo, lha Pak Rete lewat, ngwebut, wuss!” (Saya mengisi bensin di warungnya Wakijo, la Pak Rete lewat, ngebut, wuss!) Kuswanoto menggerakkan tangan dengan cepat, gambaran betapa kebutnya kendaraan yang dimaksud.

“awakku to wes weroh nek iku Pak Rete,” (Saya sih sudah tahu kalau itu Pak Rete,) imbuh Kuswanoto, bercerita.

“Terus ada mobil apa motor di jalan itu Kang?” tanya Pardi memasang wajah penasaran.

“Gak onok,” (Tidak ada,) jawab Kuswanoto.

“Terus ... terus,” sela Birin menggeser kursi.

“Yo terus onok suara gedubrak.” (Ya terus ada suara gebrak.) Kuswanoto mengusap kumis tebalnya.

“Sudah begitu saja?” tanya Kohar.

“Yo ngono, e ....” (Ya begitu, e ....) Kuswanoto mengerutkan dahi.

“Tetapi benar itu Pak RT?” kejar Mugiono.

“Ladalah! Awakmu kabeh iki takok opo kate interogasi awakku to!” (Ya ampun! Kalian semua ini bertanya atau menginterogasi saya to!)

“Ya bukannya begitu Kang, siapa tahu cerita Panjenengan itu tidak valid,” tutur Samamudin.

“Wes to, gak sue neh pesti onok mobil ambulans teko, wes gek ndang disiapno kabeh.” (Sudah ya, tidak lama lagi pasti ada mobil ambulans datang, sudah sana disiapkan semua.)

“Itu benar Pak RT, apa Njenengan tahu dan menolongnya?” kejar Samamudin yang mengenakan arloji kerepyak.

“Koen gak percoyo ambi awakku tah!” (Kamu tak percaya denganku apa!) Kuswanoto mulai meradang.

“Sudah, sudah, tidak pantas berbicara keras di suasana berduka seperti ini,” kata Ustaz Sopyan, terdengar lembut, mengingatkan Kuswanoto.

Tepat di saat-saat seperti itu, Bujang datang dengan tas besar serta beberapa teman-temannya memikul papan.

“Langsung ae digowo mlebu, Jang!” (Langsung saja dibawa masuk, jang!) teriak Kuswanoto menyuruh Bujang.

“Bagaimana ini Pak Ustaz? Apa kita langsung ke kubur untuk menggali saja? Satu lelaki bercelana kolor pendek memikul cangkul datang.

“Kita tunggu kabar saja dulu,” balas Ustaz Sopyan. “Wes gak atek nunggu-nunggu, langsung keduk ae!” (Sudah tidak pakai menunggu, langsung gali saja!” sambar Kuswanoto, seraya membetulkan letak pecinya yang miring.

Semua mata menatap Kuswanoto yang bertingkah seakan menggantikan Ketua RT.

“Tenang Kang, tenang, jangan terburu-buru seperti itu.” Samamudin berkata dengan mengepak telapak tangan agar Kuswanoto duduk.

BERSAMBUNG


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search