Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DAHURU SEDO BAB 8

 

BAB 8

Keesokan harinya.

“Kalau ini bukan hoax,” kata seorang lelaki yang berjalan paling tengah.

Jalanan ke arah rumah Ketua RT terlihat ramai oleh warga yang siap untuk diperiksa.

“Kamu mau periksa apa Man?”

“Kaki dan pinggang sering linu,” jawab Tugiman.

“Dikurangi to makanya.”

“Apanya?”

“Kelonnya, ha ha ha .”

“Kira-kira Sri, datang periksa tidak ya, Di?”

“Janda itu? Ya tidak tahu, mau diperiksa apanya coba,” jawab Mukidi.

“Eh, dengar-dengar Pak RT ada main dengan janda itu.”

“Jangan mengawur kamu, mau nanti didudukkan seperti kang Noto itu, mau dibilang hoax lagi,” timpal Purnomo.

“Harus dipastikan dulu, dilihat, dan di cek!”

“Apanya?”

“Ya beritanya to Di, Mukidi.”

“Kalau mencari suami lagi, kira-kira seperti apa lelaki pilihan Sri itu ya?”

“Yang pasti kamu tidak masuk, sekali bersin paling juga lepas! Ha ha ha.”

“Lo mengawur saja, begini-begini juga anakku sudah dua lo Kang.”

“Aku itu sering membayangkan Sri, sewaktu mandi, duh bokongnya itu lo, kenyal.”

“Kayak tidak ada pentilnya, ha ha ha.”

“Kamu kira ban.”

“Mbakyu tidak ikut periksa Kang?” tanyaPurnomo.

“Lah, Mbakyu-mu itu angel orangnya, takut kalau disuntik,” jawab Tugiman.

“Jarum kecil saja ditakutkan, sama jarumnya Kang Tugiman saja beraninya, ha ha ha.”

“Kalau ada bengkel khusus perempuan ingin rasanya aku bawa Mbakyu-mu, mau ditambah daging, biar tidak dol, sudah tak lagi menggigit.”

“Ha ha ha.” Keduanya tertawa geli.

“Makanya KB to Kang?”

“Sudah … sudah aku bawa ke Puskesmas, e … malah aku yang pulang bawa ‘jaket karet.’

“Ha ha ha, kok bisa?”

“Kata bidan kalau istriku tidak mau KB, aku saja yang KB, katanya.”

“Sampai rumah malah buat mainan tiup sama anakku.”

“Tidak pernah pakai yang begituan, enak langsung saja,” tambah Tugiman.

“Eh, tahu tidak, kalau Kang Noto dengan Pak RT itu saingan.”

“Saingan apa?”

“Kalau kata Putut, mereka berdua itu, saling merebutkan Sri itu.”

“Kira-kira Sri pilih siapa ya?”

“Pilih Kang Noto ya tidak mungkin, la wong tidak ada duitnya juga,” balas Purnomo.

“Kalau pilih Pak RT, apa ya mau Sri, masih gagah dan tampan Kang Noto.”

“Andainya saja Sri pilih aku.”

“Ha ha ha, tidak mungkin! Ha ha ha.”

“Kalau memang benar Pak RT kemarin itu meninggal benaran, wah, menang banyak Kang Noto.”

“Makanya terlihat semangat sekali Kang Noto untuk mengubur pak RT.”

Mereka menghentikan pembicaraan sewaktu sudah sampai di halaman rumah Ketua RT, beberapa lelaki dan perempuan tua sudah duduk di kursi, menunggu giliran untuk dipanggil.

****

Setelah mengantar Warsinah, Kuswanoto lalu meluncur ke timur, melewati jalan tikus di saat semua orang beraktivitas dan sebagian pergi periksa.

Tit!

Putut menghentikan motor, tampak istrinya duduk di boncengan.

“Mau ke mana Kang!”

“Takok ae urusane uwong!” (Tanya saja urusan orang!) ucapnya lalu meninggalkan Putut.

“Ealah, wong gendeng! Di tanya baik-baik malah marah.”

“Kayak tidak tahu wataknya saja, sudah ayo,” timpal istrinya.

****

Setelah melewati jerambah, Kuswanoto segera menghentikan dan menyembunyikan motor, sewaktu melihat Pak RT baru saja ke luar dari rumah Sri.

“O wedos!” (O kambing!) umpatnya.

Kuswanoto terus memperhatikan mereka dari balik rimbun ranting yang merendah.

“Yakin kamu tidak mau periksa?” tanya Pak RT.

Sri menggeleng.

Bukan pembicaraan itu yang membuat kumis Kuswanoto berdiri semua oleh gejolak marah, tetapi tangan Pak RT yang masih saja berada di pundak Sri.

“Kamu harus hati-hati dengan Kang Noto, janda mana yang tak pernah dia kangkangi, aku takut kamu tertular penyakitnya.”

“Asu!” umpat Kuswanoto lagi.       

Terlihat Pak RT mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku bajunya. “Ini, sekadar untuk jajan Aji.”

Sri, menerimanya.

“Oalah Sri, lapo mbok tompo,” (Oalah Sri, kenapa kamu terima,) batinnya, seraya terus mengarahkan mata dari lebat dedaunan.

“Apa yang kamu harapkan dari dia, aku sering mengatakan ini, dan kamu masih saja berhubungan dengannya.”

“Diangkrek!” umpatnya, jelas Kuswanoto mendengar siapa yang dimaksud.

“Sudahlah Sri, mulai saat ini jangan kamu terima kalau dia datang menemuimu lagi, kalau begitu aku pulang, semakin lama aku di sini semakin tak baik buat kita, lagi pula di rumah mungkin para warga sudah berdatangan, aku pamit.”

Sri hanya mengangguk, dia tak berani berucap sedikit pun, bahkan sewaktu Pak RT, menjelek-jelekkan Kuswanoto.

Tak lama kemudian, Pak RT berlalu melewati rimbun dedaunan, melewati Kuswanoto yang bersembunyi. “Lapo enggak sido matek ha!” (Kenapa tak jadi mampus ha!)

****

Dengan meninggalkan motor di balik semak, Kuswanoto setengah berlari mengejar Sri yang nyaris menutup pintu.

“Kang Noto!” Sri terkejut sebab tak lama dari kepergian tamu rahasianya, Kuswanoto datang.

Tanpa diminta, Kuswanoto langsung masuk secepatnya, pintu pun tertutup, setelah Sri memastikan kalau kedatangan tamu kedua tak ada yang melihat.

Kuswanoto diam seraya membelakangi Sri, bersedekap.

“Piro seng di wei, sampek awakmublas enggak mbelani awakku.” (Berapa yang dia kasih, sampai kamu sama sekali tak membela aku.)

“Kang?”

“Awakmu cinta enggak to kambek awakku, ha!” (Kamu cinta tidak denganku ha!)

“Kenapa Njenengan bertanya begitu, kalau aku tak mencintai Njenengan mana mungkin aku menutup rapat pintu.”

Kuswanoto membalikkan badan.

“Mari diperiksa Pak Rete, yo.” (Habis diperiksa oleh Pak RT, ya.)

Sri tertunduk.

“Piye rosone? Bungah?” (Bagaimana rasanya, bahagia?)

Sri mengusap matanya, ada yang basah di ujung jari.

“Dibayar piro?” (Dibayar berapa?)

Ucapan terakhir justru membuat Sri, terisak, tubuhnya berguncang, terlalu menyakitkan terdengar.

“Aku pancen enggak duwe duwek, enggak iso aweh seokeh dek ‘e.” (Aku memang tak punya uang, tidak bisa kasih sebanyak dia memberimu.)

Sri langsung mengambur dan memeluk Kuswanoto, menangis sesenggukan, seraya melempar uang itu ke tanah.

“Aku tak memintanya, Kang, dia yang memberiku.”

“Halah!” Kuswanoto mendorong tubuh Sri, hingga terlepas pelukan erat itu.

“Lapo enggak mbok racun ae kae uwonge!” (Kenapa tidak kamu racun saja itu orang!)

“Aku bisa apa, aku tak berani menolak semua pemberiannya, aku membutuhkannya Kang, uang, beras! Aku janda aku harus menghidupi Aji anakku, bantuan itu aku sangat membutuhkannya!”

“Yo owes, ogak usah aweh opo-opo, lha wong bantuan iku yo hak-mu dadi rondo!” (Ya sudah, tidak usah memberi apa-apa, bantuan itu memang sudah menjadi hak-mu sebagai janda!) bentak Kuswanoto menang sendiri, lalu meninggalkan Sri, menuju kamar.

“Aku tak pernah menjual tubuh untuk menghidupi anakku, itu aku lakukan karena aku tak berdaya menghadapi semua tuntutan hidup, Kang.” Sri menyusul dari belakang, berdiri di tepi tempat tidur.

Satu persatu dia melepas pakaian yang dikenakan.

“Lakukanlah, aku tak meminta sepeser uang dari Njenengan.”

Kuswanoto yang tadi tengkurap, membalikkan badan, dilihatnya sri sudah menanggalkan semua pakaian.

“Aku sangat mencintai Njenengan Kang, tetapi aku tahu, aku telah merebut ini semua dari Yu Warsinah,” ucap Sri, matanya masih basah oleh ucapan Kuswanoto.

“Kita bukan orang suci, aku bahkan benci harus mencintai Njenengan, aku benci diriku sendiri! Aku benci perasaan ini Kang!” Sri menutup matanya menahan agar tangis tak semakin pecah.

“Apalagi yang Njenengan tunggu! Bukankah Njenengan datang hanya ingin melepaskan hasrat, hanya itu ‘kan! Iya ‘kan! Njenengan tak tahu perasaan hati ini, tak tahu kesulitan hidup menjanda!”

“Salah! Semua akan terlihat salah di mata Panjenengan saat dia mendekatiku, membicarakan bantuan atau bahkan memberi uang jajan kepada anakku!”

“Aku tak pernah mencintai siapa pun, hanya Njenengan seorang! Mencintai suami orang! Hu hu hu.”

Kuswanoto terdiam, mengembuskan napas panjang, ikut larut dengan isi hati Sri.

“Aku sudah mencari jalan halal dengan menjadi babu di pasar! Itu belum cukup! Bahkan aku harus memasak nasi bantuan untuk mengenyangkan perut kami berdua! Beras yang aku terima karena kemurahan hatinya, peduli apa aku dengan bantuan pemerintah! Dia yang mengusulkan namaku untuk mendapat bantuan, beras, jamban, uang, subsidi listrik, semua datang dalam bungkus bantuan, apa iya aku harus membuang semua pemberian itu!”

“Aku tak berdaya saat dia memintanya, aku tak pernah menyebutkan jumlah saat dia memberiku uang! Hu hu hu.”

Kuswanoto langsung beranjak dan memeluk Sri.

“Sepurone Sri.” (Maafkan aku, Sri.)

“Awakku gur wedi kelangan awakmu.” (Aku hanya takut kehilanganmu.)

“Aku juga takut, aku takut benar-benar tak bisa melupakan Njenengan,” ucap Sri dalam sedu isak di dada Kuswanoto.

“Wes enggak usah nangis.” (Sudah tidak usah menangis lagi.)

Kuswanoto mengangkat dagu Sri, mata keduanya beradu, Kuswanoto mengusap pipi mulus yang basah oleh linang hangat, lembut membelai rambut, kemudian menundukkan wajah.

Cup!

Lalu semua sepi, tak ada lagi pembicaraan yang terdengar, sementara di tanah, pakaian mereka sudah saling tindih, seiring derit tempat tidur yang menjerit, bercampur gemeresik dedaunan di seberang jendela, saat ‘pemeriksaan kesehatan’ itu terjadi di atas tempat tidur, bermodalkan sebatang jarum suntik.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search