CERKAK DAHURU SEDO BAB 8
BAB 8
Keesokan harinya.
“Kalau ini bukan hoax,”
kata seorang lelaki yang berjalan paling tengah.
Jalanan ke arah rumah
Ketua RT terlihat ramai oleh warga yang siap untuk diperiksa.
“Kamu mau periksa apa
Man?”
“Kaki dan pinggang sering
linu,” jawab Tugiman.
“Dikurangi to makanya.”
“Apanya?”
“Kelonnya, ha ha ha .”
“Kira-kira Sri, datang
periksa tidak ya, Di?”
“Janda itu? Ya tidak tahu,
mau diperiksa apanya coba,” jawab Mukidi.
“Eh, dengar-dengar Pak RT
ada main dengan janda itu.”
“Jangan mengawur kamu, mau
nanti didudukkan seperti kang Noto itu, mau dibilang hoax lagi,” timpal
Purnomo.
“Harus dipastikan dulu,
dilihat, dan di cek!”
“Apanya?”
“Ya beritanya to Di,
Mukidi.”
“Kalau mencari suami lagi,
kira-kira seperti apa lelaki pilihan Sri itu ya?”
“Yang pasti kamu tidak
masuk, sekali bersin paling juga lepas! Ha ha ha.”
“Lo mengawur saja,
begini-begini juga anakku sudah dua lo Kang.”
“Aku itu sering
membayangkan Sri, sewaktu mandi, duh bokongnya itu lo, kenyal.”
“Kayak tidak ada
pentilnya, ha ha ha.”
“Kamu kira ban.”
“Mbakyu tidak ikut periksa
Kang?” tanyaPurnomo.
“Lah, Mbakyu-mu itu angel
orangnya, takut kalau disuntik,” jawab Tugiman.
“Jarum kecil saja
ditakutkan, sama jarumnya Kang Tugiman saja beraninya, ha ha ha.”
“Kalau ada bengkel khusus
perempuan ingin rasanya aku bawa Mbakyu-mu, mau ditambah daging, biar tidak
dol, sudah tak lagi menggigit.”
“Ha ha ha.” Keduanya
tertawa geli.
“Makanya KB to Kang?”
“Sudah … sudah aku bawa ke
Puskesmas, e … malah aku yang pulang bawa ‘jaket karet.’
“Ha ha ha, kok bisa?”
“Kata bidan kalau istriku
tidak mau KB, aku saja yang KB, katanya.”
“Sampai rumah malah buat
mainan tiup sama anakku.”
“Tidak pernah pakai yang
begituan, enak langsung saja,” tambah Tugiman.
“Eh, tahu tidak, kalau
Kang Noto dengan Pak RT itu saingan.”
“Saingan apa?”
“Kalau kata Putut, mereka
berdua itu, saling merebutkan Sri itu.”
“Kira-kira Sri pilih siapa
ya?”
“Pilih Kang Noto ya tidak
mungkin, la wong tidak ada duitnya juga,” balas Purnomo.
“Kalau pilih Pak RT, apa
ya mau Sri, masih gagah dan tampan Kang Noto.”
“Andainya saja Sri pilih
aku.”
“Ha ha ha, tidak mungkin!
Ha ha ha.”
“Kalau memang benar Pak RT
kemarin itu meninggal benaran, wah, menang banyak Kang Noto.”
“Makanya terlihat semangat
sekali Kang Noto untuk mengubur pak RT.”
Mereka menghentikan
pembicaraan sewaktu sudah sampai di halaman rumah Ketua RT, beberapa lelaki dan
perempuan tua sudah duduk di kursi, menunggu giliran untuk dipanggil.
****
Setelah mengantar
Warsinah, Kuswanoto lalu meluncur ke timur, melewati jalan tikus di saat semua
orang beraktivitas dan sebagian pergi periksa.
Tit!
Putut menghentikan motor,
tampak istrinya duduk di boncengan.
“Mau ke mana Kang!”
“Takok ae urusane uwong!” (Tanya saja urusan orang!) ucapnya lalu
meninggalkan Putut.
“Ealah, wong gendeng! Di
tanya baik-baik malah marah.”
“Kayak tidak tahu wataknya
saja, sudah ayo,” timpal istrinya.
****
Setelah melewati jerambah,
Kuswanoto segera menghentikan dan menyembunyikan motor, sewaktu melihat Pak RT
baru saja ke luar dari rumah Sri.
“O wedos!” (O kambing!) umpatnya.
Kuswanoto terus
memperhatikan mereka dari balik rimbun ranting yang merendah.
“Yakin kamu tidak mau
periksa?” tanya Pak RT.
Sri menggeleng.
Bukan pembicaraan itu yang
membuat kumis Kuswanoto berdiri semua oleh gejolak marah, tetapi tangan Pak RT
yang masih saja berada di pundak Sri.
“Kamu harus hati-hati
dengan Kang Noto, janda mana yang tak pernah dia kangkangi, aku takut kamu
tertular penyakitnya.”
“Asu!” umpat Kuswanoto
lagi.
Terlihat Pak RT
mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku bajunya. “Ini, sekadar untuk jajan
Aji.”
Sri, menerimanya.
“Oalah Sri, lapo mbok
tompo,” (Oalah Sri, kenapa kamu terima,)
batinnya, seraya terus mengarahkan mata dari lebat dedaunan.
“Apa yang kamu harapkan
dari dia, aku sering mengatakan ini, dan kamu masih saja berhubungan
dengannya.”
“Diangkrek!” umpatnya,
jelas Kuswanoto mendengar siapa yang dimaksud.
“Sudahlah Sri, mulai saat
ini jangan kamu terima kalau dia datang menemuimu lagi, kalau begitu aku
pulang, semakin lama aku di sini semakin tak baik buat kita, lagi pula di rumah
mungkin para warga sudah berdatangan, aku pamit.”
Sri hanya mengangguk, dia
tak berani berucap sedikit pun, bahkan sewaktu Pak RT, menjelek-jelekkan
Kuswanoto.
Tak lama kemudian, Pak RT
berlalu melewati rimbun dedaunan, melewati Kuswanoto yang bersembunyi. “Lapo
enggak sido matek ha!” (Kenapa tak jadi
mampus ha!)
****
Dengan meninggalkan motor
di balik semak, Kuswanoto setengah berlari mengejar Sri yang nyaris menutup
pintu.
“Kang Noto!” Sri terkejut
sebab tak lama dari kepergian tamu rahasianya, Kuswanoto datang.
Tanpa diminta, Kuswanoto
langsung masuk secepatnya, pintu pun tertutup, setelah Sri memastikan kalau
kedatangan tamu kedua tak ada yang melihat.
Kuswanoto diam seraya
membelakangi Sri, bersedekap.
“Piro seng di wei, sampek
awakmublas enggak mbelani awakku.” (Berapa
yang dia kasih, sampai kamu sama sekali tak membela aku.)
“Kang?”
“Awakmu cinta enggak to
kambek awakku, ha!” (Kamu cinta tidak
denganku ha!)
“Kenapa Njenengan bertanya
begitu, kalau aku tak mencintai Njenengan mana mungkin aku menutup rapat
pintu.”
Kuswanoto membalikkan
badan.
“Mari diperiksa Pak Rete,
yo.” (Habis diperiksa oleh Pak RT, ya.)
Sri tertunduk.
“Piye rosone? Bungah?” (Bagaimana rasanya, bahagia?)
Sri mengusap matanya, ada
yang basah di ujung jari.
“Dibayar piro?” (Dibayar berapa?)
Ucapan terakhir justru
membuat Sri, terisak, tubuhnya berguncang, terlalu menyakitkan terdengar.
“Aku pancen enggak duwe
duwek, enggak iso aweh seokeh dek ‘e.” (Aku
memang tak punya uang, tidak bisa kasih sebanyak dia memberimu.)
Sri langsung mengambur dan
memeluk Kuswanoto, menangis sesenggukan, seraya melempar uang itu ke tanah.
“Aku tak memintanya, Kang,
dia yang memberiku.”
“Halah!” Kuswanoto
mendorong tubuh Sri, hingga terlepas pelukan erat itu.
“Lapo enggak mbok racun ae
kae uwonge!” (Kenapa tidak kamu racun
saja itu orang!)
“Aku bisa apa, aku tak
berani menolak semua pemberiannya, aku membutuhkannya Kang, uang, beras! Aku
janda aku harus menghidupi Aji anakku, bantuan itu aku sangat membutuhkannya!”
“Yo owes, ogak usah aweh
opo-opo, lha wong bantuan iku yo hak-mu dadi rondo!” (Ya sudah, tidak usah memberi apa-apa, bantuan itu memang sudah menjadi
hak-mu sebagai janda!) bentak Kuswanoto menang sendiri, lalu meninggalkan
Sri, menuju kamar.
“Aku tak pernah menjual
tubuh untuk menghidupi anakku, itu aku lakukan karena aku tak berdaya
menghadapi semua tuntutan hidup, Kang.” Sri menyusul dari belakang, berdiri di
tepi tempat tidur.
Satu persatu dia melepas
pakaian yang dikenakan.
“Lakukanlah, aku tak
meminta sepeser uang dari Njenengan.”
Kuswanoto yang tadi
tengkurap, membalikkan badan, dilihatnya sri sudah menanggalkan semua pakaian.
“Aku sangat mencintai
Njenengan Kang, tetapi aku tahu, aku telah merebut ini semua dari Yu Warsinah,”
ucap Sri, matanya masih basah oleh ucapan Kuswanoto.
“Kita bukan orang suci,
aku bahkan benci harus mencintai Njenengan, aku benci diriku sendiri! Aku benci
perasaan ini Kang!” Sri menutup matanya menahan agar tangis tak semakin pecah.
“Apalagi yang Njenengan
tunggu! Bukankah Njenengan datang hanya ingin melepaskan hasrat, hanya itu
‘kan! Iya ‘kan! Njenengan tak tahu perasaan hati ini, tak tahu kesulitan hidup
menjanda!”
“Salah! Semua akan
terlihat salah di mata Panjenengan saat dia mendekatiku, membicarakan bantuan
atau bahkan memberi uang jajan kepada anakku!”
“Aku tak pernah mencintai
siapa pun, hanya Njenengan seorang! Mencintai suami orang! Hu hu hu.”
Kuswanoto terdiam,
mengembuskan napas panjang, ikut larut dengan isi hati Sri.
“Aku sudah mencari jalan
halal dengan menjadi babu di pasar! Itu belum cukup! Bahkan aku harus memasak
nasi bantuan untuk mengenyangkan perut kami berdua! Beras yang aku terima
karena kemurahan hatinya, peduli apa aku dengan bantuan pemerintah! Dia yang
mengusulkan namaku untuk mendapat bantuan, beras, jamban, uang, subsidi
listrik, semua datang dalam bungkus bantuan, apa iya aku harus membuang semua pemberian
itu!”
“Aku tak berdaya saat dia
memintanya, aku tak pernah menyebutkan jumlah saat dia memberiku uang! Hu hu
hu.”
Kuswanoto langsung
beranjak dan memeluk Sri.
“Sepurone Sri.” (Maafkan aku, Sri.)
“Awakku gur wedi kelangan
awakmu.” (Aku hanya takut kehilanganmu.)
“Aku juga takut, aku takut
benar-benar tak bisa melupakan Njenengan,” ucap Sri dalam sedu isak di dada
Kuswanoto.
“Wes enggak usah nangis.” (Sudah tidak usah menangis lagi.)
Kuswanoto mengangkat dagu
Sri, mata keduanya beradu, Kuswanoto mengusap pipi mulus yang basah oleh linang
hangat, lembut membelai rambut, kemudian menundukkan wajah.
Cup!
Lalu semua sepi, tak ada
lagi pembicaraan yang terdengar, sementara di tanah, pakaian mereka sudah
saling tindih, seiring derit tempat tidur yang menjerit, bercampur gemeresik
dedaunan di seberang jendela, saat ‘pemeriksaan kesehatan’ itu terjadi di atas
tempat tidur, bermodalkan sebatang jarum suntik.
No comments:
Post a Comment