CERKAK DAHURU SEDO BAB 7
BAB 7
“La ini … ini contoh yang
tidak baik, sesuatu itu harus di pastikan dulu kebenarannya to Kang? bila semua
sudah jelas dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya barulah disampaikan.
Jangan menyebarkan berita bohong yang hanya membuat gaduh warga.”
“Kalau tahu ada orang
kecelakaan kenapa Kang Noto tak menolongnya, memastikan siapa dan dari mana,
syukur-syukur kita memberi pertolongan, bukan malah main tebak-tebak,
berspekulasi tanpa bukti.”
“Ini baru sebatas dusun
kecil, belum-belum sudah buat status saya meninggal, iya to?”
Kuswanoto menggeleng.
“Lha ini apa?” Pak RT
menunjukkan status layar HP.
Kali ini Kuswanoto
mengangguk.
“Huuuuuuuu.”
“Wong awakku enggak weroh,
lha motore podo, heleme, jakete.” (Saya
tidak tahu, sebab motornya sama, helm-nya, jaketnya.)
“Kalau sama bukan berarti
itu saya Kang.”
“O … diangkrek! Titenono
ngko yo,” (O … sialan! Tunggu nanti ya,)
batin Kuswanoto mengumpat, dipermalukan seperti ini.
“Sudah … sudah, semua
hanya kesalahpahaman saja, kita ambil hikmah dari kejadian ini, besok-besok
dipastikan dulu kebenarannya, bahkan saya sendiri sampai meyakini kalau
kejadian ini benar-benar terjadi, saya minta maaf Pak RT” ucap Ustaz Sopyan,
lalu dibalas senyum dan anggukan dari Pak RT.
“Awakku ki bener, kene lo
kerepe ngurusi kabeh keperluan, ben enggak dadakan nek onok wong seng matek,” (Saya ini sudah benar, bermaksud mengurusi
semua keperluan biar tidak mendadak kalau ada orang meninggal,) bela
Kuswanoto.
“Benarnya di mana? Kok
masih ngeyel saja Njenengan ini.”
“Untuk memastikan
seseorang meninggal itu bukan tugas kang Noto, itu tugas paramedis, dokter,
pihak rumah sakit, kabar itu langsung ditujukan kepada keluarga korban, jadi
kang Noto tidak boleh menyampulkan sendiri seperti ini.” Semua terdiam saat Pak
RT berbicara.
“Salah meneh,” (Salah lagi,) kata Kuswanoto.
“Tidak salah Kang, saya
justru berterima kasih kalau ada warga yang punya kesadaran dan empati kalau
ada teman atau tetangga kita yang meninggal, ya guyup rukun dan saking bantu
seperti selama ini kita lakukan dui dusun kita.”
“Tetapi … memutuskan hal
yang bukan wewenang kita, itu salah,” tambah Pak RT.
“Lha Njenengan saya tak
melihat, tidak memastikan, cuma mendengar saja, tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya, ini namanya hoax Kang? Gara-gara kabar kematian hanya menjadikan
dahuru, kekacauan!”
“Pun andai Njenengan
melihatnya langsung, atau bahkan menolongnya, hanya kabar kecelakaan yang
Njenengan boleh sampaikan, masalah meninggal atau tidak perlu tidak medis lebih
lanjut Kang.”
“Pak RT!” ucap salah satu
warga mengangkat telunjuk.
“Ya.”
“Masalah kuburan yang
sudah telanjur digali, bagaimana?”
“Untuk mengubur Kang Noto
saja,” sambar Samamudin.
“Tak tuapok sendal
cuangkemu!” (Saya tabok sendal mulutmu!) Kuswanoto
seketika meradang.
“Sudah … sudah, tidak
apa-apa, tolong ditimbun kembali, biar tidak mencelakakan orang lain atau jadi
penampungan air sewaktu ada hujan.” Saran Ustaz Sopyan.
“Huuuuuu.”
“Kalau saya tidak usah
ditimbun, biar itu untuk kuburan Kang Noto saja, dia yang menyuruh orang gali,
gayanya sudah mengalahkan Pak RT saja, perintah-perintah!” celetuk yang lain.
“Itu kafan buat bungkus
Kang Noto, sekalian.”
“Sudah … sudah tidak usah
diperpanjang masalah ini, sekarang kalian lihat sendiri saya masih sehat
walafiat, yang sudah telanjur biarkan, tolong nanti ditimbun kembali galian
itu, kafan, keranda, serta alat-alat yang lain mohon segera dikembalikan ke
tempatnya.
“Biar Kang Noto saja yang
membereskannya Pak RT, sekali-kali, biar kapok, biar tidak sebarangan
menyebarkan berita bohong.”
“Setujuuuuu.”
“Lah! Yo diewangi to! (Yah! Ya dibantu!)
“Arep ngluku nganti ora
sido goro-goro Njenengan Kang … Kang.” (Mau
membajak sampai tidak jadi gara-gara Anda Kang … Kang.)
“Iyo, aku lo arep gawe
kandang, taker bubar kabeh piteke.” (Iya,
saya mau buat kandang, sampai-sampai bubar semua ayamnya.)
“Wes ayo do moleh, bubar,
bubar.” (Sudah ayo semua pulang, bubar,
bubar.)
“Iyo, anakku nganti tak
uncalno, krungu suoro ko speaker Mejid.” (Iya,
anakku sampai saya lempar, mendengar suara dari Masjid.)
“Huuuuuuu.”
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian
silakan pulang, beraktifitas seperti biasa, dan jangan lupa besok jam delapan
pagi kumpul di rumah saya, karena sekalian ada pembagian susuk bagi para
lansia, kalau tenda tidak usah dibongkar.”
“Wes ayo balek!” (Sudah ayo pulang!) Kuswanoto menarik
tangan Sri, yang dikira Warsinah.
“He! Mau buat masalah
lagi?” tegur Ustaz Sopyan.
“Ayo Mak balek! (Ayo Mak pulang!)
****
“Makanya to pak? Mbok ya
apa-apa itu di pastikan dulu to.” Suara Warsinah dari dapur.
“Crewet! Koyok bojone Pak
Rete ae!” (Cerewet! Sudah seperti Istri
Pak Rete saja!)
“Kalau dibilangin kok ajek
ngono.” (Kalau dinasihati tetap begitu.)
Warsinah meletakkan kopi di hadapan suaminya.
“Kalau sudah kejadian
begini, siapa yang malu coba, siapa?”
“Lah Crewet lah! Lapo
enggak matek tenan ae!” (Lah cerewet lah!
Kenapa tidak mampus benaran saja!)
“Huss! Kalau bicara itu
mbok ya hati-hati.”
“Aku ya ikut malu lo pak!
Malu!”
Suaminya tak menggubris,
meraih bungkus merah, mengambil sesuatu lalu disulut.
“Besok ikut pemeriksaan ya
pak?”
“Gah!” (Tidak mau!)
“Lo?”
“Ginio, opo seng kate
diprikso, awakku enggak edan kok kate diprikso!” (Kenapa, apanya yang mau diperiksa, saya tidak gila kok mau diperiksa!)
“Angel kalau bicara sama
Njenengan pak, angel, angel!”
“Sekalian besok aku mau
KB.”
“Budek opo kopoken
kupingmu, pemeriksaan tok, duk nggon KB!” (Tuli
apa congek kupingmu, pemeriksaan saja, bukan tempat KB!)
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment