Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

CERKAK DAHURU SEDO BAB 7

 BAB 7

“La ini … ini contoh yang tidak baik, sesuatu itu harus di pastikan dulu kebenarannya to Kang? bila semua sudah jelas dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya barulah disampaikan. Jangan menyebarkan berita bohong yang hanya membuat gaduh warga.”

“Kalau tahu ada orang kecelakaan kenapa Kang Noto tak menolongnya, memastikan siapa dan dari mana, syukur-syukur kita memberi pertolongan, bukan malah main tebak-tebak, berspekulasi tanpa bukti.”

“Ini baru sebatas dusun kecil, belum-belum sudah buat status saya meninggal, iya to?”

Kuswanoto menggeleng.

“Lha ini apa?” Pak RT menunjukkan status layar HP.

Kali ini Kuswanoto mengangguk.

“Huuuuuuuu.”

“Wong awakku enggak weroh, lha motore podo, heleme, jakete.” (Saya tidak tahu, sebab motornya sama, helm-nya, jaketnya.)

“Kalau sama bukan berarti itu saya Kang.”

“O … diangkrek! Titenono ngko yo,” (O … sialan! Tunggu nanti ya,) batin Kuswanoto mengumpat, dipermalukan seperti ini.

“Sudah … sudah, semua hanya kesalahpahaman saja, kita ambil hikmah dari kejadian ini, besok-besok dipastikan dulu kebenarannya, bahkan saya sendiri sampai meyakini kalau kejadian ini benar-benar terjadi, saya minta maaf Pak RT” ucap Ustaz Sopyan, lalu dibalas senyum dan anggukan dari Pak RT.

“Awakku ki bener, kene lo kerepe ngurusi kabeh keperluan, ben enggak dadakan nek onok wong seng matek,” (Saya ini sudah benar, bermaksud mengurusi semua keperluan biar tidak mendadak kalau ada orang meninggal,) bela Kuswanoto.

“Benarnya di mana? Kok masih ngeyel saja Njenengan ini.”

“Untuk memastikan seseorang meninggal itu bukan tugas kang Noto, itu tugas paramedis, dokter, pihak rumah sakit, kabar itu langsung ditujukan kepada keluarga korban, jadi kang Noto tidak boleh menyampulkan sendiri seperti ini.” Semua terdiam saat Pak RT berbicara.

“Salah meneh,” (Salah lagi,) kata Kuswanoto.

“Tidak salah Kang, saya justru berterima kasih kalau ada warga yang punya kesadaran dan empati kalau ada teman atau tetangga kita yang meninggal, ya guyup rukun dan saking bantu seperti selama ini kita lakukan dui dusun kita.”

“Tetapi … memutuskan hal yang bukan wewenang kita, itu salah,” tambah Pak RT.

“Lha Njenengan saya tak melihat, tidak memastikan, cuma mendengar saja, tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, ini namanya hoax Kang? Gara-gara kabar kematian hanya menjadikan dahuru, kekacauan!”

“Pun andai Njenengan melihatnya langsung, atau bahkan menolongnya, hanya kabar kecelakaan yang Njenengan boleh sampaikan, masalah meninggal atau tidak perlu tidak medis lebih lanjut Kang.”

“Pak RT!” ucap salah satu warga mengangkat telunjuk.

“Ya.”

“Masalah kuburan yang sudah telanjur digali, bagaimana?”

“Untuk mengubur Kang Noto saja,” sambar Samamudin.

“Tak tuapok sendal cuangkemu!” (Saya tabok sendal mulutmu!) Kuswanoto seketika meradang.

“Sudah … sudah, tidak apa-apa, tolong ditimbun kembali, biar tidak mencelakakan orang lain atau jadi penampungan air sewaktu ada hujan.” Saran Ustaz Sopyan.

“Huuuuuu.”

“Kalau saya tidak usah ditimbun, biar itu untuk kuburan Kang Noto saja, dia yang menyuruh orang gali, gayanya sudah mengalahkan Pak RT saja, perintah-perintah!” celetuk yang lain.

“Itu kafan buat bungkus Kang Noto, sekalian.”

“Sudah … sudah tidak usah diperpanjang masalah ini, sekarang kalian lihat sendiri saya masih sehat walafiat, yang sudah telanjur biarkan, tolong nanti ditimbun kembali galian itu, kafan, keranda, serta alat-alat yang lain mohon segera dikembalikan ke tempatnya.

“Biar Kang Noto saja yang membereskannya Pak RT, sekali-kali, biar kapok, biar tidak sebarangan menyebarkan berita bohong.”

“Setujuuuuu.”

“Lah! Yo diewangi to! (Yah! Ya dibantu!)

“Arep ngluku nganti ora sido goro-goro Njenengan Kang … Kang.” (Mau membajak sampai tidak jadi gara-gara Anda Kang … Kang.)

“Iyo, aku lo arep gawe kandang, taker bubar kabeh piteke.” (Iya, saya mau buat kandang, sampai-sampai bubar semua ayamnya.)

“Wes ayo do moleh, bubar, bubar.” (Sudah ayo semua pulang, bubar, bubar.)

“Iyo, anakku nganti tak uncalno, krungu suoro ko speaker Mejid.” (Iya, anakku sampai saya lempar, mendengar suara dari Masjid.)

“Huuuuuuu.”

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian silakan pulang, beraktifitas seperti biasa, dan jangan lupa besok jam delapan pagi kumpul di rumah saya, karena sekalian ada pembagian susuk bagi para lansia, kalau tenda tidak usah dibongkar.”

“Wes ayo balek!” (Sudah ayo pulang!) Kuswanoto menarik tangan Sri, yang dikira Warsinah.

“He! Mau buat masalah lagi?” tegur Ustaz Sopyan.

“Ayo Mak balek! (Ayo Mak pulang!)

****

“Makanya to pak? Mbok ya apa-apa itu di pastikan dulu to.” Suara Warsinah dari dapur.

“Crewet! Koyok bojone Pak Rete ae!” (Cerewet! Sudah seperti Istri Pak Rete saja!)

“Kalau dibilangin kok ajek ngono.” (Kalau dinasihati tetap begitu.) Warsinah meletakkan kopi di hadapan suaminya.

“Kalau sudah kejadian begini, siapa yang malu coba, siapa?”

“Lah Crewet lah! Lapo enggak matek tenan ae!” (Lah cerewet lah! Kenapa tidak mampus benaran saja!)

“Huss! Kalau bicara itu mbok ya hati-hati.”

“Aku ya ikut malu lo pak! Malu!”

Suaminya tak menggubris, meraih bungkus merah, mengambil sesuatu lalu disulut.

“Besok ikut pemeriksaan ya pak?”

“Gah!” (Tidak mau!)

“Lo?”

“Ginio, opo seng kate diprikso, awakku enggak edan kok kate diprikso!” (Kenapa, apanya yang mau diperiksa, saya tidak gila kok mau diperiksa!)

“Angel kalau bicara sama Njenengan pak, angel, angel!”

“Sekalian besok aku mau KB.”

“Budek opo kopoken kupingmu, pemeriksaan tok, duk nggon KB!” (Tuli apa congek kupingmu, pemeriksaan saja, bukan tempat KB!)


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search