CERKAK DAHURU SEDO BAB 6
BAB 6
Setelah sekian lama
menunggu akhirnya, sebuah mobil ambulans perlahan berhenti di ujung halaman,
semua warga berlarian untuk menyambut jenazah Ketua RT mereka, berkerumun
dengan tatap ingin tahu.
“Mundur! Mundur! Koyok gak
tau roh mobil ae! Mundur!” (Mundur!
Mundur! Seperti tidak pernah melihat mobil saja! Mundur!) halau Kuswanoto
seiring puluhan kaki melangkah mundur. Bak pahlawan dia berjalan menghampiri
sang sopir.
“Langsung ae di dukno,
kabeh wes siap,” (Langsung saja
diturunkan, semua sudah siap,) ujarnya kepada sang sopir, yang diajak
bicara justru memandang teman di sebelahnya.
“Ngenteni opo!” (Tunggu apa!)
“Ngomong boso Indonesia
Kang, gak roh menowo,” (Bicara Bahasa
Indonesia Kang, tidak tahu mungkin,) ucap lelaki di belakang Kuswanoto.
“Turunkan saja mayatnya,”
lanjut Kuswanoto.
“Mayat?” Sopir itu
mengerutkan dahi.
“Mayat Pak Rete,” balas
Kuswanoto.
Sopir ambulans turun,
“Memang ini ada apa?”
Kuswanoto menoleh ke
belakang, dia sendiri malah dibuat bingung dengan pertanyaan itu.
“Nggowo mayite Pak Rete
to?” (Bawa mayatnya Pak RT ‘kan?)
“Mayat apa? Kami tak bawa
mayat? Kami mau ke rumah bapak Agus Suntoro, apa betul ini tempatnya?”
Samamudin lalu maju
mendekati Kuswanoto.
“Bapak dari mana?”
“Kami dari Rumah Sakit,”
balas sopir.
“Kami mau mengantar
peralatan medis, sebab besok akan diadakan tes kesehatan massal di rumah bapak
Agus.”
“Tetapi kami tengah
berduka, Pak Agus sudah meninggal tadi pagi.”
“Bukan begitu to Kang?”
lanjut Samamudin menoleh ke arah Kuswanoto.
“Iyo, bener pak, Pak Rete
wes sedo, lha iki jek do ngenteni mayite.” (Iya,
benar pak, Pak Rete sudah meninggal, la ini masih menunggu mayatnya datang.)
“Ini bicara apa kalian?”
Kuswanoto menoleh
Samamudin yang juga menatapnya.
Tit! Tit! Tit!
Sebuah motor bebek
terlihat dari sisi ambulans, mengenakan helm, berjaket lengkap dengan sepatu hitam.
Sejenak suasana senyap,
semua terdiam saat lelaki itu membuka helm, dan itu adalah.
“Pak RT,” ucap semuanya,
nyaris berbarengan.
“Lho,” ucap Kuswanoto tak
percaya melihat Pak RT turun dari motor.
“Ini ada apa rame-rame di
rumah saya hah, pasang tenda, bendera kuning? Siapa yang meninggal?”
Taka lama kemudian istri
Pak RT lari mengambur, lalu memeluknya.
“Ada apa ini Bu ’ne?”
“Bapak tidak apa-apa?”
Sang istri balik bertanya.
Ustaz Sopyan datang, “Asalamualaikum, Ustaz.”
“Waalaikumsalam,” jawab
Ustaz Sopyan.
“Apa yang terjadi ini
Ustaz, kenapa semua warga berkumpul?”
“Sebaiknya kita bicarakan
ini di dalam,” balas Ustaz Sopyan.
Semua bergerak memberi
jalan bagi Pak RT, sementara dua orang yang mengendarai ambulans mengekor di
belakang.
Sejuta tanya di kepala
semua yang hadir, kebenaran cerita sangat di harap atas kesalahpahaman ini.
“Untuk apa semua ini,
kenapa ada kafan?” Pak RT terheran begitu sampai di ruang tengah.
“Tolong jelaskan kepada
saya ada apa ini, Ustaz?”
Ustaz Sopyan menggerakkan
tangan, pertanda Pak RT untuk sejenak tenang.
Baik yang ada di depan
maupun belakang, semua berdiri menyambut kedatangan Pak RT, mendesak merapat
untuk mendengar penjelasan.
Gaduh oleh duga terdengar.
“Yu, singkirkan semua
benda ini,” ucap Ustaz Sopyan.
“Yang lain tenang, mohon
tenang!”
“Kita dengar dulu apa yang
sebenarnya terjadi,” imbuh Ustaz Sopyan.
****
“Begini Pak RT, saya
mendapat kabar dari Lek Saimun, meminta saya untuk menyampaikan kabar duka atas
meninggalnya Pak RT.” Ustaz Sopyan mengawali pembicaraan atas masalah yang
membuat geger warga dusun.
“Yang bilang saya
meninggal siapa?”
Semua mata menatap
Kuswanoto yang duduk tertunduk, malu.
“Siapa?” ulang Pak RT.
“Kang Noto, Pak RT.”
Samamudin bersuara.
“Ha ha ha, kok kalian ini
ada-ada saja, kalian lihat aku masih segar bugar.”
“Aku telepon ke HP bapak,
kok ya tidak diangkat to pak?” tanya Istri Pak RT.
“La Bu ‘ne tahu Bapak
buru-buru, jadi HP bapak ini drop, sewaktu di perjalanan, sementara rapat,
bapak menumpang cas HP di ruangan teman bapak,” beber Pak RT, memberikan alasan
untuk HP yang tak bisa dihubungi.
Kemudian dia mengeluarkan
HP dari saku baju, dan menyalakannya.
Astagfirullah!” pekiknya
setelah mengetahui begitu banyak panggilan masuk.
Beralih ke Whatsapp.
“Astagfirullah!” Sama,
begitu banyak pesan masuk.
Lalu memandang Kuswanoto
yang masih tertunduk bak harimau yang kehilangan taring.
“Saya minta maaf kepada
semua warga, saya sendiri tak tahu pasti apa yang terjadi.” Ustaz Sopyan
melanjutkan bicara.
“Karena saya pikir kabar
duka, kematian adalah hal yang serius, bukan untuk candaan atau main-main, maka
saya menanggapinya dengan serius pula.”
“Setelahnya … saya
langsung umumkan di Masjid, kalau Pak RT, meninggal,” sambungnya seraya
menghadap Pak RT.
“Perlu bapak-bapak dan
ibu-ibu sekalian ketahui, bahwa saya ada rapat hari ini di kabupaten, mengenai
untuk kegiatan besok di dusun kita ini, yaitu pemeriksaan kesehatan gratis,
semua bisa berpartisipasi, bisa cek kolesterol. asam urat, serta
keluhan-keluhan lain yang dirasa oleh semua warga, silakan … silakan datang
besok di rumah saya, padahal saya ingin sampaikan dengan mendatangi semua warga
satu persatu, sekalian menanyakan keluhan yang di alami, tetapi … ya sudahlah,
saya harus mengatakan ini di sini,” jabarnya panjang lebar.
“Nah, sekarang coba Kang
Noto ceritakan bagaimana awal mula hingga menyebabkan semua ini, informasi dari
mana kalau saya meninggal?” tanya Pak RT.
Semua mata bergerak
menatap Kuswanoto.
“Lha yo tenan to sampean
tumburan.” (Ya benar ‘kan Anda tabrakan.)
“Yang bilang saya kecelakaan
siapa?”
“Yo awakku,” (Ya saya sendiri,) jawab Kuswanoto.
“Lha kok bisa?
“Yo ncen ngono kok.” (Ya memang begitu.)
“Tidak lo, Njenengan kok
bisa menyimpulkan saya kecelakaan lalu meninggal itu dari siapa?” cecar Pak RT.
Kuswanoto diam, kursi yang
dia duduki tak ubah kursi pesakitan, seakan menjadi terdakwa kasus korupsi uang
bantuan sosial.
“Ngomong Kang! Ngomong!”
seru Samamudin.
“Sudah-sudah, kita dengar
dulu penjelasan Kang Noto,” bela Ustaz Sopyan.
“La ‘kan sampean tadi
tumburan to?” (La Anda tadi tabrakan
‘kan?)
“Ealah Kang Noto, saya
bertanya, Njenengan itu kok bisa menyimpulkan saya kecelakaan lalu meninggal
itu dari mana asalnya?”
“Awaku krungu dewe kalau
Sampean tumburan,” (Saya dengar sendiri
kalau Anda tabrakan,) jawab Kuswanoto.
“Mendengar?”
“Hok oh, ncen ngono kok.” (Iya, memang begitu kok.)
“Ha ha ha, di mana? Dari
siapa?” kejar Pak RT.
“Kang Noto melihat sendiri
kejadiannya?”
Kuswanoto menggeleng.
“Huuuuuuuuu.” Sontak semua
memoncongkan mulut.
“Lha Sampean mau isuk seng
lewat to?” (La Anda tadi pagi yang lewat
‘kan?) Kuswanoto balik bertanya.
“Pas awakku ngisi bengsin
neng warunge Wakijo, pingger embong enggak adoh ko kantor deso.” (Sewaktu saya mengisi bensin di warungnya
Wakijo, pinggir jalan tidak jauh dari kantor desa.)
“Jam berapa?”
“Isuk kate byar.” (Pagi menjelang terang.)
“Kang … Kang, saya
berangkat tadi jam empat, jarak kabupaten dengan dusun kita ini ‘kan jauh,
makanya saya kejar pagi sekali berangkat, sekalian saya mau menghampiri kawan
yang juga ikut dalam rapat di aula bupati.”
“Lha terus sopo seng
tumburan?” (La terus siapa yang
tabrakan?)
“Ha ha ha ha.” Gelak tawa
terdengar, geli hati melihat wajah Kuswanoto yang mulai pucat didudukkan bak
persidangan.
No comments:
Post a Comment