CERKAK DAHURU SEDO BAB 5
BAB 5
“... Ngono ceritone.” (...
Begitu ceritanya.)
Sri, yang sedari tadi sudah
tak kuasa menahan kesedihannya, menangis dalam isak.
“Inalilahi
wainailahirojiun,” gumamnya lirih.
“Ini yang Njenengan bilang
kabar baik?”
“Yo apik to, wes gak onok
maneh uwong seng wani marani awaku kajobo awakku, rak ngono to.” (Ya bagus, sudah tak ada lagi orang yang
berani mendatangimu kecuali aku, bukannya begitu.)
“Kang! Sampai hati
Njenengan, bagaiamana pun Pak RT itu orang baik!”
“Apik he! Apik opone! Gur
nyrimpeti dalanku moro nekani awakmu!” (Bagus
he! Bagus apanya, hanya menjadi sandungan jalanku mendatangi kamu!)
Sri, mengusap sudut mata yang
sudah berlinang.
“Ayo tak terno mrono.” (Ayo ku antar ke sana.)
“Pak RT, sudah banyak
membantuku ....”
“Halah! Gur bantuan beras
ae mbok gedek-gedekno.” (Halah! Cuma
bantuan beras saja kamu besar-besarkan.)
“Seng tak wehi seprono
seprene gak mbok gagas ta,” (yang saya kasih selama ini tak kamu pikirkan apa,)
Kuswanoto beranjak, melempar gulungan sarung dan melemparnya ke atas kasur.
“Jujur ae, awakku seneng
nek Rete iko matek ndisek, kelewat mangkel awakku nek ngeling-ngeling marani
awakmu.” (Jujur saja, aku senang kalau
Pak RT itu meninggal lebih dulu, terlalu kesal aku kalau mengingat-ingat
mendatangi kamu.)
Srek.
Seleting celana dia tarik,
lalu menyambar batik cokelat.
“Awakmu yo ngono ngisan.” (Kamu ya begitu juga.)
“Jek ae nompo Rete iko,
iyo to?” (Masih saja menerima Pak RT itu,
iya ‘kan?)
“Kang! Dia datang kalau
ada perlu! Tak lebih ....”
“Opo! Alesaan oleh
bantuan, terus mbok olehno melebu neng kamar iki yo’an! Iyo!” (Apa! Alasan mendapatkan bantuan, terus kamu ijinkan masuk ke kamar
ini juga, iya!) Kuswanoto mulai meradang bila mengingat kejadian dulu. Baca Cerkak: Warsinah
“Kate omong opo neh ha?” (Mau bicara apalagi ha?)
Sri tak bisa
menyangkalnya, bukan dari pengakuan Kuswanoto saja yang tak senang dengan Pak
RT, bahkan Ketua RT itu juga menyatakan hal yang sama kepadanya, kalau dia tak
suka saat Kuswanoto mendatangi rumah ini.
Terjebak di antara dua
orang, membuat Sri, tak bisa memungkiri itu, Pak RT dengan segala iming-iming
bantuan dari pemerintah, dengan senang hati Sri mengiyakan saat dia harus
membayar dengan molek tubuhnya. Kuswanoto yang datang hanya modal ‘gantungan
kunci’ saja, tetapi entah mengapa, dia merasa damai saat di dekatnya, dekapnya
begitu hangat.
Sri sendiri ingin
menghentikan semua ini, dia sadar, hanya menjadi api bagi dua keluarga.
“Lapo meneng.” (Kenapa diam.)
Kuswanoto berdiri di
hadapan, lalu meraih tangan Sri.
“Sri, tresnoku kambek
awakmu gede, masio rondo, awakku yo cemburu, nek awakmu nglebokno wong lanang
liyo neng kamar iki. Kate tak rabi awakmu yo wegah.” (Sri, cintaku kepadamu itu besar, walaupun kamu janda, aku juga cemburu
kalau kamu memasukkan lelaki lain di kamar ini. Mau aku nikahi kamu yang tidak
mau.)
“Wes lah lapo mbok
sedihno.” (Sudahlah kenapa terus bersedih.)
Cup!
Sebuah kecup mendarat di
kening Sri, tangan Kuswanoto mengusap sisa linang di sudut mata.
“Mantep, wes gak bakal
onok meneh seng wani nyedaki awakmu, gur awakku tok seng nduweni, ha ha ha,” (Mantap, sudah tak ada lagi yang berani
mendekati kamu, cuma aku saja yang memilikimu ha ha ha,) batinnya, diakhiri tawa
kemenangan.
“Ayo, iki wektune dewe
nggo ngeterno dekne mangkat neng nggon turon selawase.” (Ayo, ini waktunya kita mengantarnya berangkat menuju peraduan
terakhir.) Terdengar pelan, tetapi terdengar menyedihkan, membuat Sri,membenamkan wajah di perut
Kuswanoto, melepaskan tangis, sementara rambutnya terus di belai suami
Warsinah, meski dirinya juga sering menempati posisi sebagai istri secara
diam-diam.
****
“Aku turun di sini saja
Kang, tidak enak kalau dilihat banyak orang nanti.” Seketika motor diperlambat,
Sri turun dengan kerudung hitam.
“Tak ndisek yo, roh
Mbakyu-mu dade gawe ngko.” (Ketahuan
Mbakyu-mu jadi masalah nanti.)
Sri mengangguk.
****
“Dari mana saja Njenengan
Kang?” tanya Samamudin.
“Lapo!” (Kenapa!)
Para pelayat sebagian
terlihat gelisah, matahari mulai terik, tetapi belum juga ada tanda-tanda
jenazah Ketua RT datang.
“Ya ini bagaimana?”
“Kepiye apane, garek
ngenteni mobil ambulan teko, ngono ae kok gopoh!” (Bagaimana apanya, tinggal menunggu mobil ambulans datang, begitu saja
panik!) ucapnya lalu mengempaskan bokong di kursi.
“Yo! Mukiyo! Wes rampung
gung wong seng neng kuburan!” (Yo,
Mukiyo! Sudah selesai belum orang gali kuburan.)
“Sudah Kang, Lasiman baru
saja we’a.”
Segera Kuswanoto masuk,
setelah tadi melihat Sri yang lebih dulu.
“Wes siap kabeh.” (Sudah siap semua.)
“Sampun Kang,” (Sudah Kang,) jawab perempuan yang
duduk, di hadapannya kapas untuk penutup setiap sendi mayat terlihat telah siap
di atas nampan, menyeruak aroma kapur barus dari yang sudah digerus dan ditaburi
atasnya.
Sementara itu di dalam
kamar.
“Bagaimana?” tanya
warsinah.
Istri Pak RT menggeleng.
“Tidak aktif,” jawabnya
seraya meletakkan HP, isaknya masih terdengar, dalam sandar ranjang tempat
tidur.
“Wes to Yu, enggak usah
terus ditangisi, tinggal ngenteni mobil teko,” (Sudah Yu, tidak usah terus menangis, tingal menunggu mobil datang,)
kata Kuswanoto dari ambang pintu.
Warsinah beranjak lalu
menarik tangan suaminya.
“Lha terus kapan?”
“Yo mboh,” jawab
Kuswanoto.
“Piye to pak!” (Bagaimana sih pak!)
“Piye opone?” (Bagaimana apanya?) Kuswanoto balik
tanya.
“Ini sudah siang, kok
belum di antar juga jenazahnya.”
“Kok takok awakku? Emange awakku seng
mutusno.” (Kok tanya aku, memangnya aku yang memutuskan.)
“Ya coba cari tahu sana.”
Warsinah lalu kembali ke kamar.
****
Semua sudah siap, kafan,
pemandian, nisan, keranda, ronce bunga, menyisakan obrolan akan meninggalnya
Ketua RT mereka yang begitu mendadak, berbagai terka mulai terdengar, mulai
dari rem blong, menabrak anjing, sampai tabrakan adu kambing.
“HP-nya juga tidak bisa
dihubungi,” bisik salah satu warga.
“Wah, aku tak membayangkan
kalau Pak RT nanti bakal digantikan oleh siapa, apa iya bisa mengayomi warga
dengan adil.”
“Mana ada yang
berpendidikan di sini, cuma Pak RT yang terlihat pintar, lincah dalam mengurusi
segala keperluan warga.”
****
“Apa tidak sebaiknya ada
salah satu di antara kita menyusul saja ke Rumah Sakit,” usul salah satu lelaki
yang duduk di barisan depan kepada Kuswanoto.
“Kok gelemen, nek wes
wayae mosok yo gak diiterno mrene.” (Kok
mau-maunya, kalau sudah waktunya masak iya tidak diantar ke sini.)
No comments:
Post a Comment