Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DAHURU SEDO BAB 5

 

BAB 5

“... Ngono ceritone.” (... Begitu ceritanya.)

Sri, yang sedari tadi sudah tak kuasa menahan kesedihannya, menangis dalam isak.

“Inalilahi wainailahirojiun,” gumamnya lirih.

“Ini yang Njenengan bilang kabar baik?”

“Yo apik to, wes gak onok maneh uwong seng wani marani awaku kajobo awakku, rak ngono to.” (Ya bagus, sudah tak ada lagi orang yang berani mendatangimu kecuali aku, bukannya begitu.)

“Kang! Sampai hati Njenengan, bagaiamana pun Pak RT itu orang baik!”

“Apik he! Apik opone! Gur nyrimpeti dalanku moro nekani awakmu!” (Bagus he! Bagus apanya, hanya menjadi sandungan jalanku mendatangi kamu!)

Sri, mengusap sudut mata yang sudah berlinang.

“Ayo tak terno mrono.” (Ayo ku antar ke sana.)

“Pak RT, sudah banyak membantuku ....”

“Halah! Gur bantuan beras ae mbok gedek-gedekno.” (Halah! Cuma bantuan beras saja kamu besar-besarkan.)

“Seng tak wehi seprono seprene gak mbok gagas ta,” (yang saya kasih selama ini tak kamu pikirkan apa,) Kuswanoto beranjak, melempar gulungan sarung dan melemparnya ke atas kasur.

“Jujur ae, awakku seneng nek Rete iko matek ndisek, kelewat mangkel awakku nek ngeling-ngeling marani awakmu.” (Jujur saja, aku senang kalau Pak RT itu meninggal lebih dulu, terlalu kesal aku kalau mengingat-ingat mendatangi kamu.)

Srek.

Seleting celana dia tarik, lalu menyambar batik cokelat.

“Awakmu yo ngono ngisan.” (Kamu ya begitu juga.)

“Jek ae nompo Rete iko, iyo to?” (Masih saja menerima Pak RT itu, iya ‘kan?)

“Kang! Dia datang kalau ada perlu! Tak lebih ....”

“Opo! Alesaan oleh bantuan, terus mbok olehno melebu neng kamar iki yo’an! Iyo!” (Apa! Alasan mendapatkan bantuan, terus kamu ijinkan masuk ke kamar ini juga, iya!) Kuswanoto mulai meradang bila mengingat kejadian dulu. Baca Cerkak: Warsinah

“Kate omong opo neh ha?” (Mau bicara apalagi ha?)

Sri tak bisa menyangkalnya, bukan dari pengakuan Kuswanoto saja yang tak senang dengan Pak RT, bahkan Ketua RT itu juga menyatakan hal yang sama kepadanya, kalau dia tak suka saat Kuswanoto mendatangi rumah ini.

Terjebak di antara dua orang, membuat Sri, tak bisa memungkiri itu, Pak RT dengan segala iming-iming bantuan dari pemerintah, dengan senang hati Sri mengiyakan saat dia harus membayar dengan molek tubuhnya. Kuswanoto yang datang hanya modal ‘gantungan kunci’ saja, tetapi entah mengapa, dia merasa damai saat di dekatnya, dekapnya begitu hangat.

Sri sendiri ingin menghentikan semua ini, dia sadar, hanya menjadi api bagi dua keluarga.

“Lapo meneng.” (Kenapa diam.)

Kuswanoto berdiri di hadapan, lalu meraih tangan Sri.

“Sri, tresnoku kambek awakmu gede, masio rondo, awakku yo cemburu, nek awakmu nglebokno wong lanang liyo neng kamar iki. Kate tak rabi awakmu yo wegah.” (Sri, cintaku kepadamu itu besar, walaupun kamu janda, aku juga cemburu kalau kamu memasukkan lelaki lain di kamar ini. Mau aku nikahi kamu yang tidak mau.)

“Wes lah lapo mbok sedihno.” (Sudahlah kenapa terus bersedih.)

Cup!

Sebuah kecup mendarat di kening Sri, tangan Kuswanoto mengusap sisa linang di sudut mata.

“Mantep, wes gak bakal onok meneh seng wani nyedaki awakmu, gur awakku tok seng nduweni, ha ha ha,” (Mantap, sudah tak ada lagi yang berani mendekati kamu, cuma aku saja yang memilikimu ha ha ha,) batinnya, diakhiri tawa kemenangan.

“Ayo, iki wektune dewe nggo ngeterno dekne mangkat neng nggon turon selawase.” (Ayo, ini waktunya kita mengantarnya berangkat menuju peraduan terakhir.) Terdengar pelan, tetapi terdengar menyedihkan, membuat Sri,membenamkan wajah di perut Kuswanoto, melepaskan tangis, sementara rambutnya terus di belai suami Warsinah, meski dirinya juga sering menempati posisi sebagai istri secara diam-diam.

****

“Aku turun di sini saja Kang, tidak enak kalau dilihat banyak orang nanti.” Seketika motor diperlambat, Sri turun dengan kerudung hitam.

“Tak ndisek yo, roh Mbakyu-mu dade gawe ngko.” (Ketahuan Mbakyu-mu jadi masalah nanti.)

Sri mengangguk.

****

“Dari mana saja Njenengan Kang?” tanya Samamudin.

“Lapo!” (Kenapa!)

Para pelayat sebagian terlihat gelisah, matahari mulai terik, tetapi belum juga ada tanda-tanda jenazah Ketua RT datang.

“Ya ini bagaimana?”

“Kepiye apane, garek ngenteni mobil ambulan teko, ngono ae kok gopoh!” (Bagaimana apanya, tinggal menunggu mobil ambulans datang, begitu saja panik!) ucapnya lalu mengempaskan bokong di kursi.

“Yo! Mukiyo! Wes rampung gung wong seng neng kuburan!” (Yo, Mukiyo! Sudah selesai belum orang gali kuburan.)

“Sudah Kang, Lasiman baru saja we’a.”

Segera Kuswanoto masuk, setelah tadi melihat Sri yang lebih dulu.

“Wes siap kabeh.” (Sudah siap semua.)

“Sampun Kang,” (Sudah Kang,) jawab perempuan yang duduk, di hadapannya kapas untuk penutup setiap sendi mayat terlihat telah siap di atas nampan, menyeruak aroma kapur barus dari yang sudah digerus dan ditaburi atasnya.

Sementara itu di dalam kamar.

“Bagaimana?” tanya warsinah.

Istri Pak RT menggeleng.

“Tidak aktif,” jawabnya seraya meletakkan HP, isaknya masih terdengar, dalam sandar ranjang tempat tidur.

“Wes to Yu, enggak usah terus ditangisi, tinggal ngenteni mobil teko,” (Sudah Yu, tidak usah terus menangis, tingal menunggu mobil datang,) kata Kuswanoto dari ambang pintu.

Warsinah beranjak lalu menarik tangan suaminya.

“Lha terus kapan?”

“Yo mboh,” jawab Kuswanoto.

“Piye to pak!” (Bagaimana sih pak!)

“Piye opone?” (Bagaimana apanya?) Kuswanoto balik tanya.

“Ini sudah siang, kok belum di antar juga jenazahnya.”

“Kok takok awakku? Emange awakku seng mutusno.” (Kok tanya aku, memangnya aku yang memutuskan.)

“Ya coba cari tahu sana.” Warsinah lalu kembali ke kamar.

****

Semua sudah siap, kafan, pemandian, nisan, keranda, ronce bunga, menyisakan obrolan akan meninggalnya Ketua RT mereka yang begitu mendadak, berbagai terka mulai terdengar, mulai dari rem blong, menabrak anjing, sampai tabrakan adu kambing.

“HP-nya juga tidak bisa dihubungi,” bisik salah satu warga.

“Wah, aku tak membayangkan kalau Pak RT nanti bakal digantikan oleh siapa, apa iya bisa mengayomi warga dengan adil.”

“Mana ada yang berpendidikan di sini, cuma Pak RT yang terlihat pintar, lincah dalam mengurusi segala keperluan warga.”

****

“Apa tidak sebaiknya ada salah satu di antara kita menyusul saja ke Rumah Sakit,” usul salah satu lelaki yang duduk di barisan depan kepada Kuswanoto.

“Kok gelemen, nek wes wayae mosok yo gak diiterno mrene.” (Kok mau-maunya, kalau sudah waktunya masak iya tidak diantar ke sini.)


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search