CERKAK DAHURU SEDO BAB 4
BAB 4
“Mun! Simun! Rene.”
Kuswanoto melirik kanan dan kiri, saat Saimun datang menghampirinya.
“Nang apa maning?” (Kenapa
lagi?)
“Sri teko gurung, Mun.”
(Sri datang belum, Mun.)
“Lha kpriwe sih Kang, nang
mburi mbok?” (La bagaimana Kang, di belakang mungkin.)
“Enggak onok,” (Tidak
ada,) balas Kuswanoto setengah berbisik, sengaja dia tak mau percakapan ini
didengar oleh yang lain.
“Jal ngana telepon.” (Coba
ditelepon.)
“(Lah iyo, yo, kok enggak
kepikiran yo, kat mau kek.” (la iya ya, kok tidak terpikir ya, dari tadi kek.)
“Apa nyonge bae sing
nyusul mrana? (Apa saya saja yang menyusul ke sana?)
“Enggak usah! Ngrusak
tatanan tok awakmu!’ (Tidak usah! Merusak tatanan saja kamu.)
“Nyong gur nulunng, tukang
ngrusak jarku sih Rika koh.” (saya hanya menolong, yang tukang merusak ‘kan
Anda.)
“Tak jejeli sendal ko
cangkemmu!” (Saya sumpal sandal nanti mulutmu!)
“Aja kereng-kereng ambi
batire lah, ura wurunga ana repote njaluk tulung reng sapa jal.” (Jangan
galak-galak sama teman, tidak lain tidak bukan kalau ada repotnya minta tolong
sapa coba.)
“Ngono ae kok yo mureng to
Mun,” (Begitu saja kok marah Mun,) ucap Kuswanoto melemah.
“He, Kang.” Saimun
mencolek paha Kuswanoto.
“Opo?” (Apa?)
“Selangi duitlah seket, wis
ra nana apa-apa reng pawon,” (Beri pinjaman saya duit Lima puluh, sudah tidak
ada apa-apa di dapur,) bisik Saimun.
“Muatamu suw …!” (matamu
sob ….!)
“Stttt! Aja seru-seru, arep
nyelangi apa ura koh, bengak-bengok bae.” (Stttt! Jangan keras-keras, mau beri
pinjaman atau tidak-teriak teriak saja.)
“Jembut ki, keroken dol
kono!” (Jembut ‘ni, kerok lalu jual sana!)
“Lah jarku sih wis nampa
bayaran mbok.” (La, sepengetahuan saya sudah menenima bayaran.)
“Utekmu ki lo duwak duwek
ae, kerjo mangkane!” (Otakmu ini uang-uang sja, makanya kerja!)
“Disengi jaga yo nyonge
gelem.” (Diajak jaga ya saya juga mau.)
“Ngomongo dewe kambek Pak
Kades kono, nyoh!” (Bilanag sendiri dengan Pak Kades sana, nih!) Kuswanoto
menyerahkan selembar uang yang dia ambil dari selipan peci.
“Sih rep nang ngendi
maning!” (Mau ke mana lagi!) teriak Saimun yang juga bangkit berdiri.
“Golek angin, panas cedak
awakmu!” (Cari angin, panas dekatmu!) jawab Kuswanoto, lalu meninggalkan Saimun
yang tersenyum seraya mencium uang kertas di tangannya.
****
Sesampainya di pertigaan
jalan, Kuswanoto berhenti sejenak, dia menoleh ke arah timur, sama, jalan
kerikil itu juga lengang.
“Marani cintaku sek lah,
mumpung uwong-uwong do nglayat,” (Mendatangi cintaku dulu-lah, mumpung
orang-orang pergi melayat,) batinnya, lalu tancap gas menyusuri jalan teduh
berpayung rimbun batang-batang kelandri.
Untuk mencapai tempat tujuan,
jalan yang dilalui tak semudah itu, sebuah jalan pintas, tetapi setelah
berhasil meniti jerambah, sampai juga dia di sebuah rumah sederhana, setelah
sebelumnya meninggalkan motor di bawah rimbun rambutan.
“Sri.”
Tok!
Tok!
Tok!
“Sri!”
Tak ada sahut suara.
Kuswanoto berjalan
kesamping rumah, menuju pintu belakang. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya
terdengar tonggeret, yang berbunyi dari belukar sekitar.
“Sri.”
Kuswanoto langsung
bergegas masuk ke dalam, setelah mendapati pintu belakang terbuka. Berjalan
mengendap seperti pencuri, menuju sebuah kamar dengan gorden sebagai penutup.
Di dalam kamar, seorang
perempuan menghadap cermin, berdiri dengan kemban handuk, jelas terlihat di
mata Kuswanoto, betis mulus tanpa bekas luka, seperti singkong yang sudah
dikupas kulitnya.
Mata Kuswanoto membelalak,
setelah perempuan itu melempar handuk kemban, ke atas tempat tidur, belahan
bokong seperti buah salak yang sudah dibuang kulit durinya, bahkan membuat
mulut Kuswanoto terbuka, kumis lebatnya bergerak-gerak, seakan indra
penciumannya mengakap aroma bunga-bunga dari lembah belukar.
Dengan terus mengendap,
dia langsung memeluk perempuan itu dari belakang.
“Akh!” pekiknya, kaget.
Dari pantulan cermin, dia
tahu siapa yang datang secara sembunyi-sembunyi.
“Kang Noto!”
“Stt!” balas Kuswanoto,
dengan meletakan telunjuk di bibir sang perempuan.
“Ada apa siang-siang ke
sini, apa tidak bisa permisi dulu, main masuk kamar mendadak begini.”
“Halah! koyok duwe bojo
ae, he he he,” (Halah! kayak punya suami saja, he he he,” ucapnya, seraya
tangan terus bermain di dada sang perempuan.
“Jangan Kang, nanti
ketahuan orang.” Perempuan yang tak lain adalah Sri, mencoba menepis tangan
Kuswanoto yang terus meremas ‘pepaya gantung’ miliknya.
“Enggak bakal onok seng
weroh,” (Tidak ada yang tahu,) bisik Kuswanoto di telinga Sri, sengaja
memancing hasrat dengan menyentuhkan ujung kumisnya.
“Ah, Kang Noto, geli.”
“Awas, aku mau ganti baju
dulu.” Sri mencoba melepas pelukan Kuswanoto yang kini sudah meningkar di
pinggang, bahkan dia kini merasa malu melihat bayangannya sendiri di cermin,
tanpa busana dan Kuswanoto mendekapnya dari belakang.
“Enggak usah klamben, wudo
ngene ae awakmu jek panggah ketoro wuayuu.” (Tidak usah pakai baju, telanjang
begini saja masih terlihat cantik.)
“Mbel!” (Gombal!) Sanggah
Sri, atas rayuan Kuswanoto.
“Malu ah, Kang.”
“Isin kambek sopo, enggak
onok wong neng kene kok isin.” (Malu dengan siapa, tidak ada orang di sini kok
malu.)
“Sudah ah Kang, aku mau ke
dapur.” Sri terus menepis tangan Kuswanoto yang mulai turun ke bawah.
“Ambong sek.” (Cium dulu.)
Sri lalu tersipu, sebuah
ciuman mendarat di lehernya, bulu tengkuknya seketika merinding.
“Mau aku buatkan kopi, apa
diladeni makan?”
“Gawekno kopi ae lah,
kambek com no mi.” (Buatkan kopi saja, sama rendam mi dengan air panas.)
Kuswanoto merebahkan
tubuhnya di atas kasur, matanya tak lepas ke tubuh Sri, yang kini mulai
mengenakan pakaian.
“Onok kabar apik.” (Ada
kabar bagus.)
Sri menoleh, “Kabar apa?”
“Wes ngko tak ceritani.” (Sudah
nanti saya ceritakan.)
“Kang, jangan terlalu lama
ya di sini, bukannya Sri mengusir, tetapi kalau sampai ketahuan orang ‘kan jadi
tidak enak.”
“Sopo seng weroh, enggak
onok, uwong-uwong lo do nglayat.” (Siapa yang tahu, tidak ada, orang-orang lo
pergi melayat.”
“Melayat? Siapa yang
meninggal?”
“Wes ngko ae lah.”
(Sudahlah nanti saja.) Kuswanoto beranjak, lalu menuju pintu belakang, memutar
kancing yang terbuat dari kayu, setiap kali kedatangannya dia tak mau ada orang
lain tahu.
“Sarungku endi, Sri?” (sarungku
mana, Sri?)
“Di lemari, siang-siang
kok sarungan,” balas Sri, sementara tangannya sibuk memutar pemantik kompor,
lalu mengisi penjarangan dengan setengah ciduk air.
Dek!
Kuswanoto menutup daun
jendela kamar, baju batik, serta menggantung peci di sebuah paku.
“Aji neng endi, Sri.” (Aji
ke mana, Sri.)
“Main ke rumah Tayu, tidak
mau pulang,” balas Sri, dari dapur.
“Weh! Wuasik, kebetulan
iki, tuepak wes. (Weh! Asyik, kebetulan ini, tepat sudah.)
“Ko endi ae awakmu isuk
iki.” (Dari mana saja kamu pagi ini.)
“Dari pasar Kang?
Memangnya kenapa to tanya-tanya?” Sri, muncul di ambang pintu, lalu meletakkan
segelas kopi di meja kamar, diliriknya Kuswanoto yang telentang mengelus-elus
bagian selangkang dalam balut sarung motif kupang dengan tumpal ungu.
“Sudah sana makan dulu,
terus pulang.”
“Weladalah!” Kuswanoto
bangkit, “Kok ngusir?” (Ya ampun .... Kok mengusir?)
“Bukannya mengusir, tetapi
tidak enak lelaki orang datang ke rumah janda siang-siang begini, mau nanti
kita ditelanjangi, terus diarak keliling dusun.”
“Wes to! Aman, aman.”
Kuswanoto tersenyum lalu kembali berbaring dengan dua tangan di belakang.
“Sri?”
“Apa?”
Buk … buk …buk!
Kuswanoto menepak kasur
tiga kali, isyarat bagi Sri untuk mendekat dan duduk di sampingnya.
“Ada apa? Katanya mau makan?”
Seperti kaki tarantula, jari-jari Kuswanoto bergerak dan berhenti saat
menyentuh jari Sri.
“Yok,” (Ayo) ajaknya.
“Ayo ke mana?” tanya Sri,
tersenyum manja.
Kuswanoto mengedipkan mata
kanan dua kali.
Ting!
Terbayang di benaknya,
hidangan yang akan dia nikmati.
“Ah, siang-siang begini,”
tolak Sri, menarik tangan dari genggaman Kuswanoto.
“Halah! Jual mahal.”
“Sudah ah, sana makan,
terus pulang, jangan sampai Yu warsinah datang ke sini, bisa habis digunduli
kumis Njenengan nanti.”
“Tidak lo, siapa tadi yang
meninggal?”
“Pingin weroh?” (Ingin
tahu?)
“Siapa?” penasaran Sri
dibuatnya.
“Onok sarate.” (Ada
syaratnya.)
“Begitu saja pakai
syarat.”
“Yo, iyolah, iki warto
viral, trending neng dusun, enggak gratis.” (Ya ialah, ini berita viral,
trending di dusun, tidak gratis.)
“Ah, sudah ah, malas aku
je.”
“Adoh … odoh Sri, loro iki
wetengku.” (Aduh … aduh Sri, sakit ini perutku.)
“Makanya makan sana.”
“Duk mergo luwe, oghh.”
(Bukan karena lapar, oghh.)
“Lha terus, kenapa?” Sri
semakin panik saat melihat Kuswanoto berguling-guling seraya kesakitan.
“Deloken to Sri.”
(Lihatlah Sri.)
“Mana! Mana yang sakit!”
Dengan meringis, Kuswanoto
menunjuk tepat di bawah gulungan sarung.
“Apanya!” Makin panik Sri.
“Iki.” (Ini.)
“Bukaken.” (Buka.)
Dengan telentang kembali,
Kuswanoto mempersilakan Sri, membuka ujung sarung bagian bawah, matanya terpana, hingga
tanpa sadar, sebuah tarikan membuatnya jatuh dalam pelukan Kuswanoto, kena
tipu.
Tak lama kemudian suasana
rumah hening, hanya derit tempat tidur yang berderit, mengalahkan bunyi
tonggeret.
Di meja dapur, semangkuk
mi masih terendam dalam air yang mulai mendingin, tampak kuahnya
bergerak-gerak, oleh sumber getaran dari dalam kamar, ‘gempa lokal.’
No comments:
Post a Comment