Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DAHURU SEDO BAB 4

 BAB 4

“Mun! Simun! Rene.” Kuswanoto melirik kanan dan kiri, saat Saimun datang menghampirinya.

“Nang apa maning?” (Kenapa lagi?)

“Sri teko gurung, Mun.” (Sri datang belum, Mun.)

“Lha kpriwe sih Kang, nang mburi mbok?” (La bagaimana Kang, di belakang mungkin.)

“Enggak onok,” (Tidak ada,) balas Kuswanoto setengah berbisik, sengaja dia tak mau percakapan ini didengar oleh yang lain.

“Jal ngana telepon.” (Coba ditelepon.)

“(Lah iyo, yo, kok enggak kepikiran yo, kat mau kek.” (la iya ya, kok tidak terpikir ya, dari tadi kek.)

“Apa nyonge bae sing nyusul mrana? (Apa saya saja yang menyusul ke sana?)

“Enggak usah! Ngrusak tatanan tok awakmu!’ (Tidak usah! Merusak tatanan saja kamu.)

“Nyong gur nulunng, tukang ngrusak jarku sih Rika koh.” (saya hanya menolong, yang tukang merusak ‘kan Anda.)

“Tak jejeli sendal ko cangkemmu!” (Saya sumpal sandal nanti mulutmu!)

“Aja kereng-kereng ambi batire lah, ura wurunga ana repote njaluk tulung reng sapa jal.” (Jangan galak-galak sama teman, tidak lain tidak bukan kalau ada repotnya minta tolong sapa coba.)

“Ngono ae kok yo mureng to Mun,” (Begitu saja kok marah Mun,) ucap Kuswanoto melemah.

“He, Kang.” Saimun mencolek paha Kuswanoto.

“Opo?” (Apa?)

“Selangi duitlah seket, wis ra nana apa-apa reng pawon,” (Beri pinjaman saya duit Lima puluh, sudah tidak ada apa-apa di dapur,) bisik Saimun.

“Muatamu suw …!” (matamu sob ….!)

“Stttt! Aja seru-seru, arep nyelangi apa ura koh, bengak-bengok bae.” (Stttt! Jangan keras-keras, mau beri pinjaman atau tidak-teriak teriak saja.)

“Jembut ki, keroken dol kono!” (Jembut ‘ni, kerok lalu jual sana!)

“Lah jarku sih wis nampa bayaran mbok.” (La, sepengetahuan saya sudah menenima bayaran.)

“Utekmu ki lo duwak duwek ae, kerjo mangkane!” (Otakmu ini uang-uang sja, makanya kerja!)

“Disengi jaga yo nyonge gelem.” (Diajak jaga ya saya juga mau.)

“Ngomongo dewe kambek Pak Kades kono, nyoh!” (Bilanag sendiri dengan Pak Kades sana, nih!) Kuswanoto menyerahkan selembar uang yang dia ambil dari selipan peci.

“Sih rep nang ngendi maning!” (Mau ke mana lagi!) teriak Saimun yang juga bangkit berdiri.

“Golek angin, panas cedak awakmu!” (Cari angin, panas dekatmu!) jawab Kuswanoto, lalu meninggalkan Saimun yang tersenyum seraya mencium uang kertas di tangannya.

****

Sesampainya di pertigaan jalan, Kuswanoto berhenti sejenak, dia menoleh ke arah timur, sama, jalan kerikil itu juga lengang.

“Marani cintaku sek lah, mumpung uwong-uwong do nglayat,” (Mendatangi cintaku dulu-lah, mumpung orang-orang pergi melayat,) batinnya, lalu tancap gas menyusuri jalan teduh berpayung rimbun batang-batang kelandri.

Untuk mencapai tempat tujuan, jalan yang dilalui tak semudah itu, sebuah jalan pintas, tetapi setelah berhasil meniti jerambah, sampai juga dia di sebuah rumah sederhana, setelah sebelumnya meninggalkan motor di bawah rimbun rambutan.

“Sri.”

Tok!

Tok!

Tok!

“Sri!”

Tak ada sahut suara.

Kuswanoto berjalan kesamping rumah, menuju pintu belakang. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya terdengar tonggeret, yang berbunyi dari belukar sekitar.

“Sri.”

Kuswanoto langsung bergegas masuk ke dalam, setelah mendapati pintu belakang terbuka. Berjalan mengendap seperti pencuri, menuju sebuah kamar dengan gorden sebagai penutup.

Di dalam kamar, seorang perempuan menghadap cermin, berdiri dengan kemban handuk, jelas terlihat di mata Kuswanoto, betis mulus tanpa bekas luka, seperti singkong yang sudah dikupas kulitnya.

Mata Kuswanoto membelalak, setelah perempuan itu melempar handuk kemban, ke atas tempat tidur, belahan bokong seperti buah salak yang sudah dibuang kulit durinya, bahkan membuat mulut Kuswanoto terbuka, kumis lebatnya bergerak-gerak, seakan indra penciumannya mengakap aroma bunga-bunga dari lembah belukar.

Dengan terus mengendap, dia langsung memeluk perempuan itu dari belakang.

“Akh!” pekiknya, kaget.

Dari pantulan cermin, dia tahu siapa yang datang secara sembunyi-sembunyi.

“Kang Noto!”

“Stt!” balas Kuswanoto, dengan meletakan telunjuk di bibir sang perempuan.

“Ada apa siang-siang ke sini, apa tidak bisa permisi dulu, main masuk kamar mendadak begini.”

“Halah! koyok duwe bojo ae, he he he,” (Halah! kayak punya suami saja, he he he,” ucapnya, seraya tangan terus bermain di dada sang perempuan.

“Jangan Kang, nanti ketahuan orang.” Perempuan yang tak lain adalah Sri, mencoba menepis tangan Kuswanoto yang terus meremas ‘pepaya gantung’ miliknya.

“Enggak bakal onok seng weroh,” (Tidak ada yang tahu,) bisik Kuswanoto di telinga Sri, sengaja memancing hasrat dengan menyentuhkan ujung kumisnya.

“Ah, Kang Noto, geli.”

“Awas, aku mau ganti baju dulu.” Sri mencoba melepas pelukan Kuswanoto yang kini sudah meningkar di pinggang, bahkan dia kini merasa malu melihat bayangannya sendiri di cermin, tanpa busana dan Kuswanoto mendekapnya dari belakang.

“Enggak usah klamben, wudo ngene ae awakmu jek panggah ketoro wuayuu.” (Tidak usah pakai baju, telanjang begini saja masih terlihat cantik.)

“Mbel!” (Gombal!) Sanggah Sri, atas rayuan Kuswanoto.

“Malu ah, Kang.”

“Isin kambek sopo, enggak onok wong neng kene kok isin.” (Malu dengan siapa, tidak ada orang di sini kok malu.)

“Sudah ah Kang, aku mau ke dapur.” Sri terus menepis tangan Kuswanoto yang mulai turun ke bawah.

“Ambong sek.” (Cium dulu.)

Sri lalu tersipu, sebuah ciuman mendarat di lehernya, bulu tengkuknya seketika merinding.

“Mau aku buatkan kopi, apa diladeni makan?”

“Gawekno kopi ae lah, kambek com no mi.” (Buatkan kopi saja, sama rendam mi dengan air panas.)

Kuswanoto merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya tak lepas ke tubuh Sri, yang kini mulai mengenakan pakaian.

“Onok kabar apik.” (Ada kabar bagus.)

Sri menoleh, “Kabar apa?”

“Wes ngko tak ceritani.” (Sudah nanti saya ceritakan.)

“Kang, jangan terlalu lama ya di sini, bukannya Sri mengusir, tetapi kalau sampai ketahuan orang ‘kan jadi tidak enak.”

“Sopo seng weroh, enggak onok, uwong-uwong lo do nglayat.” (Siapa yang tahu, tidak ada, orang-orang lo pergi melayat.”

“Melayat? Siapa yang meninggal?”

“Wes ngko ae lah.” (Sudahlah nanti saja.) Kuswanoto beranjak, lalu menuju pintu belakang, memutar kancing yang terbuat dari kayu, setiap kali kedatangannya dia tak mau ada orang lain tahu.

“Sarungku endi, Sri?” (sarungku mana, Sri?)

“Di lemari, siang-siang kok sarungan,” balas Sri, sementara tangannya sibuk memutar pemantik kompor, lalu mengisi penjarangan dengan setengah ciduk air.

Dek!

Kuswanoto menutup daun jendela kamar, baju batik, serta menggantung peci di sebuah paku.

“Aji neng endi, Sri.” (Aji ke mana, Sri.)

“Main ke rumah Tayu, tidak mau pulang,” balas Sri, dari dapur.

“Weh! Wuasik, kebetulan iki, tuepak wes. (Weh! Asyik, kebetulan ini, tepat sudah.)

“Ko endi ae awakmu isuk iki.” (Dari mana saja kamu pagi ini.)

“Dari pasar Kang? Memangnya kenapa to tanya-tanya?” Sri, muncul di ambang pintu, lalu meletakkan segelas kopi di meja kamar, diliriknya Kuswanoto yang telentang mengelus-elus bagian selangkang dalam balut sarung motif kupang dengan tumpal ungu.

“Sudah sana makan dulu, terus pulang.”

“Weladalah!” Kuswanoto bangkit, “Kok ngusir?” (Ya ampun .... Kok mengusir?)

“Bukannya mengusir, tetapi tidak enak lelaki orang datang ke rumah janda siang-siang begini, mau nanti kita ditelanjangi, terus diarak keliling dusun.”

“Wes to! Aman, aman.” Kuswanoto tersenyum lalu kembali berbaring dengan dua tangan di belakang.

“Sri?”

“Apa?”

Buk … buk …buk!

Kuswanoto menepak kasur tiga kali, isyarat bagi Sri untuk mendekat dan duduk di sampingnya.

“Ada apa? Katanya mau makan?” Seperti kaki tarantula, jari-jari Kuswanoto bergerak dan berhenti saat menyentuh jari Sri.

“Yok,” (Ayo) ajaknya.

“Ayo ke mana?” tanya Sri, tersenyum manja.

Kuswanoto mengedipkan mata kanan dua kali.

Ting!

Terbayang di benaknya, hidangan yang akan dia nikmati.

“Ah, siang-siang begini,” tolak Sri, menarik tangan dari genggaman Kuswanoto.

“Halah! Jual mahal.”

“Sudah ah, sana makan, terus pulang, jangan sampai Yu warsinah datang ke sini, bisa habis digunduli kumis Njenengan nanti.”

“Tidak lo, siapa tadi yang meninggal?”

“Pingin weroh?” (Ingin tahu?)

“Siapa?” penasaran Sri dibuatnya.

“Onok sarate.” (Ada syaratnya.)

“Begitu saja pakai syarat.”

“Yo, iyolah, iki warto viral, trending neng dusun, enggak gratis.” (Ya ialah, ini berita viral, trending di dusun, tidak gratis.)

“Ah, sudah ah, malas aku je.”

“Adoh … odoh Sri, loro iki wetengku.” (Aduh … aduh Sri, sakit ini perutku.)

“Makanya makan sana.”

“Duk mergo luwe, oghh.” (Bukan karena lapar, oghh.)

“Lha terus, kenapa?” Sri semakin panik saat melihat Kuswanoto berguling-guling seraya kesakitan.

“Deloken to Sri.” (Lihatlah Sri.)

“Mana! Mana yang sakit!”

Dengan meringis, Kuswanoto menunjuk tepat di bawah gulungan sarung.

“Apanya!” Makin panik Sri.

“Iki.” (Ini.)

“Bukaken.” (Buka.)

Dengan telentang kembali, Kuswanoto mempersilakan Sri, membuka ujung sarung bagian bawah, matanya terpana, hingga tanpa sadar, sebuah tarikan membuatnya jatuh dalam pelukan Kuswanoto, kena tipu.

Tak lama kemudian suasana rumah hening, hanya derit tempat tidur yang berderit, mengalahkan bunyi tonggeret.

Di meja dapur, semangkuk mi masih terendam dalam air yang mulai mendingin, tampak kuahnya bergerak-gerak, oleh sumber getaran dari dalam kamar, ‘gempa lokal.’


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search