Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DAHURU SEDO BAB 9

 BAB 9

“Bu ‘ne!”

“Ya Pak.”

“Tolong ambilkan sepatuku.”

“Apa harus pagi-pagi sekali berangkatnya?”

“Iya, soalnya aku harus mampir dulu di rumah teman, takut kalau kesiangan bila nanti-nanti.”

Istri Pak RT menoleh ke arah jam dinding, jarum masih menunjukkan pukul Lima pagi.

“Nanti sebagian warga yang akan membongkar tenda, tolong berikan ini.” Pak RT memberikan selembar uang.

“Ya sudah aku berangkat ya?”

“Hati-hati lo Pak.”

“Ya.”

Motor bebek yang sudah dihidupkan sebelumnya langsung meluncur meninggalkan halaman, membelah dingin pagi yang masih berselimut gelap.

****

 

Setelah meninggalkan jalan kerikil, roda motor terus melaju menggilas jalanan aspal, belum begitu banyak kendaraan yang melintas, jalan mulai menurun, gelap pagi ditambah beberapa pohon yang menaungi, menjadikan pekat semakin terasa.

Brak!

Roda sepeda masih berputar, meski sang pengendara sudah terpental dan terkapar di tengah jalan

****

 

Kuswanoto melepas peci yang selalu menghias kepalanya, baju lurik loreng merah berkalung sarung, gambaran kalau dia baru saja pulang jaga malam, menjadi penjaga di kantor desa adalah rutinitas yang sudah dia jalani hampir setahun belakangan.

“Mak! Kopi!”

“Iya ini sebentar lagi mendidih,” sahut Warsinah dari depan kompor.

“Hadeh, ngwantok! (Haduh, ngatuk!)

“La apa ya tidak tidur lo Pak di sana?”

“Yo enggak lah! Jenenge ae jogo, ko nek tak tinggal turu onok maling piye?” (Ya tidaklah! Namanya juga jaga, nanti kalau saya tinggal tidur terus ada maling bagaimana.)

“Masak kantor di dekat jalan besar ada yang nekat mau maling, maling apa juga di kantor.”

“E, nek awakku seng digondol maling piye? Coto awakmu.” (E, kalau aku yang dibawa maling bagaimana, rugi kamu.)

“Yang mau nyolong tu ya siapa?”

Titut … titut … titut!

Tertulis “1 pesan baru.”

“Halah! Paling yo sms ngapusi, nek enggak menang undian paling ko operator kon ngisi pulsa,” (Halah! paling sms bohong, kalau tidak menang undian paling juga dari operator disuruh isi pulsa,) batinnya hanya menatap layar HP yang baru saja diletakkan.

Nada dering berbunyi, tetoret … tetoret … tetoret.

“Halo!”

“Wis mulih apa?” (Sudah pulang apa?) Suara Saimun dari dalam telepon.

Wes! Ginio?” (Sudah! Kenapa?)

“Wisk krungu kabar apa durung.” (Sudah dengar kabar belum.)

“Kabar opo?” (Kabar apa?)

“Temenan durung krungu apa Rika?” (Benaran belum dengar apa Anda.)

“Kiye rungakna ya, aja halo-halo bae, Pak Rete tibak.” (Dengar ya, jangan halo-halo saja, Pak Rete jatuh.)

“Jare sopo!” (Kata siapa!)

“Si Ndemin, ruh Ndemin?” (Si Ndemin, tahu Ndemin?)

Kuswanoto tersenyum seraya melirik ke arah dapur, lalu beranjak dan menuju pintu depan.

“Halo! Mun! Terus kepiye? Bongko gak!” (Halo! Mun! Terus bagaimana, mampus tidak!)

“Sih kayak kuwe … jare Ndemin parah, wis digawa reng Rumah Sakit.” (Kok begitu … kata Ndemin parah, sudah dibawa ke Rumah Sakit.)

“Nyong nunut yak, nek arep ngana.” (Saya nebeng ya kalau mau ke sana.)

“Sopo seng kate mrono?” (Siapa yang mau ke sana?)

“Ya Rika lah, nyong nunut, gonceng kayak kuwe, yak.” (Ya Andalah, saya nebeng, berboncengan, ya.)

“Tenan enggak kabar iki.” (Benaran tidak kabar ini.)

“Temenan ya, masak Nyong nglomboni, wis lah kayak kuwe bae, arep makani pitik, pating kriyek wis.” (Benaran ya, masak saya berbohong, sudahlah begitu saja, mau kasih makan ayam, sudah berisik.)

“Tenanan iki yo, awas nek ngapusi! Kate tak gawe status neng FB.” (Benaran ini ya, awak kalau bohong! Mau saya buat status di FB.)

“Temenan kiye, valid.” (Benaran ini, valid.)

“Halah giayamu Mun!” (Halah gayamu Mun.)

Tut … tut … tut …, telepon terputus.

“Mak! Pak Rete tibo ko motor!” (Mak! Pak Rete jatuh dari motor!)

“Buongko gak cocotmu!” (Mampus!)

“Sudah … sudah … jangan bikin berita bohong lagi, tidak kapok apa ditonton orang banyak kemarin.”

“Lo, iki tenanan, sumpah!” (Lo ini benaran, sumpah!)

“Sudahlah aku mau siap-siap sebentar lagi dijemput sama Mbah Ali.”

“Ngunduh neh?” (Buruh unduh lagi?)

“Ya iya, tunggu bayaran dari Njenengan lo masih lama.”

****

 

Pak Rete tibo neng dalan, kondisine parah, saiki onok neng Rumah Sakit, diinpus entek limang botol.’ Status terkirim.

“Bakal rame iki, he he he.” (Calon ramai ini, he he he.)

Matahari baru dua jengkal dari tepi langit, HP yang ada di atas meja terus berbunyi, Kuswanoto tersenyum seraya meletakkan kepala dengan dua lengan sebagai bantal, senyumnya mengembang, menarik kedua sudut, hingga kumisnya melintang.

“Dahuru tenan iki, tak dungakno bongko ngisan, hi hi hi.” (Huru-hara lagi ini, saya doakan mampus sekalian, hi hi hi.)

“Mari ngono awakku nyalon dadi RT, weh! Teupak! Aman wes! He he he.” (Setelah ini aku mencalonkan diri menjadi RT, wah! Cocok! Aman sudah! He he he.)

“Sri, ko nek awakku dadi RT, bakal tak ajokno kabeh bantuan nggo awakmu, ben enggak neh buruh neng pasar, cukup ngatang-ngatang ae ngenteni RT Noto teko, hi hi hi.” (Sri, nanti kalau aku jadi RT, semua bantuan saya ajukan semua untukmu, biar tak lagi jadi buruh di pasar, cukup tiduran dengan tertelentang menunggu RT Noto datang, hi hi hi.)

“Dunyo iki nek ‘ dewe wong loro Sri.” (Dunia ini milik kita berdua Sri.)

“Eh, lha terus Mbakyu-mu deleh ndi?” (Eh, terus Mbakyu-mu ditaruh di mana?)

“Hi hi hi, wuasekk! Hi hi hi.” (Hi hi hi, asyik! Hi hi hi.) Kuswanoto berkhayal dengan memejamkan mata, sementara senyum masih terlihat di bibirnya.

****

“Sri tunggu!”

“Ayo Kang, kejar! Ha ha ha.”

“Hap!”

Kuswanoto berhasil menangkap tangan Sri, tubuh keduanya lalu berguling, berakhir dengan Kuswanoto yang mendekap Sri, dalam tindihan tubuhnya.

Tak ada yang terucap, kedua bibir selanjutnya saling pagut, Sri merentangkan  tangan, matanya terpejam saat tangan Kuswanoto mulai beraksi melepas kancing baju.

Matahari mulai meninggi, meninggalkan Kuswanoto yang terus mendengkur dengan mimpi indahnya bersama Sri, di mana orang-orang sudah memacu motor menuju Rumah sakit.

SAMA KUALATNYA

Tiiiit!

Kuswanoto menghentikan motor, tepat di depan sebuah warung yang baru saja buka, lelaki dengan perut buncit menghampiri dengan sebotol bensin.

“Coba sekali-kali beli bensin itu full,” ucapnya bercanda seraya menuang ke dalam tangki motor.

“Halah! Sebotol ae cukup patang wengi.” (Halah! Sebotol saja cukup empat malam.)

“Bon sek, tambahno kambek seng wingi.” (Hutang dulu, tambahkan dengan yang kemarin.)

“Beruntung yang kecelakaan kemarin lusa itu tidak apa-apa lo Kang.”

“Wes roh!” (Sudah tahu!) gondoknya.

“Sopo to asline seng tumburan.” (Siapa sebenarnya yang tabrakan.)

“Bukan tabrakan, hanya jatuh karena terima telepon, ya begitu kalau naik motor masih saja mainan HP.”

“Oalah?”

“Yo wes, tak langsung ae awakku,” (Ya sudah mau terus aku,) kata Kuswanoto.

“Hati-hati Kang.”

“Yo.” (Ya.)

Di dalam perjalanan menuju pulang, Kuswanoto baru saja melewati tikungan ke kiri, di depan jalanan masih terlihat gelap oleh rimbun pepohonan di sisi jalan.

Derrr ... derrr... tetoret … tetoret ….

Didahului dengan getar, nada dering terdengar dari saku jaket.

“Halo!”

“Opo! Gak krungu!” (Apa! Tidak dengar!)

“Halo!”

“Halo!”

Kuswanoto mencoba melihat nama orang di layar HP hingga tak menyadari kalau laju motornya mengarah ke kiri dan di sana mulut siring sudah menganga.

Dan.

Brak!

“Duh yooong,” erang Kuswanoto dengan kepala ke bawah tertimpa motor.

SELESAI

©KUSWANOTO

 

 

 


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search