CERKAK DAHURU SEDO BAB 9
BAB 9
“Bu ‘ne!”
“Ya Pak.”
“Tolong ambilkan
sepatuku.”
“Apa harus pagi-pagi
sekali berangkatnya?”
“Iya, soalnya aku harus
mampir dulu di rumah teman, takut kalau kesiangan bila nanti-nanti.”
Istri Pak RT menoleh ke
arah jam dinding, jarum masih menunjukkan pukul Lima pagi.
“Nanti sebagian warga yang
akan membongkar tenda, tolong berikan ini.” Pak RT memberikan selembar uang.
“Ya sudah aku berangkat
ya?”
“Hati-hati lo Pak.”
“Ya.”
Motor bebek yang sudah
dihidupkan sebelumnya langsung meluncur meninggalkan halaman, membelah dingin
pagi yang masih berselimut gelap.
****
Setelah meninggalkan jalan
kerikil, roda motor terus melaju menggilas jalanan aspal, belum begitu banyak
kendaraan yang melintas, jalan mulai menurun, gelap pagi ditambah beberapa
pohon yang menaungi, menjadikan pekat semakin terasa.
Brak!
Roda sepeda masih
berputar, meski sang pengendara sudah terpental dan terkapar di tengah jalan
****
Kuswanoto melepas peci
yang selalu menghias kepalanya, baju lurik loreng merah berkalung sarung,
gambaran kalau dia baru saja pulang jaga malam, menjadi penjaga di kantor desa
adalah rutinitas yang sudah dia jalani hampir setahun belakangan.
“Mak! Kopi!”
“Iya ini sebentar lagi
mendidih,” sahut Warsinah dari depan kompor.
“Hadeh, ngwantok! (Haduh, ngatuk!)
“La apa ya tidak tidur lo
Pak di sana?”
“Yo enggak lah! Jenenge ae
jogo, ko nek tak tinggal turu onok maling piye?” (Ya tidaklah! Namanya juga jaga, nanti kalau saya tinggal tidur terus
ada maling bagaimana.)
“Masak kantor di dekat
jalan besar ada yang nekat mau maling, maling apa juga di kantor.”
“E, nek awakku seng
digondol maling piye? Coto awakmu.” (E,
kalau aku yang dibawa maling bagaimana, rugi kamu.)
“Yang mau nyolong tu ya
siapa?”
Titut … titut … titut!
Tertulis “1 pesan baru.”
“Halah! Paling yo sms
ngapusi, nek enggak menang undian paling ko operator kon ngisi pulsa,” (Halah! paling sms bohong, kalau tidak menang
undian paling juga dari operator disuruh isi pulsa,) batinnya hanya menatap
layar HP yang baru saja diletakkan.
Nada dering berbunyi,
tetoret … tetoret … tetoret.
“Halo!”
“Wis mulih apa?” (Sudah pulang apa?) Suara Saimun dari dalam telepon.
Wes! Ginio?” (Sudah! Kenapa?)
“Wisk krungu kabar apa durung.” (Sudah dengar kabar belum.)
“Kabar opo?” (Kabar apa?)
“Temenan durung krungu apa Rika?” (Benaran belum dengar apa Anda.)
“Kiye rungakna ya, aja halo-halo bae, Pak Rete tibak.” (Dengar ya, jangan
halo-halo saja, Pak Rete jatuh.)
“Jare sopo!” (Kata siapa!)
“Si Ndemin, ruh Ndemin?” (Si Ndemin, tahu Ndemin?)
Kuswanoto tersenyum seraya
melirik ke arah dapur, lalu beranjak dan menuju pintu depan.
“Halo! Mun! Terus kepiye?
Bongko gak!” (Halo! Mun! Terus bagaimana,
mampus tidak!)
“Sih kayak kuwe … jare Ndemin parah, wis digawa reng Rumah
Sakit.” (Kok
begitu … kata Ndemin parah, sudah dibawa ke Rumah Sakit.)
“Nyong nunut yak, nek arep ngana.” (Saya nebeng ya kalau mau
ke sana.)
“Sopo seng kate mrono?” (Siapa yang mau ke sana?)
“Ya Rika lah, nyong nunut, gonceng kayak kuwe, yak.” (Ya Andalah, saya nebeng,
berboncengan, ya.)
“Tenan enggak kabar iki.” (Benaran tidak kabar ini.)
“Temenan ya, masak Nyong nglomboni, wis lah kayak kuwe bae,
arep makani pitik, pating kriyek wis.” (Benaran ya, masak saya berbohong,
sudahlah begitu saja, mau kasih makan ayam, sudah berisik.)
“Tenanan iki yo, awas nek
ngapusi! Kate tak gawe status neng FB.”
(Benaran ini ya, awak kalau bohong! Mau saya buat status di FB.)
“Temenan kiye, valid.” (Benaran ini, valid.)
“Halah giayamu Mun!” (Halah gayamu Mun.)
Tut … tut … tut …, telepon
terputus.
“Mak! Pak Rete tibo ko
motor!” (Mak! Pak Rete jatuh dari motor!)
“Buongko gak cocotmu!” (Mampus!)
“Sudah … sudah … jangan
bikin berita bohong lagi, tidak kapok apa ditonton orang banyak kemarin.”
“Lo, iki tenanan, sumpah!” (Lo ini benaran, sumpah!)
“Sudahlah aku mau
siap-siap sebentar lagi dijemput sama Mbah Ali.”
“Ngunduh neh?” (Buruh unduh lagi?)
“Ya iya, tunggu bayaran
dari Njenengan lo masih lama.”
****
‘Pak Rete tibo neng dalan, kondisine parah, saiki onok neng Rumah Sakit,
diinpus entek limang botol.’ Status terkirim.
“Bakal rame iki, he he
he.” (Calon ramai ini, he he he.)
Matahari baru dua jengkal
dari tepi langit, HP yang ada di atas meja terus berbunyi, Kuswanoto tersenyum
seraya meletakkan kepala dengan dua lengan sebagai bantal, senyumnya
mengembang, menarik kedua sudut, hingga kumisnya melintang.
“Dahuru tenan iki, tak
dungakno bongko ngisan, hi hi hi.” (Huru-hara
lagi ini, saya doakan mampus sekalian, hi hi hi.)
“Mari ngono awakku nyalon
dadi RT, weh! Teupak! Aman wes! He he he.” (Setelah
ini aku mencalonkan diri menjadi RT, wah! Cocok! Aman sudah! He he he.)
“Sri, ko nek awakku dadi
RT, bakal tak ajokno kabeh bantuan nggo awakmu, ben enggak neh buruh neng
pasar, cukup ngatang-ngatang ae ngenteni RT Noto teko, hi hi hi.” (Sri, nanti kalau aku jadi RT, semua bantuan
saya ajukan semua untukmu, biar tak lagi jadi buruh di pasar, cukup tiduran
dengan tertelentang menunggu RT Noto datang, hi hi hi.)
“Dunyo iki nek ‘ dewe wong
loro Sri.” (Dunia ini milik kita berdua
Sri.)
“Eh, lha terus Mbakyu-mu
deleh ndi?” (Eh, terus Mbakyu-mu ditaruh
di mana?)
“Hi hi hi, wuasekk! Hi hi
hi.” (Hi hi hi, asyik! Hi hi hi.)
Kuswanoto berkhayal dengan memejamkan mata, sementara senyum masih terlihat di
bibirnya.
****
“Sri tunggu!”
“Ayo Kang, kejar! Ha ha
ha.”
“Hap!”
Kuswanoto berhasil
menangkap tangan Sri, tubuh keduanya lalu berguling, berakhir dengan Kuswanoto
yang mendekap Sri, dalam tindihan tubuhnya.
Tak ada yang terucap,
kedua bibir selanjutnya saling pagut, Sri merentangkan tangan, matanya terpejam saat tangan
Kuswanoto mulai beraksi melepas kancing baju.
Matahari mulai meninggi,
meninggalkan Kuswanoto yang terus mendengkur dengan mimpi indahnya bersama Sri,
di mana orang-orang sudah memacu motor menuju Rumah sakit.
SAMA KUALATNYA
Tiiiit!
Kuswanoto menghentikan
motor, tepat di depan sebuah warung yang baru saja buka, lelaki dengan perut
buncit menghampiri dengan sebotol bensin.
“Coba sekali-kali beli bensin
itu full,” ucapnya bercanda seraya menuang ke dalam tangki motor.
“Halah! Sebotol ae cukup
patang wengi.” (Halah! Sebotol saja cukup
empat malam.)
“Bon sek, tambahno kambek
seng wingi.” (Hutang dulu, tambahkan
dengan yang kemarin.)
“Beruntung yang kecelakaan
kemarin lusa itu tidak apa-apa lo Kang.”
“Wes roh!” (Sudah tahu!) gondoknya.
“Sopo to asline seng
tumburan.” (Siapa sebenarnya yang
tabrakan.)
“Bukan tabrakan, hanya
jatuh karena terima telepon, ya begitu kalau naik motor masih saja mainan HP.”
“Oalah?”
“Yo wes, tak langsung ae
awakku,” (Ya sudah mau terus aku,) kata Kuswanoto.
“Hati-hati Kang.”
“Yo.” (Ya.)
Di dalam perjalanan menuju
pulang, Kuswanoto baru saja melewati tikungan ke kiri, di depan jalanan masih
terlihat gelap oleh rimbun pepohonan di sisi jalan.
Derrr ... derrr... tetoret
… tetoret ….
Didahului dengan getar,
nada dering terdengar dari saku jaket.
“Halo!”
“Opo! Gak krungu!” (Apa! Tidak dengar!)
“Halo!”
“Halo!”
Kuswanoto mencoba melihat
nama orang di layar HP hingga tak menyadari kalau laju motornya mengarah ke
kiri dan di sana mulut siring sudah menganga.
Dan.
Brak!
“Duh yooong,”
erang Kuswanoto dengan kepala ke bawah tertimpa motor.
SELESAI
©KUSWANOTO
No comments:
Post a Comment