PATUNG SEMEN TAMAT
“Baju Mas Cengkar!” seru hatinya.
Krek!
Pintu terbuka,
satu lelaki tua berkumis tebal dengan tatap tajam berdiri di ambang pintu.
“Awakmu bakal
dadi duwek.” (Dirimu bakal menjadi uang.)
Terdengar dingin.
Melangkah
perlahan, lalu menjambak rambut Puan.
“Akh!”
“Tolong!” Puan berteriak
saat lelaki berkumis tebal melepas ikatan yang menyumpal mulutnya.
“Mbengok!
Mbengoko! Gak bakal onok seng krungu!” (Teriak!
Berteriaklah! Tidak akan ada yang dengar!”
“Akh!”
Puan terus
berteriak saat lelaki itu menarik rambut untuk terus menyeret tubuhnya.
****
Sementara itu di
depan bangsal.
“Kamu dengar
suara tadi?”
Juwita
menjawabnya dengan menggeleng.
“Lalu apa yang
akan kita lakukan sekarang. Kita akan menjawab apa bila Pakde Sudrajat
menanyakan keberadaannya, ha.”
Mala menjawabnya
dengan senyum, seakan dia sudah menyiapkan semua jawaban. Senyum itu terlihat
jelas meski gelap mengaburkan semua yang tampak.
****
“Di atas tempat
tidur, Puan hanya bisa tergolek, angin dingin begitu mudahnya menggigit
kulitnya yang halus. Tampak lelaki berkumis terlihat sibuk mengenakan kembali kolor
hitamnya, setelah dengan sarung dia mengusap bagian selangkangan.
“Aku mohon,
lepaskan aku, hu hu hu.” Puan meratap kini, setelah sesuatu telah benar-benar
hilang direnggut paksa.
Lelaki itu tak
menjawab, lalu dengan cepat menarik kaki Puan. Membopongnya ke ruangan di mana
dia tadi membuka sak semen.
Glek!
Pintu terkunci.
“Akh!”
“Akh!”
Puan terus
berteriak, tanpa sehelai benang di tubuhnya, dia hanya bisa duduk seraya
memeluk lutut.
Tanpa banyak
bicara, lelaki itu kemudian menekan sebuah sakelar.
Klik!
Alat pengaduk
semen berputar, sedikit mengeluarkan debu dari semen yang sudah dia tuang
sebelumnya ke dalam tabung yang berputar perlahan.
“Tidak!”
“Tidak!”
Percuma Puan
berontak, saat tubuhnya sudah di atas pundak lelaki yang bertelanjang dada.
Bluk!
Wer!
Wer!
Wer!
Pengaduk semen
berputar semakin cepat, menggulung tubuh Puan yang benar-benar sudah bercampur
adukan semen.
Gerodak!
Gerodak!
Gerodak!
Batu cor yang
sudah disiapkan dia tuang.
Srok!
“Akh!”
“Akh!”
Pekik teriak
sejenak, lalu semua lengang seiring suara mesin yang berangsur padam.
*******
Matahari
bersinar begitu cerah, bising kendaraan menderu terdengar dari halaman depan
rumah Pak Sudrajat.
“Itu Mala, Bu ‘e.”
“Mala!”
Mendengar
namanya dipanggil, Mala lantas menghampiri Pak Sudrajat, hanya berbatas sebuah
pagar setinggi dada.
“Bukannya
semalam Puan pergi bersama kamu, lalu ke mana dia, kenapa sampai sekarang belum
juga kembali, ha!”
“Maaf Pakde,
semalam kami bertiga pergi mengantar undangan, setelah itu dia tak kunjung
kembali.”
“Apa? Apa
maksudmu, ha!”
Mala lantas
menceritakan semua yang terjadi. Tampak pula matanya berkaca-kaca.
“Mala minta
maaf, Pakde. Sungguh Mala ingin mengatakan malam tadi, tetapi urung, hingga akhirnya
Pakde menanyakan hal yang ingin Mala sampaikan.”
“Di mana kalian
terakhir kali melihat dia, ha!”
“Di percetakan
batako, Pasar Inpres.”
“Antar Pakde ke
sana, sekarang!”
****
Sebuah tangan
meremas undangan yang tergeletak di tanah, membuangnya ke dalam drum sampah.
“Pantas, semalam
aku mencarimu, Mbah.”
Lelaki yang
dimaksud sontak setengah terkejut, sebatang keretek masih terlihat mengepulkan
asap dari sudut bibir.
“Semalam
keponakanku, Mala, datang bertiga, dan satu temannya sampai mereka pulang belum
juga kembali, terpikir untuk mengajakmu untuk membantuku mencarinya, Mbah.”
“Awakku ngantok,
turu kat parak magrib, gak nengdi ndi.” (Aku mengantuk, tidur menjelang magrib,
tidak ke mana-mana.”
“Kate ngeterno
pesenan patung sek.” (Mau mengantar
pesanan patung dulu.)
“Rahmat! Bantu
Mbah Kardi, gotong patung itu ke atas mobil.”
****
Brak!
Pak Sudrajat
membanting pintu dengan kuat, sementara istrinya hanya bisa menangis dengan
diapit oleh Mala dan Juwita.
“Bagaimana, Pak
‘e.”
“Tidak ada,
pemilik tempat itu mengatakan tidak tahu keberadaan anak kita, Bu.”
Lalu bagaimana
ini, Pak. Hu hu hu.”
“Kita lapor
polisi,” jawab Pak Sudrajat tegas.
****
“Tenang saja, aku
sudah memberikan sejumlah uang kepada Mbah Kardi. Dia sendiri yang akan
mengantarkan patung itu ke rumah Pak Sudrajat.”
“Aku sungguh
takut.”
“Ini rencana
kita, ‘kan? Bukankah kamu sakit hati saat cintamu ditolak oleh Mas Cengkar?
Begitu pun aku, aku sakit hati ternyata lelaki yang aku cintai diam-diam lebih
memilih Puan.”
Mereka lalu
meninggalkan teras rumah Pak Sudrajat, meninggalkan satu patung laki-laki
telanjang yang terlihat begitu sempurna dan nyaris menyerupai manusia dalam
tiap lekuk tubuh.
****
Matahari sudah
menghilang dibalik gedung-gedung yang jauh di sebelah barat, menyisakan sinar
jingga yang terlihat semburat di antara redam suara bising kendaraan, sudut
kota kembali merangkak tenang.
“Tunggu!” Pak
Sudrajat menahan langkah istrinya, matanya lekat tertuju pada satu patung yang
sudah bersanding dengan patung yang sebelumnya ada di teras.
“Siapa lagi yang
mengirimkan patung ini?”
Pak Sudrajat
melangkah perlahan, makin mendekat ke arah patung perempuan yang duduk di
antara kaki terlipat ke belakang.
“Sepertinya aku
kenal wajah patung ini, Bu.”
“Bu!”
Teriakan itu tak
berbalas, istrinya lebih memilih meninggalkan Pak Sudrajat yang berdiri
memandangnya di depan patung semen yang masih terlihat baru.
Mencoba untuk
menyentuhnya, lapisan itu memang keras terasa di ujung jarinya.
“Basah?”
Pak Sudrajat
memperhatikan ujung telunjuk yang terlihat basah saat dia mencoba menyentuh
mata patung. Sejenak dia mendongak, tidak ada titik air yang jatuh, meski
separuh atap langit mulai mengaburkan jingga dan siap meraja dengan membentang
gelap bertabur bintang.
“Aneh, siapa
sebenarnya yang mengirimkan patung-patung ini.”
“Mangkinkah
Puan?”
“Lalu ke mana
dia?”
“Ke mana pula
Cengkar yang tak kunjung pulang,” gulat hatinya.
Wiuw.
Wiuw.
Wiuw.
Suara sirene
dari mobil yang berhenti tak jauh dari pagar depan menahan langkah Pak
Sudrajat, tampak beberapa polisi bergegas menuju rumah Mala.
Setengah
berlari, Pak Sudrajat hanya bisa berdiri di depan pagar. Satu polisi dengan
seragam yang disembunyikan di balik jaket menghampirinya.
“Kami ingin
membawa saksi untuk dimintai keterangan lebih lanjut di kantor kami.”
Pak Sudrajat tak
bisa berkata apa-apa, hingga Mala muncul dengan diapit dua polisi. Dalam
kebingungan dia sempat melihat mala menoleh ke arahnya, sebelum akhirnya mobil
itu berlalu dengan membawa Mala serta.
“Apa yang
sebenarnya terjadi, ke mana kamu, Nduk.”
Dengan langkah
gontai, dia melangkah menuju pintu rumah, benaknya masih menerka apa yang
sebenarnya terjadi, sampai anaknya tak juga kunjung kembali.
Sejenak dia
menoleh ke arah patung yang kini lengkap sepasang bersanding.
“Bapak!”
Terdengar satu
teriakan, sayang, Pak Sudrajat sudah menutup pintu, seakan tak pernah mendengar
suara keras tersebut.
“Bapak! Ini aku,
Pak! Hu hu hu.”
Krak!
Lapisan tipis
pada mata patung mengelopak, tampak sepasang mata membelalak dengan terus
berlinang air mata, keras suara hatinya terus berteriak, tetapi semua tak
berguna saat lapisan keras membeku yang membalut seluruh tubuhnya meredam semua
suara.
TAMAT
KUSWANOTO3
No comments:
Post a Comment