Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PATUNG SEMEN TAMAT

 

PATUNG SEMEN (TAMAT)

“Baju Mas Cengkar!” seru hatinya.

Krek!

Pintu terbuka, satu lelaki tua berkumis tebal dengan tatap tajam berdiri di ambang pintu.

“Awakmu bakal dadi duwek.” (Dirimu bakal menjadi uang.) Terdengar dingin.

Melangkah perlahan, lalu menjambak rambut Puan.

“Akh!”

“Tolong!” Puan berteriak saat lelaki berkumis tebal melepas ikatan yang menyumpal mulutnya.

“Mbengok! Mbengoko! Gak bakal onok seng krungu!” (Teriak! Berteriaklah! Tidak akan ada yang dengar!”

“Akh!”

Puan terus berteriak saat lelaki itu menarik rambut untuk terus menyeret tubuhnya.

****

Sementara itu di depan bangsal.

“Kamu dengar suara tadi?”

Juwita menjawabnya dengan menggeleng.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang. Kita akan menjawab apa bila Pakde Sudrajat menanyakan keberadaannya, ha.”

Mala menjawabnya dengan senyum, seakan dia sudah menyiapkan semua jawaban. Senyum itu terlihat jelas meski gelap mengaburkan semua yang tampak.

****

“Di atas tempat tidur, Puan hanya bisa tergolek, angin dingin begitu mudahnya menggigit kulitnya yang halus. Tampak lelaki berkumis terlihat sibuk mengenakan kembali kolor hitamnya, setelah dengan sarung dia mengusap bagian selangkangan.

“Aku mohon, lepaskan aku, hu hu hu.” Puan meratap kini, setelah sesuatu telah benar-benar hilang direnggut paksa.

Lelaki itu tak menjawab, lalu dengan cepat menarik kaki Puan. Membopongnya ke ruangan di mana dia tadi membuka sak semen.

Glek!

Pintu terkunci.

“Akh!”

“Akh!”

Puan terus berteriak, tanpa sehelai benang di tubuhnya, dia hanya bisa duduk seraya memeluk lutut.

Tanpa banyak bicara, lelaki itu kemudian menekan sebuah sakelar.

Klik!

Alat pengaduk semen berputar, sedikit mengeluarkan debu dari semen yang sudah dia tuang sebelumnya ke dalam tabung yang berputar perlahan.

“Tidak!”

“Tidak!”

Percuma Puan berontak, saat tubuhnya sudah di atas pundak lelaki yang bertelanjang dada.

Bluk!

Wer!

Wer!

Wer!

Pengaduk semen berputar semakin cepat, menggulung tubuh Puan yang benar-benar sudah bercampur adukan semen.

Gerodak!

Gerodak!

Gerodak!

Batu cor yang sudah disiapkan dia tuang.

Srok!

“Akh!”

“Akh!”

Pekik teriak sejenak, lalu semua lengang seiring suara mesin yang berangsur padam.

*******

Matahari bersinar begitu cerah, bising kendaraan menderu terdengar dari halaman depan rumah Pak Sudrajat.

“Itu Mala, Bu ‘e.”

“Mala!”

Mendengar namanya dipanggil, Mala lantas menghampiri Pak Sudrajat, hanya berbatas sebuah pagar setinggi dada.

“Bukannya semalam Puan pergi bersama kamu, lalu ke mana dia, kenapa sampai sekarang belum juga kembali, ha!”

“Maaf Pakde, semalam kami bertiga pergi mengantar undangan, setelah itu dia tak kunjung kembali.”

“Apa? Apa maksudmu, ha!”

Mala lantas menceritakan semua yang terjadi. Tampak pula matanya berkaca-kaca.

“Mala minta maaf, Pakde. Sungguh Mala ingin mengatakan malam tadi, tetapi urung, hingga akhirnya Pakde menanyakan hal yang ingin Mala sampaikan.”

“Di mana kalian terakhir kali melihat dia, ha!”

“Di percetakan batako, Pasar Inpres.”

“Antar Pakde ke sana, sekarang!”

****

Sebuah tangan meremas undangan yang tergeletak di tanah, membuangnya ke dalam drum sampah.

“Pantas, semalam aku mencarimu, Mbah.”

Lelaki yang dimaksud sontak setengah terkejut, sebatang keretek masih terlihat mengepulkan asap dari sudut bibir.

“Semalam keponakanku, Mala, datang bertiga, dan satu temannya sampai mereka pulang belum juga kembali, terpikir untuk mengajakmu untuk membantuku mencarinya, Mbah.”

“Awakku ngantok, turu kat parak magrib, gak nengdi ndi.” (Aku mengantuk, tidur menjelang magrib, tidak ke mana-mana.”

“Kate ngeterno pesenan patung sek.” (Mau mengantar pesanan patung dulu.)

“Rahmat! Bantu Mbah Kardi, gotong patung itu ke atas mobil.”

****

Brak!

Pak Sudrajat membanting pintu dengan kuat, sementara istrinya hanya bisa menangis dengan diapit oleh Mala dan Juwita.

“Bagaimana, Pak ‘e.”

“Tidak ada, pemilik tempat itu mengatakan tidak tahu keberadaan anak kita, Bu.”

Lalu bagaimana ini, Pak. Hu hu hu.”

“Kita lapor polisi,” jawab Pak Sudrajat tegas.

****

“Tenang saja, aku sudah memberikan sejumlah uang kepada Mbah Kardi. Dia sendiri yang akan mengantarkan patung itu ke rumah Pak Sudrajat.”

“Aku sungguh takut.”

“Ini rencana kita, ‘kan? Bukankah kamu sakit hati saat cintamu ditolak oleh Mas Cengkar? Begitu pun aku, aku sakit hati ternyata lelaki yang aku cintai diam-diam lebih memilih Puan.”

Mereka lalu meninggalkan teras rumah Pak Sudrajat, meninggalkan satu patung laki-laki telanjang yang terlihat begitu sempurna dan nyaris menyerupai manusia dalam tiap lekuk tubuh.

****

Matahari sudah menghilang dibalik gedung-gedung yang jauh di sebelah barat, menyisakan sinar jingga yang terlihat semburat di antara redam suara bising kendaraan, sudut kota kembali merangkak tenang.

“Tunggu!” Pak Sudrajat menahan langkah istrinya, matanya lekat tertuju pada satu patung yang sudah bersanding dengan patung yang sebelumnya ada di teras.

“Siapa lagi yang mengirimkan patung ini?”

Pak Sudrajat melangkah perlahan, makin mendekat ke arah patung perempuan yang duduk di antara kaki terlipat ke belakang.

“Sepertinya aku kenal wajah patung ini, Bu.”

“Bu!”

Teriakan itu tak berbalas, istrinya lebih memilih meninggalkan Pak Sudrajat yang berdiri memandangnya di depan patung semen yang masih terlihat baru.

Mencoba untuk menyentuhnya, lapisan itu memang keras terasa di ujung jarinya.

“Basah?”

Pak Sudrajat memperhatikan ujung telunjuk yang terlihat basah saat dia mencoba menyentuh mata patung. Sejenak dia mendongak, tidak ada titik air yang jatuh, meski separuh atap langit mulai mengaburkan jingga dan siap meraja dengan membentang gelap bertabur bintang.

“Aneh, siapa sebenarnya yang mengirimkan patung-patung ini.”

“Mangkinkah Puan?”

“Lalu ke mana dia?”

“Ke mana pula Cengkar yang tak kunjung pulang,” gulat hatinya.

Wiuw.

Wiuw.

Wiuw.

Suara sirene dari mobil yang berhenti tak jauh dari pagar depan menahan langkah Pak Sudrajat, tampak beberapa polisi bergegas menuju rumah Mala.

Setengah berlari, Pak Sudrajat hanya bisa berdiri di depan pagar. Satu polisi dengan seragam yang disembunyikan di balik jaket menghampirinya.

“Kami ingin membawa saksi untuk dimintai keterangan lebih lanjut di kantor kami.”

Pak Sudrajat tak bisa berkata apa-apa, hingga Mala muncul dengan diapit dua polisi. Dalam kebingungan dia sempat melihat mala menoleh ke arahnya, sebelum akhirnya mobil itu berlalu dengan membawa Mala serta.

“Apa yang sebenarnya terjadi, ke mana kamu, Nduk.”

Dengan langkah gontai, dia melangkah menuju pintu rumah, benaknya masih menerka apa yang sebenarnya terjadi, sampai anaknya tak juga kunjung kembali.

Sejenak dia menoleh ke arah patung yang kini lengkap sepasang bersanding.

“Bapak!”

Terdengar satu teriakan, sayang, Pak Sudrajat sudah menutup pintu, seakan tak pernah mendengar suara keras tersebut.

“Bapak! Ini aku, Pak! Hu hu hu.”

Krak!

Lapisan tipis pada mata patung mengelopak, tampak sepasang mata membelalak dengan terus berlinang air mata, keras suara hatinya terus berteriak, tetapi semua tak berguna saat lapisan keras membeku yang membalut seluruh tubuhnya meredam semua suara.

TAMAT

KUSWANOTO3


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search