Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PATUNG SEMEN BAB 2

PATUNG SEMEN BAB 2

Dalam gemerlap lampu jalan yang mengarah lurus, dua kendaraan terus membelah jalanan yang ramai oleh pemburu kuliner, Sri Pemandang, salah satu tempat di sudut kota yang tak jauh dari pasar kabupaten. Jauh dari gedung menjulang serta perkantoran.

“Kita mampir dulu ke rumah Pamanku, ya,” kata Mala di sela menunggu lampu merah berganti hijau. Sementara di belakang, Juwita sudah menghidupkan sen ke arah kanan, jalan yang menuju Pasar Inpres atau pasar pagi, umum masyarakat Sri Pemandang menyebutnya, seakan sudah bisa menebak ke mana mereka akan pergi.

“Apa tidak kemalaman nanti ke rumah Rani.”

“Tidak, Puan. Ini juga masih jam berapa.”

Motor kembali melaju dengan menyusuri jalan yang sedikit gelap oleh rapat angsana yang memayungi. Tower menjulang dengan lampu merah, menegaskan kalau mereka tak lama lagi akan sampai di pasar Inpres.

“Ini rumah Pamanmu?” tanya Puan.

“Iya.” Mala memutar kontak lalu turun dari motor.

“Gelap sekali.”

“Di depan ini bangsal, biasa digunakan untuk mencetak gorong-gorong sumur, mereka tinggal di rumah belakang,” tegas Mala.

“Bukannya yang di depan itu Kompleks Sido Dadi ya, La?” Juwita melangkah dan mengambil tempat di antara keduanya.

“Betul, Pasar Inpres memang tak jauh dari kota, kalian berdua tunggu di sini sebentar, ya.” Mala bergegas meninggalkan mereka, tampak sudah biasa bagi Mala ke sini, terlihat dia begitu hafal dengan melangkah dalam gelap di antara banyaknya gorong-gorong dan beberapa tiang rumah yang berdiri setelah dilepas dari cetakan cor.

Puan melempar pandang ke sekeliling, tampak begitu sunyi, pasar yang tak begitu luas ini terlihat seperti kampung mati dengan los pasar yang semua sudutnya nyaris gelap, hanya menyisakan dua lampu panjar.

Sesekali jalan terlihat terang oleh sorot lampu motor yang melintas, selebihnya hanya pekat. Puan masih berdiri dengan dahi berkerut, dari kejauhan terlihat satu lelaki berpakaian serba hitam melintas cepat, seakan tak ingin diketahui kehadirannya dalam siram temaram lampu panjar.

“Apa pasar ini kalau malam ada penjaganya, Ta?”

“Setahuku tidak, Pasar Inpres hanya buka sampai jam sebelas siang saja, selebihnya hanya dibiarkan kosong oleh para penjual yang menyewa. Berbeda dengan Paman Mala, mereka tinggal dan bekerja mencetak gorong-gorong, heng liong, tiang dan juga patung hiasan taman atau teras rumah, makanya buka sampai sore,” jabar Juwita, seakan-akan lebih tahu dari Mala yang merupakan keponakannya.

Lama mereka menunggu, bangsal panjang ini seperti sengaja tak dipasang lampu tak juga terlihat satu sinar menyala di beberapa sudut.  Berkali-kali Puan bersedekap, tak jauh darinya satu tabung besi, mesin pengaduk semen.

“Aku susul Mala ya, Puan. Takutnya makin malam kita ke rumah Rani.”

Puan mengangguk, seiring Juwita melangkah melalui jalan samping yang di ujungnya tepat mengantung lampu panjar.

Tak ada yang bisa Puan lakukan, hanya berdiri menunggu dua orang bahkan kini, untuk segera kembali.

Suasana makin lengang setelah satu kendaraan melintas, begitu lama jaraknya dari satu kendaraan yang lebih dulu melintas tadi.

Dek!

Suara sesuatu membentur gorong-gorong.

“La? Ta?”

Puan mengerutkan dahi begitu dalam, berharap menangkap satu sosok dan itu adalah mereka yang sengaja menakut-nakuti atau sekadar iseng.

“Mala?”

Bayangan hitam dalam samar pandang terlihat mengendap. Jantung Puan berdetak cepat, merasa ada sepasang mata yang terus mengamatinya berdiri.

“Juwita!” Puan berlari mengikuti arah Juwita pergi, satu-satunya penolong dalam menentukan arah adalah lampu panjar yang terus menyala, tetapi seketika langkah Puan berhenti.

Teretet!

Klep!

Teretet!

Klep!

Lampu mendadak nyala padam, makin bertambah takut Puan dengan sepi yang mencekam.

“Mala!” teriaknya, deretan patung semen yang dicor, makin membuat kakinya bergetar.

Teretet!

Klep!

“Akh!”

Puan berteriak histeris, satu sosok yang tadi dilihatnya tadi sudah berdiri di bawah lampu yang terus nyala padam, bukan itu yang membuatnya takut tak ayal, tetapi benda yang di pegang sosok itu, sekop pasir.

Dengan tergesa, Puan melangkah ke belakang, tetapi tak juga dia mendapati rumah yang tadi dibilang oleh Mala dan Juwita. Dua unit alat pres batako, serta satu pengaduk semen putar besar. Tidak ada rumah seperti bayangannya, hanya satu rumah kecil bagi pekerja yang juga gelap seperti tak lagi dihuni.

“Mala! Juwita!” teriak Puan, berkali-kali dia menoleh ke belakang, bahkan dia sendiri bingung kini untuk kembali ke halaman depan.

Klep!

Lampu panjar akhirnya padam, Puan hanya bisa menerka-nerka jalan untuk kembali.

Tep!

Satu tangan tiba-tiba kuat membekap mulutnya dari belakang.

“Empft!”

“Empft!”

Puan berusaha berontak dalam bekap.

Duk!

Satu tendangan kakinya tepat mendarat ke tulang kering sorang yang terus berusaha untuk membawanya.

Mendapati kesempatan untuk melarikan diri, Puan bergegas ambil langkah seribu.

Bruk!

Gerabak!

Gerabak!

Deret patung menyerupai arca roboh saling tindih.

“Tolong! Mala, tolong! Juwita!” teriaknya keras, seiring kendaraan melintas dengan suara meraung, keluar dari knalpot bong menyamarkan teriakan itu.

Das!

Bruk!

Kontan seketika tubuh Puan roboh terkulai, setelah satu ayunan sekop pasir kuat menghajar bagian tengkuk.

Tubuh Puan diseret, meninggalkan bekas serta surat undangan yang berwarna kuning tergeletak di tanah.

****

“Puan!”

“Puan!”

Teriak Mala dan Juwita, mendapati Puan tak juga kembali setelah sekian waktu.

“Ke mana dia, Ta?”

“Entah, aku pikir dia jenuh menunggu kita,” jawab Juwita      .

“Puan!”

“Kenapa kalian berteriak-teriak, ha!” Muncul satu lelaki berkalung sarung, dengan rambut gondrong sebahu.

“Puan, teman kami tak ada, Paman.”

“La memangnya ke mana dia, he?”

“Tadi aku menyusul Mala, dan kubiarkan dia sendiri di sini,” jawab Juwita.

“Apa mungkin dia ke kompleks depan situ?”

“Mana mungkin. Sepengetahuanku, Puan tak memiliki kenalan atau saudara di Sido Dadi.”

“Kalian tunggu saja, siapa tahu teman kalian itu segera kembali.” Lelaki berkalung sarung lalu kembali dengan melewati gelap bangsal.

****

Bret!

Sak semen terbuka, setelah orang yang berkalung sarung merobeknya dengan menggunakan pisau, satu cetakan patung terlihat tergeletak, terbuat dari kayu yang dipahat menyerupai perempuan duduk dengan dibelah dua.

“Ough.” Puan menggeliat, sontak dia berontak saat menyadari kedua tangan telah diikat ke belakang, berikut juga kedua kaki.

“Empft!”

“Empft!”

Dia mencoba berteriak, tetapi suara itu hanya tertelan kembali oleh kain yang mengikat dan bagian lain menyumpal mulutnya.

Nanar matanya memandang sekitar, berharap dia mengenali tempat itu, dan makin dia berteriak seraya mencoba bangkit, saat dia mengenali pakaian yang tergeletak tak jauh dari tempatnya meringkuk. (BERSAMBUNG KE BAB 3)

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search