PATUNG SEMEN BAB 2

PATUNG SEMEN BAB 2
Dalam gemerlap lampu jalan yang mengarah
lurus, dua kendaraan terus membelah jalanan yang ramai oleh pemburu kuliner,
Sri Pemandang, salah satu tempat di sudut kota yang tak jauh dari pasar
kabupaten. Jauh dari gedung menjulang serta perkantoran.
“Kita mampir dulu ke rumah Pamanku, ya,”
kata Mala di sela menunggu lampu merah berganti hijau. Sementara di belakang,
Juwita sudah menghidupkan sen ke arah kanan, jalan yang menuju Pasar Inpres
atau pasar pagi, umum masyarakat Sri Pemandang menyebutnya, seakan sudah bisa
menebak ke mana mereka akan pergi.
“Apa tidak kemalaman nanti ke rumah
Rani.”
“Tidak, Puan. Ini juga masih jam
berapa.”
Motor kembali melaju dengan menyusuri
jalan yang sedikit gelap oleh rapat angsana yang memayungi. Tower menjulang
dengan lampu merah, menegaskan kalau mereka tak lama lagi akan sampai di pasar
Inpres.
“Ini rumah Pamanmu?” tanya Puan.
“Iya.” Mala memutar kontak lalu turun
dari motor.
“Gelap sekali.”
“Di depan ini bangsal, biasa digunakan
untuk mencetak gorong-gorong sumur, mereka tinggal di rumah belakang,” tegas
Mala.
“Bukannya yang di depan itu Kompleks
Sido Dadi ya, La?” Juwita melangkah dan mengambil tempat di antara keduanya.
“Betul, Pasar Inpres memang tak jauh
dari kota, kalian berdua tunggu di sini sebentar, ya.” Mala bergegas meninggalkan
mereka, tampak sudah biasa bagi Mala ke sini, terlihat dia begitu hafal dengan
melangkah dalam gelap di antara banyaknya gorong-gorong dan beberapa tiang
rumah yang berdiri setelah dilepas dari cetakan cor.
Puan melempar pandang ke sekeliling,
tampak begitu sunyi, pasar yang tak begitu luas ini terlihat seperti kampung
mati dengan los pasar yang semua sudutnya nyaris gelap, hanya menyisakan dua
lampu panjar.
Sesekali jalan terlihat terang oleh
sorot lampu motor yang melintas, selebihnya hanya pekat. Puan masih berdiri
dengan dahi berkerut, dari kejauhan terlihat satu lelaki berpakaian serba hitam
melintas cepat, seakan tak ingin diketahui kehadirannya dalam siram temaram
lampu panjar.
“Apa pasar ini kalau malam ada
penjaganya, Ta?”
“Setahuku tidak, Pasar Inpres hanya buka
sampai jam sebelas siang saja, selebihnya hanya dibiarkan kosong oleh para
penjual yang menyewa. Berbeda dengan Paman Mala, mereka tinggal dan bekerja
mencetak gorong-gorong, heng liong, tiang dan juga patung hiasan taman atau
teras rumah, makanya buka sampai sore,” jabar Juwita, seakan-akan lebih tahu
dari Mala yang merupakan keponakannya.
Lama mereka menunggu, bangsal panjang
ini seperti sengaja tak dipasang lampu tak juga terlihat satu sinar menyala di
beberapa sudut. Berkali-kali Puan
bersedekap, tak jauh darinya satu tabung besi, mesin pengaduk semen.
“Aku susul Mala ya, Puan. Takutnya makin
malam kita ke rumah Rani.”
Puan mengangguk, seiring Juwita
melangkah melalui jalan samping yang di ujungnya tepat mengantung lampu panjar.
Tak ada yang bisa Puan lakukan, hanya
berdiri menunggu dua orang bahkan kini, untuk segera kembali.
Suasana makin lengang setelah satu
kendaraan melintas, begitu lama jaraknya dari satu kendaraan yang lebih dulu
melintas tadi.
Dek!
Suara sesuatu membentur gorong-gorong.
“La? Ta?”
Puan mengerutkan dahi begitu dalam,
berharap menangkap satu sosok dan itu adalah mereka yang sengaja menakut-nakuti
atau sekadar iseng.
“Mala?”
Bayangan hitam dalam samar pandang
terlihat mengendap. Jantung Puan berdetak cepat, merasa ada sepasang mata yang
terus mengamatinya berdiri.
“Juwita!” Puan berlari mengikuti arah
Juwita pergi, satu-satunya penolong dalam menentukan arah adalah lampu panjar
yang terus menyala, tetapi seketika langkah Puan berhenti.
Teretet!
Klep!
Teretet!
Klep!
Lampu mendadak nyala padam, makin bertambah
takut Puan dengan sepi yang mencekam.
“Mala!” teriaknya, deretan patung semen
yang dicor, makin membuat kakinya bergetar.
Teretet!
Klep!
“Akh!”
Puan berteriak histeris, satu sosok yang
tadi dilihatnya tadi sudah berdiri di bawah lampu yang terus nyala padam, bukan
itu yang membuatnya takut tak ayal, tetapi benda yang di pegang sosok itu,
sekop pasir.
Dengan tergesa, Puan melangkah ke belakang,
tetapi tak juga dia mendapati rumah yang tadi dibilang oleh Mala dan Juwita.
Dua unit alat pres batako, serta satu pengaduk semen putar besar. Tidak ada
rumah seperti bayangannya, hanya satu rumah kecil bagi pekerja yang juga gelap
seperti tak lagi dihuni.
“Mala! Juwita!” teriak Puan,
berkali-kali dia menoleh ke belakang, bahkan dia sendiri bingung kini untuk
kembali ke halaman depan.
Klep!
Lampu panjar akhirnya padam, Puan hanya
bisa menerka-nerka jalan untuk kembali.
Tep!
Satu tangan tiba-tiba kuat membekap
mulutnya dari belakang.
“Empft!”
“Empft!”
Puan berusaha berontak dalam bekap.
Duk!
Satu tendangan kakinya tepat mendarat ke
tulang kering sorang yang terus berusaha untuk membawanya.
Mendapati kesempatan untuk melarikan
diri, Puan bergegas ambil langkah seribu.
Bruk!
Gerabak!
Gerabak!
Deret patung menyerupai arca roboh
saling tindih.
“Tolong! Mala, tolong! Juwita!”
teriaknya keras, seiring kendaraan melintas dengan suara meraung, keluar dari knalpot
bong menyamarkan teriakan itu.
Das!
Bruk!
Kontan seketika tubuh Puan roboh
terkulai, setelah satu ayunan sekop pasir kuat menghajar bagian tengkuk.
Tubuh Puan diseret, meninggalkan bekas
serta surat undangan yang berwarna kuning tergeletak di tanah.
****
“Puan!”
“Puan!”
Teriak Mala dan Juwita, mendapati Puan
tak juga kembali setelah sekian waktu.
“Ke mana dia, Ta?”
“Entah, aku
pikir dia jenuh menunggu kita,” jawab Juwita .
“Puan!”
“Kenapa kalian
berteriak-teriak, ha!” Muncul satu lelaki berkalung sarung, dengan rambut
gondrong sebahu.
“Puan, teman
kami tak ada, Paman.”
“La memangnya ke
mana dia, he?”
“Tadi aku
menyusul Mala, dan kubiarkan dia sendiri di sini,” jawab Juwita.
“Apa mungkin dia
ke kompleks depan situ?”
“Mana mungkin. Sepengetahuanku,
Puan tak memiliki kenalan atau saudara di Sido Dadi.”
“Kalian tunggu
saja, siapa tahu teman kalian itu segera kembali.” Lelaki berkalung sarung lalu
kembali dengan melewati gelap bangsal.
****
Bret!
Sak semen
terbuka, setelah orang yang berkalung sarung merobeknya dengan menggunakan
pisau, satu cetakan patung terlihat tergeletak, terbuat dari kayu yang dipahat
menyerupai perempuan duduk dengan dibelah dua.
“Ough.” Puan
menggeliat, sontak dia berontak saat menyadari kedua tangan telah diikat ke
belakang, berikut juga kedua kaki.
“Empft!”
“Empft!”
Dia mencoba
berteriak, tetapi suara itu hanya tertelan kembali oleh kain yang mengikat dan
bagian lain menyumpal mulutnya.
Nanar matanya memandang sekitar, berharap dia mengenali tempat itu, dan makin dia berteriak seraya mencoba bangkit, saat dia mengenali pakaian yang tergeletak tak jauh dari tempatnya meringkuk. (BERSAMBUNG KE BAB 3)
No comments:
Post a Comment