PATUNG SEMEN BAB 1
PATUNG SEMEN BAB 1
“Bu! Patung siapa ini!”
Krek.
Pintu terbuka, Puan bergegas menuju
dapur, tetapi langkahnya terhenti, dari tempatnya berdiri, terlihat Cengkar sedang
berbicara dengan ibunya.
“Kenapa Mas Cengkar tidak mengatakan
kalau mau main ke rumah,” batinnya.
Dengan wajah semringah, Puan segera
menuju pintu belakang, haus yang meraja sirna seketika, begitu mengetahui Cengkar
sudah ada di halaman belakang.
“Bu ....”
Puan menahan napas sejenak setelah pintu
terbuka, halaman itu kosong, tidak terlihat Cengkar atau ibunya.
“Aneh, padahal jelas tadi aku melihat
mereka,” risak hatinya.
Puan menoleh ke arah di mana dia tadi
berdiri, dengan perlahan dia kembali ke depan jendela.
Sama, tidak ada siapa-siapa di halaman
kecil berumput jepang itu.
“Padahal jelas tadi aku melihat mereka.”
Glek!
Seketika Puan menoleh ke arah pintu,
bertambah heran saat dia melihat kedua orang tuanya masuk.
“Sudah pulang kamu, Nduk?”
“He, ditanya kok tidak dijawab,”
imbuhnya.
“Ibu dari mana? Bapak ....?”
“Kamu ini loh kenapa, he?” Pak Sudrajat,
lelaki baya berbadan gempal itu lalu berdiri di depan Puan.
“Bapak baru pulang dari rumah Cengkar. Memang
kenapa? Ya, ‘kan, Bu?”
Puan hanya bisa menatap bergantian kedua
orang tuanya, sesekali dia kembali menoleh jendela kaca yang jelas masih
terkunci.
“Bukannya Ibu ada di belakang, berbicara
dengan ....”
“Kamu ini ada-ada saja, Nduk.” Ibunya
bergegas meninggalkan tempat itu, menuju kamar.
“Lalu
patung yang ada di teras itu?”
“Bapak pikir kamu yang membelinya untuk
menjadi salah satu hiasan nanti ”
Setelahnya, Puan hanya bisa bungkam
seraya memandangi bapaknya yang juga masuk ke kamar.
****
“Nduk, benar kamu sedang tak bertengkar
dengan Cengkar, ‘kan?”
Puan yang diminta untuk duduk hanya bisa
menatap mata ibunya.
“Kebetulan kami tadi singgah sebentar ke
rumah Pak Sembodo, sekalian membelikan obat untuknya, hingga kami tahu kalau
Cengkar sudah beberapa hari ini tak pernah pulang.”
“Tidak, kami tak pernah bertengkar, Bu.”
“Ke mana anak itu.”
“Atau kamu mungkin tahu ke mana Cengkar
pergi, atau paling tidak tahu di mana tempat yang biasanya dia sering
kunjungi?”
“Puan sungguh tak tahu ke mana Mas
Cengkar pergi, Bu.”
“Ah, kenapa Ibu jadi khawatir akan
keberadaannya, bahkan pernikahan kalian tinggal satu minggu ke depan.”
Puan hanya bisa tertunduk, tangannya
erat menggenggam tangan ibunya, seperti ada rasa kekhawatiran yang sama dirasa.
“Mana mungkin Mas Cengkar pergi
meninggalkan Puan. Bahkan Puan baru pulang menyebar undangan ke beberapa teman,
Bu.”
“Ibu harap tak terjadi suatu hal yang
menimpa Cengkar atau kamu, Nduk. Ibu tak bisa membayangkan kalau Cengkar belum
juga kembali sampai hari akad tiba.”
“Lalu apa yang bisa Puan lakukan
sekarang, Bu?”
“Entah, Nduk. Berdoa saja semoga Cengkar
tidak kenapa-kenapa, dan segera pulang.”
“Puan! Ada Mala! Dia mencarimu!”
“Sudah sana temui,” pinta ibunya.
“Puan yang meminta Mala untuk datang.”
Puan beranjak.
“Iya, sudah sana.”
Puan melangkah meninggalkan kamar,
seraya meraih beberapa undangan yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
****
“Patung ini sangat bagus bila dibuat
sepasang, Puan,” ucap Mala menyambut Puan yang muncul dari pintu.
“He? Kenapa wajahmu begitu, bukannya
kamu memintaku untuk mengantarkan undangan ke rumah Juwita.”
“Aku baru mendengar kabar kalau mas
Cengkar sudah seminggu ini tak pulang.” Puan menghempaskan bokong ke kursi
bambu.
“Ah, jangan terlalu cepat mengambil
kesimpulan kalau Mas Cengkar akan meninggalkanmu. Andai iya, apa dia ingin
mencoreng muka kedua orang tuamu, dan terlebih membuat malu bapaknya sendiri,
Pak Sembodo.” Mala bergeser mendekat.
“Kita bahkan tak pernah tahu apa yang
akan Mas Cengkar lakukan, bisa saja ada urusan yang ingin dia selesaikan, atau
diam-diam mempersiapkan kejutan untuk kalian berdua, masuk ke rumah baru, bisa
jadi, ‘kan?” Anggapan lain yang masuk akal terucap dari Mala, tetangga
sekaligus sahabat karib Puan.
“Apa gara-gara ucapanku waktu itu.” Puan
menatap Mala, ada penyesalan tersirat di sana.
“Puan, kita bersahabat, ‘kan? Semua itu
tak seperti anggapanmu. Meski tampan, tetapi mana mungkin aku menghianati kamu,
Puan. Kami sudah tak ada hubungan apa pun.”
“Kamu percaya denganku, ‘kan?” Mala
menggenggam tangan Puan, menyalurkan apa yang dia ucapkan untuk memaksa Puan
percaya.
“Jadi ‘kan kita ke rumah Juwita? Tentu
dia akan sangat gembira sekali dengan undangan pernikahanmu.”
“Sekarang aku begitu memikirkan di mana
Mas Cengkar.” Puan mendengus, menyandarkan punggung.
“Puan, kita tahu bagaimana Mas Cengkar,
dia bukan lelaki kemarin sore yang baru mendengar kata tanggung jawab. Percaya
padaku, mungkin dia sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan
kalian.”
“Ayo, aku akan mengantarmu sekarang, ke
mana pun,” imbuh Mala.
*****************
“Sungguh? Kamu akan menikah dengan
Cengkar, Puan?”
“Kamu memang beruntung, Puan. Selain
orangnya begitu kalem, Cengkar itu tipe orang yang begitu taat agama, religius
sekali.”
“Ah, aku tak sabar ingin segera memberi
ucapan selamat kepada kalian berdua di atas pelaminan,” cerocos Juwita.
“Aku ... aku harus mengantar undangan
ini ke rumah Rani, kalau begitu ....” Puan bermaksud pamit.
“Rani? Kamu undang juga?” Mala bertanya dengan diakhiri dahi berkerut.
“Kamu tahu, ‘kan? Rani itu perusak
hubungan kalian, kamu ingat kejadian dulu, bagaimana kalian bertengkar hanya
gara-gara kedekatan Rani dengan mas Cengkar, puan!”
“Sudahlah Mala, bila nama Rani sudah
masuk ke daftar nama yang dimiliki Puan, kita bisa apa, ha? Lagi pula itu
cerita lama.”
“Kalau kalian tak keberatan, aku juga
ingin ikut serta untuk mengantarkan kalian membagikan undangan, bagaimana?”
“Boleh,” sambar Mala. Sementara Puan
hanya mengangguk seraya menyambut pelukan Juwita.
“Selamat ya, Puan. Ternyata Cengkar
lebih memilih kamu,” bisik Juwita.
“Ayo, hari semakin malam, adegan
pelukannya nanti saja.” Mala beranjak, diikuti Puan dan Juwita.
****
Setelah melewati perempatan Perumahan
Timah, kedua motor melaju dalam terang penerangan jalan sudut kota, ramai jalan
kala siang telah berubah bagai jalan buntu, hanya beberapa kendaraan yang
melintas berpapasan.
“Kita mau ke mana!” teriak Puan,
mengeraskan suara setelah angin menerbangkan beberapa huruf yang terdengar.
“Mala! Kita mau ke mana? Bukannya rumah
Rani di Sri Pemandang?” Puan menoleh ke belakang, tampak Juwita terus mengekor
dengan motor empat gigi.
Lampu sen mengedip, Mala memberhentikan
motor tepat di salah satu warung tenda yang di depannya mengepul asap dari
kipas bilah bambu. Remang sudut kota akan bertambah ramai oleh beberapa gerobak
penjual makanan.
“Aku ingin membelikan sate untuk Ibuku,
tidak lama kok,” ujar Mala melepas helm, meletakkannya dengan menggantung di
spion.
“Kenapa jauh sekali kalau hanya mau beli
sate, bukannya kita mau ke Sri Pemandang, ‘kan?” Juwita yang tadi berkendara di
belakang sudah berdiri di samping Puan.
“Kita tunggu saja sebentar, lagi pula
itu mungkin sate langganan ibunya, bisa jadi, ‘kan?” (BERSAMBUNGKE BAB 2)
No comments:
Post a Comment