Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PATUNG SEMEN BAB 1


PATUNG SEMEN BAB 1

“Bu! Patung siapa ini!”

Krek.

Pintu terbuka, Puan bergegas menuju dapur, tetapi langkahnya terhenti, dari tempatnya berdiri, terlihat Cengkar sedang berbicara dengan ibunya.

“Kenapa Mas Cengkar tidak mengatakan kalau mau main ke rumah,” batinnya.

Dengan wajah semringah, Puan segera menuju pintu belakang, haus yang meraja sirna seketika, begitu mengetahui Cengkar sudah ada di halaman belakang.

“Bu ....”

Puan menahan napas sejenak setelah pintu terbuka, halaman itu kosong, tidak terlihat Cengkar atau ibunya.

“Aneh, padahal jelas tadi aku melihat mereka,” risak hatinya.

Puan menoleh ke arah di mana dia tadi berdiri, dengan perlahan dia kembali ke depan jendela.

Sama, tidak ada siapa-siapa di halaman kecil berumput jepang itu.

“Padahal jelas tadi aku melihat mereka.”

Glek!

Seketika Puan menoleh ke arah pintu, bertambah heran saat dia melihat kedua orang tuanya masuk.

“Sudah pulang kamu, Nduk?”

“He, ditanya kok tidak dijawab,” imbuhnya.

“Ibu dari mana? Bapak ....?”

“Kamu ini loh kenapa, he?” Pak Sudrajat, lelaki baya berbadan gempal itu lalu berdiri di depan Puan.

“Bapak baru pulang dari rumah Cengkar. Memang kenapa? Ya, ‘kan, Bu?”

Puan hanya bisa menatap bergantian kedua orang tuanya, sesekali dia kembali menoleh jendela kaca yang jelas masih terkunci.

“Bukannya Ibu ada di belakang, berbicara dengan ....”

“Kamu ini ada-ada saja, Nduk.” Ibunya bergegas meninggalkan tempat itu, menuju kamar.

 “Lalu patung yang ada di teras itu?”

“Bapak pikir kamu yang membelinya untuk menjadi salah satu hiasan nanti ”

Setelahnya, Puan hanya bisa bungkam seraya memandangi bapaknya yang juga masuk ke kamar.

 

****

“Nduk, benar kamu sedang tak bertengkar dengan Cengkar, ‘kan?”

Puan yang diminta untuk duduk hanya bisa menatap mata ibunya.

“Kebetulan kami tadi singgah sebentar ke rumah Pak Sembodo, sekalian membelikan obat untuknya, hingga kami tahu kalau Cengkar sudah beberapa hari ini tak pernah pulang.”

“Tidak, kami tak pernah bertengkar, Bu.”

“Ke mana anak itu.”

“Atau kamu mungkin tahu ke mana Cengkar pergi, atau paling tidak tahu di mana tempat yang biasanya dia sering kunjungi?”

“Puan sungguh tak tahu ke mana Mas Cengkar pergi, Bu.”

“Ah, kenapa Ibu jadi khawatir akan keberadaannya, bahkan pernikahan kalian tinggal satu minggu ke depan.”

Puan hanya bisa tertunduk, tangannya erat menggenggam tangan ibunya, seperti ada rasa kekhawatiran yang sama dirasa.

“Mana mungkin Mas Cengkar pergi meninggalkan Puan. Bahkan Puan baru pulang menyebar undangan ke beberapa teman, Bu.”

“Ibu harap tak terjadi suatu hal yang menimpa Cengkar atau kamu, Nduk. Ibu tak bisa membayangkan kalau Cengkar belum juga kembali sampai hari akad tiba.”

“Lalu apa yang bisa Puan lakukan sekarang, Bu?”

“Entah, Nduk. Berdoa saja semoga Cengkar tidak kenapa-kenapa, dan segera pulang.”

 “Puan! Ada Mala! Dia mencarimu!”

“Sudah sana temui,” pinta ibunya.

“Puan yang meminta Mala untuk datang.” Puan beranjak.

“Iya, sudah sana.”

Puan melangkah meninggalkan kamar, seraya meraih beberapa undangan yang sedari tadi tergeletak di atas meja.

****

“Patung ini sangat bagus bila dibuat sepasang, Puan,” ucap Mala menyambut Puan yang muncul dari pintu.

“He? Kenapa wajahmu begitu, bukannya kamu memintaku untuk mengantarkan undangan ke rumah Juwita.”

“Aku baru mendengar kabar kalau mas Cengkar sudah seminggu ini tak pulang.” Puan menghempaskan bokong ke kursi bambu.

“Ah, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan kalau Mas Cengkar akan meninggalkanmu. Andai iya, apa dia ingin mencoreng muka kedua orang tuamu, dan terlebih membuat malu bapaknya sendiri, Pak Sembodo.” Mala bergeser mendekat.

“Kita bahkan tak pernah tahu apa yang akan Mas Cengkar lakukan, bisa saja ada urusan yang ingin dia selesaikan, atau diam-diam mempersiapkan kejutan untuk kalian berdua, masuk ke rumah baru, bisa jadi, ‘kan?” Anggapan lain yang masuk akal terucap dari Mala, tetangga sekaligus sahabat karib Puan.

“Apa gara-gara ucapanku waktu itu.” Puan menatap Mala, ada penyesalan tersirat di sana.

“Puan, kita bersahabat, ‘kan? Semua itu tak seperti anggapanmu. Meski tampan, tetapi mana mungkin aku menghianati kamu, Puan. Kami sudah tak ada hubungan apa pun.”

“Kamu percaya denganku, ‘kan?” Mala menggenggam tangan Puan, menyalurkan apa yang dia ucapkan untuk memaksa Puan percaya.

“Jadi ‘kan kita ke rumah Juwita? Tentu dia akan sangat gembira sekali dengan undangan pernikahanmu.”

“Sekarang aku begitu memikirkan di mana Mas Cengkar.” Puan mendengus, menyandarkan punggung.

“Puan, kita tahu bagaimana Mas Cengkar, dia bukan lelaki kemarin sore yang baru mendengar kata tanggung jawab. Percaya padaku, mungkin dia sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan kalian.”

“Ayo, aku akan mengantarmu sekarang, ke mana pun,” imbuh Mala.

*****************

“Sungguh? Kamu akan menikah dengan Cengkar, Puan?”

“Kamu memang beruntung, Puan. Selain orangnya begitu kalem, Cengkar itu tipe orang yang begitu taat agama, religius sekali.”

“Ah, aku tak sabar ingin segera memberi ucapan selamat kepada kalian berdua di atas pelaminan,” cerocos Juwita.

“Aku ... aku harus mengantar undangan ini ke rumah Rani, kalau begitu ....” Puan bermaksud pamit.

“Rani? Kamu undang juga?”  Mala bertanya dengan diakhiri dahi berkerut.

“Kamu tahu, ‘kan? Rani itu perusak hubungan kalian, kamu ingat kejadian dulu, bagaimana kalian bertengkar hanya gara-gara kedekatan Rani dengan mas Cengkar, puan!”

“Sudahlah Mala, bila nama Rani sudah masuk ke daftar nama yang dimiliki Puan, kita bisa apa, ha? Lagi pula itu cerita lama.”

“Kalau kalian tak keberatan, aku juga ingin ikut serta untuk mengantarkan kalian membagikan undangan, bagaimana?”

“Boleh,” sambar Mala. Sementara Puan hanya mengangguk seraya menyambut pelukan Juwita.

“Selamat ya, Puan. Ternyata Cengkar lebih memilih kamu,” bisik Juwita.

“Ayo, hari semakin malam, adegan pelukannya nanti saja.” Mala beranjak, diikuti Puan dan Juwita.

****

Setelah melewati perempatan Perumahan Timah, kedua motor melaju dalam terang penerangan jalan sudut kota, ramai jalan kala siang telah berubah bagai jalan buntu, hanya beberapa kendaraan yang melintas berpapasan.

“Kita mau ke mana!” teriak Puan, mengeraskan suara setelah angin menerbangkan beberapa huruf yang terdengar.

“Mala! Kita mau ke mana? Bukannya rumah Rani di Sri Pemandang?” Puan menoleh ke belakang, tampak Juwita terus mengekor dengan motor empat gigi.

Lampu sen mengedip, Mala memberhentikan motor tepat di salah satu warung tenda yang di depannya mengepul asap dari kipas bilah bambu. Remang sudut kota akan bertambah ramai oleh beberapa gerobak penjual makanan.

“Aku ingin membelikan sate untuk Ibuku, tidak lama kok,” ujar Mala melepas helm, meletakkannya dengan menggantung di spion.

“Kenapa jauh sekali kalau hanya mau beli sate, bukannya kita mau ke Sri Pemandang, ‘kan?” Juwita yang tadi berkendara di belakang sudah berdiri di samping Puan.

“Kita tunggu saja sebentar, lagi pula itu mungkin sate langganan ibunya, bisa jadi, ‘kan?” (BERSAMBUNGKE BAB 2)




PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search