CERKAK WARSINAH BAB 7
BAB 7
Dua hari
berikutnya.
“Asalamualaikum.”
Lelaki yang mengenakan baju batik itu
berdiri di depan pintu
“Walaikumsalam.” Suara dari dalam
rumah.
“O, Pak RT, monggo melebet Pak.”
Warsinah mempersilakan Pak RT masuk.
“Lha mana kang Noto yu?”
“Ada, di belakang, sebentar saya
panggilkan.”
“Ndak usah yu, saya hanya sebentar,
cuma mau memberikan ini,” ucap Pak RT seraya menyerahkan dua lembar uang
kertas.
“Lho nopo to niki pak.”
“Ini sebagai pengganti lelah yu War,
karena telah membantu istri saya beberapa hari kemarin,” kata Pak RT dengan memberikan uang.
“O nggeh, terima kasih lo Pak, apa
ini ndak kebanyakan.”
“Sudah yu ambil saja, sekalian saya
dan istri mau mengucapkan terima kasih kepada sampean, telah membantu beberapa
hari kemarin.”
“Kedatangan saya sekalian mau
menyampaikan mandat dari kantor desa, bahwa besok penerima manfaat program
keluarga harapan sudah bisa mengambil beras di E-warung.”
“Lho bukannya di balai desa, seperti
biasa to Pak.”
“Ndak lagi yu, nanti tinggal tunjukan
kartu yang saya berikan kemarin, anu yu … sekalian mau saya sampaikan kalau
nanti jam tiga sore ada pengajian ibu-ibu di langgar, berhubung besok ada
kegiatan lain, jadi Ustad Sopyan minta jadwalnya maju, jadi hari ini.”
“O, Nggeh Pak, Insha’Allah.”
“Ehem!” Kuswanoto sudah berdiri di
belakang Warsinah.
“Opo! Pengajian! Gak … wes gak atek
onok acara ngaji-ngaji mbarang!” tolak
Kuswanoto setelah mendengar pembicaraan mereka.
“Duwek opo iku Makne! Balekno …
awakku jek iso nyukupi kebutuhanmu,” kata Kuswanoto, tatapannya tajam mengarah
ke Pak RT.
“Nggeh ampun ngoten to kang, ini uang
titipan istri saya sebagai ucapan terima kasih telah ….”
“Gak! Wes ogak ritek!” potong Kuswanoto
Dengan menggulung sarungnya,
Kuswanoto maju selangkah di depan pak RT.
“Tak omongi yo sampean! Ojo
meneh-meneh ngidak latarku yo, sampean, ngerti!” bentak Kuswanoto.
“Mbok wes to Pakne, ndak usah ngomong
begitu, Pak RT hanya menyampaikan tentang bantuan beras, juga masalah pengajian
ibu-ibu sore ini,” redam Warsinah.
“Ndak usah-marah-marah to kang, kalem
ae to kalem, tidak ada maksud lain kedatangan saya, ya seperti yang di ucapkan
yu War tadi,” ucap Pak RT tenang.
“Ogak! Pokoke gak oleh Warsinah
pengajian nek gur kate ke temu Sopyan!” seru Kuswanoto. Urat di leher dan dahi
menonjol seketika.
“Bantuan beras awakku yo gak tau
njalok! Pokok wes ojo pisan-pisan sampean moro neng omahku!” tambahnya.
“Yo wes yu War, kulo pareng,” ucap
Pak RT pamit.
“Wes kono sampean gek baleko kono!”
hardik Kuswanoto, terlihat Pak RT buru-buru meninggalkan ruangan itu.
“Wes gek ndang!”
“Iyo kang, iyo … biyoh,” sahut Pak
RT dengan kaki mencari mencari-cari
lubang sandalnya.
Tubuh Pak RT hilang di ujung halaman,
seiring terlihatnya Saimun yang menoleh ke belakang.
“Ana apa sih yak, deneng kae Pak Rete
kayak uwong keweden, nganti pucet koh,” ucap Saimun yang memiliki logat ngapak.
“Halah wes! Tak untak sisan kene ko
awakmu!” sahut Kuswanoto, segera meninggalkan ambang pintu.
“Aja kayak kuwe ngapa lah, nyong kiye
ra weruh apa-apa, reyang maning, reyang maning, apa ra kesel rika,” kata Saimun
yang masih berdiri di halaman.
“Wes kang, wes, kono gek langsung
wae, arep neng kebon to?”
“O wong gemblung, di takoni apik-apik
gele semaur kayak kuwe,” gerutu Saimun dengan melangkah meninggalkan halaman.
~*~
“Njenengan ki ngopo to Pak, kereng
eram dadi uwong, mbok ya sudah to, isin sama Pak RT,” ucap Warsinah mencoba
menenangkan suaminya.
“Ben! Ben gak wani macem-macem kambek
awakmu, ngenteni dino nggo Sopyan nek wani-wani nyedaki awakmu,” kata Kuswanoto
dengan mulut di jejali sebatang kretek di sudut bibirnya.
“Ya ndak mungkin to Pak, jangan
samakan sewaktu muda dulu, kita semua ini sudah beranak cucu, mana ada yang mau
sama aku, ndak mungkin … walaupun ada, aku yo moh,” lanjut Warsinah.
“Pokok prei sek lek mu pengajian.”
“Ya Allah pak … wong kate ngibadah
golek ganjaran kok Njenengan penggak!” kaget Warsinah setelah mendengar ucapan
suaminya.
“Kate manut bojo opo nuruti omongane
uwong, heh!” Kuswanoto memutar tubuhnya menghadap Warsinah.
“Ya liat-liat to Pak, kalau suaminya
itu tekun sembahyang, gak muring-muring yo wajib di anut, lha iki ….”
“Lha iki opo, opo kurang bagus awakku
dadi bojomu, iyo, kurang bagus, kurang gagah ngono ta, iyo!”
“lha to, lama-lama kena stroke
Njenengan kalau ngomong mententeng-metenteng kayak gitu, mbok seng alus to
kalau ngomong, bukan perkara ganteng atau gagahnya, mbok ya sedikit-sedikit
wataknya itu di ubah, ngunduri tuo pak, ngunduri tuo, ndak bakal mau bagus
terus, gagah terus, apa nunggu engkek-engkek baru mau berubah heh..,” tutur
Warsinah.
“Wes ko pabrike, gak usah kokean muna-muni
koyok Kiai ae lah.” Kuswanoto ngedumel.
“Lhai iki orang kalau sudah mendugul
maunya sendiri,” keluh Warsinah geleng-geleng kepala.
“Tukokno udud sek, ko nek nompo
bayaran tak ijoli,” ketus Kuswanoto menyuruh Warsinah.
“Halah gak usah ngomong mau di
kembalikan, yang dulu-dulu ya begitu ngomongnya.” Warsinah menuju gerobok dan
meraih sesuatu di bawah tumpuk baju.
Warsinah memberikan selembar uang
berwarna biru.
“Yo tukokno kono sisan to.”
“Ealah Pak, mbok ya ndak usah
ngalem-ngalem, tinggal beli saja di warung Pondi sana, bagaimana kalau tak
tinggal mati,” gerutu Warsinah melangkah ke ruang dapur.
“Okeh seng ngenteni,” jawab Kuswanoto
enteng.
“Halah! Siapa yang mau, gialak!
Ndablek!muringan … janda mana yang mau,”ucap Warsinah melewati Kuswanoto dengan
ember berisi baju yang sudah di keringkan di mesin cuci.
“Rondo limo sek sanggup ngerentengi,”
balas Kuswanoto segera bergegas menuju warung.
Warsinah menggeleng-geleng kepala,
seandainya dia marah, suaminya pasti lebih marah. Lagi-lagi dia hanya bisa
mengelus dada.
“Wes rampungan yu,” sapa perempuan
yang melintas dari jalan setapak samping rumah.
“E, dari mana yu Jem,” kata Warsinah
seraya membentang sarung kawung di tali jemuran.
“Dari pulang menggatra nasi yu,”
balas Paijem dengan mendekati Warsinah.
“Tadi pas lewat, aku kok mendengar
kang Noto sepertinya marah-marah to yu,” ujar Paijam melepas capil bambu yang
di kenakan.
“Biasa to yu, kayak ndak tau saja
kang Noto, modelnya ya memang begitu,” kata Warsinah.
“Lah nek coro aku yo ndak betah yu
punya suami suka marah-marah begitu.”
“lha mau di apakan lagi,” bela
Warsinah.
“Tinggalen marek yu, kalau aku punya
suami seperti kang Noto sudah minta cerai dari kemarin, hati perempuan gampang
sakit yu kalau sering di marahi suami, maunya makan enak, ikan asin katanya
darah tinggi, blendrang gak mau, katanya utah-utahan sapi, tumis kates katanya
rembes, lha mending jatah belanjannya nyukupi,” cerocos Paijem.
“Iku to nek bojomu yu,” balas
Warsinah dengan senyum.
“Gung neng bengi, maunya minta jatah,
yon dak mikir besok mau makan apa, ndak di kasih nanti kok katanya di laknat,
mentolo tak tinggal, eh … nanti pergi ndak, kata Pak Rete, pengajiannya di
majukan jadi hari ini.”
“Kamu ini curhat opo ngomongin suamimu
to yu Jem, wes ayo mlebu sek kene,” ajak Warsinah.
“Lah ora yu, mau langsung pulang, di
rumah belum beresan,” ucap Paijem lalu bergegas pergi.
Warsinah mengantarnya hanya dengan
senyuman.
No comments:
Post a Comment