Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK WARSINAH BAB 7

 BAB 7

Dua hari berikutnya.

“Asalamualaikum.”

Lelaki yang mengenakan baju batik itu berdiri di depan pintu

“Walaikumsalam.” Suara dari dalam rumah.

“O, Pak RT, monggo melebet Pak.” Warsinah mempersilakan Pak RT masuk.

“Lha mana kang Noto yu?”

“Ada, di belakang, sebentar saya panggilkan.”

“Ndak usah yu, saya hanya sebentar, cuma mau memberikan ini,” ucap Pak RT seraya menyerahkan dua lembar uang kertas.

“Lho nopo to niki pak.”

“Ini sebagai pengganti lelah yu War, karena telah membantu istri saya beberapa hari kemarin,” kata Pak RT  dengan memberikan uang.

“O nggeh, terima kasih lo Pak, apa ini ndak kebanyakan.”

“Sudah yu ambil saja, sekalian saya dan istri mau mengucapkan terima kasih kepada sampean, telah membantu beberapa hari kemarin.”

“Kedatangan saya sekalian mau menyampaikan mandat dari kantor desa, bahwa besok penerima manfaat program keluarga harapan sudah bisa mengambil beras di E-warung.”

“Lho bukannya di balai desa, seperti biasa to Pak.”

“Ndak lagi yu, nanti tinggal tunjukan kartu yang saya berikan kemarin, anu yu … sekalian mau saya sampaikan kalau nanti jam tiga sore ada pengajian ibu-ibu di langgar, berhubung besok ada kegiatan lain, jadi Ustad Sopyan minta jadwalnya maju, jadi hari ini.”

“O, Nggeh Pak, Insha’Allah.”

“Ehem!” Kuswanoto sudah berdiri di belakang Warsinah.

“Opo! Pengajian! Gak … wes gak atek onok acara ngaji-ngaji mbarang!”  tolak Kuswanoto setelah mendengar pembicaraan mereka.

“Duwek opo iku Makne! Balekno … awakku jek iso nyukupi kebutuhanmu,” kata Kuswanoto, tatapannya tajam mengarah ke Pak RT.

“Nggeh ampun ngoten to kang, ini uang titipan istri saya sebagai ucapan terima kasih telah ….”

“Gak! Wes ogak ritek!”  potong Kuswanoto

Dengan menggulung sarungnya, Kuswanoto maju selangkah di depan pak RT.

“Tak omongi yo sampean! Ojo meneh-meneh ngidak latarku yo, sampean, ngerti!” bentak Kuswanoto.

“Mbok wes to Pakne, ndak usah ngomong begitu, Pak RT hanya menyampaikan tentang bantuan beras, juga masalah pengajian ibu-ibu sore ini,” redam Warsinah.

“Ndak usah-marah-marah to kang, kalem ae to kalem, tidak ada maksud lain kedatangan saya, ya seperti yang di ucapkan yu War tadi,” ucap Pak RT tenang.

“Ogak! Pokoke gak oleh Warsinah pengajian nek gur kate ke temu Sopyan!” seru Kuswanoto. Urat di leher dan dahi menonjol seketika.

“Bantuan beras awakku yo gak tau njalok! Pokok wes ojo pisan-pisan sampean moro neng omahku!” tambahnya.

“Yo wes yu War, kulo pareng,” ucap Pak RT pamit.

“Wes kono sampean gek baleko kono!” hardik Kuswanoto, terlihat Pak RT buru-buru meninggalkan ruangan itu.

“Wes gek ndang!” 

“Iyo kang, iyo … biyoh,” sahut Pak RT  dengan kaki mencari mencari-cari lubang sandalnya.

Tubuh Pak RT hilang di ujung halaman, seiring terlihatnya Saimun yang menoleh ke belakang.

“Ana apa sih yak, deneng kae Pak Rete kayak uwong keweden, nganti pucet koh,” ucap Saimun yang memiliki logat ngapak.

“Halah wes! Tak untak sisan kene ko awakmu!” sahut Kuswanoto, segera meninggalkan ambang pintu.

“Aja kayak kuwe ngapa lah, nyong kiye ra weruh apa-apa, reyang maning, reyang maning, apa ra kesel rika,” kata Saimun yang masih berdiri di halaman.

“Wes kang, wes, kono gek langsung wae, arep neng kebon to?”

“O wong gemblung, di takoni apik-apik gele semaur kayak kuwe,” gerutu Saimun dengan melangkah meninggalkan halaman.

~*~

“Njenengan ki ngopo to Pak, kereng eram dadi uwong, mbok ya sudah to, isin sama Pak RT,” ucap Warsinah mencoba menenangkan suaminya.

“Ben! Ben gak wani macem-macem kambek awakmu, ngenteni dino nggo Sopyan nek wani-wani nyedaki awakmu,” kata Kuswanoto dengan mulut di jejali sebatang kretek di sudut bibirnya.

“Ya ndak mungkin to Pak, jangan samakan sewaktu muda dulu, kita semua ini sudah beranak cucu, mana ada yang mau sama aku, ndak mungkin … walaupun ada, aku yo moh,” lanjut Warsinah.

“Pokok prei sek lek mu pengajian.”

“Ya Allah pak … wong kate ngibadah golek ganjaran kok Njenengan penggak!” kaget Warsinah setelah mendengar ucapan suaminya.

“Kate manut bojo opo nuruti omongane uwong, heh!” Kuswanoto memutar tubuhnya menghadap Warsinah.

“Ya liat-liat to Pak, kalau suaminya itu tekun sembahyang, gak muring-muring yo wajib di anut, lha iki ….”

“Lha iki opo, opo kurang bagus awakku dadi bojomu, iyo, kurang bagus, kurang gagah ngono ta, iyo!”

“lha to, lama-lama kena stroke Njenengan kalau ngomong mententeng-metenteng kayak gitu, mbok seng alus to kalau ngomong, bukan perkara ganteng atau gagahnya, mbok ya sedikit-sedikit wataknya itu di ubah, ngunduri tuo pak, ngunduri tuo, ndak bakal mau bagus terus, gagah terus, apa nunggu engkek-engkek baru mau berubah heh..,” tutur Warsinah.

“Wes ko pabrike, gak usah kokean muna-muni koyok Kiai ae lah.” Kuswanoto  ngedumel.

“Lhai iki orang kalau sudah mendugul maunya sendiri,” keluh Warsinah geleng-geleng kepala.

“Tukokno udud sek, ko nek nompo bayaran tak ijoli,” ketus Kuswanoto menyuruh Warsinah.

“Halah gak usah ngomong mau di kembalikan, yang dulu-dulu ya begitu ngomongnya.” Warsinah menuju gerobok dan meraih sesuatu di bawah tumpuk baju.

Warsinah memberikan selembar uang berwarna biru.

“Yo tukokno kono sisan to.”

“Ealah Pak, mbok ya ndak usah ngalem-ngalem, tinggal beli saja di warung Pondi sana, bagaimana kalau tak tinggal mati,” gerutu Warsinah melangkah ke ruang dapur.

“Okeh seng ngenteni,” jawab Kuswanoto enteng.

“Halah! Siapa yang mau, gialak! Ndablek!muringan … janda mana yang mau,”ucap Warsinah melewati Kuswanoto dengan ember berisi baju yang sudah di keringkan di mesin cuci.

“Rondo limo sek sanggup ngerentengi,” balas Kuswanoto segera bergegas menuju warung.

Warsinah menggeleng-geleng kepala, seandainya dia marah, suaminya pasti lebih marah. Lagi-lagi dia hanya bisa mengelus dada.

“Wes rampungan yu,” sapa perempuan yang melintas dari jalan setapak samping rumah.

“E, dari mana yu Jem,” kata Warsinah seraya membentang sarung kawung di tali jemuran.

“Dari pulang menggatra nasi yu,” balas Paijem dengan mendekati Warsinah.

“Tadi pas lewat, aku kok mendengar kang Noto sepertinya marah-marah to yu,” ujar Paijam melepas capil bambu yang di kenakan.

“Biasa to yu, kayak ndak tau saja kang Noto, modelnya ya memang begitu,” kata Warsinah.

“Lah nek coro aku yo ndak betah yu punya suami suka marah-marah begitu.”

“lha mau di apakan lagi,” bela Warsinah.

“Tinggalen marek yu, kalau aku punya suami seperti kang Noto sudah minta cerai dari kemarin, hati perempuan gampang sakit yu kalau sering di marahi suami, maunya makan enak, ikan asin katanya darah tinggi, blendrang gak mau, katanya utah-utahan sapi, tumis kates katanya rembes, lha mending jatah belanjannya nyukupi,” cerocos Paijem.

“Iku to nek bojomu yu,” balas Warsinah dengan senyum.

“Gung neng bengi, maunya minta jatah, yon dak mikir besok mau makan apa, ndak di kasih nanti kok katanya di laknat, mentolo tak tinggal, eh … nanti pergi ndak, kata Pak Rete, pengajiannya di majukan jadi hari ini.”

“Kamu ini curhat opo ngomongin suamimu to yu Jem, wes ayo mlebu sek kene,” ajak Warsinah.

“Lah ora yu, mau langsung pulang, di rumah belum beresan,” ucap Paijem lalu bergegas pergi.

Warsinah mengantarnya hanya dengan senyuman.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search