CERKAK WARSINAH BAB 8
BAB 8
“Pernikahan dalam Islam merupakan
sunnah Rasulullah.”
“Pelaku pernikahan mendapatkan rahmat
dan bekal keberkahan dalam akad yang diucapkan dan dijanjikan bersama. Namun di
balik itu, pernikahan sejatinya adalah sebuah ketenangan, kenyamanan, dan
kecukupan antara satu dengan lainnya.”
“Pernikahan yang sempurna bukanlah
hanya milik mereka yang memiliki harta melimpah dan jabatan terpuji,” ucap
Ustad Sopyan yang duduk bersila di hadapan belasan para jamaah majelis taklim
ibu-ibu.
“Nabi Muhammad SAW saat menikahkan
putrinya, Fatimah Az-Zahra dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yang merupakan
pria biasa, bahkan satu-satunya harta yang di milikinya hanyalah perisai, dan
itu juga akan dia gadaikan.”Sejenak Ustad Sopyan menatap Warsinah yang
berkerudung kuning gading.
“Kebahagiaan bukan di ukur oleh yang
kita miliki, harta, atau wajah suami yang tampan, tetapi terkadang bahagia itu
tersembunyi dari sifat lelaki yang kerap menyebalkan, bahagia bila seorang
perempuan bisa mengubah dan mengarahkannya menjadi imam yang lebih baik,
bukankah itu sebuah kebahagian.”
“Ya kalau saya sudah saya tinggal
Ustad, cari yang lebih penyayang,” seloroh perempuan yang berbadan gemuk.
Sontak ruangan langgar terdengar tawa.
Ustad Sopyan terus memberikan tausiyah
di akhir kegiatan belajar mengaji, hingga waktu tak terasa di penghujung sore.
Di akhir doanya Ustad Sopyan tak lupa
mendoakan untuk para jamaah pengajian.
“Barak allahu laka, wa baraka
alaikuma, wa jamaa bainakuma fii khair, amin.”
“langsung pulang apa yu?” tanya
Paijem.
“Lha iyo to, wes ayo, selak selak
surup.”
“Ustad Sopyan itu kenapa yo yu kok
ndak menikah-menikah,” tanya Paijem di sela langkah menuju pertigaan.
“Yu War, kulo riyen nggeh,” ucap
beberapa perempuan yang berpisah di pertigaan jalan.
“Nggeh yu, mang riyen.” Warsinah
membalasnya dengan senyum.
“Eh yu, bagaimana?” kejar Paijem atas
pertanyaannya.
“Bagaimana opo ne to yu, kok takon
aku, ngopo tadi ndak tanya sendiri heh.” Warsinah tak mau membahas Ustad
Sopyan.
“Eh yu Jem, aku terus Ya.”
“Bener ndak mau mampir dulu?”
“Ndak yu, ke buru malam.” Warsinah
bergegas menyusuri jalan lurus di depannya.
~*~
“Boyok, boyok!” pinta Kuswanoto untuk
Warsinah pindah memijat pinggangnya.
Kuswanoto melonggarkan gulungan
sarungnya dengan posisi tengkurap.
“Mbok ya sempakan to Pak,” ucap
Warsinah.
“Isin nek ruh wong liyo,
gundal-gandul,” imbuhnya.
“Sopo seng ruh, lha wong
sarungan,” jawab Kuswanoto.
Dengan telaten Warsinah
memijat pinggang suaminya, di atas ambal biru depan tv, kebiasaan rutin bagi
Warsinah saat suaminya meminta untuk mengendurkan otot.
Kuswanoto membalikkan badan
hingga telentang tengadah.
“Lha ini apanya yang mau
di urut kalau begini,” kata Warsinah menghentikan gerakan tangannya.
“Pupu ne kok e, takon
mbarang!”
Dan Warsinah menurut saja.
“Hampir jam sembilan lo Pakne, apa ndak jaga.”
“Ngkop, delok ngkas.”
Kuswanoto memejamkan mata
saat jemari Warsinah memijat pahanya.
“Kapan yo Pak, kita
jalan-jalan ke mall, dari zaman pacaran sampai sekarang belum pernah Njenengan
mengajak jalan-jalan ke mall, kalau ndak di sawah pasti ngajaknya di pinggir
kali,” ucap Warsinah mengenang masa mudanya yang sering di ajak ke dua tempat
tersebut.
“Halah! Neng mall yo kudu
nggowo duwek,” jawab Kuswanoto.
“Lha nek neng sawah opo
kali kan gratis, gak mbayar,” tambahnya.
“Kalau ke tempat Sekar,
pingin sebenarnya aku main ke mall, seperti apa dalamnya, apa kayak di tipi itu
yo Pak.”
“Bosen to Pak, kat cewekan
neng kali ae,” lanjut Warsinah.
Warsinah tersenyum
membayang kala itu, waktu hujan datang sewaktu mereka harus segera pulang.
Dibawah payung daun pisang, tubuhnya harus kuyup karena Kuswanoto yang tak mau
mengalah untuk sedikit ke pinggir. Itu terjadi sepekan setelah pernikahannya.
Derasnya hujan bercampur
angin, di tambah langit yang gelap, Kuswanoto berjalan memegang pelepah daun
pisang, berjalan begitu cepat, hingga tak menyadari Warsinah yang terjelembab
di kubangan.
“Kanggg …,” terik Warsinah, di hadapannya, rantang tempat nasi itu sudah
menggelinding jauh. Bertambah kesal Warsinah saat suaminya hanya berteriak
untuk cepat berdiri.
“Hehehehehehe.” Tawa
Kuswanoto mengaburkan kenangan itu.
“Keri!” teriak Kuswanoto
menyadarkan Warsinah yang salam memijat.
“Njalok ta piye,” ujar
Kuswanoto.
“Plok!” pukulan kecil
mendarat di paha Kuswanoto.
“Angger ae,” gerutu
Warsinah.
“Besok aku apa Njenengan
yang ambil beras di balai desa?” tanya Warsinah.
“Lah awakmu ae lah,” jawab
Kuswanoto lalu menggulung sarungnya.
“Numpang kambek Iis,
tukokno bensine,” imbuhnya.
“Mak.”
“Opo Pak?”
Kuswanoto melebarkan kaki,
dengan senyum menggoda Warsinah.
“Heleh, romantisnya kalau
ada maunya saja Njenengan ini, biasanya ya teriak-teriak, marah-marah,”
Warsinah membuang wajah ke arah tv.
“Gak yo, awakku ki uwong
lanang seng paling romantis.”
“Romantis apanya, kalau
ngomong suka nyakitin hati, mau menangnya sendiri,” bantah Warsinah.
“Mak!”
“Hem,” jawab Warsinah menatap
wajah suaminya yang di hias kumis lebat.
“Halah koyok gak ruh ae
kekarepanku,” kata Kuswanoto menghentikan tangan Warsinah.
“Jek sore,” tolak Warsinah
atas keinginan Kuswanoto.
“Yom ergo jek sore iku sek
anget, bengis itik wes anyep,” ucap Kuswanoto seraya mengarahkan tangan
Warsinah untuk menyentuh sesuatu dari balik sarungnya.
“Nek butuh romantis men
yo, jal nek wes bar, ko kan nek mencak-mencak lek ngomong,” sindir Warsinah.
“Wes ndaang lah, ngoceh
ae!”
“Yoh, yoh uwong kok ra
sabaran,” guretu Warsinah.
“Tak nek kamar sek nek
no,” ucap Kuswanoto lalu bangkit dan menuju kamar dengan wajah semringah.
Warsinah lagi-lagi
menggeleng melihat polah suaminya. Dia harus menutup dan mengunci pintu,
mematikan tv dan lampu, sebelum menuruti apa keinginan suaminya.
~*~
Kamar itu gelap sudah,
ditambah tirai pintu yang tertutup, membuat pantulan cahaya dari dapur tak
mampu menerobos gelap kamar.
Hanya bunyi derit tempat
tidur yang terbuat dari kayu, dengan galar kepingan papan.
Deru napas ngongsrong, bak
basong, memenuhi seantero kamar.
“Alon-alon to Pak, ogros
men,” suara Warsinah dari kamar.
Gempa lokal yang bersumber
dari dalam kamar, mengayunkan foto itu ke kanan dan kiri. Begitu dahsyatnya,
sampai Warsinah harus gelagapan melayani Kuswanoto yang mengamuk diatas
tubuhnya.
No comments:
Post a Comment