CERKAK WARSINAH BAB 9
BAB 9
Seminggu kemudian.
Kuswanoto mengendap-endap
di dinding rumah Sri, dengan menempelkan telinga, dia mencoba mendengar
percakapan yang ada di dalam kamar.
“Pokoknya mulai malam ini
saya ndak mau lagi mendengar kamu masih menerima kang Noto,” ucap lelaki yang
tak mengenakan baju dengan memeluk Sri di atas tempat tidur.
“Kalau kamu masih
menerimanya, semua bantuan akan saya cabut.”
Sri hanya terdiam dalam
dekap lelaki berkulit putih itu.
“Apa sih hebatnya Kang
Noto itu, kok mau-maunya kamu di keloni lelaki yang tak pernah mandi, kok ya
betah kamu dengan bau prengusnya.”
“Apa sih hebatnya dia
hah!” imbuhnya.
Lelaki berkulit putih itu
beranjak berdiri, lalu meraih baju yang tergantung di belakang pintu.
“Dari mana sampean tahu
kalau kang Noto datang ke sini,” tanya Sri.
“Halah, kalau orang lain
mungkin ndak tahu, tetapi aku tahu Sri.”
“Ini, ambil, sekadar untuk
tambah beli kebutuhanmu.” Lelaki itu memberikan beberapa lembar uang kertas.
“Dan ingat! Jangan sampai kamu
ceritakan semua ini kepada siapa pun, atau aku akan mengusirmu dengan alasan
telah berbuat mesum dengan kang Noto, lelaki yang gialaknya ndak ketulungan
itu.”
Sementara di luar rumah,
kaki Kuswanoto bergetar setelah mengetahui siapa lelaki yang ada di dalam
kamar, tangannya mengepal mendengar namanya di sebut-sebut.
“Diangkrekk!!” makinya
dalam hati.
“Sebisa mungkin kamu harus
menolaknya, sejak malam ini, ingat itu,” ancam lelaki yang kini telah
mengenakan baju batik.
“lha orang kayak gitu saja
kok kamu senengi, cuma menang brengosnya saja yang sudah seperti pagar
kecamatan, ndak pernah ngasih kamu apa-apa, memangnya apa yang telah dia
berikan heh, aku ndak mau kamu jadi milik leaki-laki lain Sri,” kata lelaki
yang kini duduk di samping Sri, dengan setengah berbisik.
“Yo eman-eman wajah ayumu
ini lo Sri,” imbuhnya seraya mencolek dagu Sri. Sri berusaha menepisnya.
“Tapi aku mencintainya,”
ucap Sri lirih.
“Cinta! Kamu pernah di
tawari untuk di nikahinya ndak, itu yang namanya cinta, kamu hanya di jadikan
gendak saja Sri, mending kamu menjadi simpenanku, apa yang kamu dapat, tanah,
sawah, bantuan apa yang tak pernah aku masukan namamu hah, sekolah Aji.”
“Sudah lama aku tahu kamu
menerima kang Noto, tetapi aku hanya diam, sampai terakhir dia berani
membentakku! Belum ada di kampung ini yang berani, aku selalu di hormati orang di
sini, aku bahkan sengaja membonceng yu Warsinah untuk memanas-manasi dia, biar dia merasakan bagaimana rasanya
sakit hati, aku sakit hati Sri kalau kamu menerimanya di rumah ini, rumah yang
aku bangun hanya untukmu!”
“Aku juga berusaha
memisahkannya dari yu Warsinah, sebab Sopyan itu masih saudaraku, yang tak akan
pernah menolak yu Warsinah walaupun itu mantan kang Noto.”
“O Asu!” gerutu Kuswanoto
dari balik dinding.
“Sri tak berani menatap
mata lelaki di sampingnya, tatapan itu penuh amarah.
“Aku harus pulang malam
ini, bila aku pulang terlalu malam, istriku bisa curiga,” lelaki itu
menggenggam tangan Sri lalu mengecup keningnya.
Kuswanoto segera
bersembunyi di balik semak, saat lelaki itu juga melakukan hal yang sama,
menuntun motornya keluar dari pintu dapur hingga sampai melewati jembatan
bambu.
~*~
“Sri,” ucap Kuswanoto
setelah memastikan lelaki itu sudah menjauh dari jalan seberang sungai kecil.
“Kang,” kata Sri setelah
membuka pintu dan mempersilakan Kuswanoto masuk.
Sri segera menghapus sudut
matanya, dia tak mau kalau terlihat menangis. Membiarkan Kuswanoto duduk di
kursi plastik, sementara dirinya meraih termos air panas.
“Aku salin dulu kang,”
pamit Sri setelah meletakkan segelas kopi.
Belum juga Sri melewati
Kuswanoto, langkahnya tertahan saat tangan Kuswanoto menariknya.
Nyaris Sri terjelembab ke
belakang, namun seketika Kuswanoto segera menangkap tubuh Sri yang limbung hingga jatuh dalam
peluk Kuswanoto. Mata mereka saling adu, bibir berhias kumis berbulu kasar itu
sejenak mendarat di bibir Sri, mata perempuan di peluk Kuswanoto hanya
terpejam, sebelum akhirnya menepis wajah itu.
“Ngopo! Wes gak gelem!
Mergo wong seng sok suci iko ngancem awakmu hah!” omel Kuswanoto yang berjalan
mengikuti Sri yang masuk ke kamar.
Sri menutup wajah,
menyembunyikan tangisnya.
“Awakku wes ruh kabeh, wes
krungu opo seng diomongno bedes iko,” ucap Kuswanoto datar.
Sri seketika berbalik dan
memeluk Kuswanoto.
“Aku ndak tahu harus
berbuat apa kang, aku hanya seorang janda, dan aku tak berani menolak apa yang
dia berikan dan apa yang dia inginkan, kalau sampai dia mengusirku dari sini
bagaimana aku dan Aji kang,” ucap Sri dalam isak.
“Halah wedi men, ngomongo
nek temu bedes iko! Opo kate tak bongkar kiabeh rahasiane hah! Ben uwong
sekampung do weroh!”
“Jangan kang, jangan … aku
tidak mau orang sekampung juga tahu apa yang aku lakukan,” ucap Sri menggeleng
tak setuju apa yang akan di lakukan Kuswanoto.
“Iyo yo, ko yo
ngrembet-ngrembet neng awakku mbaran, wedos ane!” gumam Kuswanoto.
“Lha terus piye?” tanya
Kuswanoto.
“Biarlah kang, aku harus
melayani dia, sementara aku juga akan selalu menunggu kedatangan kakang,”Sri
mengusap air matanya.
“Asu ancene kok!” maki
Kuswanoto.
Kuswanoto menunduk menatap
wajah Sri, mengusap air mata janda semlohek berambut panjang itu, lalu kembali
memeluknya.
“Bu, siapa pakde ini.”
Ucap seorang anak kecil yang berdiri di depan pintu.
“Segera Sri menggendong
dan membawa kembali anak itu ke kamarnya.
“Kenapa kamu bangun le?”
“Aji terbangun sebab
mendengar ibu bertengakar dengan pakde itu,” jawab anak itu polos.
“Sudah kamu kembali tidur
ya, Ibu ndak bertengakar dengan pakde itu.”
Malam sudah begitu larut,
rumah itu terlihat gelap sudah, menyisakan satu lampu kecil yang menerangi
dapur.
Kuswanoto menerima sarung
pemberian Sri, sarungnya yang khusus dia tinggal di rumah ini, benda yang
menjadi saksi bahwa Kuswanoto juga telah menghangatkan malam-malam janda yang
bada di ujung kampung.
Suara itu mendadak menjadi gelap, setelah Kuswanoto mematikannya, tanpa mereka sadari ada langkah-langkah kecil yang berjingkat mendekat ke pintu, di mana Kuswanoto mulai melepas jarik yang dikenakan Sri.
No comments:
Post a Comment