CERKAK WARSINAH TAMAT
BAB 10
“Yu … yu war!” panggil
lelaki yang berpakaian batik dari ujung jalan.
“O pak Pak Rete, tenopo Pak.”
Warsinah berhenti, plastik hitam tampak di genggamannya.
“Ada yang ingin aku
katakan sama sampeyan yu, tapi ….”
“Tapi apa to Pak?” tanya
Warsinah seraya mengikuti arah pandang pak rt yang sepertinya tak mau
pembicaraannya terdengar orang lain.
“Sini, sini yu.”
“Wonten nopo to niki Pak,”
kata Warsinah bergeser kesamping.
“Maaf sebelumnya lo yu,
bukannya saya mau mencampuri urusan rumah tangga sampean dengan kang Noto,”
ucap Pak Rete membuat wajah Warsinah berkerinyit.
“Maksud Pak Rete?”
“Tau ndak yu … kalau kang
Noto itu gendakan dengan Sri?”
“Pak Rete tau dari mana?”
“Saya lihat sendiri yu,
kalau semalam kang Noto ke rumah Sri,” kata Pak Rete yakin.
“Lha yo kenapa Pak Rete
ndak tangkap sekalian kalau itu memang benar, ya ndak apa-apa kalau mereka itu ternyata
selingkuh di belakangku.”
“Tapi yu ….”
“Lha sampean kan RT, kalau
ada apa-apa di kampung ini ya harusnya sampean yang bertindak to Pak, leres
mboten?”
Pak Rete hanya diam seraya
menggaruk belakang kepalanya.
“Pun nggeh,” kata Warsinah
meninggalkan Pak Rete.
“Tapi yu ….”
Pak Rete mencoba mengejar
Warsinah.
“Sampean ampun kesinggung
nggeh yu, saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat, sebenarnya kalau ndak
mandang sampean, sudah saya arak keliling kampung, cuma saya masih menghormati
sampean yu, nggeh mpun yu, saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat saja,
permisi yu.”
Warsinah hanya bisa
menatap Pak Rete yang kembali menuju motornya di ujung jalan.
~*~
Kuswanoto menggulung
sarung dengan wajah masih terlihat mengantuk. Segera dia menyambar keretek yang
ada Darti atas lemari kayu dan menuju meja dapur untuk mengawali hari dengan
segelas kopi.
“Sruuppp, ahhh, sweger,”
gumam Kuswanoto, matanya menangkap sang istri yang duduk melamun di bangku
kayu.
“Heh Mak! Isuk-isuk
nglamun,” ucap dengan gelas masih di depan mulut.
Warsinah hanya melirik
sejenak, lalu membuang tatapan ke arah pintu belakang.
“Onok opo, mrengut ae ko
langite udan,” ujar Kuswanoto lalu duduk di samping Warsinah.
“Raup kono lo pak, opo
kumu kono,” ucap Warsinah terdengar setengah kesal.
“Gak, marai luntur
baguse!” jawab Kuswanoto dengan mengangkat nujung sarung, lalu duduk njegang.
“Njenengan ki sayang aku
ora to Pak?”
“Hehh..?” Kuswanoto
menoleh heran.
“Tadi pulang dari warung
Pondi, aku di panggil Pak Rete ….”
“La iku! Awakku nembe kelingan,
mosok to Mak, mambengi awakku ngonangi Pak Rete onok neng omahe Sri,” potong
Kuswanoto.
“Hah?”
“Kok hah, iyo! Awakku
weroh kambek motoku dewe, gak gur jarene.” Sejenak Kuswanoto menatap Warsinah
yang memandanginya dengan wajah heran.
“Tadi malam Njenengan
melihat Pak Rete ke rumah Sri.”
“Iyo, sumpah! awakku weroh
dewe!” diakhir ucap Kuswanoto mengangkat dua jarinya.
“Lha bukannya Njenengan
jaga rumah Pak Suwono, bagaimana Njenengan bisa tahu Pak Rete ke rumah Sri
hah!”
“Anu … eh,” ucap Kuswanoto
gugup, “pas awakku nguyoh, weroh Pak Rete lewat, lha yo aneh to mosok
bengi-bengi Pak Rete lewat terus bablas ngetan, lha terus tak tutno,” kata
Kuswanoto terdengar meyakinkan atas ceritanya.
“Terus?” tunggu Warsinah
penasaran.
“Eladalah … lha kok
langsung mlebu neng kamare Sri, terus lampu kamare di pateni, mari ngono yo
awakku gak weroh to, lha peteng,” lanjut Kuswanoto.
“Lha kok sama seperti
cerita Pak Rete, hah!”
“Podo piye to?” tanya
Kuswanoto setengah kaget.
“Pak Rete juga bilang
kalau tadi malam melihat Njenengan ada di rumah Sri, apa Njenengan ada di kamar
Sri berdua dengan Pak Rete, ayo ngaku!” mata Warsinah hampir terlihat
berkaca-kaca.
“Ya gak mungkin to Makne!
Awaku ki joogo omah duk jogorondo, ojo gampang percoyo gondo abab seng wangi, y
ogak kiro awakku moro nggone Sri,” kata Kuswanoto mencoba mengelak dari tuduhan
Warsinah.
“Ngapusi!”
“Ladalah … gak tangi neh
manukku nek ngapusi awakmu Makne! Sumpah ogak neng endi-endi mambengi!”
Kuswanoto malah terlihat marah.
“Jadi mana yang benar Pak!
Mana yang benar!” Warsinah mencoba berontak sewaktu Kuswanoto mencoba
memeluknya.
“Lo! Awakmu gak percoyo
kambek bojomu seng gagah dewe, seng bagus dewe, gak gelem ngapusi bojone, gak
percoyo ta!”
“Mboh Pak.” Warsinah
mengusap ujung mata yang mulai basah.
“Yo gak mungkin to Makne
awakku gendakan kambek Sri, wes gak usah nangis, kae langite tenan mendung to.”
Warsinah terisak dalam
pelukan suaminya, entah mengapa hatinya kini merasa nyeri membayangkan ucapan
Pak Rete. Sementara separuh hatinya masih yakin kalau Kuswanoto tak pernah
selingkuh di belakangnya.
“Percoyo to mbak awakku,
gak mungkin awakku selingkuh.”
Warsinah mengangguk dalam
sandar dad bidang Kuswanoto. “Wes gak usah nangis, kono nek kate ngrampungno
penggaean.”
~*~
“Kang! Kang Noto! Ana apa
ora kiye uwonge tuli wis awan esih tutupan bae umahe,” gumam Saimun.
“Ada apa kang Mun?”
Warsinah menghampiri Saimun dari samping pintu belakang.
“Kiye yu, mau ana bocah
jare takon omahe kakange, ya nyong terna mrene, jar ku sih ana perlu,” kata
Saimun yang menggandeng anak kecil.
“Anak siapa ini Mun?”
tanya Warsinah memperhatikan anak kecil yang memegang sesuatu dalam bungkus
plastik hitam.
“Mbuh, nyong be ra weruh,”
jawab Saimun.
“Siapa namamu le?” tanya
Warsinah kepada bocah yang maju seraya menyerahkan bungkusan plastik.
“Ini mbokde, saya
menemukan sarung pakde di kamar Ibu,” kata bocah itu mengerjap.
Segera Warsinah membuka
bungkusan plastik itu.
“Pakkkkk!” teriak
Warsinah.
“Ana apa sih! Deneng malah
melung!” Saimun hanya memandang Warsinah yang bergegas masuk dengan wajah
bingung.
“Jane apa seng kowe
lungna,” ucap Saimun kepada bocah yang tadi sempat bertanya ciri-ciri seperti
Kuswanoto.
“Sarung,” jawabnya dengan
mata mengerjap, mendongak menatap Saimun.
Saimun lalu mengajak anak
itu pergi, “Deneng gur sarung koh, melung-melung,” ucapnya masih belum
mengerti.
SEKIAN
No comments:
Post a Comment