CERKAK TRAGEDI KUTANG BAB 3
BAB 3
Pukul 21.45.20.
Ngung!
Ngung!
Binatang kecil mulai mendekat ke pipi.
Plok!
Satu tamparan mencoba membunuhnya.
"Kang Noto ke mana saja toh?"
"Mbuh," (Entah), jawab Saimun.
"Coba Sampean, telepon, Kang."
"Ura aktip." (Tidak aktif).
"Coba lagi. Apa mungkin ketiduran?"
"Ura aktip, temenan. Kiye nyong jajal pisan maning, yak." (Tidak aktif, sungguh. Ini saya coba sekali lagi, ya).
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, atau di luar jangkauan."
"Ngandel ura. Nyong kiye wonge jujur, ura tau nglomboni bature. Sumpah." (Percaya tidak. Saya ini orangnya jujur, tidak pernah membohongi teman. Sumpah).
"La terus ke mana Kang Noto? Sebentar lagi jam sepuluh. Masak iya, hari pertama dia berhalangan hadir." Sugito mulai gelisah.
Ngung.
Ngung!
Plok!
"Aduh, Kang! Sakit!" teriak Sugito dengan memegangi pipi.
"Lemut." (Nyamuk). Saimun menunjukkan nyamut di telapak tangannya.
"Ah, sudah. Apa saya susul saja dia?"
"Ura usah mbok. Ngandel mbi inyong. Ura suwe maning pesti teka." (Tidak usah. Percaya sama saya. Tidak lama lagi pasti datang).
"Nyong nguripi diang, yak? Lemute mubal. Kuwe pada marani Sampean. Lemut jomblo mbok kuwe," (Saya menghidupkan api, ya? Nyamuknya banyak. Itu menghampiri Anda. Nyamuk jomlo sepertinya), sambung Saimun seraya membuka telapak dan siap menghajarnya.
"Hop, hop! Bonyok semua nanti mukaku!" Sugito berlalu ke belakang gardu untuk mulai mencari ranting kering dari pohon rambutan yang mati saat kembali Saimun akan menabok pipinya.
****
Pukul 22.17.45.
Kuswanoto hadir dengan membawa bungkusan hitam, plastik keresek berukuran sedang.
"Mengendi bae Rika, lah. Arane ronda kuwe jam sanga wes ana neng gerdu, Kang," (Ke mana saja, Anda. Yang namanya ronda itu jam sembilan sudah ada di gardu, Kang), todong Saimun berdiri di balik kepulan asap.
"Buhuk ... buhuk!"
"Grujuken banyu iku diange, Mun! Buhuk ...buhuk!" (Siram air saja itu api, Mun!).
"Sih, ngawur bae! Ra weruh nyong mbi Kang Gito nguripi kiye. Lemute ura umum. Lemut-lemut randa mbok, pada demen menclok reng pipi." (Hus, sembarangan! Tidak tahu apa saya dengan Kang Gito menghidupkan ini. Nyamuknya banyak sekali. Nyamuk-nyamuk janda barang kali, suka hinggap di pipi).
"Apa kuwe, Kang? Martabak, yak?" (Apa itu, Kang? Martabak, ya?).
"Martabak batokmu amblek!" (Martabak jidatmu!). jawab Kuswanoto.
"Tuli nyong mung takon. Ura usah muring mbok." (Saya hanya bertanya. Tidak usah marah kenapa).
Bruk!
Sugito datang dengan menjatuhkan seikat ranting kering.
"Iki, iki. Koncone wes entek dirubung nyamuk. Njenengan, nembe teko. Ko ngendi wae, Kang?" (Ini, ini. Temannya habis dirubung nyamuk. Anda, baru datang. Dari mana saja, Kang?).
"Iki?" (Ini?). Kuswanoto menunjukkan bungkusan hitam.
"Apa itu?" tanya Sugito.
"Watu! Nggo mbialang matamu!" (Batu! Untuk melempar kepalamu!).
"Ha ha ha. Kawus!" (Ha ha ha. Sukur!), timpal Saimun terbahak-bahak.
"La, ditanya baik-baik kok malah ...."
"Nyoh." (Ambil). Kuswanoto memberikan satu kotak nasi.
"Nasi goreng?" Sugito menerima pemberian itu.
"Bom! Ben ajur ngisan lambemu!" (Bom! Biar hancur sekalian bibirmu!).
"Ha ha ha. Aja kayak kuwe lah, Kang. Mesakenak Kang Gito nek geseng. Ha ha ha." (Ha ha ha. Jangan seperti itu, Kang. Kasihan dengan Kang Gito kalau gosong. Ha ha ha).
"Ote-ote." (Bakwan).
"Pantas terlambat ronda, Njenengan. Goreng ote-ote?" ledek Sugito.
"Tak tungkak lambemu lo nggko nek ngece!" (Saya tumit nanti kalau meledek!).
"La iku sih apa maning. Jatahe nyong mbok?" (Itu satunya apa lagi. Buat saya?) Saimun mempertanyakan satu bungkusan yang terlihat rapi dalam balut kertas kado.
"Sembrono ae lek ngomong. Jatahmu yo, iku. Iku ote-ote. Telatku teko mergo ngenteni Mbakyumu pingin nggawekno nyamikan nggo diapuranmu kabeh iku." (Sembarangan saja kalau bicara. Jatahmu ya, itu. Itu bakwan. Aku terlambat datang sebab menunggu Mbakyumu ingin membawakan penganan untuk kalian itu).
"Oalah? Jan, Rika, kiye uwonge setia kawan temenanan lah. Bangga nyong duwe kanca kayak Rika, Kang." (Oalah? Anda, orangnya sungguh setia kawan. Bangga saya punya kawan seperti Anda, Kang).
"Sudah ayo, sini. Saya buatkan kopi," ajak Sugito, seraya naik ke gardu.
"La opo gowo termos, Git?" (Memangnya bawa termos, Git?)
"Bawa, Kang. Njenengan, tenang saja. Sesudah minum kopi kita keliling kampung, ya?"
"Wah. Koyoke awakku gak iso." (Wah. Sepertinya saya tidak bisa). Kuswanoto meletakkan bungkusan.
"Kok Tidak bisa?" Sugito menoleh dengan berkernyit.
"Awakku nyusul rodok bengi ae. Piye?" (Saya ikut agak malam. Bagaimana?)
"Ura bisa, pokok ura bisa. Ronda wong telu, yak kudu mider wong telu." (Tidak bisa, pokoknya tidak bisa. Ronda bertiga, ya harus keliling bertiga). Saimun yang tadi sibuk membetulkan api unjuk protes.
"Iyo, paham. Awakku jek onok perlu, ko rodok bengi mbalek rene. Ngono ae kok umreng doan." (Iya, paham. Saya masih ada keperluan, malam baru kembali ke sini. Begitu saja kok ribut kalian).
"Ada perlu apa lagi, Kang? Kalau saya disuruh keliling dengan Saimun yang penakut itu. Malah ...."
"Seng kucur sapa! Nyong kendel mbok. Medi apa seng gung tau mundur ruh kepelan saka Cilacap, ha! Kiye, kepelan saka Cilacap! Kiye ... kiye." (Yang takut siapa! Saya pemberani. Hantu mana yang belum pernah mundur tahu kepalan tangan dari Cilacap, ha! Ini, kepalan dari Cilacap! Ini ... ini). Saimun menunjukkan genggaman tangan, mengarahkannya kepada Sugito.
"Hadoh! Rubres neng kene! Wes kono aturlah piye apike. Ko rodok bengi awakku mbalek rene." (Aduh! Kacau di sini! Sudah atur saja bagaimana bagusnya. Malam saya kembali ke sini). Kuswanoto beranjak.
"Ko sit! Arep mrengendi maning. Tugase dewe kiye jaga. Ko nek ana kutang sing ilang maning kepriwe jal?" (Nanti dulu! Mau ke mana lagi. Tugas kita jaga. Nanti kalau ada kutang yang hilang lagi bagaimana coba?).
"Ilang yo ben tuku neh." (Hilang ya, biar beli lagi). Enteng jawab Kuswanoto.
"Ura malah tuku maning, Kang? Ura kepenak ambi Pak Rete." (Bukannya beli lagi, Kang? Tidak enak dengan Pak Rete).
"Gak kepenak opone. Ilang yo, wes! Gur badokan kutang, seng penting njerone gak katut ilang. Rak ngono to?" (Tidak enak apanya. Hilang ya, sudah! Hanya kutang, yang penting dalamnya tidak ikut hilang. Bukannya begitu?).
"Lah, ngomong mbi Rika, kiye ruwet. Ruwet ... temenan ruwet." (La, bicara dengan Anda, ini payah. Payah ... sungguh payah).
"Wes toh, Mun? Awakku ki onok kepentingan sedelok. Gak ogak nek tak tinggal suwe. Mengko rodok jam rolas wes. Jam rolas awakku mbalik rene, yo?" (Sudah, Mun? Saya ini ada kepentingan sebentar. Tidak kalau saya tinggal lama. Nanti sekitar jam dua belas. Jam dua belas aku kembali, ya?)
"Lah, repotlah urusane. Rika, malah kayak kuwe, kepriwe sih." (La, repot urusannya. Anda, malah seperti itu. Bagaimana sih).
"Sebenarnya Njenengan, mau ke mana toh, Kang?"
"Sedelok," (Sebentar), jawab Kuswanoto.
"Iya, tapi mau ke mana?"
"Wah jan. Pingin roh urusane wong ae awakmu ki, To." (Wah. Mau tahu saja urusan orang kau ini, To).
"Rika, nyogok, yak?" (Anda, sogok, ya?)
"Nyogok oponen, he?" (Sogok apanya, he?)
"Kuwe, ote-ote kuwe. Gawa ote-ote mung nggo nyogok ben ura melu ronda. Kuwe nyatane kuwe ... kuwe." (Itu, bakwan. Membawa bakwan hanya untuk menyogok biar tidak ikut ronda. Itu kenyataannya itu ... itu). Saimun menunjuk-tunjuk kotak nasi.
Plok!
"Aduh! Sih kayak kuwe!" (Aduh! Kok begitu!).
"Lambemu amblek iku!" (Bibirmu amblas itu!).
"Wes ngene ae, gak usah neng endi-endi sampek awakku balek. Piye? Ko dewe muter bareng-bareng. Cocok tah cocok?" (Sudah begini saja, tidak usah ke mana-mana sampai saya kembali. Bagaimana? Nanti kita keliling sama-sama. Akur apa akur?).
"Iya, wis. Nyong cocok nek kayak kuwe." (Iya, sudah. Saya setuju kalau begitu).
"Ya, sudah, tapi jangan lama-lama ya, Kang?"
"Iyo, iyo. Saknyukan tok!" (Iya, iya. Hanya sebentar saja!). Kuswanoto mengeloyor pergi.
Keduanya saling tatap, seiring Kuswanoto hilang di ujung pertigaan yang mengarah ke barat.
"Sak nyukan kuwe apa maksute?" (Sebentar itu apa maksudnya?), tanya Saimun setelahnya.
"Wah. Tidak beres ini. Pasti Kang Noto ...."
"Pesti apak?" (Pasti apa?).
"Rene ... rene." (Sini ... sini).
Saimun lalu mendekatkan telinga.
"Kawaksang Notakso ... araksep kawakasen ... eng, omaksahe Sri. Dewakse kon jagakso reng kenakse," (Hanya penulis yang tahu), bisik Sugito.
Saimun tampak mengangguk-angguk dengan dahi berkerut.
"Ngomong apak mau Rika, Kang?" (Bicara apa tadi Anda, Kang?) Saimun tampak kebingungan saat semua yang didengar tak jelas.
"Sudah, ayo!"
Keduanya lalu bergegas menuju arah barat, meninggalkan termos yang tak lagi ditutup, meninggalkan bakwan goreng, juga asap yang terus mengepul membumbung.
"Cepat, Kang."
"Iya, kiye katoke nyong mlorot." (Iya, ini celanaku kedodoran).
"Sst! Jangan keras-keras!"
"Ura atos. Kiye asih melungker?" (Tidak keras. Ini masih meringkuk).
"Apanya?"
"Sih Rika, takon apa? Atos apa ura mbok?" (Anda, tanya apa? Keras atau tidak iya 'kan?).
"Ya, Allah, Kang, Kang. Jangan keras-keras bicaranya. Nanti ketahuan!"
"O? Nyong pikir manuke inyong atos apa ura. Ya uralah. Ura ana lawane mbok. Ha ha ha." (O, saya pikir anuku keras apa tidak. Ya tidaklah. Tidak ada lawannya. Ha ha ha).
Bok!
Sarung yang melingkar di leher Sugito mampir ke wajah Saimun.
"Sih kayak kuwe! Enteng temenan nyampluki rai!" (Kok seperti itu! Gampang benar memukul muka!).
"Tertawa seperti gendruwo!"
"Hus! Ura ilok nyebut-nyebut jenenge gendruwo. Njedul temenan kepriwe?" (Hus! Tidak baik menyebut-sebut nama genderuwo. Muncul sungguhan bagaimana?)
"Katanya hantu mana saja tidak takut dengan kepal tangan Sampean. Kiye ... kiye. Kepelan saka Cilacap! Kiye ... kiye!"
"Sih malah reyang! Sida apa urak!" (Kok malah ribut! Jadi apa tidak!).
"Sudah, ayo!"
"Ya, ayuk wis. Sapa wedi!" (Ya, ayo. Siapa takut!).
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment