Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK TRAGEDI KUTANG BAB 4


 BAB 4

Pukul 22.37.10.

Bayangan hitam yang terus bergerak menerobos malam, akhirnya berhenti di sebuah rumah.

Tampak gelap pada bagian depan, menyisakan cahaya dari sela dinding papan pada bagian samping.

Tok!

Tok!

"Sri."

Tok!

Tok!

Tak terdengar sahut jawab.

"Sri."

"Siapa?" Suara Sri.

"Wong bagus. Ehem!" (Orang ganteng. Hem).

Klik!

Ruangan depan terlihat terang seiring suara sakelar dipantik.

Bayangan hitam tak lain adalah Kuswanoto yang tadi mengendap datang ke samping rumah segera menuju pintu depan.

Krek!

"Kang Noto?" Sri menoleh ke arah dinding, sebuah jam detak dengan logo partai di tengahnya.

"Masuk," pintanya kemudian.

"Pateni lampune," (Matikan lampunya), bisik Kuswanoto.

Klek!

Ruangan depan kembali gelap.

Kuswanoto mengekor di belakang Sri, menuju dapur.

"Yah mene kok wes turu." (Masih jam begini kok sudah tidur).

"La mau apalagi. Badanku rasanya pegal semua, Kang. Lagi pula, Aji sudah tidur dari sore." Sri lalu menakar kopi, gula, lalu meraih termos.

"Mau makan?"

"Wes, gak usah. Wes mangan neng omah mau. Mbakyumu njangan terong." (Sudah, tidak usah. Sudah makan di rumah. Mbakyumu masak terong).

Sri mendekat dengan satu gelas di atas tatakan.

"Sri." Kuswanoto langsung meraih lengan Sri.

"Apa? Minta kerok lagi?"

"Ogak, yo! Seng masuk angin ki yo sopo." (Tidak, ya! Yang masuk angin itu ya siapa).

"La, terus?"

"He he he." Kuswanoto menjawabnya dengan terkekeh, kumisnya ikut bergerak-gerak.

"Eh, Sri. Awakmu sek kelingan toh tanggal piro iki?" (Eh, Sri. Kamu ingat tanggal berapa sekarang ini?).

"Tanggal? La kok tumben Njenengan, tanya tanggal?"

"Gur takon." (Hanya bertanya). Lalu meraih gelas.

"Kang? Njenengan, pasti sudah mendengar kabar."

"Kabar opo?" (Kabar apa?).

"Itu, tentang dalaman yang katanya sering hilang dicuri. Benar apa itu?"

"Kok ngopeni jeroane uwong, he? La opo cawetmu ugo katut ilang ta piye?" (Kok mengurusi dalaman orang, he? Apa cancutmu ikut hilang apa bagaimana?).

"Njenengan, ini kok? Ya, tidak. Cuma kok aneh, ya. Dalaman pada hilang di jemuran, di lemari, di bak cucian. Ih, aku kok takut toh, Kang Mas?"

"Wedi ginio? Pokok isine gak melu ilang. Rak yo wes to?" (Takut kenapa? Yang penting isinya tidak ikut hilang. Ya sudah, 'kan?).

"Iya, tetapi belum pernah ada yang aneh-aneh di kampung ini ...."

"Jare sopo? Endog neng petarangan yo kelakon ilang kok. Wes gak aneh ngono iku." (Kata siapa? Telur di kandang juga bisa hilang. Sudah lazim itu).

"Iya, Kang, tetapi ini barang dalaman perempuan, loh, Kang? Takut disalah gunakan. Bisa saja buat pelet, santet, apa pesugihan."

"Lah mboh, Sri. Pokok awakmu gak ilang soko atiku, wes ayem urepku. Kate kolorku ilang, sendalku ilang, Mbakyumu ilang ... karep wes." (Entah, Sri. Yang penting kamu tidak hilang dari hatiku, sudah tenteram hidupku. Mau kolorku hilang, sendalku hilang, Mbakyumu hilang ... terserah).

"Ah, Njenengan, ini kok ada-ada saja. Kalau kolornya hilang nanti bagaimana."

"Tuku neh." (Beli lagi).

"Tak kira ...."

"Mbok kiro opo, he? Terus mabur gek diuber-uber arek sekampung manukku, he? Iyo?" (Kamu sangka apa, he? Lalu terbang dikejar-kejar anak satu kampung, he? Iya?)

"Ha ha ha. Ya, tidak begitu kok, ya."

"Sri, awakku kate ngomong serius." (Sri, saya mau berbicara serius).

"Tinggal bilang saja."

"Ojok neng kene po 'o?" (Jangan di sini kenapa?).

"Ke mana? Ini sudah malam loh, Kang Mas."

"Neng kamar ae yok. Luweh romantis lan sahdu. He he he." (Di kamar yuk. Lebih romantis dan syahdu. He he he).

"Eh? Sudah tertebak."

"He he he."

Keduanya lalu menuju kamar.

****

Sementara di luar.

"Temenan apa rene?" (Sungguhan apa ke sini?).

"Sst!"

"Kiye temenan apa, Kang?" (Ini sungguh apa, Kang?).

"Iya. Sst!"

"Mulih bae. Wedi nek dewe malah diarani nyolong." (Pulang saja. Takut kalau kita nanti dituduh mencuri).

"Sst! Sudah diam."

"Kepriwe mengko nek dewe konangan. Diarani maling ...." (Bagaimana kalau nanti kita ketahuan. Dituduh maling ....).

"Sudah toh, Kang? Kita intai saja."

****

Di dalam kamar.

Kuswanoto tampak sudah menggenggam tangan Sri.

"Ada apa?" Sri dengan wajah penuh terka.

"Awakmu sayang toh mbek awakku?" (Kamu sayang, 'kan denganku?).

Sri mengangguk, diakhiri menunduk.

"Kambek Pak Rete?" (Dengan Pak RT?).

Sri lalu mencubit pinggang Kuswanoto. "Mulai lagi, ya?" Satu sosok yang paling dibenci Kuswanoto, sekaligus rival dalam menempatkan nama tertinggi di hati Sri.

"Pokoke awakku, I Love You, Sri." (Pokoknya saya, I Love You, Sri). Kuswanoto memoncongkan bibir. Helai kumis lebatnya bak ujung tombak, siap menusuk pipi Sri yang terawat.

Krak!

Terdengar suara ranting patah di sisi luar kamar.

"Sebenarnya apa ada toh, Kang?" Sri tersipu saat bulu tengkuknya meremang setelah ujung kumis Kuswanoto mendarat sejenak di pipinya tadi.

"Awakmu ki pokoke rondo kapatri neng atiku, Sri." (Kamu ini pokoknya janda yang terpatri di hatiku, Sri).

"Mbel," (Bohong), timpal Sri.

"Lo sumpah. Kurang opo jal. Kate njalok opo? Montor? Tak kreditno ngko. Omah? Tak kontrakno? Manuk? Tak cekelno? Kurang opo jal, he?" (Loh sumpah. Kurang apa coba. Mau minta apa? Motor? Saya kredit nanti. Rumah? Saya kontrakkan? Burung? Saya tangkap? Kurang apa coba, he?).

Sri makin dalam tertunduk dengan senyum dikulum.

"Sugeng ambal warso, yo, Sri." (Selamat ulang tahun, ya, Sri).

Sri membawa wajah untuk menatap Kuswanoto yang sudah menunggu dengan tatap.

"Terima kasih, ya, Kang."

"Mugo tansah ayu. Diparingi yuswo seng dowo lan soyo pinter goyang ...." (Semoga selalu cantik. Diberikan umur panjang dan pintar goyang ....).

"Kok pintar goyang?"

"Iyo. Pinter goyang nggo nguripi Aji. Ngobahne sikil lan tangan nggone nyambut gawe?" (Iya. Pintar goyang buat menghidupi Aji. Menggerakkan kaki dan tangan dalam bekerja?).

"Ah, Kang Mas." Sri membawa kepala rebah di dada tegap Kuswanoto.

Kuswanoto menyambutnya dengan terus membelai rambut Sri yang terurai legam.

"Sri?"

"Apa, Kang?"

"Awakku duwe hadiah nggo awakmu." (Aku punya hadiah buatmu).

"Serius?"

"Hok oh. Sek." (Iya. Sebentar).

Kuswanoto melangkah keluar kamar, menuju bangku, meraih bungkusan yang sedari tadi dia sembunyikan pada sisi gelap.

Kembali ke kamar dengan senyum mengembang.

"Apa itu, Kang Mas?"

Kuswanoto tak menjawabnya. Membuka plastik hitam, mengeluarkan isinya. Tampak sudah kotak yang pernah dilihat Saimun di gardu ronda.

"Apa ini?"

"Iki wujud katresnanku marang awakmu, Sri. Rondo ayu seng tansah manggon neng ati." (Ini wujud rasa cintaku kepadamu, Sri. Janda ayu yang selalu ada di hati). Kuswanoto mencolek dagu Sri.

"Bukaken." (Silakan buka).

"Serius, Kang Mas."

"Iyo, iyo. Wes toh bukaen. Mandar mugo awakmu seneng." (Iya, iya. Silakan buka. Semoga kamu suka).

Sejenak Sri mengamati benda kotak yang dibungkus kertas kado merah jambu dengan gambar taburan lambang hati.

Bret!

Menyobeknya.

Membukanya dengan perlahan. Sejenak dia melempar senyum kepada Kuswanoto. Dibalas anggukan oleh lelaki yang kerap datang kala malam.

"Wah, apa ini?" Sri makin dibuat penasaran dengan isinya. Masih, dibungkus dengan plastik hitam.

Sret!

Merobeknya.

Mengeluarkan isinya.

"Apa toh ini."

Masih, bungkusan lebih kecil ukurannya, dan dibungkus plastik hitam pula.

Sret!

"Apa toh, Kang Mas"

Sret!

Masih berlapis plastik hitam.

Sret!

Masih lagi.

Sret!

Makin kecil ukurannya.

Sret!

Masih lagi.

Sret!

"Ini?"

Kuswanoto melebarkan senyum.

"Ya, ampun. Ini?" Sri menahan tawa.

Makin lebar senyum Kuswanoto.

"Kutang?"

Kuswanoto yang mencoba menahan tawa.

"Apik toh?" (Bagus, 'kan?).

"Apanya yang spesial. Cuma kutang."

"Loh? Iki nek dinggo, pucuke onok lampune. Murub ... kelip-kelip. Abang ijo ... abang ijo." (Loh, ini kalau dipakai, bagian pucuk ada lampunya. Hidup ... kelap-kelip. Merah hijau ... merah hijau).

"Ha ha ha." Meledak tawa Sri.

"Kok ngguyu? Gak seneng tah?" (Kok tertawa? Apa tidak suka?).

"Ya, masak kutang ada lampunya. Mana hidup kelip-kelip kalau dipakai. Ha ha ha." Sri terlihat senang, bahkan itu tak terjadi, dan tak ada lampu di ujung kutang.

"Terima kasih ya, Kang."

"Hok oh. Ojok mbok sawang wujude. Iku wujud katresnanku, masio gak sepiro regane." (Iya. Jangan kamu lihat barangnya. Itu bukti cintaku, walaupun tidak seberapa harganya).

"Tidak, Kang. Ini terlihat bagus. Bahkan warnanya aku suka. Merah jambu. Hiks." Sri lalu kembali merebahkan kepala, sigap Kuswanoto mendekapnya.

"Sri?"

"Apa?"

"Onok hadiah spesial neh." (Ada hadiah spesial lagi).

"Ah, serius, Kang Mas?"

Kuswanoto lalu mengecup bibir Sri. Membawanya rebah di atas tempat tidur.

Ber!

Baju batik Kuswanoto melayang, jatuh ke lantai.

Ber!

Celana!

Ber!

Pakaian Sri melayang, jatuh ke lantai saling tindih.

Ber!

Pakaian tipis berbentuk segi tiga.

Ber!

Kutang!

Selebihnya jiwa-jiwa yang melayang ke langit yang berhias taman bunga dalam indah erotika kamasutra.

****

Di sisi kamar.

"Sst!" Saimun mencoba mencolek Sugito yang terlihat serius dalam remang terka penglihatannya.

"Hus!"

"Apa?" Sugito menarik wajah dari celah dinding.

"Wis yuh, ndeleng apa? Peteng mbok." (Sudah yuk, lihat apa? Gelap).

"Asem Kang Noto. Pantas memilih ronda di rumah Sri," rutuk Sugito dalam hati.

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search