CERKAK TRAGEDI KUTANG BAB 5

BAB 5
Pukul 00.30.11.
"Jelas sudah siapa pelakunya." Sugito duduk melipat kaki dalam balut sarung yang menutupi seluruh tubuhnya. Sementara Saimun hanya menyangga dagu di bawah, tak jauh dari diang yang masih mengepulkan asap.
Hanya itu yang terdengar dari mulut Sugito, selebihnya hanya lagu dangdut mengalun dari HP yang memutar MP3, ada di hadapannya, tertulis 'Curang-Meggi Z'.
Haruskah aku mengalah ....
Atau hanya diam saja.
Sementara hati ini, bagai terbakar api.
Sesungguhnya aku mengerti.
Naluriku, merasakan, di hatimu ada kecurangan.
Haruskah aku mengalah ....
Atau aku diam saja.
Kebencianku, bukan untuk dirimu.
Aku benci, aku benci ... pada sifatmu.
Mata hatimu, seolah menjadi buta.
Sehingga, tak mampu menahan nafsu ....
Kau sebagai insan bagai tak beriman.
Teganya, kau bunuh cintaku.
Haruskan aku mengalah ... hem.
Atau aku diam saja.
Keduanya masih membisu, tanpa saling tatap. Sesekali Saimun menepuk nyamuk yang ada di pipi.
Sementara itu, Sugito mendongak dengan tatap kosong, pikiran melompong, mulut terbuka bengong.
"Aku tak menyangka, Kang." Sugito buka suara dengan tetap mendongak.
Saimun tak menimpali, hanya memandang bara api yang terus mengepulkan asap tanpa henti.
"Ternyata Kang Noto pelakunya."
Saimun hanya mendengus panjang, sepanjang angannya yang menerawang akan kejadian di kampung ini.
"Apa yang akan kita katakan dengan Pak Rete. Kang Noto sahabat kita. Juga pelaku pencuri dalaman kutang."
"Oh, kutang," imbuhnya, sejenak dia menoleh Saimun masih menyangga dagu.
"Apa kita laporkan masalah ini dengan Pak Rete, Kang?"
Saimun menghembuskan napas panjang, jawaban atas pertanyaan Sugito.
"Bagaimana kalau Yuk Warsinah tahu."
Masih, sama seperti hening malam. Saimun masih bungkam.
"Kutang. Oh, kutang."
"Kang Mun?"
Saimun hanya menoleh, tak berucap.
"Bagaimana ini? Kita sudah tahu siapa pelakunya."
Kembali, dijawab hembus napas berat.
Sayup suara kendang dan suling saling sahut, menggantikan lagu Curang, berganti lagu 'Bahtera Cinta'.
"Hem!"
Keduanya hanya diam, jelas mereka mendengar dehem Kuswanoto yang berdiri dengan senyum semringah.
"Hem! Hem!"
Sugito menoleh ke arah Kuswanoto, begitu juga Saimun, sedikit mendongak.
"Lapo do meneng ae ki? Wes do ngantok ta?" (Kenapa kalian diam, Sudah mengantuk apa?).
Kuswanoto melangkah, lalu duduk di hadapan Sugito, memandang sahabatnya bergantian.
"Lapo to do meneng, he?" (Kenapa kalian diam, he?).
Baik Sugito atau pun Saimun tak menyahut. Masih larut dengan kenyataan yang mereka hadapi.
"Nesu ta?" (Marah?).
"E, nesu. Yo, wes lah." (E, kalau marah. Ya, sudah). Kuswanoto membawa tubuh rebah di atas lantai papan, menggantung kedua kaki.
"He?"
Sugito yang dimaksud, hanya menurunkan pandang menatap Kuswanoto. Wajahnya begitu datar tanpa ekspresi.
"Ayo. Jare kate muter. Sido ta gak?" (Ayo. Katanya mau keliling. Jadi tidak?)
Masih bungkam keduanya.
"Mun?"
Tak ada sahut jawab. Kuswanoto bangkit, duduk menjuntai kaki.
"Lapo toh do menengan?" (Kenapa pada diam?).
"Kutang," jawab Saimun.
"Kutang?" balas Kuswanoto.
"Iyak. Kutang." (Iya. Kutang). Saimun lalu membuang muka.
"Onok opo to iki jane? Opo, To, Gito?" (Ada apa ini sebenarnya? Apa, To, Gito?).
"Kutang," jawab Sugito.
"Kutang? Gak dong opo seng mbok omongno iki." (Kutang? Tidak maksud apa kau bicarakan).
"Kutang." Saimun kembali menyebutnya.
"Ha iyo toh. Dewe kate muter jogo. Mbok nowo iso nyekel sopo seng kulino nyolongi kutang-kutange wong wedok kene. Rak iyo toh?" (Ha iya. Kita mau keliling jaga. Siapa tahu bisa menangkap siapa yang biasa mencuri kutang-kutang perempuan di sini. Bukannya begitu?)
Sugito melempar tatap ke arah Saimun. Mengangkat alis beberapa kali.
Saimun melakukan hal serupa. "Rika, bae lah," (Anda, saja), katanya dalam hati.
"Kamu saja, Kang. Aku tak sampai hati mengatakannya kepada Kang Noto," ucap Sugito dalam hati pula. Masih, memberikan kode angkat alis.
"Kok nyonge. Rika, bae," (Kok saya. Anda, saja), gulat batin Saimun, menggerakkan alis juga.
"Tidak tega aku." Kata lain hati Sugito. Bak saling bercakap dengan kata hati Saimun.
"Ko tak kiamplengi siji-siji nek panggah mbisu!" (Nanti saya tampar satu-satu kalau masih membisu!).
Berbalas gerak alis terhenti. Saimun menatap Kuswanoto, pun Sugito.
"Aku sudah tahu siapa pelaku pencuri dalaman itu, Kang." Sugito lalu menyembunyikan wajah dalam lipat tangan. Rasa kecewa menyatu, membaur dengan segala keberanian yang dia bangun.
"He? Wes ketemu ta malinge, he?" (He? Sudah ketahuan apa malingnya, he?). Kuswanoto lalu melepas gulungan sarung yang melingkar di leher. Satu sarung yang biasa tertinggal di rumah Sri.
"Sopo wonge? Wes gek ndang dewe parani, cekel, terus serahno neng Polsek." (Siapa orangnya? Sudah secepatnya kita datangi, pegang lalu diserahkan ke Polsek).
"Sopo uwonge?" (Siapa orangnya?), lanjut Kuswanoto.
Sepi, hening sejenak.
Hembus napas panjang Saimun terdengar, membuat Kuswanoto menoleh ke arahnya.
"Sopo, Mun?" (Siapa, Mun?).
"Rika," (Anda), jawab Saimun.
"Awakku?" (Aku?).
"Iya. Wis genah, Rika. Rika, 'kan seng nyolongi kutang ambi cawete wong wadon reng kampunge dewek." (Iya. Sudah jelas, Anda. Anda, 'kan yang mencuri kutang dengan cancut perempuan di kampung kita).
"Ealah. Tak giajul cangkemu nek ngarani wong waton ae!" (Ealah. Saya tendang mulutmu kalau asal tuduh!).
"Wis lah, Kang! Wis genah kabeh! Wis ura usah bersandiwara reng ngarepe nyong!" (Sudahlah, Kang! Sudah jelas semua! Sudah tidak usah bersandiwara di hadapan saya!).
"Iki opo toh, Mun! Dadi awakmu nuduh awakku uwonge! Diancok! Kene! Tak idoni cuangkemu!" (Ini apa toh, Mun! Jadi kamu menuduh saya adalah pelakunya! Sialan! Sini! Saya ludahi mulutmu!).
"Nyong kanda apa mau. Kudune Rika seng kanda sit, Kang!" (Saya bilang juga apa tadi. Harusnya Anda, yang bicara lebih dulu, Kang!). Justru Saimun menyalah Sugito, setelah dihardik oleh Kuswanoto.
"Iya, Kang. Maaf sebelumnya. Benar apa yang dikatakan oleh Kang Saimun. Kami telah mengetahui semuanya di rumah Sri."
Brak!
Kuswanoto meradang.
"Dadi awakkmu gintip, yo! Iyo!" (Jadi kamu mengintai, ya! Iya!).
"Nyong disengi Kang Gito, Kang." (Saya diajak Kang Gito, Kang). Saimun dengan suara bergetar takut.
"Nyong mung nginjen sedelo bae. Sumpah nyong ura ngasi tutuk nginjene." (Saya hanya mengintai sebentar saja. Sumpah saya tidak sampai selesai).
"Rene! Rene! Tak sampluki siji-siji! Rene!" (Sini! Sini! Saya tampar satu-satu! Sini!).
"Rika sih, Kang!" (Anda sih, Kang!). Saimun masih menyalahkan Sugito oleh tindakan membuntuti hingga adegan desah dalam remang layar.
"Maaf, Kang."
"Opo alesane, he? Dadi awakmu nuduh awakku iki pelakune, ha! Opo! Munio!" (Apa alasannya, he? Jadi kamu menuduhku adalah pelakunya, ha! Apa! Bicara!).
"Sudah jelas, Kang. Kutang yang Njenengan, berikan kepada Sri."
"Terus? Opo meneh, ha? Opo neh!" (Terus? Apalagi, ha? Apalagi!).
"Kang Noto, dapat kutang itu dari mana?"
"La mbok kiro seng adol kutang neng dunyo iki gur sak uwong, ha! Opo kudu tak ceritakno olehku tuku ko ndi, regone, warnone? Iyo!" (Kamu kira yang jual kutang cuma satu di dunia ini, ha! Apa mesti aku ceritakan dari mana dapatnya, harganya, warungnya? Iya!).
Brak!
Sugito mengkeret dalam sarung dengan merapatkan kedua tangan.
"Ko nek omong sak omong waton nuduh, tak blekrek siji-siji lambemu!" (Kalau bicara asal tuduh, saya sobek satu-satu bibir kalian!).
"Sudah jelas, Kang. Banyak kutang hilang, dan Kang Noto, memberikan hadiah kepada Sri, kutang."
Kuswanoto mencoba sabar, meski darahnya mendidih dengan ucapan sahabatnya.
"Wah jan. Ojok sampek babak bunyak awakmu wong loro, rene! Lungguh rene!" (Wah. Jangan sampai babak belur kalian berdua, sini! Duduk sini!). Bentak itu ditujukan buat Saimun.
Dengan rasa takut, Saimun lalu memilih duduk di samping Sugito.
"Rungokno kupingmu kabeh!" (Dengarkan telinga kalian semua!).
"Dewe iki kekancan gak gur setaon rong taon. Opo awakmu gak apal mbek watekku, ha!" (Kita ini berteman tidak hanya setahun atau dua tahun. Apa kamu tidak hafal denganku, ha!).
"Diancok ane awakmu wong loro!" (Sialan benar kalian berdua!).
"Koroki kupingmu!" (Korek telingamu!).
"Rungokno, yo." (Dengar, ya).
"Gak mikir konco ngono wes tak untal awakmu doan!" (Tidak pikir teman sudah saya telan kalian!).
"Ki ... ngeneki ceritone." (Ini ... begini ceritanya).
Kuswanoto lalu menceritakan ihwal hadiah kutang kepada dua sahabatnya.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment