Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK TRAGEDI KUTANG BAB 6


 BAB 6

"... Ngono iku ceritone." (... Begitu ceritanya).

"Oalah. Nyong njaluk sepurane lah, Kang." (Oalah. Saya minta maaf, Kang). Saimun turun lalu meraih tangan Kuswanoto untuk dia jabat.

"Saya minta maaf, Kang." Sugito merangkak untuk melakukan hal sama.

"Wes, wes. Gak usah didadekno perkoro. Seng penting awakmu wes genah to doan?" (Sudah, sudah. Jangan dijadikan perkara. Yang terpenting kalian sudah jelas, 'kan?).

"Terus kpriwe seng iku?" (Lalu bagaimana yang itu?).

"Opo neh? Ngomong seng genah, gak ika-iku, ika-ik., Tak jejeji lungko mowo ngko malah cangkemu!" (Apa lagi? Bicara yang jelas, jangan itu-itu. Saya sumpal dengan gumpalan bara mulutmu!).

"Iku. Anu ... eh, anu. Rika bae lah, Kang. Nyonge ura ngasi wis ... Rika, seng nonton nganti rampung mbok?" (Itu. Anu ...eh, anu. Anda, saja, Kang. Saya tidak sampai selesai ... Anda, yang melihat sampai selesai, 'kan?).

"Lo? Kok saya," tampik Sugito.

"Wes, wes, wes. Ki, nyoh." (Sudah, sudah. Ini, ambil). Kuswanoto menyodorkan sebungkus utuh rokok kepada Saimun, diambil dari saku celana sebelumnya.

"Nyoh!" (Ambil). Juga kepada Sugito.

"Sogokane kiye lah seng ura nguwati. Ha ha ha." (Sogok yang tidak tahan. Ha ha ha).

"O? Lambemu." (O? Bibirmu).

"Ha ha ha."

Keduanya tertawa, diikuti senyum mengembang Kuswanoto, mengembalikan kehangatan saat malam terus menghunus dengan dingin yang menusuk kulit.

"Wes, ayo." (Sudah, ayo).

Ketiganya bergegas melangkah menjauh dari gardu ronda.

Dua sinar keperakan menyorot tiap langkah dan juga apa yang ada di hadapan mereka. Senter baterai yang siap menemani ketiganya untuk mengamankan kampung dari pencuri kutang. Good job, Kang!

****

Pukul 00.59.25.

Ketiganya terus berjalan seraya mengarahkan sorot senter ke bagian belakang rumah-rumah warga. Tak ada yang bisa mereka tangkap selain bunyi binatang malam.

Saimun berjalan di tengah diapit oleh kedua sahabatnya.

"Kalau kata orang dulu. Berjalan bertiga di malam hari tidak boleh." Awal Sugito memecah hening dengan terus mengarahkan senter kepada benda yang dia anggap mencurigakan.

"Iyak. Nyong weruh, bisa-bisa seng nggenepi kuwe demit. Hi ... ampun, Biyung." (Iya. Saya tahu, yang menggenapi bisa hantu. Hi ... ampun, Mak).

"Ngono kementos eram," (Begitu berlagak benar), sela Kuswanoto.

Sugito merapatkan sarung untuk mengusir dingin. "Mudah-mudahan malam ini, kita orang pertama yang bisa menangkap maling itu."

"Mencar ae opo, yo?" (Berpencar saja apa, ya?).

"Mencar kepriwe! Wah ura. Nyong ura setuju nek dewek mencar," (Berpencar bagaimana! Wah tidak. Saya tidak setuju kalau berpencar), sambar Saimun cepat.

"Ha ha ha. Ya, begitu kalau orang rambutnya keriting. Pasti penakut."

"Ujare sapa?" (Kata siapa?).

"Kataku. Buktinya."

"Sek. Wetengku mules men, yo." (Sebentar. Perutku mulas benar, ya). Ucapan Kuswanoto menghentikan langkah mereka.

"Kebelet ngising apa, Kang?" (Mau berak apa, Kang?).

"Yo, yak 'e," (Iya, mungkin), jawab Kuswanoto dengan memegang perut.

"Ya, wis. Mengko teka Mejid bae ngisinge." (Ya, sudah. Nanti kalau sampai Masjid saja beraknya).

"Enteni neng kene sek. Tak golek WC sek." (Tunggu di sini sebentar. Mau cari WC dulu).

"Kaelah, kae nunut WC-ne Tarmiji sit bae." (Itu, itu menumpang WC-nya Tarmiji saja dulu). Saimun menunjuk arah belakang satu rumah.

"Wes enteni kene sek." (Sudah tunggu dulu di sini). Kuswanoto meninggalkan mereka dengan diantar sorot senter dari Saimun.

"Gak usah mbok senteri, Goblok!" (Jangan disenteri, Goblok!), seru Kuswanoto tertahan.

"Kepenak ya, dadi Kang Noto. Gendakan ambi Sri." (Enak ya, jadi Kang Noto. Selingkuh dengan Sri).

"Apa ura wedi konangan Yuk Warsinah?" (Apa tidak takut ketahuan Yuk Warsinah?).

"Niat ketahuan sudah dari dulu, Kang," balas Sugito.

"Mung modal kutang bae, iso ajeb-ajeb ambi Sri. Beja temenan kae menungsa." (Cuma modal kutang saja, bisa begituan dengan Sri. Beruntung sekali itu orang).

"Dasarnya mereka itu saling mencintai, Kang."

"Cuma Yuk Warsinah itu tidak tahu permainan mereka berdua. Kang Noto juga pintar membohongi istrinya. Mainnya halus."

"Nyong sih wis weruh kat mbiyen." (Saya sudah tahu dari dulu).

"Sudahlah. Itu bukan urusan kita."

"Andai Sri mau juga main denganku. Bukan hanya kutang yang kubelikan."

"Ndobos! Wis ura mungkin Sri demen mbi Rika, Kang." (Mustahil! Tidak mungkin Sri suka dengan Anda, Kang).

"Lo, belum tahu saja si Sri denganku."

"Ya jelas kalah mbok, Rika kalah sakkabehane ambi Kang Noto, peline bae sak gedang." (Ya jelas kalah, Anda. Kalah segalanya dengan Kang Noto. Itunya saja sebesar pisang).

"Tahu dari mana?"

"Lah, nyong kiye perek ambi Kang Noto. Sok dadi kenek nukangi, ya ruh bae. Kang Noto ura tahu sempaka., Ana manungsa kayak kuwe." (La, saya ini dekat Kang Noto. Sering jadi kernetnya, ya tahu saja. Kang Noto tidak pernah pakai sempak itu. Ada orang seperti itu).

"Sri menurute nyong sih ura golet duwit. Seng digoleti kepuasan. Ngranda seprana seprene, ulih gedang gembor. Ya, bunga banget mbok." (Sri itu kalau menurut saya tidak mengharapkan hartanya. Jadi janda selama ini hanya dapat pisang gembor. Ya, bahagia sekali).

"Halah, belum tentu. Paling juga dipelet Kang Noto."

"Aja kayak kuwe? Kang Noto dudu kayak Mbah Suro. Ulih turuk mung saka pengasihan rumangsaku mbok." (Jangan seperti itu? Kang Noto tidak seperti Mbah Suro. Dapat tempe bacem hanya dari pengasihan perasaanku).

"Nggone Rika, dingo Sri. Gebres sih ucul! Ha ha ha." (Barangmu dipakai Sri. Bersin juga copot! Ha ha ha).

"Menghina? Menghina."

"Ha ha ha. Uralah. Guyon, ben ura adem kiye. Temenan ademe ura umum." (Ha ha ha. Tidak. Bercanda, biar tidak dingin ini. Sungguh dingin teramat).

"Deneng suwe temen lih ngising. Ngising tai apa watu?" (Kenapa lama sekali beraknya. Berak tai apa berak batu?).

Saimun mengarahkan senter. Tampak jamban cemplung, terlihat tertutup oleh spanduk partai.

Gelotak!

Suara keras dari arah belakang mereka.

Sigap keduanya mengarahkan sorot senter pada bagian belakang rumah yang ada di seberang jalan.

"Apa kae! Medi apa menungsa?" (Apa itu! Hantu apa manusia?).

Tampak sosok hitam berkelebat. Terlihat mengendap, lalu hilang di balik rumah kecil yang digunakan untuk keperluan MCK.

"Ayo, Kang! Kita pastikan apa itu!"

"Nyong rengkene bae lah. Ngana Rika, bae." (Saya di sini saja. Anda, saja).

"Ayo!" Sugito mengarahkan senter ke wajah Saimun.

"Cepat!"

Saimun berjalan di belakang Sugito, mengarahkan senter lurus. Tampak plang bertuliskan 'Bantuan PNPM'.

"Sapa! Aja medenilah!" (Siapa! Jangan menakut-nakuti!).

"Hus! Kalau Sampean, berteriak seperti itu, dia akan tahu. Matikan senternya!"

Tep!

Keadaan gelap seketika.

"Wis ayuk ngana baelah," (Sudah ayo ke sana saja), bisik Saimun.

Krek!

Suara pintu jamban dibuka.

"Sst! Kita tunggu. Lalu sergap setelah dia keluar."

Dalam gelap, Saimun mengangguk.

Lama mereka menunggu dibalik satu pohon sukun besar. Mata keduanya tak lepas dari pintu jamban.

"Merek ngana," (Mendekat ke sana), kata Saimun.

"Ayo."

"Rika, bae." (Anda, saja).

"Ayo." Sugito menarik tangan Saimun.

"Sst!" Sugito memberi aba-aba, mereka telah ada di samping jamban, merapat ke tembok.

"Satu ..."

"Dua ...." Sugito menghitung, memberi tanda untuk keduanya segera menyergap pencuri yang ada di dalam dengan cara masuk.

"Tiga!"

Tak sengaja, Saimun malah menyalakan senter.

Sorot terang jelas menyinari satu wajah yang terlihat mengejan, duduk jongkok di atas kloset.

"Akh!"

Saimun terus berteriak, seiring ujung senter terus mengarah pada lelaki yang bergegas berdiri dengan menutupi bagian pangkal paha.

"Woi!" Teriak lelaki yang tadi jongkok dengan wajah kesal.

"Mlayu, Kang!" (Lari, Kang!), teriak Saimun, segera ambil langkah seribu meninggalkan Sugito.

"Akh!"

Mendapati kenyataan, Sugito juga ikut meninggalkan tempat itu dengan pontang-panting mengejar Saimun.

"Diamput! Wong ngising malah dibatreki!" (Sialan! Orang berak malah disenteri!), teriaknya, lelaki dengan celana melorot berbalik mengarahkan sinar sinter kepada Sugito dan Saimun. "Matane suwek! Gak roh wong ngiseng malah dibatreki!" (Matanya sobek! Tidak tahu orang berak malah disenteri!).

****

"Aduh, Biyung. Aduh, Yung." (Aduh, Mamak. Aduh, Mak). Saimun terengah-engah sesampainya kembali di sisi jalan.

Sinar senter Sugito mulai mendekat dengan bergerak cepat.

Sama, Sugito juga terengah begitu sampai di depan Saimun.

"Apa kae mau. Aduh, Yung ... aduh, Yung." (Apa itu tadi. Aduh, Mak ... aduh, Mak). Saimun masih mencoba mengatur napas.

"Lek Tugiyo."

"Lik Tugiyo? Temenan kae? Medeni temen." (Lek Tugiyo? Sungguh? Menakutkan sekali). Saimun masih terengah memegangi dada, pun juga Sugito.

"Nyong nyenteri ngisore. Gembandul." (Saya menyinari bagian bawa. Menggantung).

"Aduh, aduh ... tratapan temenan kiye nyonge." (Aduh, aduh ... sungguh deg-degan saya).

Sugito mulai mengatur napas. "Kang, Kang Noto!"

"Tuli suwe temen ulih ngising Kang Noto!" (Lama benar beraknya Kang Noto!).

"Ngana susul. Ngising apa turu kae uwong!" (Sana jemput. Berak apa tidur itu orang!).

Sugito meninggalkan Saimun, sekadar memastikan kalau Kuswanoto memang masih ada di dalam bilik jamban.

"Kpriwe, Kang. Nana apa ura!" (Bagaimana, Kang. Ada apa tidak!), teriak Saimun.

Seketika Sugito berlari. Sorot senter pontang-panting menyinari sembarang arah.

"Tidak ada, Kang!"

"Cilaka! Deneng bisa kayak kuwe!" (Celaka! Bagaimana bisa begitu!).

"Terus bagaimana dengan kita?"

Kresek!

Krak!

"Apa kuwe lah." (Apa itu). Getar suara Saimun.

"Apa! Jangan mengada-ada!" bentak Sugito.

"Kuwe! Masa Allah, apa kuwe." (Itu. Masa Allah, apa itu).

Sugito segera menoleh ke belakang, mengikuti telunjuk Saimun yang berwajah pucat.

"Demit! Kuwe demit, Kang! Demit!" (Hantu! Itu hantu, Kang! Hantu!). Saimun berlalu dengan mengangkat celana, meninggalkan Sugito.

Wing!

"Akh!"

Wus!

Tak lama berselang, Sugito dibuat tunggang langgang oleh satu wajah yang tepat dia sorot. Begitu mengerikan dengan mata melotot serta kumis tebal menghias bibir hitam. Semua tampak begitu menyeramkan, terlebih sinar senter memperjelas rupa yang ada di hadapannya tadi.

Wes!

Wuing!

Sugito berlari kencang ke arah selatan.

Sementara Saimun sudah tak lagi terlihat saat berlari ke utara.

"O, Wedos! Dikiro awakku ki demit seng mbaurekso wit iki ta? Wedos!" (O, Kambing! Disangka saya ini hantu yang menunggu pohon ini apa?). Kuswanoto merutuk, bingung harus menyusul siapa kini.

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search