Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

HALO, WIN (TRICK OR TREAT) BAB 6

SOSOK BADUT BAB 6

Warung makan yang dimaksud adalah sebuah warung, ada di pinggir jalan yang memajang banyak lauk. 


"Tumben sekali agak sore. Biasanya pagi-pagi sudah cari sarapan."

"Iya, Bu," balas Erwin.

"Ikan bakar lagi?"

Erwin justru melihat-lihat deret lauk yang tersusun lalu menunjuk sotong sambal.

"Yang itu saja, Bu."

"Kamu tunggu sebentar, ya. Ibu nanti suruh Sripah membungkusnya."

"Pah, Sripah. Kamu bungkuskan nasi dengan lauk sotong, ya." Kepada Sripah.

"Baik, Bu."

"Eh, Mas Erwin. Tadi ada temannya yang menanyakan loh?"

"Teman, Pah?"

"Iya, laki-laki."

Sejenak Erwin berkernyit.

"Andi bukan?"

Sripah menggeleng.

"Perempuan?"

"Bukan, Mas. La wong suaranya saja laki-laki kok."

"Suaranya?"

"Iya."

"Jadi kamu hanya tahu suaranya?"

"Ya, iya toh, Mas. Kalau wajahnya Sripah tidak tahu. Dia hanya menanyakan apakah Mas Erwin sudah ke sini apa belum."

Erwin berpikir sejenak. Bahkan yang tahu kebiasaannya adalah hanya Om Han. Atas sarannya yang membuat dia berlangganan ke warung ini saat Om Han tidak pulang untuk beberapa hari karena sibuk dengan pekerjaannya.

"Yang bikin Sripah heran itu ya kok badut naik mobil, Mas." Sripah meletakkan bungkusan yang sudah dipesan oleh Erwin.

"Badut?"

"Iya, Mas. Badut."

"Memangnya Mas Erwin, tidak kenal?" sambung Sripah.

Erwin membalasnya dengan menggeleng.

"La wong dia kenal dengan Mas Erwin kok."

"Badut?" Erwin berusaha keras untuk mengingat satu persatu temannya yang menjadi badut, dan yang ingat adalah satu badut yang memberikannya balon pada malam Halloween setahun lalu.

"Terus dia ke mana?" tanya Erwin.

"Ya tidak tahu, Mas. Dia hanya bertanya di mana rumah Mas Erwin. Hanya itu saja."

"Terus?"

"Ya aku kasih tahu kalau rumah Mas Erwin itu tidak jauh dari sini. hanya itu kok. Lalu dia pergi."

"O? Ya, sudah, Pah." Erwin lantas memberikan uang kepada anak Bu Wiwik itu.

****

Di perjalanan pulang.

Erwin masih mencari tahu sosok badut yang dimaksud Sripah. "Siapa, ya?"

Bahkan Erwin hanya dekat dengan dua sahabatnya saja. "Apa mungkin Andi? Aneh sih kalau dia datang dengan kostum badut."

"Apa mungkin dia mengenakan kostum badut sekaligus yang akan dia kenakan besok di Halloween?"

"Ah. Bisa jadi dia memang telah berencana untuk membeli kostum itu buat besok, tapi kenapa Mila tak memberitahuku?"

Erwin kemudian meraih HP dan mengirimkan sebuah pesan.

"Mila, apa kamu tahu kalau Andi akan datang ke rumahku?" Pesan terkirim.

"Bukannya dia sudah ke situ, Win." Balasan dari Mila.

"Pakai kostum badut?"

"Kostum badut? Gila kali, ya. Masak iya ke sana pakai kostum badut?"

"Maksudku apa dia ke sini mengenakan kostum badut?"

"Ya aku tidak tahu, Win. Tadi katanya mau ke rumahmu, dan dia hanya mengenakan kaus putih."

"Kamu kasih tahu alamat rumahku, Mil?"

"Memangnya kenapa? Kita, 'kan sahabat, Win. Setelah Andi tahu, aku pikir dia bisa mengantarku ke rumahmu."

"Jadi kamu kasih alamat yang aku berikan kepadamu?"

"Iya, Win. Lagi pula kenapa sih kamu masih tidak mau bertemu kami?"

"Tidak, Mil."

"Tidak kenapa? Masih trauma dengan kejadian setahun lalu?"

"Sampai kapan kamu akan menutup diri, Win?"

"Coba kamu pikir. Setahun ini kita berteman, dan kehadiranmu hanya lewat percakapan saja."

"Maafkan aku, Mil."

"Rencananya kami mau ke sana sekalian merayakan Halloween denganmu."

"Mungkin itu yang membuat Andi berusaha menemukan alamatmu, Win."

"Eh, Mil. Diujung jalan itu aku melihat badut."

"Badut?"

"Hanya badut jalanan itu, Win."

"Masih jauh rumahmu?"

"Win?"

"Erwin?"

"Jangan bilang kamu mulai tertarik untuk menjadi badut, ya?"

"Win?"

****

Kini sudut pandang pada posisi Mila. Isi percakapan ada di layar HP milik Mila.

"Win, balas pesanku. Ih!"

"Kamu sudah sampai rumah?"

"Hampir, Mil" Balasan dari Erwin.

"Badut tadi menghadangku, Mil."

"Menghadang. Maksudmu?"

"Dia mengatakan akan membunuhku, Mil."

"Iya kali badut mau membunuhmu di jalan. Bercanda, ih."

"Mil, badut itu mengikutiku."

"Kok seram, ya?"

"Buruan masuk dan kunci itu pintu, Win."

"Kamu di mana sih."

"Di halaman rumah, Mil."

"Iya buruan masuk!"

"Sudah?"

"Win?"

"Erwin?"

"Iya, Mil. Aku sudah di dalam rumah."

"Badut itu masih di sana?"

"Dia berdiri di ujung halaman, Mil."

"Maksudnya apa, ya."

"Dia pegang pisau begitu?"

"Tidak. Dia pegang balon, Mil."

"Aelah, Win."

"Iya kali kamu mau dibunuh dengan balon. Kelewatan eh itu badut."

"Tapi aku takut, Mil."

"Itu karena kamu masih trauma dengan kata pembunuhan, Win."

"Om kamu di rumah?"

"Belum pulang."

"Eh, Mil. Badut itu pergi."

"Ya bagus."

"Tapi dia meninggalkan satu balon."

"Itu yang akan membunuhmu?"

"Kok kamu bilang begitu?"

"Ya itu hanya balon, Erwin. Lagi pula besok Halloween. Kenapa sih jadi panik begitu."

"Eh, Win. Bentar, ya. Ada pesan dari Andi."

****

"Hai, Mil." Pesan dari Andi.

"Kamu masih marah, ya."

"Tidak, tapi kamu jahat." Balasan Mila.

"Kok jahat?"

"Beruntung tadi ada Jesika yang mengantarku pulang."

"Iya aku minta maaf."

"Besok jadi, 'kan kita merayakan Halloween di rumah Erwin."

Mila memilih melangkah menuju kamarnya.

"Eh, Mil. Mending bantu ini, menyiapkan beberapa hiasan buat besok malam."

Urung Mila masuk dan memilih duduk di depan meja yang di atasnya sudah penuh hiasan Halloween.

"Kamu kenapa cemberut begitu, ha?"

"Tidak, Ma," jawab Mila mengabaikan suara notifikasi dari Andi.

"Bagaimana kabar temanmu itu. Ah, siapa namanya. Mama kok lupa."

"Erwin, Ma."

"Iya. Di mana dia sekarang?"

"Katanya sih di pinggiran kota."

"Mama kasihan kepadanya. Sungguh keji pembunuhan malam itu."

"Papa masak iya tidak bisa menemukan pembunuh itu, Ma?"

"Mama sudah pernah bilang ke kamu kalau pembunuhan itu tak sedikit pun meninggalkan jejak. Bahkan sidik jarinya saja bagai tak pernah ada dari pembunuh itu."

"Dia masih trauma, Ma."

"Tentu. Siapa pun orangnya akan trauma setelah mengetahui kalau kedua orang tuanya harus mati dengan cara sadis seperti di film-film. Apalagi itu terjadi pada perayaan Halloween, Mil."

"Apa motif pembunuhan itu, Ma."

"Papamu pernah bilang kalau itu didasari urusan bisnis, Mil. Meski sampai ini belum ada bukti kuat yang mendukung kecurigaan itu, tapi kamu tenang saja. Kasus ini terus dan masih didalami oleh pihak kepolisian meski sudah setahun berlalu."

"Ma?"

"Apa?"

"Sebenarnya banyak hal yang ingin Mila tanyakan kepada Erwin."

"Kamu tidak berada pada posisinya, Mila. Jiwanya masih terluka, trauma itu tidak mudah disembuhkan. Apalagi katamu dia kini hanya hidup berdua dengan pamannya. Iya, 'kan?"

"Setahun ini kami hanya berkomunikasi lewat HP."

"Ya itu fungsinya Hp di tanganmu. Buat komunikasi."

"Bukan itu, Ma. Besok genap setahun loh dari peristiwa pembunuhan itu."

"Mila, bahkan ada seseorang yang mengidap trauma bahkan harus sampai dirawat untuk memulihkan jiwanya."

"Mila sebenarnya ingin berbicara langsung dan mengutarakan isi hati Mila, Ma."

"Kamu suka kepadanya?"

Mila hanya tertunduk malu.

"Kamu begitu dekat setahun ini dengannya?"

Mila mengangguk. "Iya, Ma. Ya, walau hanya lewat HP saja."

"Bahkan Mila mau membuang traumanya dengan tak lagi takut bertemu orang."

"Selama ini dia hanya berdiam diri di kamar. Ketemu orang hanya di ujung gang rumah. Itu juga karena membeli makan."

"Kalau untuk berbicara banyak dengan orang yang tak ia kenal katanya dia merasa ketakutan, Ma."

"Trauma orang beda-beda, Mila."

"Bahkan tadi dia bertemu badut dan katanya dia akan dibunuh dengan balon, Ma."

"Kasihan sekali anak itu. Tentu begitu dalam trauma yang dialaminya ya, Mil."

Mila mengangguk.

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search