CERKAK WARSINAH BAB 6
BAB 6
“Besok aku sudah ndak kerja lagi
Pakne,” ucap Warsinah seraya menyerahkan segelas kopi kepada suaminya.
“Lapo gak megae neh,” tanya Kuswanoto
datar.
Warsinah menghembus napas panjang,
sebenarnya dia masih ingin bekerja besok, tetapi sudah bulat keputusannya untuk
berhenti, di picu nelangsa saat Kuswanoto mendiamkannya.
“Ya ndak apa-apa, lagi pula sudah
ndak begitu repot, sebab istrinya Pak Rete sudah ada yang membantu, temannya.” Warsinah
berbohong, keinginannya itu dia utarakan kepada istri Pak Rete, setelah melihat
perubahan Kuswanoto yang selalu uring-uringan belakangan ini.
“Ngene lo Makne, uduk awakku gak
ngolehi awakmu kerjo, jal to golek kerjo liyone, gak masalah kanggoku,” kata
Kuswanoto dengan menyulut ujung kretek.
“Lah ndak Pakne,” ucap Warsinah lalu
meninggalkan Kuswanoto dan menuju kamar.
“Lha … anger di omongi wong lanang
pesti nesu.”
“Sopo seng nesu!” balas Warsinah dari
dalam kamar.
Kuswanoto hapal itu, segera dia
menyusul Warsinah. Di lihatnya Warsinah menekuk lutut dengan memasang punggung
saat Kuswanoto muncul di ambang pintu.
Kuswanoto duduk di samping Warsinah.
“Awakmu ruh to Makne nek Pak Rete iku kekancan kambek Sopyan.”
“Kat mbiyen yo awakmu ruh nek aku gak
seneng kambek guru ngaji iko,” ucap Kuswanoto menoleh ke arah Warsinah yang
masih memunggunginya.
“Sopyan lagi! Sopyan lagi! Itu masa
lalu Pakne!” seru Warsinah dengan bangkit dari tidurnya.
“lagi pula Pak Rete dan Sopyan itu
pamong kampung, dan ustad yang mengajari anak-anak ngaji di langgar, ya wajar
kalau mereka berteman dekat, bukan terus punya maksud seperti yang Njenengan tuduhkan.”
Berkali-kali Warsinah mencoba menjelaskan itu.
“Aku sama Sopyan sudah tak ada
apa-apa sejak aku memutuskan mau menerima Njenengan.”
“Lha awakmu ruh dewe to nek Sopyan
kat saiki gak mbojo, mergo opo … mergo tresnone jek panggah kambek awakmu!”
“Terus awakku yo gak seneng nek
awakmu mesra ngono iku wektu boncengan mbek Pak Rete!” ucap Kuswanoto di bawah
sinar lampu yang terhalang kelambu, jelas wajahnya menyiratkan kekesalan.
“Kesel … kesel aku ngomong karo
Njenengan, desas-desus Njenengan sering ke rumah Sri juga tak pernah aku
tanggapi, itu karena aku selalu percaya dengan Njenengan!”
“Lho lapo ngowo-gowo Sri, awakku gak
onok hubungan opo-opo kambek Sri!” bentak Kuswanoto.
“Terus … kalau aku ngomong ndak ada
hubungan sama Sopyan, Njenengan mau ndengerin! Iya! Mau dengar ndak!” bentak
Warsinah balik.
“Yo gak ngono maksudku,” ucap
Kuswanoto setengah malu di sudutkan begitu.
“Bukan cuma dengan aku saja, Pak Rete
itu juga baik sama orang kampung ini, perempuan di sini! Tapi lihat … lihat!
Apa suaminya pernah seperti Njenengan! Sudah jadi mbah kakung Pakne, sudah jadi
mbah!”
Kuswanoto terdiam tak bisa berkata,
suasana lengang sejenak.
“Aku bahkan tak pernah peduli dengan
apa Njenengan lakukan di luar sana, karena apa? Karena aku yakin Njenengan tak
pernah macem-macem,” kata Warsinah tak setinggi tadi.
“Lha kok mbahas awaku!” dahi
Kuswanoto berkeriut.
“Apa! Apa! Njenengan ndak mau kalau
salahkan to, Njenengan memang dari dulu mau menangnya sendiri, kalau aku tanya
tentang Sri, Njenengan muring! Marah, giliran aku hanya kerja masak Njenengan
juga marah, aku ini bukan Senuk Pakne! Aku mau bekerja itu demi Njenengan,
untuk tambah-tambah butuh biar ndak selalu ngerepotin Sekar!” di akhir
ucapannya terdengar isak Warsinah.
“Yo awakku to gur ….”
“Gur opo hah! Gur opo! Cuma mau
menangnya sendiri, hoalah Pakne , Pakne, nyebut! Cucu Njenengan sudah tiga,
eling umur Pakne!”
“To … malah awakku seng di salahno!”
“Ndak! Njenengan ndak pernah salah,
aku terus yang salah!” maki Warsinah.
“Sudahlah Pakne aku capek!” Warsinah
lalu menghempaskan tubuh dengan posisi semula, matanya masih berkaca-kaca.
~*~
Kuswanoto mematikan mesin motor jauh
saat motor belum memasuki halaman rumah terpencil itu. Berjalan mengendap,
menuju pintu belakang.
“Njenengan ndak boleh begitu to kang,
yu War itu ndak seperti yang Njenengan pikirkan,” kata Sri sewaktu Kuswanoto
sudah berada di dalam rumah. Aroma kopi menyeruak saat Sri meletakkan gelas itu
di samping Kuswanoto.
“Yu War itu sangat sayang dengan
Njenengan, dia bukan seperti Njenengan yang suka menggoda janda di kampung
ini,” ucapnya lagi.
“Lha kok di salahno maneh,” ujar
Kuswanoto segera meraih lepek kopi.
“Saranku yo kang, mbok ya biar Yu War
itu bekerja, dia di rumah juga sepi, apa ndak kasihan Njenengan dengannya.”
“Anak cucu jauh, mungkin dengan
begitu dia sedikit mendapat hiburan, berkumpul dengan orang dan bisa
menyalurkan hobinya masak,” imbuh Sri.
“Dengan datang ke sini, apa Njenengan
ndak merasa kalau Njenengan telah melukai hatinya, bukan aku menolak kedatangan
Njenengan kang, coba di pikir omonganku.”
~*~
“Brum! Brum.”
Setelah mencabut kunci motor,
Kuswanoto langsung menuju dapur. Di lihatnya Warsinah sudah terbangun, segelas
kopi sudah tersedia menanti kepulangannya di atas meja.
“Gak kerjo Makne,” ucap Kuswanoto
dari ambang pintu.
“Ndak Pak,” jawab Warsinah.
Kuswanoto lalu duduk di samping
Warsinah, “Sepurone yo Makne.”
Warsinah melepas pandangan yang
tertuju di foto buram, lalu menoleh suaminya. Wajah itu masih terlihat dingin.
“Awakmu gak nesu to Makne,” rayu
Kuswanoto dengan memegang tangan Warsinah.
“Mulutku memang begini Pak, Tapi
hatiku ndak bisa marah dengan Njenengan, tak ada yang perlu di maafkan, untuk
apa aku kerja kalau Njenengan saja tak pernah meridhoinya.”
“Yo wes, ko tak golekno kerjo seng
liyo, mesem ginio,” ucap Kuswanoto seraya mencolek dagu istrinya.
Warsinah tersenyum, lalu merebahkan
kepala di dada suaminya, dan itu langsung di sambut pelukan oleh Kuswanoto.
“Kita hanya hidup berdua Pak, aku
ndak mau kalau terus-terusan rumah tangga kita gembrungsung,” ucap Warsinah
lirih.
“Iyo Makne,” sela Kuswanoto cepat.
“Ngko kapan tak golekno lokak kerjo,
pokok gak ngewangi bojone Pak Rete neh.”
“Wes lah Pak, mending neng omah
ngeler turuk, iku to kekarepane Njenengan,” ledek Warsinah setengah mengungkap
isi hati.
“Lha terus ngono to?” potong
Kuswanoto.
“Yo begitu to nyatanya.”
“Ogak? Awakku gak tau ngomong ngono,”
ucap Kuswanoto setengah tersenyum telah menemukan Warsinah kembali seperti yang
dulu. Dalam peluk suaminya, Warsinah menatap foto buram, yang menggambarkan
pose sama, dan pelukan itu terjadi setelah pertikaian kecil diantara mereka.
Kuswanoto memang berwatak kaku,
Warsinah tahu itu dari dulu, sifat yang berbeda dengan lelaki yang pernah
singgah di hatinya, Sopyan, dan itu cerita puluhan tahun lalu. Warsinah sudah
menutup kisah usang picisan itu, dan berjanji akan sepenuhnya mengabdi sebagai
istri Kuswanoto, sejak ijab kabul itu terjadi.
Matahari mulai menyinari rumah
beratap asbes dengan alpukat mentega yang menghias halaman tak begitu luas.
No comments:
Post a Comment