Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK WARSINAH BAB 5

 BAB 5

Pagi sekali Kuswanoto meninggalkan rumah Sri, berharap tak ada seorang pun tahu akan kedatangannya tadi malam.

Jalan aspal terputus, sejenak Kuswanoto mengoper gigi motor dengan menekan tuas kopling. Di hadapannya jalan lurus, jalan yang sering di ajukan oleh pak Pak Rete saat usrembangdes untuk di aspal, mengingat jalan satu-satunya untuk mengangkut hasil panen sayur dan gabah menuju ke kota. Dan selalu sama alasan kenapa jalan tak jua di aspal, karena kawasan tersebut masuk dalam hutan produksi milik pemerintah.

Masuk ke tikungan pertama, tampak kubangan di sisi bahu, dan badan jalan yang melesak kedalam meninggalkan kubangan lumpur merah.

Lampu depan sepeda motor Kuswanoto masih menyala dalam mode lampu senja.

 Dari arah depan, sepeda motor yang dia kenal melintas dengan pengendara serta yang dibonceng menggunakan helm, tetapi Kuswanoto hafal siapa itu.

Pak RT, melintas dengan Warsinah yang memeluk erat pinggannya.

“Titt…!”

Kuswanoto menghentikan laju sepeda motornya, menoleh ke arah belakang saat motor itu melambat oleh jalan yang berkubang.

“O, Asu!” maki Kuswanoto setelah melihat mereka berdua melewatinya dan hanya menyalakan klakson.

“Ngertio tak tabrak sisan!” omelnya, lalu tancap gas menyusuri jalan merah sepanjang tiga kilo meter lagi untuk mencapai rumahnya.

 

~*~

Setelah menyabuni roda depan, lalu guyuran air itu membasahi sepeda motor yang berdiri dengan dua penyangga kaki.

“Mangkat mruput! Jane ngopo to! Taker wong lanang gak diopeni neh!” Kuswanoto terus mengumpat.

“Ana apa jane lah, reyang dewek,” suara ngapoak yang jelas di kenal Kuswanoto.

Jalan setapak tak lebih dua langkah lebarnya yang ada di depan rumah Kuswanoto menjadi jalan pintas bagi siapa saja yang ingin lebih cepat sampai ke hamparan kebun sayur, lereng yang berjarak satu kilo dari rumahnya, kini menjadi lahan sayur yang juga di tanami Saimun.

“Gak!” jawab Kuswanoto seraya terus mengguyur tangki motor.

“Ngandel, pesti ruh yayune boncengan maning ambi Pak Rete,” ucap Saimun dengan logat ngapak yang kental.

“Wes kono muleho!” sentak Kuswanoto.

“Sih, deneng nesune ambi inyong,” sambar Saimun yang bertubuh tinggi kurus tanpa baju.

Kuswanoto tak menghiraukan wajah Saimun yang tersenyum meninggalkannya.

Dengan anak kunci yang ada diantara kontak sepeda motor, Kuswanoto mencoba masuk dan langsung menuju dapur.

Segelas kopi sudah tersedia, juga sayur semalam yang Warsinah bawa tersaji setelah di hangatkan.

“Tititulit … tititulit.”

“Halo nduk,” kata Kuswanoto setelah sebelumnya melihat nama yang ada di layar telepon genggam.

“Asalamualaikum, pun teng griyo to Pak Njenengan.” Suara dari telepon.

“Waalaikumsallam, wes, tas ae moleh, ginio.”

“Mak’e wonten pak?” tanya suara di seberang yang tak lain adalah Sekar.

“Heh, Makmu saiki wes gak tau neng omah nek awan, kerjo melok bojone RT.”

“Nggeh kersane to Pak, lagi pula di rumah ya ndak ada kesibukan to, anu Pak … Sekar rencananya mau Sumatera, nanti biar mang Uus yang mengantar anak-anak kesana.”

“Yo gak opo-opo, sak karepmu, neng kene yo onok mbah kakung lan mbah putrine, malah apik, ben Mamakmu gak kerjone masak neh.”

“Mamak wau dalu nggeh telepon,” kata Sekar.

“Telepon nggo Hp ne sopo, lha tak gowo jogo Hp ne, ngomong opo ae Mamakmu nduk.”

“Nyambut Hp ne lek Mansur terose, Bapak kenapa to, mbok ya jangan seperti itu, malu sama cucunya, urusan sepele begitu saja kok di buat rame, Mamak itu ndak ada maksud untuk selingkuh dengan Pak Rete, mbok ya biar Mamak cari kesibukan, di sawah yo kasihan to, pun sepuh lo Pak, ampun dos lare nggeh.”

“Yo nduk,” jawab Kuswanoto.

“Menawi Bapak wonten kang di kersaaken, mang matur mawon kaleh Sekar, Bapak bade nyuwun nopo, mang matur mawon.”

“Duk nduk, duk perkoro kate njalok opo, Bapak iki gur gak seneng nek Mamakmu cedak kambek Pak Rete, mergo ….” Kuswanoto menghentikan ucapannya, di rasa tak perlu tahu Sekar dengan masalah yang dia alami.

“Mergo Bapak taseh cemburu kaleh Ustad Sopyan, ealah Pak kados lare nem mawon.”

“Iki pesti Warsinah seng ngadu, wadul kambek Sekar,” batin Kuswanoto.

“Pun ngoten mawon, pokok Sekar ndak mau mendengar Bapak dan Mamak ribut, hidup berdua mbok ya yang rukun, sudah gitu saja, pun nggeh, wasalamualaikum.”

“Waalaikumsallam.” Balas Kuswanoto.

“O, Bedes kores! Lapo ndadak telepon Sekar mbarang, ben di belani ngono ta!” gumam Kuswanoto, lalu meletakkan telepon genggamnya, lalu duduk terpekur di bangku kayu.

Kuswanoto menundukkan kepala yang di sangga telapak tangan, menghembuskan naps panjang. “Oalah … Ustad Sopyan, mantannya yu War, ya ndak mungkin to kang mereka saling mencintai lagi, lha semua sudah menjadi embah-embah.” Terngiang kata Kuntul tadi malam, persis seperti ucapan Sekar, anaknya.

Di tatap kembali foto buram itu. “Jal opo alasane awakmu milih aku?” tanya Kuswanoto sewaktu mereka berdua berteduh di bawah pohon maja.

“Seng milih Njenengan ki yo sopo, lha Njenengan dewe seng ngejar-ngejar aku kok e,” jawab Warsinah dengan rambut tergerai legam. Bergelayut manja dalam pelukan Kuswanoto.

“Yo kono! Balikan meneh kambek Sopyan kono!” balas Kuswanoto mendorong Warsinah dari pelukannya.

“Biyoh kang, loro gegerku! Plak ….” Satu pukulan kecil mendarat di bahu Kuswanoto.

“Ojo nyebut-nyebut mantanmu iko!” seru Kuswanoto.

“Njenengan ki sayang ora to, sayang ora heh?”

“Gak!”

“Yo wes nek gak sayang, ojo getun lo yo nek aku rabi karo mas Sopyan.” Warsinah cemberut seraya memunggungi Kuswanoto.

“Jelas Mas Sopyan iku luweh agamis, luweh sopan, ora berangasan koyok Njenengan, masio ora gagah koyok … kanggg! Kang Notooo!” teriak Warsinah saat Kuswanoto sudah berjalan meninggalkannya.

“Ihh, males aku!” umpat Warsinah.

“Kanggg … sayang ora to janeee!”

“Gak!” sahut Kuswanoto yang turun ke kali untuk melihat pancing yang tadi di pasang.

Tak lama Kuswanoto muncul seraya menunjukkan sebuah ikan kutuk yang terkait di mata kail.

“Duiikkk!” teriak Kuswanoto kepada Warsinah, mengangkat tinggi joran bambu.

Warsinah sejenak menoleh, lalu membuang tatapannya dengan memutar badan.

Kuswanoto mengaruk kepalanya, kenangan-kenangan indah sewaktu mereka pacaran kembali muncul, tat kala memandang foto buram, satu foto yang tersisa sewaktu mereka muda, selebihnya foto bersama ke tiga cucu yang terbingkai dan menghiasi dinding papan.

~*~

Perlahan matahari meninggi, angin berhembus menuju barat, gumpalan awan putih sejenak menghadang laju sinar mentari.

Kuswanoto memundak cangkul seraya berjalan menyusuri jalan kecil yang terlihat pematang sawah menghampar. Lambaian daun pisang akan selalu menyapa langkahnya, pohon pisang klutuk yang tumbuh serumpun itu selalu dia lewati.

“Weh! Seng mari di jamoni yu Sri, hehehehe … neng sawah nganti kawanen,” sapa Kuntul yang terlihat menyeka peluh, dengan badan penuh lumpur.

Kuswanoto tak menjawabnya, dengan senyum dia terus berjalan gembleleng, menuju petak sawah paling ujung.

Bias cahaya matahari yang terpantul dari permukaan air, menambah tegas birunya langit yang menaungi hektare sawah penduduk, satu pohon mangga keong, menjadi tanda sepetak sawah milik Kuswanoto yang bersebelahan dengan sungai kecil berair jernih.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search