CERKAK WARSINAH BAB 5
BAB 5
Pagi sekali Kuswanoto meninggalkan
rumah Sri, berharap tak ada seorang pun tahu akan kedatangannya tadi malam.
Jalan aspal terputus, sejenak
Kuswanoto mengoper gigi motor dengan menekan tuas kopling. Di hadapannya jalan
lurus, jalan yang sering di ajukan oleh pak Pak Rete saat usrembangdes untuk
di aspal, mengingat jalan satu-satunya untuk mengangkut hasil panen sayur dan
gabah menuju ke kota. Dan selalu sama alasan kenapa jalan tak jua di aspal,
karena kawasan tersebut masuk dalam hutan produksi milik pemerintah.
Masuk ke tikungan pertama, tampak
kubangan di sisi bahu, dan badan jalan yang melesak kedalam meninggalkan
kubangan lumpur merah.
Lampu depan sepeda motor Kuswanoto
masih menyala dalam mode lampu senja.
Dari arah depan, sepeda motor yang dia kenal
melintas dengan pengendara serta yang dibonceng menggunakan helm, tetapi
Kuswanoto hafal siapa itu.
Pak RT, melintas dengan Warsinah yang
memeluk erat pinggannya.
“Titt…!”
Kuswanoto menghentikan laju sepeda
motornya, menoleh ke arah belakang saat motor itu melambat oleh jalan yang
berkubang.
“O, Asu!” maki Kuswanoto setelah
melihat mereka berdua melewatinya dan hanya menyalakan klakson.
“Ngertio tak tabrak sisan!” omelnya,
lalu tancap gas menyusuri jalan merah sepanjang tiga kilo meter lagi untuk
mencapai rumahnya.
~*~
Setelah menyabuni roda depan, lalu
guyuran air itu membasahi sepeda motor yang berdiri dengan dua penyangga kaki.
“Mangkat mruput! Jane ngopo to! Taker
wong lanang gak diopeni neh!” Kuswanoto terus mengumpat.
“Ana apa jane lah, reyang dewek,”
suara ngapoak yang jelas di kenal Kuswanoto.
Jalan setapak tak lebih dua langkah
lebarnya yang ada di depan rumah Kuswanoto menjadi jalan pintas bagi siapa saja
yang ingin lebih cepat sampai ke hamparan kebun sayur, lereng yang berjarak
satu kilo dari rumahnya, kini menjadi lahan sayur yang juga di tanami Saimun.
“Gak!” jawab Kuswanoto seraya terus
mengguyur tangki motor.
“Ngandel, pesti ruh yayune boncengan
maning ambi Pak Rete,” ucap Saimun dengan logat ngapak yang kental.
“Wes kono muleho!” sentak Kuswanoto.
“Sih, deneng nesune ambi inyong,”
sambar Saimun yang bertubuh tinggi kurus tanpa baju.
Kuswanoto tak menghiraukan wajah
Saimun yang tersenyum meninggalkannya.
Dengan anak kunci yang ada diantara
kontak sepeda motor, Kuswanoto mencoba masuk dan langsung menuju dapur.
Segelas kopi sudah tersedia, juga
sayur semalam yang Warsinah bawa tersaji setelah di hangatkan.
“Tititulit … tititulit.”
“Halo nduk,” kata Kuswanoto setelah
sebelumnya melihat nama yang ada di layar telepon genggam.
“Asalamualaikum,
pun teng griyo to Pak Njenengan.” Suara dari telepon.
“Waalaikumsallam, wes, tas ae moleh,
ginio.”
“Mak’e wonten
pak?”
tanya suara di seberang yang tak lain adalah Sekar.
“Heh, Makmu saiki wes gak tau neng
omah nek awan, kerjo melok bojone RT.”
“Nggeh
kersane to Pak, lagi pula di rumah ya ndak ada kesibukan to, anu Pak … Sekar
rencananya mau Sumatera, nanti biar mang Uus yang mengantar anak-anak kesana.”
“Yo gak opo-opo, sak karepmu, neng
kene yo onok mbah kakung lan mbah putrine, malah apik, ben Mamakmu gak kerjone
masak neh.”
“Mamak wau
dalu nggeh telepon,” kata Sekar.
“Telepon nggo Hp ne sopo, lha tak
gowo jogo Hp ne, ngomong opo ae Mamakmu nduk.”
“Nyambut Hp
ne lek Mansur terose, Bapak kenapa to, mbok ya jangan seperti itu, malu sama
cucunya, urusan sepele begitu saja kok di buat rame, Mamak itu ndak ada maksud
untuk selingkuh dengan Pak Rete, mbok ya biar Mamak cari kesibukan, di sawah yo
kasihan to, pun sepuh lo Pak, ampun dos lare nggeh.”
“Yo nduk,” jawab Kuswanoto.
“Menawi
Bapak wonten kang di kersaaken, mang matur mawon kaleh Sekar, Bapak bade nyuwun
nopo, mang matur mawon.”
“Duk nduk, duk perkoro kate njalok
opo, Bapak iki gur gak seneng nek Mamakmu cedak kambek Pak Rete, mergo ….”
Kuswanoto menghentikan ucapannya, di rasa tak perlu tahu Sekar dengan masalah
yang dia alami.
“Mergo Bapak
taseh cemburu kaleh Ustad Sopyan, ealah Pak kados lare nem mawon.”
“Iki pesti Warsinah seng ngadu, wadul
kambek Sekar,” batin Kuswanoto.
“Pun ngoten
mawon, pokok Sekar ndak mau mendengar Bapak dan Mamak ribut, hidup berdua mbok
ya yang rukun, sudah gitu saja, pun nggeh, wasalamualaikum.”
“Waalaikumsallam.” Balas Kuswanoto.
“O, Bedes kores! Lapo ndadak telepon
Sekar mbarang, ben di belani ngono ta!” gumam Kuswanoto, lalu meletakkan
telepon genggamnya, lalu duduk terpekur di bangku kayu.
Kuswanoto menundukkan kepala yang di
sangga telapak tangan, menghembuskan naps panjang. “Oalah … Ustad Sopyan, mantannya yu War, ya ndak mungkin to kang mereka
saling mencintai lagi, lha semua sudah menjadi embah-embah.” Terngiang kata
Kuntul tadi malam, persis seperti ucapan Sekar, anaknya.
Di tatap kembali foto buram itu. “Jal opo alasane awakmu milih aku?”
tanya Kuswanoto sewaktu mereka berdua berteduh di bawah pohon maja.
“Seng milih
Njenengan ki yo sopo, lha Njenengan dewe seng ngejar-ngejar aku kok e,” jawab Warsinah dengan
rambut tergerai legam. Bergelayut manja dalam pelukan Kuswanoto.
“Yo kono! Balikan
meneh kambek Sopyan kono!” balas Kuswanoto mendorong Warsinah dari pelukannya.
“Biyoh kang,
loro gegerku! Plak ….” Satu pukulan kecil mendarat di bahu Kuswanoto.
“Ojo
nyebut-nyebut mantanmu iko!” seru Kuswanoto.
“Njenengan
ki sayang ora to, sayang ora heh?”
“Gak!”
“Yo wes nek
gak sayang, ojo getun lo yo nek aku rabi karo mas Sopyan.” Warsinah cemberut seraya
memunggungi Kuswanoto.
“Jelas Mas
Sopyan iku luweh agamis, luweh sopan, ora berangasan koyok Njenengan, masio ora
gagah koyok … kanggg! Kang Notooo!” teriak Warsinah saat Kuswanoto sudah
berjalan meninggalkannya.
“Ihh, males
aku!”
umpat Warsinah.
“Kanggg …
sayang ora to janeee!”
“Gak!” sahut Kuswanoto yang
turun ke kali untuk melihat pancing yang tadi di pasang.
Tak lama Kuswanoto muncul seraya
menunjukkan sebuah ikan kutuk yang terkait di mata kail.
“Duiikkk!” teriak Kuswanoto kepada
Warsinah, mengangkat tinggi joran bambu.
Warsinah sejenak menoleh, lalu
membuang tatapannya dengan memutar badan.
Kuswanoto mengaruk kepalanya,
kenangan-kenangan indah sewaktu mereka pacaran kembali muncul, tat kala
memandang foto buram, satu foto yang tersisa sewaktu mereka muda, selebihnya
foto bersama ke tiga cucu yang terbingkai dan menghiasi dinding papan.
~*~
Perlahan matahari meninggi, angin
berhembus menuju barat, gumpalan awan putih sejenak menghadang laju sinar
mentari.
Kuswanoto memundak cangkul seraya
berjalan menyusuri jalan kecil yang terlihat pematang sawah menghampar.
Lambaian daun pisang akan selalu menyapa langkahnya, pohon pisang klutuk yang
tumbuh serumpun itu selalu dia lewati.
“Weh! Seng mari di jamoni yu Sri, hehehehe
… neng sawah nganti kawanen,” sapa Kuntul yang terlihat menyeka peluh, dengan
badan penuh lumpur.
Kuswanoto tak menjawabnya, dengan
senyum dia terus berjalan gembleleng, menuju petak sawah paling ujung.
Bias cahaya matahari yang terpantul
dari permukaan air, menambah tegas birunya langit yang menaungi hektare sawah
penduduk, satu pohon mangga keong, menjadi tanda sepetak sawah milik Kuswanoto
yang bersebelahan dengan sungai kecil berair jernih.
No comments:
Post a Comment