Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK WARSINAH BAB 4

BAB 4 

Tit!

Bunyi klakson motor di sertai sorot lampu yang menerangi halaman rumah berpaping bulat.

“Tumben ndisiki kang,” sapa lelaki yang menggunakan ciput berkalung sarung.

Kuswanoto yang duduk di teras rumah beton itu hanya menoleh, seraya kembali menghisap keretek.

“Ngopo, kelihatannya kok sumpek,” kata lelaki yang tak lain adalah Kuntul, teman yang kerap mampir sekadar menemani Kuswanoto hingga dia pulang saat matanya sudah mengantuk.

“Gak,” jawab Kuswanoto singkat.

“Awakmu bengi iki gelem gak nulung awakku.”

“Minta tolong apa, sudahlah ini sudah aku bawakan ini, hehehehe.” Kuntul memperlihatkan kotak kayu dengan motif kotak berwarna hitam putih.

“Mending kita catur saja, mosok iya sampean kalah terus,” ucap Kuntul meletakkan papan catur diantara mereka.

“Jek males,” ucap Kuswanoto dengan wajah lesu.

“Ada apa to kang, gak seperti biasanya?” tanya Kuntul.

Kuntul bukan orang lain bagi Kuswanoto, orang yang kadang meringankan beban dengan berbagai nasihat, ya walau kadang Kuswanoto tak pernah memakai pandangan Kuntul.

“Awakku gak seneng nek mbakyu-mu sering metu kambek pak Pak RT.” Kuswanoto menoleh ke arah Kuntul yang menyimak ucapannya.

“Sering keluar bagaimana?”

“Yo metu, goncengan wong loro,” jawab Kuswanoto membetulkan ikatan udengnya.

“Ya keluar itu tujuannya apa dulu kang, tidak mungkin yu Warsinah melakukan apa yang kakang pikirkan.”

“Yo iku goro-goro di kongkon ngewangi masak bojone Pak Rete, makyu-mu sering di jemput pak Pak Rete,” ucap Kuswanoto menceritakan ketidakinginannya.

“Gara-gara mbakyu membantu masak itu to?”

Kuswanoto mengangguk.

“Hahaha, oalah kang, kakang, begitu saja kok di permasalahkan, lha wong yu Warsinah itu ndak bakal selingkuh sama Pak Rete, dia itu pernah cerita dengan istriku, sebab kadang istriku juga sering membantu Bu Rete.”

“Kalau yu Warsinah itu membantu usaha katering istrinya Pak Rete, paling tidak bisa membantu unmtuk beli bumbu dapur, mbok ya biar saja to kang.”

“Masalae, Pak Rete iku koncone Sopyan!” kata Kuswanoto dengan nada kesal.

“Oalah … Ustad Sopyan, mantannya yu War, ya ndak mungkin to kang mereka saling mencintai lagi, lha semua sudah menjadi embah-embah.”

“Ladalah, guoblok! Piye nek Pak Rete nyomblangi Sopyan kambek Warsinah neh hah! Ojo ngomong gak mungkin, awakmu weroh to piye mbiyen Warsinah kambek Sopyan, iku wong loro iku, wes koyok Romo lan Shinto, koyok bakal wes gak iso di pisahno!”

“Kakang teko dadi Rahwono, hahahaha.” Kuntul tertawa melihat ekspresi wajah Kuswanoto yang berbicara cerocos.

“Nguawor nek ngomong,” gerutu Kuswanoto.

“Heh kang, percaya to sama saya, wes tidak mungkin! Buktinya yu Warsinah rela meninggalkan Ustad Sopyan dan menerima kakang sebagai suaminya, lha iya to, atau ….”

“Ngopo!” Kuswanoto melotot menunggu lanjutan ucap Kuntul.

“Yu Warsinah meteng ndisek, hehehehe.” Kuntul terkekeh menutup mulutnya.

“O, wedos!” umpat Kuswanoto menampik tuduhan Kuntul.

“Wes lah, kate ngetan.” Pamit Kuswanoto bergegas berdiri.

“Marani Sri po?” tanya Kuntul yang juga beranjak.

“Lapo?”

“Yo tidak, sampean nuduh yu Warsinah begitu, lha wong sampean sendiri masih sering ke rumah janda itu untuk gendakan.”

“Halah duk urusanmu!” Kuswanoto melempar ujung sarung ke bahu, lalu menuju motor merah yang terparkir di halaman.

“Gerbangnya jangan lupa di gembok kang!” kata Kuntul yang sudah memancal engkol motornya lebih dulu.

“Kate neng ndi!” teriak Kuswanoto.

“Golek musuh catur!”

Motor Kuntul melaju, melewati gerbang dan meninggalkan Kuswanoto.

 

~*~

 

“Sri,” panggil Kuswanoto sewaktu sudah sampai di depan pintu rumah paling ujung timur kampung.

“Sri! Wes turu ta.”

“Krekkk…!

“Kang Noto,” ucap perempuan yang berambut panjang.

“Wes bukaken lawang mburi,” ucap Kuswanoto dengan sura lirih, meminta Sri untuk mmbuka pintu belakang.

Kuswanoto mendorong motornya dari samping rumah menuju belakang.

“Aji wes turu?” tanya Kuswanoto menanyakan anak Sri.

“Wes,” jawab Sri yang masih terlihat mengantuk.

“Gawekno kopi Sri.”

Tanpa di minta pun, Sri pasti akan selalu menyambut suami Warsinah ini dengan segelas kopi hangat, sebab Kuswanoto selalu akan menemuinya malam hari.

Sri sendiri sudah seperti istri muda bagi Kuswanoto, hubungan diam-diam yang mereka jalin hampir berjalan seusia anaknya.

“Ndak jogo apa kang?” tanya Sri yang menuangkan air panas dari termos.

“Wes genah Jogo kok yo takon mbarang.” Kuswanoto memperlirih suaranya.

“Mbalik neh berarti,” ucap Sri seraya memberikan gelas di alas lepek beling.

“Kate lapo mbalik neh, ngeloni pilar emperanta,” ujar Kuswanoto, segera dia menyeruput kopi, yang kebetulan dia tadi tak menyentuh kopi buatan Warsinah.

“Jare jogo, piye to.” Sri duduk di samping Kuswanoto, memandang wajah lelaki yang ke datangannya selalu tak ingin di ketahui orang.

“Njogo awakmu,” bisik Kuswanoto.

“Adoh yoh!” pekiknya saat Sri mencubit paha.

“Ahhh seger, wes seminggu awakku gak mrene yo Sri,” kata Kuswanoto seraya meletakkan gelas kembali ke atas lepek.

“Sudah makan belum kang.”

“Gurung, jane luwe wetengku, njangan opo,” ucap Kuswanoto dengan merogoh saku kolor meraih bungkus kretek.

“Ndak nyanyur, mie, mau ndak aku masakin,” tawar Sri.

“Lah ngko ae lah.” Diakhir ucap Kuswanoto menyulut gulungan tembakau.

“Sampean itu jangan sering ke sini, bukannya aku melarang kang, cuma bagaimana kalau yu War tahu.”

“Lah wes gak usah mbok pikiri Warsinah, gak bakal onok seng ruh.”

Perlahan Kuswanoto merangkul Sri, janda beranak satu yang dia kenal saat Aji masih berumur satu tahun.

Sri hanya diam, saat istri Warsinah itu mulai mengangkat dahinya. Dengan pelan Kuswanoto mengarahkan bibirnya ke bibir Sri.

“Uhuk, uhuk!” Sri terbatuk.

“We …,” Kuswanoto membuang keretek di tangan.

“Asap rokoke sampean kang,” ujar Sri.

Di akhir ucapannya, segera Kuswanoto memeluk dan menggotong Sri ke dalam kamar.

Tak butuh waktu lama, tempat tidur itu bergerak, seiring Kuswanoto yang menindih Sri dalam desah.

Di tepi tempat tidur, semua terkumpul di sana, mulai dari bra Sri hingga kolor dan sarung Kuswanoto.

Pergumulan yang sering mereka lakukan, kala sebagian penduduk sudah nyenyak dalam buai mimpi.

Sri begitu mencintai suami Warsinah, pun sebaliknya, Kuswanoto yang juga mencintai Sri, entah siapa yang memulai lebih dulu, yang pasti Sri juga seorang perempuan yang masih ingin merasakan sentuhan dari laki-laki.

Jauh sebelum pembicaraan tentang masa depan Sri, saat Kuswanoto belum siap menikahinya karena alasan begitu mencintai Warsinah, dan dengan cara seperti ini lah mereka melakukannya diam-diam, Kuswanoto sendiri sepakat tidak mempermasalahkan hubungan mereka berdua, jika kelak Sri menikah dengan lelaki yang benar-benar akan bertanggung jawab atas dirinya dan Aji.

Sementara kini, Kuswanoto hadir menyiram kegersangan batinnya, berbagi malam dengan Warsinah di rumah, yang kini dia curigai akan kembali dengan Sopyan, lewat bantuan pak Pak Rete.

Suatu tuduhan yang tak beralasan, tetapi memang dari dulu Kuswanoto tak pernah menyukai guru ngaji tersebut, entah apa penyebabnya.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search