CERKAK WARSINAH BAB 4
BAB 4
Tit!
Bunyi klakson motor di sertai sorot
lampu yang menerangi halaman rumah berpaping bulat.
“Tumben ndisiki kang,” sapa lelaki
yang menggunakan ciput berkalung sarung.
Kuswanoto yang duduk di teras rumah
beton itu hanya menoleh, seraya kembali menghisap keretek.
“Ngopo, kelihatannya kok sumpek,”
kata lelaki yang tak lain adalah Kuntul, teman yang kerap mampir sekadar
menemani Kuswanoto hingga dia pulang saat matanya sudah mengantuk.
“Gak,” jawab Kuswanoto singkat.
“Awakmu bengi iki gelem gak nulung
awakku.”
“Minta tolong apa, sudahlah ini sudah
aku bawakan ini, hehehehe.” Kuntul memperlihatkan kotak kayu dengan motif kotak
berwarna hitam putih.
“Mending kita catur saja, mosok iya
sampean kalah terus,” ucap Kuntul meletakkan papan catur diantara mereka.
“Jek males,” ucap Kuswanoto dengan
wajah lesu.
“Ada apa to kang, gak seperti
biasanya?” tanya Kuntul.
Kuntul bukan orang lain bagi
Kuswanoto, orang yang kadang meringankan beban dengan berbagai nasihat, ya
walau kadang Kuswanoto tak pernah memakai pandangan Kuntul.
“Awakku gak seneng nek mbakyu-mu
sering metu kambek pak Pak RT.” Kuswanoto menoleh ke arah Kuntul yang menyimak
ucapannya.
“Sering keluar bagaimana?”
“Yo metu, goncengan wong loro,” jawab
Kuswanoto membetulkan ikatan udengnya.
“Ya keluar itu tujuannya apa dulu
kang, tidak mungkin yu Warsinah melakukan apa yang kakang pikirkan.”
“Yo iku goro-goro di kongkon ngewangi
masak bojone Pak Rete, makyu-mu sering di jemput pak Pak Rete,” ucap Kuswanoto
menceritakan ketidakinginannya.
“Gara-gara mbakyu membantu masak itu
to?”
Kuswanoto mengangguk.
“Hahaha, oalah kang, kakang, begitu
saja kok di permasalahkan, lha wong yu Warsinah itu ndak bakal selingkuh sama
Pak Rete, dia itu pernah cerita dengan istriku, sebab kadang istriku juga
sering membantu Bu Rete.”
“Kalau yu Warsinah itu membantu usaha
katering istrinya Pak Rete, paling tidak bisa membantu unmtuk beli bumbu dapur,
mbok ya biar saja to kang.”
“Masalae, Pak Rete iku koncone Sopyan!”
kata Kuswanoto dengan nada kesal.
“Oalah … Ustad Sopyan, mantannya yu
War, ya ndak mungkin to kang mereka saling mencintai lagi, lha semua sudah
menjadi embah-embah.”
“Ladalah, guoblok! Piye nek Pak Rete
nyomblangi Sopyan kambek Warsinah neh hah! Ojo ngomong gak mungkin, awakmu
weroh to piye mbiyen Warsinah kambek Sopyan, iku wong loro iku, wes koyok Romo
lan Shinto, koyok bakal wes gak iso di pisahno!”
“Kakang teko dadi Rahwono, hahahaha.”
Kuntul tertawa melihat ekspresi wajah Kuswanoto yang berbicara cerocos.
“Nguawor nek ngomong,” gerutu
Kuswanoto.
“Heh kang, percaya to sama saya, wes
tidak mungkin! Buktinya yu Warsinah rela meninggalkan Ustad Sopyan dan menerima
kakang sebagai suaminya, lha iya to, atau ….”
“Ngopo!” Kuswanoto melotot menunggu
lanjutan ucap Kuntul.
“Yu Warsinah meteng ndisek,
hehehehe.” Kuntul terkekeh menutup mulutnya.
“O, wedos!” umpat Kuswanoto menampik
tuduhan Kuntul.
“Wes lah, kate ngetan.” Pamit
Kuswanoto bergegas berdiri.
“Marani Sri po?” tanya Kuntul yang
juga beranjak.
“Lapo?”
“Yo tidak, sampean nuduh yu Warsinah
begitu, lha wong sampean sendiri masih sering ke rumah janda itu untuk
gendakan.”
“Halah duk urusanmu!” Kuswanoto
melempar ujung sarung ke bahu, lalu menuju motor merah yang terparkir di
halaman.
“Gerbangnya jangan lupa di gembok
kang!” kata Kuntul yang sudah memancal engkol motornya lebih dulu.
“Kate neng ndi!” teriak Kuswanoto.
“Golek musuh catur!”
Motor Kuntul melaju, melewati gerbang
dan meninggalkan Kuswanoto.
~*~
“Sri,” panggil Kuswanoto sewaktu
sudah sampai di depan pintu rumah paling ujung timur kampung.
“Sri! Wes turu ta.”
“Krekkk…!
“Kang Noto,” ucap perempuan yang
berambut panjang.
“Wes bukaken lawang mburi,” ucap
Kuswanoto dengan sura lirih, meminta Sri untuk mmbuka pintu belakang.
Kuswanoto mendorong motornya dari
samping rumah menuju belakang.
“Aji wes turu?” tanya Kuswanoto
menanyakan anak Sri.
“Wes,” jawab Sri yang masih terlihat
mengantuk.
“Gawekno kopi Sri.”
Tanpa di minta pun, Sri pasti akan
selalu menyambut suami Warsinah ini dengan segelas kopi hangat, sebab Kuswanoto
selalu akan menemuinya malam hari.
Sri sendiri sudah seperti istri muda
bagi Kuswanoto, hubungan diam-diam yang mereka jalin hampir berjalan seusia
anaknya.
“Ndak jogo apa kang?” tanya Sri yang
menuangkan air panas dari termos.
“Wes genah Jogo kok yo takon
mbarang.” Kuswanoto memperlirih suaranya.
“Mbalik neh berarti,” ucap Sri seraya
memberikan gelas di alas lepek beling.
“Kate lapo mbalik neh, ngeloni pilar
emperanta,” ujar Kuswanoto, segera dia menyeruput kopi, yang kebetulan dia tadi
tak menyentuh kopi buatan Warsinah.
“Jare jogo, piye to.” Sri duduk di
samping Kuswanoto, memandang wajah lelaki yang ke datangannya selalu tak ingin
di ketahui orang.
“Njogo awakmu,” bisik Kuswanoto.
“Adoh yoh!” pekiknya saat Sri
mencubit paha.
“Ahhh seger, wes seminggu awakku gak
mrene yo Sri,” kata Kuswanoto seraya meletakkan gelas kembali ke atas lepek.
“Sudah makan belum kang.”
“Gurung, jane luwe wetengku, njangan
opo,” ucap Kuswanoto dengan merogoh saku kolor meraih bungkus kretek.
“Ndak nyanyur, mie, mau ndak aku
masakin,” tawar Sri.
“Lah ngko ae lah.” Diakhir ucap
Kuswanoto menyulut gulungan tembakau.
“Sampean itu jangan sering ke sini,
bukannya aku melarang kang, cuma bagaimana kalau yu War tahu.”
“Lah wes gak usah mbok pikiri
Warsinah, gak bakal onok seng ruh.”
Perlahan Kuswanoto merangkul Sri,
janda beranak satu yang dia kenal saat Aji masih berumur satu tahun.
Sri hanya diam, saat istri Warsinah
itu mulai mengangkat dahinya. Dengan pelan Kuswanoto mengarahkan bibirnya ke
bibir Sri.
“Uhuk, uhuk!” Sri terbatuk.
“We …,” Kuswanoto membuang keretek di
tangan.
“Asap rokoke sampean kang,” ujar Sri.
Di akhir ucapannya, segera Kuswanoto
memeluk dan menggotong Sri ke dalam kamar.
Tak butuh waktu lama, tempat tidur
itu bergerak, seiring Kuswanoto yang menindih Sri dalam desah.
Di tepi tempat tidur, semua terkumpul
di sana, mulai dari bra Sri hingga kolor dan sarung Kuswanoto.
Pergumulan yang sering mereka
lakukan, kala sebagian penduduk sudah nyenyak dalam buai mimpi.
Sri begitu mencintai suami Warsinah,
pun sebaliknya, Kuswanoto yang juga mencintai Sri, entah siapa yang memulai
lebih dulu, yang pasti Sri juga seorang perempuan yang masih ingin merasakan
sentuhan dari laki-laki.
Jauh sebelum pembicaraan tentang masa
depan Sri, saat Kuswanoto belum siap menikahinya karena alasan
begitu mencintai Warsinah, dan dengan cara seperti ini lah mereka melakukannya
diam-diam, Kuswanoto sendiri sepakat tidak mempermasalahkan hubungan mereka
berdua, jika kelak Sri menikah dengan lelaki yang benar-benar akan bertanggung
jawab atas dirinya dan Aji.
Sementara kini, Kuswanoto hadir
menyiram kegersangan batinnya, berbagi malam dengan Warsinah di rumah, yang
kini dia curigai akan kembali dengan Sopyan, lewat bantuan pak Pak Rete.
Suatu tuduhan yang tak beralasan,
tetapi memang dari dulu Kuswanoto tak pernah menyukai guru ngaji tersebut,
entah apa penyebabnya.
No comments:
Post a Comment