Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK WARSINAH BAB 3

 

BAB 3

Tit … tiiiitttt.

“Ndak mau mapir dulu Pak Rete,”

“Wah ndak yu, mau terus langsung nyusul, takutnya kemalaman nanti.” Kata lelaki berpeci dengan baju batik, yang duduk di atas motor.

“Besok saya jemput lagi paginya nggeh yu.”

Warsinah tersenyum dengan mengangguk, tak lama kemudian motor itu meninggalkan halaman rumah papan.

Krekkk! 

Suara pintu dibuka.

“Penak yo anter jemput terus kambek Pak Rete.”

Warsinah menoleh ke arah datangnya suara, tampak Kuswanoto berdiri di ambang pintu.

“Lha sudah pulang to Pakne,” ucap Warsinah mencoba tersenyum, walau penat mulai di rasa.

“Halah gak usah abang-abang lambe!” sahut Kuswanoto cepat.

“Njenengan ki lo ada apa to, wes ayo masuk, ndak enak kalau di lihat tetangga, nek ngomong wes koyo gluduk, bianter eram.” Warsinah melewati Kuswanoto yang masih berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang.

“Ni, ini lo Pakne, tak bawakan peyek urang kesukaan Njenengan.” Warsinah segera membuka plastik bawaannya.

Kuswanoto duduk Njenengan di bangku dengan memasang wajah kesal.

“Duk, duk iku kesenenganku!” celetuk Kuswanoto.

Warsinah menoleh dengan dahi berkeriut.

“Sejak kapan jadi ndak suka peyek urang?” tanya Warsinah dengan terus membuka dan mengambil berbagai makanan dari dalam plastik.

“Lha ini yo ada sambel teri campur tempe, mau makan sekalian apa, biar tak ambilkan nasinya.” Warsinah masih terlihat sibuk, bahkan belum sempat dia berganti pakaian.

“Gak doyan!” seru Kuswanoto.

“Njenengan kenapa to, aku bawakan ini karena ingat dengan Njenengan, setiap aku pulang kenapa Njenengan kelihatannya ndak pernah nglegakno atiku,” ujar Warsinah lalu duduk di samping Kuswanoto.

“Sebentar-bentar nesu, sedikit-dikit muring, kok sama seperti cucumu si Bagus dan Albar gitu, ada apa to Pakne?” ucap Warsinah lembut lalu memeluk kaki njegang, meletakan kepala di dada suaminya.

“Awakku gak seneng nek awakmu lungo terus kambek Pak Rete!” ucap Kuswanoto masih terdengar kesal.

“Mbok ya ndak usah mikir yang aneh-aneh, aku di antar Pak Rete karena aku disuruh membantu istrinya buka usaha katering, Pak Rete itu mesti berangkat subuh sekali untuk mengantar istrinya, lalu kembali menjemput aku, kasihan lo Pak Rete itu Pakne,” jabar Warsinah mencoba menjelaskan.

“lha terus ngopo ndadak rangkulan mesra mbarang!”

“Ealah Pakne,” Warsinah beranjak lalu menuju rak piring.

“Aku ini kan takut kalau di bonceng orang, lagi pula jalan kita itu bukan jalan aspal yang ndak berlubang, kalau aku jatuh lha malah coto, Pak Rete dan istrinya itu orang baik, sudah memasukan kita untuk dapat bantuan, mbok ya ndak usah berprasangka buruk terus begitu to.” Cerocos Warsinah.

“Pokok awakku gak seneng nek awakmu goncengan mesra koyok ngono iku kambek Pak Rete!’

“Njenengan ki wonge angel, kakune ki lo,” ucap Warsinah seraya meletakan kopi di samping suaminya.

“Jane bayarane sepiro, koyok marek-mareki ae!”

“Ini bukan masalah bayarane Pakne, saya membantu istri Pak Rete itu karena dia memang membutuhkan bantuanku, mau di kasih yo alhamdulillah, ndak yo ndak apa-apa to, walaupun ndak seberapa, buktinya masih bisa membelikan rokok untuk Njenengan.”

“Penak lek mu ngomong,” gerutu Kuswanoto.

“Wes lah Pakne aku capek, mau mandi, lha Njenengan sudah mandi belum? Apa mau tak rebusin air anget?”

“Gak wes! Banyu adem ae! Gak usah mratek-mratekno mbarang!”

“yo wes lah Pakne, sak karepe Njenengan wea lah,” kata Warsinah lalu keluar menuju bilik kamar mandi.

~*~

“Mbok ya sarungnya ganti, di lemari masih ada to yang bersih,” ucap Warsinah kepada suaminya yang sedang berdiri menyisir rambut di depan cermin.

Kuswanoto tak menanggapi ucapan istrinya.

“Mau jaga di pos to Pakne?” tanya Warsinah, dihadapannya menumpuk pakaian yang sebagian telah dia lipat untuk di masukan ke lemari.

Kuswanoto menyambar keretek, lalu duduk sejenak menikmati hisapan pertama.

“HP nya di tinggal saja, siapa tau nanti Sekar telepon.”

Mendengar itu, Kuswanoto segera memasukan telepon genggamnya di balik sarung, meraba sekali lagi memastikan telepon genggam telah masuk di kantong kolornya.

Warsinah hanya bisa memandang suaminya saat Kuswanoto melewatinya dan bergegas meninggalkan rumah, setelah menyambar udeng yang biasa dia kenakan.

Sekali lagi Warsinah mengelus dada, “Dari dulu sifat kakunya kok ya ndak hilang-hilang.”

Warsinah meluruskan kaki, menyandar pada dinding papan, dia akan menjadi sedih saat Kuswanoto diam.

“Aku membutuhkan sampean yu, soalnya kata tetangga-tetangga saat rewang, masakan sampean itu terkenal enak lo di kampung,” ucap istri Pak RT, sewaktu awal kedatangannya ke rumah dan meminta bantuan Warsinah.

“Lagi pula saya membutuhkan sampean hanya untuk dua minggu hingga Marinten kembali dari kampung, tetapi kalau sampean mau, sampean bisa membantu saya terus, memang tidak banyak, tetapi mending to yu hitung-hitung cari uang tambahan dari pada selalu berharap dengan suami.”

Warsinah mengingat kali pertama istri Pak RT datang ke rumah, kalau bukan karena ke baikannya, Warsinah sebenarnya enggan, mengingat jarak komplek pemerintahan daerah terbilang jauh, di tambah dia tidak bisa mengendarai motor. di rumah sebenarnya ada satu motor yang belum lama ini di belikan oleh Sekar, tapi Kuswanoto tetap menolak kalau di belikan motor bebek, alhasil yang datang ke rumah adalah motor vixion merah berkopling.

“Brumm … brummm.” Suara motor mulai menjauh dari rumah papan bercat hijau.

Warsinah menutup rapat serta mengunci pintu dengan palang kecil. Tubuhnya menyandar di pintu, saat seperti inilah dia akan kembali sedih oleh kelakuan suaminya, bukan karena mulai sebulan ini dia tidur sendiri sejak suaminya menjadi penjaga di sebuah rumah di ujung kampung, tetapi Warsinah memang tak bisa kalau di diamkan oleh suaminya.

“Wes dadi mbah kakung kok yo kelakuane panggah ae,” batin Warsinah.

Warsinah berjalan ke ruang belakang, di lihatnya kopi, serta makanan itu utuh tak tersentuh.

“Lho bawa saja yu, untuk kang Noto, ndak apa-apa, bawa saja ini, ini ….” Kata istri Pak RT memaksa Warsinah untuk membawa sebagian sisa lauk dan sayur.

Tatapan Warsinah tertuju pada foto usang yang masih terbingkai, foto hitam putih kala dia mencium lelaki yang mengalihkan perhatiannya saat dia tengah menjalin cinta dengan Sopyan, yang kini menjadi guru ngaji. Pesona Kuswanoto begitu kuat di mata Warsinah hingga dia melupakan lelaki yang berbekal banyak tentang agama.

“Akh! Aduh kang,” rintih Warsinah tergelincir di pematang sawah saat melangkah pulang.

“Kenopo Dik!” segera Kuswanoto lari menghampiri Warsinah yang tadi berjalan di belakangnya.

“Jane sayang ora to!” seru Warsinah seraya melotot ke arah Kuswanoto.

“Lha kok iso, yo sayang to!” sahut Kuswanoto seraya membantu Warsinah berdiri, setelah membuang jauh cangkul yang dia genggam.

“Deloken to kang, mosok aku kon seng nggowo iki kabeh,” ucap Warsinah menunjukkan tempat bontot, satu ikat besar daun singkong muda, baju yang telah dia cuci, capil bambu serta termos.

Sedangkan Kuswanoto melenggang didepan hanya memundak cangkul.

Lalu mereka menyusuri galengan, Kuswanoto menggendong Warsinah. Semua yang di bawa Warsinah tadi kini ada di rentengan tangan, sebagian dia ikatkan di pinggang, sementara istrinya tersenyum seraya meletakkan kepala di pundak Kuswanoto yang menggendongnya di belakang meniti galengan di bawah payung senja.

Warsinah mengusap mata yang berkaca-kaca, mengaburkan semua kejadian dimana mereka baru saja menjadi sepasang pengantin baru kala itu.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search