CERKAK WARSINAH BAB 3
BAB 3
Tit … tiiiitttt.
“Ndak mau mapir dulu Pak Rete,”
“Wah ndak yu, mau terus langsung
nyusul, takutnya kemalaman nanti.” Kata lelaki berpeci dengan baju batik, yang
duduk di atas motor.
“Besok saya jemput lagi paginya nggeh
yu.”
Warsinah tersenyum dengan mengangguk,
tak lama kemudian motor itu meninggalkan halaman rumah papan.
Krekkk!
Suara pintu dibuka.
“Penak yo anter jemput terus kambek
Pak Rete.”
Warsinah menoleh ke arah datangnya
suara, tampak Kuswanoto berdiri di ambang pintu.
“Lha sudah pulang to Pakne,” ucap
Warsinah mencoba tersenyum, walau penat mulai di rasa.
“Halah gak usah abang-abang lambe!”
sahut Kuswanoto cepat.
“Njenengan ki lo ada apa to, wes ayo
masuk, ndak enak kalau di lihat tetangga, nek ngomong wes koyo gluduk, bianter
eram.” Warsinah melewati Kuswanoto yang masih berdiri dengan satu tangan
berkacak pinggang.
“Ni, ini lo Pakne, tak bawakan peyek
urang kesukaan Njenengan.” Warsinah segera membuka plastik bawaannya.
Kuswanoto duduk Njenengan di bangku
dengan memasang wajah kesal.
“Duk, duk iku kesenenganku!” celetuk
Kuswanoto.
Warsinah menoleh dengan dahi
berkeriut.
“Sejak kapan jadi ndak suka peyek
urang?” tanya Warsinah dengan terus membuka dan mengambil berbagai makanan dari
dalam plastik.
“Lha ini yo ada sambel teri campur
tempe, mau makan sekalian apa, biar tak ambilkan nasinya.” Warsinah masih
terlihat sibuk, bahkan belum sempat dia berganti pakaian.
“Gak doyan!” seru Kuswanoto.
“Njenengan kenapa to, aku bawakan ini
karena ingat dengan Njenengan, setiap aku pulang kenapa Njenengan kelihatannya
ndak pernah nglegakno atiku,” ujar Warsinah lalu duduk di samping Kuswanoto.
“Sebentar-bentar nesu, sedikit-dikit
muring, kok sama seperti cucumu si Bagus dan Albar gitu, ada apa to Pakne?”
ucap Warsinah lembut lalu memeluk kaki njegang, meletakan kepala di dada
suaminya.
“Awakku gak seneng nek awakmu lungo
terus kambek Pak Rete!” ucap Kuswanoto masih terdengar kesal.
“Mbok ya ndak usah mikir yang
aneh-aneh, aku di antar Pak Rete karena aku disuruh membantu istrinya buka
usaha katering, Pak Rete itu mesti berangkat subuh sekali untuk mengantar
istrinya, lalu kembali menjemput aku, kasihan lo Pak Rete itu Pakne,” jabar
Warsinah mencoba menjelaskan.
“lha terus ngopo ndadak rangkulan
mesra mbarang!”
“Ealah Pakne,” Warsinah beranjak lalu
menuju rak piring.
“Aku ini kan takut kalau di bonceng
orang, lagi pula jalan kita itu bukan jalan aspal yang ndak berlubang, kalau
aku jatuh lha malah coto, Pak Rete dan istrinya itu orang baik, sudah memasukan
kita untuk dapat bantuan, mbok ya ndak usah berprasangka buruk terus begitu
to.” Cerocos Warsinah.
“Pokok awakku gak seneng nek awakmu
goncengan mesra koyok ngono iku kambek Pak Rete!’
“Njenengan ki wonge angel, kakune ki
lo,” ucap Warsinah seraya meletakan kopi di samping suaminya.
“Jane bayarane sepiro, koyok
marek-mareki ae!”
“Ini bukan masalah bayarane Pakne,
saya membantu istri Pak Rete itu karena dia memang membutuhkan bantuanku, mau
di kasih yo alhamdulillah, ndak yo ndak apa-apa to, walaupun ndak seberapa,
buktinya masih bisa membelikan rokok untuk Njenengan.”
“Penak lek mu ngomong,” gerutu
Kuswanoto.
“Wes lah Pakne aku capek, mau mandi,
lha Njenengan sudah mandi belum? Apa mau tak rebusin air anget?”
“Gak wes! Banyu adem ae! Gak usah
mratek-mratekno mbarang!”
“yo wes lah Pakne, sak karepe
Njenengan wea lah,” kata Warsinah lalu keluar menuju bilik kamar mandi.
~*~
“Mbok ya sarungnya ganti, di lemari
masih ada to yang bersih,” ucap Warsinah kepada suaminya yang sedang berdiri
menyisir rambut di depan cermin.
Kuswanoto tak menanggapi ucapan
istrinya.
“Mau jaga di pos to Pakne?” tanya
Warsinah, dihadapannya menumpuk pakaian yang sebagian telah dia lipat untuk di
masukan ke lemari.
Kuswanoto menyambar keretek, lalu
duduk sejenak menikmati hisapan pertama.
“HP nya di tinggal saja, siapa tau
nanti Sekar telepon.”
Mendengar itu, Kuswanoto segera
memasukan telepon genggamnya di balik sarung, meraba sekali lagi memastikan
telepon genggam telah masuk di kantong kolornya.
Warsinah hanya bisa memandang
suaminya saat Kuswanoto melewatinya dan bergegas meninggalkan rumah, setelah
menyambar udeng yang biasa dia kenakan.
Sekali lagi Warsinah mengelus dada, “Dari
dulu sifat kakunya kok ya ndak hilang-hilang.”
Warsinah meluruskan kaki, menyandar
pada dinding papan, dia akan menjadi sedih saat Kuswanoto diam.
“Aku
membutuhkan sampean yu, soalnya kata tetangga-tetangga saat rewang, masakan
sampean itu terkenal enak lo di kampung,” ucap istri Pak RT, sewaktu awal
kedatangannya ke rumah dan meminta bantuan Warsinah.
“Lagi pula
saya membutuhkan sampean hanya untuk dua minggu hingga Marinten kembali dari
kampung, tetapi kalau sampean mau, sampean bisa membantu saya terus, memang
tidak banyak, tetapi mending to yu hitung-hitung cari uang tambahan dari pada
selalu berharap dengan suami.”
Warsinah mengingat kali pertama istri
Pak RT datang ke rumah, kalau bukan karena ke baikannya, Warsinah sebenarnya
enggan, mengingat jarak komplek pemerintahan daerah terbilang jauh, di tambah
dia tidak bisa mengendarai motor. di rumah sebenarnya ada satu motor yang belum
lama ini di belikan oleh Sekar, tapi Kuswanoto tetap menolak kalau di belikan
motor bebek, alhasil yang datang ke rumah adalah motor vixion merah berkopling.
“Brumm … brummm.” Suara motor mulai
menjauh dari rumah papan bercat hijau.
Warsinah menutup rapat serta mengunci
pintu dengan palang kecil. Tubuhnya menyandar di pintu, saat seperti inilah dia
akan kembali sedih oleh kelakuan suaminya, bukan karena mulai sebulan ini dia
tidur sendiri sejak suaminya menjadi penjaga di sebuah rumah di ujung kampung,
tetapi Warsinah memang tak bisa kalau di diamkan oleh suaminya.
“Wes dadi mbah kakung kok yo
kelakuane panggah ae,” batin Warsinah.
Warsinah berjalan ke ruang belakang,
di lihatnya kopi, serta makanan itu utuh tak tersentuh.
“Lho bawa
saja yu, untuk kang Noto, ndak apa-apa, bawa saja ini, ini ….” Kata istri Pak RT memaksa
Warsinah untuk membawa sebagian sisa lauk dan sayur.
Tatapan Warsinah tertuju pada foto
usang yang masih terbingkai, foto hitam putih kala dia mencium lelaki yang
mengalihkan perhatiannya saat dia tengah menjalin cinta dengan Sopyan, yang
kini menjadi guru ngaji. Pesona Kuswanoto begitu kuat di mata Warsinah hingga
dia melupakan lelaki yang berbekal banyak tentang agama.
“Akh! Aduh
kang,”
rintih Warsinah tergelincir di pematang sawah saat melangkah pulang.
“Kenopo
Dik!”
segera Kuswanoto lari menghampiri Warsinah yang tadi berjalan di belakangnya.
“Jane sayang
ora to!”
seru Warsinah seraya melotot ke arah Kuswanoto.
“Lha kok
iso, yo sayang to!” sahut Kuswanoto seraya membantu Warsinah berdiri, setelah membuang
jauh cangkul yang dia genggam.
“Deloken to
kang, mosok aku kon seng nggowo iki kabeh,” ucap Warsinah menunjukkan tempat
bontot, satu ikat besar daun singkong muda, baju yang telah dia cuci, capil
bambu serta termos.
Sedangkan Kuswanoto melenggang didepan
hanya memundak cangkul.
Lalu mereka menyusuri galengan,
Kuswanoto menggendong Warsinah. Semua yang di bawa Warsinah tadi kini ada di rentengan
tangan, sebagian dia ikatkan di pinggang, sementara istrinya tersenyum seraya
meletakkan kepala di pundak Kuswanoto yang menggendongnya di belakang meniti galengan
di bawah payung senja.
Warsinah mengusap mata yang
berkaca-kaca, mengaburkan semua kejadian dimana mereka baru saja menjadi
sepasang pengantin baru kala itu.
No comments:
Post a Comment