CERKAK PUTU BAB 8
BAB 8
Sebuah mobil hitam baru saja meninggalkan halaman rumah Warsinah,
sebuah lambaian tangan kecil terlihat dari kaca mobil yang terbuka.
Warsinah membalas lambaian itu dengan senyum mengembang. Sejenak dia
menghembuskan napas, lalu melihat ke arah
beberapa lembaran kertas merah di tangan kanannya.
Bergegas dia masuk lalu menutup pintu.
Warsinah duduk di bangku kayu, rumahnya lengang kini, Sekar datang
menjemput ketiga anaknya.
“Ini untuk Bapak, cukup untuk membeli Hp baru,” ucap Sekar tadi
sebelum melangkah menuju pintu.
Warsinah masih terpaku dalam sepi, tangannya menyangga pipi yang
mulai kendur. Beberapa hari kemarin dia sangat bahagia saat ketiga cucunya
meramaikan rumah. Bahkan permintaannya kepada Sekar untuk menginap barang
semalam di tolak sang anak.
“Apa ndak nunggu Bapakmu pulang Nduk?” tanya Warsinah kepada Sekar.
“Nunggu Bapak, kalau sudah pergi ke rawa, pasti Bapak pulangnya
malam, paling cepat menjelang magrib,” tampik Sekar atas permintaan Warsinah.
****
“Gus …Bar!” teriak Kuswanoto.
“Gus … Le, Albar!” lagi, Kuswanoto berteriak seraya mengangkat ikan
kutuk dalam sendatan di tangannya, senyumnya semringah menunjukkan hasil
pancing.
“Makne!’
“Ndingaren sepi,” batinnya.
“Mak …Makne!”
“Neng ndi to jane do an!” gerutu Kuswanoto.
“Makkkk..!”
“Biyoh, biyoh, surup ki lo Pak! Bengak-bengok, ngopo jane!” ucap
Warsinah yang segera keluar dari pintu belakang.
“Ki lo, iwak … gorengan nggo putumu, nyoh.” Kuswanoto menyerahkan
rentengan ikan yang berisi delapan ikan kutuk, tiga diantaranya sebesar
pergelangan tangan.
“Sudah sana mandi, ambune Njenengan amis campur prengus, wes kono
gek ados,” kata Warsinah menerima ikan pemberian Kuswanoto.
“Makk..!”
“Makkkk..!” teriak Kuswanoto dari bilik kamar mandi dengan dinding
setengah badan.
“Ya Allah, opo neh to Pakkk?” Warsinah muncul kembali dengan pisau
masih di tangan.
“Anduk,” tunjuk Kuswanoto ke arah anduk biru yang tergantung pada
seutas tali yang membentang di dinding papan.
“Wes ngerti ados ora sisan nggowo anduk,” gerutu Warsinah.
“Sabun, sabune ndi.” Belum lagi Warsinah sampai di depan pintu,
teriakan Kuswanoto menghentikan langkahnya.
“Angger-angger, jal nek arep ados ki di delok sek opo seng entek!”
omel Warsinah.
“Wes ndang, kate tak kumbah resik, ko bengi kate di enggo ki.” Ucap
Kuswanoto seraya menunjuk bagian bawah.
****
“Beh, segereee,” kata Kuswanoto seraya menggulung lilitan sarung
kawung di pinggangnya.
“Lha tuyul-tuyul do neng ndi Mak,”ucapnya lagi dengan membentang
anduk di tali rapia dekat pintu.
“Balek,” jawab Warsinah singkat.
“Sreengg….”
Bunyi bak hujan yang mengguyur atap seng terdengar dari wajan
penggorengan yang di bawahnya menyala api berwarna biru.
“Balek piye to!” kata Kuswanoto kaget.
“Mamake njemput mau.” Jawab Warsinah.
“Lho jare rong minggu.”
“lha wing ikan telepon to Pak, katanya ndak jadi dua minggu,”
“Hadoh, lha Bagus sama Albar ya ikut ulang no,” desah Kuswanoto
disertai hembusan napas panjang.
“Lha iya to Pak, kok aneh Njenengan ki,” kata Warsinah sambil
berjalan menuju lemari kayu.
“Ni ada titipan dari Sekar, untuk ganti Hp yang kemarin pecah, ini
juga ada surat dari cucumu.” Warsinah menyerahkan beberapa lembar uang dan
secarik kertas putih berisi tulisan.
“Mbah Kakung Bagus minta
maaf, Bagus tidak sengaja memecahkan Hp Mbah Kakung, nanti kalau Bagus sudah
besar dan sudah bekerja, Bagus akan ganti Hp Mbah Kakung,”
“Selak matek Le Mbah Kakungmu,” batin Kuswanoto.
“Doh, sepi no Makne, gak onok putuku,” ucap Kuswanoto lirih, di letakkan
bokongnya di atas bangku kayu. Dia tarik ujung sarung lalu duduk njegang.
“Bagus tadi nangis, katanya Mbah Kakungnya marah,” kata Warsinah,
terlihat dia mengangkat irisan kutuk yang digoreng.
“Seng nesu ki yo sopo,” sahut Kuswanoto datar.
“Mangkane to Pak, mbok jadi orang ki ndak usah kasar kalau ngomong,
apalagi sama cucu sendiri.”
“Lha wes modele koyok ngene kok, kat mbiyen yo koyok ngene!” sambar
Kuswanoto dengan tatap tajam ke arah Warsinah.
“Ndak, dulu pas kita pacaran ndak kereng,” balas Warsinah.
“O … pekok! a nek awakku kereng yo gak bakal awakmu dadi bojoku!”
ketus Kuswanoto, lalu meraih keretek di atas lemari kayu.
“Ki wes mateng, mau makan sekarang apa nanti,” tawar Warsinah.
“Managan saiki ae lah, wes ngeleh wetengku, kat isuk gurung mangan,”
kata Kuswanoto lalu melangkah menuju meja yang ada di dapur.
“Arep kopi gak, sisan leh ku neng pawon,” tanya Warsinah.
“Lah koyok neng warung kopi ae ndadak di tawani, yo iyo to, kulino
ne piye!”
****
Jangkrik bernyanyi mengundang serangga malam untuk saling berbisik,
membisikkan sejuta kata pikat untuk saling bercinta. Begitu juga yang terjadi
di kamar Warsinah.
“Mak …Makne,”
“Heh, Mak.” Kuswanoto menggoyang-goyangkan tubuh Warsinah yang sudah
terlelap.
Di atas tempat tidur Kuswanoto yang hanya mengenakan sarung memeluk
istrinya dari belakang. Satu kaki sengaja dia tindih di bokong Warsinah yang
tidur memunggunginya.
Tempat tidur itu kini terlihat lega tanpa ketiga cucu yang kemarin
malam masih di atasnya.
“Mak, weh … cekelen, wes kenceng iki,” bisik Kuswanoto di telinga
Warsinah.
Warsinah menggeliat lalu semakin meringkuk.
“O, wedos … heh Mak, ayo, selak kudu iki.”
“Hoamm….”
Terbangun juga Warsinah oleh Kuswanoto yang mengusik tidurnya.
“Opo neh to Pak,” ucap Warsinah seraya menyingkirkan kaki Kuswanoto
yang menindihnya.
“La kok takon neh, bioso lah Mak.”
Warsinah segera bangkit duduk.
“Bioso opo,” tanya Warsinah.
“lah kok etok-etok, yo biosone piye.”
“Ngomong seng nggenah to Pak.”
“Kikuk-kikuk,” ucap Kuswanoto semakin melebarkan kedua kakinya dalam
keadaan terlentang di samping Warsinah.
“Ki lo wes ngadek.” Tunjuk Kuswanoto ke arah sarungnya.
“Prei!” ketus Warsinah dengan bermaksud kembali ingin melanjutkan
tidurnya.
“Lah … lah … lah, kok prei to Makne, diluk ae,”
“Ndak bisa Pak,” ucap Warsinah mengubah posisinya menghadap
Kuswanoto.
“lha kan wes gak onok putune dewe to, bebas bengi iki, sak senenge
dewe lek nglakoni,” kata Kuswanoto
pelan.
“Ngenteni seminggu neh,” kata Warsinah lalu memejamkan mata.
“Seminggu neh yo pilek to Mak,” gerutu Kuswanoto.
“Lha kok nganti pilek,” kata Warsinah mwmbuka matanya.
“Yo munggah neng ndas, terus metu dadi umbel!”
“Malam ini libur dulu, halangan Pak,” ucap Warsinah lagi, lalu
berbalik memunggungi Kuswanoto yang masih telentang menunggu.
“Awakmu men to Makne,” kata Kuswanoto segera sontak duduk.
Terlihat Warsinah mengangguk beberapa kali.
“Ealah … wes pirang bengi gak di turuti goro-goro putu, lha wes
tepak ngene malah menstruasi,”
Kuswanoto lalu menggulung lagi sarungnya. Dia turun dari tempat
tidur dan melangkah ke ruangan televisi.
“Kelakon gapuk gondal-gandul nek ngeneki,” gerutunya, lalu menyulut
ujung keretek di sela jarinya.
“Klek.” Tombol televisi kemudian menyala berwarna hijau.
“Seorang kakek berumur lima puluh lima tega memperkosa perempuan
tetangga rumahnya, di duga sang kakek sering mengintai perempuan tersebut
sewaktu mandi, hingga timbul niat jahatnya.” Suara dari televisi yang
menyiarkan berita dini hari.
SEKIAN
No comments:
Post a Comment