Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK PUTU BAB 8


 BAB 8

Sebuah mobil hitam baru saja meninggalkan halaman rumah Warsinah, sebuah lambaian tangan kecil terlihat dari kaca mobil yang terbuka.

Warsinah membalas lambaian itu dengan senyum mengembang. Sejenak dia menghembuskan napas, lalu melihat ke arah  beberapa lembaran kertas merah di tangan kanannya.

Bergegas dia masuk lalu menutup pintu.

Warsinah duduk di bangku kayu, rumahnya lengang kini, Sekar datang menjemput ketiga anaknya.

“Ini untuk Bapak, cukup untuk membeli Hp baru,” ucap Sekar tadi sebelum melangkah menuju pintu.

Warsinah masih terpaku dalam sepi, tangannya menyangga pipi yang mulai kendur. Beberapa hari kemarin dia sangat bahagia saat ketiga cucunya meramaikan rumah. Bahkan permintaannya kepada Sekar untuk menginap barang semalam di tolak sang anak.

“Apa ndak nunggu Bapakmu pulang Nduk?” tanya Warsinah kepada Sekar.

“Nunggu Bapak, kalau sudah pergi ke rawa, pasti Bapak pulangnya malam, paling cepat menjelang magrib,” tampik Sekar atas permintaan Warsinah.

****

“Gus …Bar!” teriak Kuswanoto.

“Gus … Le, Albar!” lagi, Kuswanoto berteriak seraya mengangkat ikan kutuk dalam sendatan di tangannya, senyumnya semringah menunjukkan hasil pancing.

“Makne!’

“Ndingaren sepi,” batinnya.

“Mak …Makne!”

“Neng ndi to jane do an!” gerutu Kuswanoto.

“Makkkk..!”

“Biyoh, biyoh, surup ki lo Pak! Bengak-bengok, ngopo jane!” ucap Warsinah yang segera keluar dari pintu belakang.

“Ki lo, iwak … gorengan nggo putumu, nyoh.” Kuswanoto menyerahkan rentengan ikan yang berisi delapan ikan kutuk, tiga diantaranya sebesar pergelangan tangan.

“Sudah sana mandi, ambune Njenengan amis campur prengus, wes kono gek ados,” kata Warsinah menerima ikan pemberian Kuswanoto.

“Makk..!”

“Makkkk..!” teriak Kuswanoto dari bilik kamar mandi dengan dinding setengah badan.

“Ya Allah, opo neh to Pakkk?” Warsinah muncul kembali dengan pisau masih di tangan.

“Anduk,” tunjuk Kuswanoto ke arah anduk biru yang tergantung pada seutas tali yang membentang di dinding papan.

“Wes ngerti ados ora sisan nggowo anduk,” gerutu Warsinah.

“Sabun, sabune ndi.” Belum lagi Warsinah sampai di depan pintu, teriakan Kuswanoto menghentikan langkahnya.

“Angger-angger, jal nek arep ados ki di delok sek opo seng entek!” omel Warsinah.

“Wes ndang, kate tak kumbah resik, ko bengi kate di enggo ki.” Ucap Kuswanoto seraya menunjuk bagian bawah.

****

“Beh, segereee,” kata Kuswanoto seraya menggulung lilitan sarung kawung di pinggangnya.

“Lha tuyul-tuyul do neng ndi Mak,”ucapnya lagi dengan membentang anduk di tali rapia dekat pintu.

“Balek,” jawab Warsinah singkat.

“Sreengg….”

Bunyi bak hujan yang mengguyur atap seng terdengar dari wajan penggorengan yang di bawahnya menyala api berwarna biru.

“Balek piye to!” kata Kuswanoto kaget.

“Mamake njemput mau.” Jawab Warsinah.

“Lho jare rong minggu.”

“lha wing ikan telepon to Pak, katanya ndak jadi dua minggu,”

“Hadoh, lha Bagus sama Albar ya ikut ulang no,” desah Kuswanoto disertai hembusan napas panjang.

“Lha iya to Pak, kok aneh Njenengan ki,” kata Warsinah sambil berjalan menuju lemari kayu.

“Ni ada titipan dari Sekar, untuk ganti Hp yang kemarin pecah, ini juga ada surat dari cucumu.” Warsinah menyerahkan beberapa lembar uang dan secarik kertas putih berisi tulisan.

“Mbah Kakung Bagus minta maaf, Bagus tidak sengaja memecahkan Hp Mbah Kakung, nanti kalau Bagus sudah besar dan sudah bekerja, Bagus akan ganti Hp Mbah Kakung,”

“Selak matek Le Mbah Kakungmu,” batin Kuswanoto.

“Doh, sepi no Makne, gak onok putuku,” ucap Kuswanoto lirih, di letakkan bokongnya di atas bangku kayu. Dia tarik ujung sarung lalu duduk njegang.

“Bagus tadi nangis, katanya Mbah Kakungnya marah,” kata Warsinah, terlihat dia mengangkat irisan kutuk yang digoreng.

“Seng nesu ki yo sopo,” sahut Kuswanoto datar.

“Mangkane to Pak, mbok jadi orang ki ndak usah kasar kalau ngomong, apalagi sama cucu sendiri.”

“Lha wes modele koyok ngene kok, kat mbiyen yo koyok ngene!” sambar Kuswanoto dengan tatap tajam ke arah Warsinah.

“Ndak, dulu pas kita pacaran ndak kereng,” balas Warsinah.

“O … pekok! a nek awakku kereng yo gak bakal awakmu dadi bojoku!” ketus Kuswanoto, lalu meraih keretek di atas lemari kayu.

“Ki wes mateng, mau makan sekarang apa nanti,” tawar Warsinah.

“Managan saiki ae lah, wes ngeleh wetengku, kat isuk gurung mangan,” kata Kuswanoto lalu melangkah menuju meja yang ada di dapur.

“Arep kopi gak, sisan leh ku neng pawon,” tanya Warsinah.

“Lah koyok neng warung kopi ae ndadak di tawani, yo iyo to, kulino ne piye!”

****

Jangkrik bernyanyi mengundang serangga malam untuk saling berbisik, membisikkan sejuta kata pikat untuk saling bercinta. Begitu juga yang terjadi di kamar Warsinah.

“Mak …Makne,”

“Heh, Mak.” Kuswanoto menggoyang-goyangkan tubuh Warsinah yang sudah terlelap.

Di atas tempat tidur Kuswanoto yang hanya mengenakan sarung memeluk istrinya dari belakang. Satu kaki sengaja dia tindih di bokong Warsinah yang tidur memunggunginya.

Tempat tidur itu kini terlihat lega tanpa ketiga cucu yang kemarin malam masih di atasnya.

“Mak, weh … cekelen, wes kenceng iki,” bisik Kuswanoto di telinga Warsinah.

Warsinah menggeliat lalu semakin meringkuk.

“O, wedos … heh Mak, ayo, selak kudu iki.”

“Hoamm….”

Terbangun juga Warsinah oleh Kuswanoto yang mengusik tidurnya.

“Opo neh to Pak,” ucap Warsinah seraya menyingkirkan kaki Kuswanoto yang menindihnya.

“La kok takon neh, bioso lah Mak.”

Warsinah segera bangkit duduk.

“Bioso opo,” tanya Warsinah.

“lah kok etok-etok, yo biosone piye.”

“Ngomong seng nggenah to Pak.”

“Kikuk-kikuk,” ucap Kuswanoto semakin melebarkan kedua kakinya dalam keadaan terlentang di samping Warsinah.

“Ki lo wes ngadek.” Tunjuk Kuswanoto ke arah sarungnya.

“Prei!” ketus Warsinah dengan bermaksud kembali ingin melanjutkan tidurnya.

“Lah … lah … lah, kok prei to Makne, diluk ae,”

“Ndak bisa Pak,” ucap Warsinah mengubah posisinya menghadap Kuswanoto.

“lha kan wes gak onok putune dewe to, bebas bengi iki, sak senenge dewe lek nglakoni,”  kata Kuswanoto pelan.

“Ngenteni seminggu neh,” kata Warsinah lalu memejamkan mata.

“Seminggu neh yo pilek to Mak,” gerutu Kuswanoto.

“Lha kok nganti pilek,” kata Warsinah mwmbuka matanya.

“Yo munggah neng ndas, terus metu dadi umbel!”

“Malam ini libur dulu, halangan Pak,” ucap Warsinah lagi, lalu berbalik memunggungi Kuswanoto yang masih telentang menunggu.

“Awakmu men to Makne,” kata Kuswanoto segera sontak duduk.

Terlihat Warsinah mengangguk beberapa kali.

“Ealah … wes pirang bengi gak di turuti goro-goro putu, lha wes tepak ngene malah menstruasi,”

Kuswanoto lalu menggulung lagi sarungnya. Dia turun dari tempat tidur dan melangkah ke ruangan televisi.

“Kelakon gapuk gondal-gandul nek ngeneki,” gerutunya, lalu menyulut ujung keretek di sela jarinya.

“Klek.” Tombol televisi kemudian menyala berwarna hijau.

“Seorang kakek berumur lima puluh lima tega memperkosa perempuan tetangga rumahnya, di duga sang kakek sering mengintai perempuan tersebut sewaktu mandi, hingga timbul niat jahatnya.” Suara dari televisi yang menyiarkan berita dini hari.


SEKIAN

©KUSWANOTO 


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search