Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 1


 BAB 1

“Pak!” kata Warsinah, terlihat dia hanya berdiri di seberang kali kecil dengan air deras mengalir berwarna keruh.

“Wes ndang! Garek nyebrang ae kok!” balas Kuswanoto yang memegang cangkul, badan tegapnya sudah basah oleh peluh yang mengalir.

“Gak wani!” Warsinah masih berdiri di ujung jembatan bambu yang berjajar tiga batang.

“Gak wani opo ne! Gak ogak nek ceklek!” Kuswanoto masih berdiri di tempatnya, lumpur sawah terlihat membenamkan mata kakinya.

“Iki lo tampani,” ucap Warsinah seraya menunjukkan satu rantang di tangan kanannya, terlihat pula termos kecil berisi air panas di tangan kirinya.

Hujan deras semalam telah menenggelamkan jalan kecil yang biasa dia lalui untuk mencapai gubuk yang ada di tengah sawah, terpaksa dia harus memutar jalan, hanya dengan menyebrangi sungai kecil, dengan lebar dua meteran, yang di bawahnya mengalir air sisa hujan semalam, sungai kecil yang biasa mengaliri sawah memang terlihat lebih meluap di banding hari-hari biasanya.

“Pak!” teriaknya lagi. Sungguh dia tak berani melintasi jembatan darurat itu, balut jarik yang dia kenakan menyulitkan langkahnya untuk meniti.

“Ladalah ... nyebrang ngono ae kok repot men,” gerutu Kuswanoto seraya mengangkat kakinya, jejak telapak perlahan terkubur lumpur, saat genangan air menutupinya.

“Godakmu iki opo!” makinya di ujung jembatan.

“Njenengan ki piye to! Wong wedok gak wani njembat kok malah muring!” Warsinah tak kalah geramnya.

Kuswanoto meniti jembatan itu dengan tiga langkah lincahnya, “Njembat ngono ae gak iso, go rene!” katanya seraya mengambil bawaan yang ada di tangan istrinya. Lalu melangkah meniti kembali.

“Pak! Lha aku piye, gak wani,” rengek Warsinah setelah Kuswanoto meninggalkannya.

“Yo jek gak wani, kan wes tak jupuk ki gawane!” Kuswanoto melotot ke arah istrinya yang masih tak bergerak di ujung jembatan bambu.

“Mbok yo tulungi to!” pinta Warsinah.

“Alah ... jiabang bayik!” gerutu Kuswanoto merutuk.

Dengan terpaksa Kuswanoto kembali meniti untuk menuntun istrinya melewati jembatan yang sebenarnya mampu menopang tubuh mereka, tetapi Warsinah memang takut, dia takut kalau tiga batang bambu itu tak mampu menopang tubuhnya yang terlihat mulai melar.

“Mentolo tak ucalno neng kali,” gumam Kuswanoto seraya terus membimbing istrinya untuk perlahan meniti.

“Njenengan ki ra enek eman-emane karo bojo Pak! Sayange nek arep njaluk tok!” balas Warsinah dengan perlahan mencoba mengikuti langkah suaminya yang memegang tangannya. Tatapannya tak lepas dari kaki yang menjangkah perlahan.

“Lha wong jembatan gur rong meter we kok yo wedi.” Terdengar dia masih ngedumel.

“Jenenge wong wedi yo wedi, nulungi bojone ae kok ngoceh terus,” balas Warsinah.

Dan akhirnya, Warsinah bisa bernapas lega, saat dia tadi berusaha untuk menahan napas saat berada di atas tiga batang bambu. Sementara suaminya sudah mendahuluinya berjalan ke arah gubuk yang ditopang empat tiang dengan dinding papan separuh badan.

****

“Ngombe! Ngombe ... cedakno rene iku cerete!” perintahnya kepada Warsinah yang duduk menggantung kaki di tepi lantai gubuk yang memang sengaja di buat panggung.

“Sayure nambah ra?” tawar Warsinah seraya menyodorkan sambel terong bakar yang terlihat utuh.

“Gak, jangan kacang mbek peyek urang iki ae lah, terong loyo ngono garai lemes,” ucapnya dengan mulut sesak oleh nasi dari puluk tangannya.

“Di campuri kemangi iki,” ujar Warsinah.

“Gah!” bentaknya dengan terus mengunyah, sejenak dia meraih kembali gagang ceret dan mengucuri mulutnya dengan cara mengangkat di depan wajah.

“Ah ... assuuuweger,” katanya, lalu meraih peyek udang yang terakhir, di bungkusan daun pisang yang di bawa tadi istrinya.

“Pak.”

“Hemm.” Kuswanoto terus menjejali mulutnya dengan nasi. Tangan Warsinah meraih satu nasi yang menyangkut di kumis suaminya.

“Mangan kok koyok bocah, nyepres,” ucap Warsinah seraya membuang nasi dari kumis suaminya ke bawah.

“Gimana yo,” kata Warsinah sambil menatap Kuswanoto yang juga memandangnya.

“Njenengan kan tahu kalau pak Rete sudah mengumumkan untuk meminta sumbangan seikhlasnya, kepada semua warga.”

Kuswanoto meletakan piring, bunyi gemercik air terdengar saat mulut ceret yang mulai membasahi tangannya, sebenarnya itu akan membuat mulut Warsinah ngomel kalau dia cuci tangan setelah makan menggunakan air minum. Tetapi tidak untuk kali ini.

“Seikhlasnya to? Tanya Kuswanoto lalu meraih keretek dengan bungkus berwarna merah yang ada di sampingnya.

“Iya Pak, aku itu bingung, mau nyumbang berapa? Mana anakmu Sekar, bulan ini belum ngasih kiriman.” Warsinah dengan wajah bingung menatap suaminya yang seperti tak menggubris ucapannya.

“Halah ngono ae kok bingung, namanya saja seikhlasnya, yo gak usah memaksa, seadanya saja.”

“Iya bener, kalau sekarang aku lagi ndak pegang uang, coba Njenengan pinjem dulu sama Saimun.”

“Simun? Potongane iko opo yo nduwe duwek!”

“Mbok ya jangan begitu to Pak? Jangan suka meremehkan orang, siapa tahu dia punya simpanan, nanti kalau Mbah Ali sudah menyuruh aku buruh unduh pasti tak bayar,” ucap Warsinah terlihat memberesi sisa makan suaminya.

“E ... mbok Makne, dadi wong cilik po maneh gur tandur pari, gak tau nyekel duwek ngeneki, dong onok butuh gur gawe sirahku mumet ... mumet ... mumet Makne,” balasnya dengan bersandar di dinding papan.

“Lha neng omah jek onok cekelan piro?” tanyannya kemudian setelah Warsinah hanya membuang tatap ke arah tanah becek di mana cangkul suaminya masih berdiri dengan mata cangkul tertanam di lumpur.

“Tinggal tujuh puluh lima ribu, itu saja buat jagan beli kebutuhan pawon dan rokoke Njenengan,” jawab Warsinah.

Semilir angin sawah telah mengeringkan keringat Kuswanoto, hanya dengan berkolor dia lalu duduk njegang. “Wes gak usah mumet-mumet, gampang nek perkoro nyumbang, mbok nowo anakmu gak suwe maneh ngirimi duwek.”

“Iya tetapi apa ya ndak malu kita kalau terus berharap sama Sekar?” hembusan napas Warsinah terdengar panjang, dia tahu, selama ini sebagian hidupnya ditopang oleh kiriman duit sang anak. Ini sudah hampir sebulan, anaknya belum juga datang ke rumah, sebulan sekali biasanya sang anak akan mengunjunginya seraya membawa cucu mereka.

“Kalau ndak nyumbang ya kan malu, apa nanti kata orang.”

“Halah! Lapo isin ... jenenge nyumbang yo nek onok, nek gak yo gak popo nek gak nyumbang! serunya lalu turun meninggalkan Warsinah yang masih duduk menggantung kaki.

“Masih beduk lo Pak?”

“Lha ginio nek beduk?” kata Kuswanoto seraya menggulung ujung kolor panjangnya.

“Mbok ya laut sek.”

“Kate ngiseng aku, heeeeekkkk!” jawab Kuswanoto di akhiri dengan bersendawa panjang.

****

Tak lama setelah Kuswanoto hilang di dalam semak kecil di sisi timur sawah, dimana ada sebatang pisang yang tumbuh subur di sana, Warsinah mengganti bajunya dengan baju yang biasa dia gantung di belakang gubuk sawah. Sudah menjadi kebiasaannya untuk membantu suaminya setelah Mbah Ali tak menyuruhnya buruh unduh karena tak ada panenan sayur atau jagung.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search