CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 1
BAB 1
“Pak!”
kata Warsinah, terlihat dia hanya berdiri di seberang kali kecil dengan air
deras mengalir berwarna keruh.
“Wes
ndang! Garek nyebrang ae kok!” balas Kuswanoto yang memegang cangkul, badan
tegapnya sudah basah oleh peluh yang mengalir.
“Gak
wani!” Warsinah masih berdiri di ujung jembatan bambu yang berjajar tiga
batang.
“Gak
wani opo ne! Gak ogak nek ceklek!” Kuswanoto masih berdiri di tempatnya, lumpur
sawah terlihat membenamkan mata kakinya.
“Iki
lo tampani,” ucap Warsinah seraya menunjukkan satu rantang di tangan kanannya,
terlihat pula termos kecil berisi air panas di tangan kirinya.
Hujan
deras semalam telah menenggelamkan jalan kecil yang biasa dia lalui untuk
mencapai gubuk yang ada di tengah sawah, terpaksa dia harus memutar jalan, hanya
dengan menyebrangi sungai kecil, dengan lebar dua meteran, yang di bawahnya
mengalir air sisa hujan semalam, sungai kecil yang biasa mengaliri sawah memang
terlihat lebih meluap di banding hari-hari biasanya.
“Pak!”
teriaknya lagi. Sungguh dia tak berani melintasi jembatan darurat itu, balut
jarik yang dia kenakan menyulitkan langkahnya untuk meniti.
“Ladalah
... nyebrang ngono ae kok repot men,” gerutu Kuswanoto seraya mengangkat
kakinya, jejak telapak perlahan terkubur lumpur, saat genangan air menutupinya.
“Godakmu
iki opo!” makinya di ujung jembatan.
“Njenengan
ki piye to! Wong wedok gak wani njembat kok malah muring!” Warsinah tak kalah
geramnya.
Kuswanoto
meniti jembatan itu dengan tiga langkah lincahnya, “Njembat ngono ae gak iso,
go rene!” katanya seraya mengambil bawaan yang ada di tangan istrinya. Lalu melangkah
meniti kembali.
“Pak!
Lha aku piye, gak wani,” rengek Warsinah setelah Kuswanoto meninggalkannya.
“Yo
jek gak wani, kan wes tak jupuk ki gawane!” Kuswanoto melotot ke arah istrinya yang
masih tak bergerak di ujung jembatan bambu.
“Mbok
yo tulungi to!” pinta Warsinah.
“Alah
... jiabang bayik!” gerutu Kuswanoto merutuk.
Dengan
terpaksa Kuswanoto kembali meniti untuk menuntun istrinya melewati jembatan
yang sebenarnya mampu menopang tubuh mereka, tetapi Warsinah memang takut, dia
takut kalau tiga batang bambu itu tak mampu menopang tubuhnya yang terlihat
mulai melar.
“Mentolo
tak ucalno neng kali,” gumam Kuswanoto seraya terus membimbing istrinya untuk
perlahan meniti.
“Njenengan
ki ra enek eman-emane karo bojo Pak! Sayange nek arep njaluk tok!” balas
Warsinah dengan perlahan mencoba mengikuti langkah suaminya yang memegang
tangannya. Tatapannya tak lepas dari kaki yang menjangkah perlahan.
“Lha
wong jembatan gur rong meter we kok yo wedi.” Terdengar dia masih ngedumel.
“Jenenge
wong wedi yo wedi, nulungi bojone ae kok ngoceh terus,” balas Warsinah.
Dan
akhirnya, Warsinah bisa bernapas lega, saat dia tadi berusaha untuk menahan
napas saat berada di atas tiga batang bambu. Sementara suaminya sudah
mendahuluinya berjalan ke arah gubuk yang ditopang empat tiang dengan dinding
papan separuh badan.
****
“Ngombe!
Ngombe ... cedakno rene iku cerete!” perintahnya kepada Warsinah yang duduk
menggantung kaki di tepi lantai gubuk yang memang sengaja di buat panggung.
“Sayure
nambah ra?” tawar Warsinah seraya menyodorkan sambel terong bakar yang terlihat
utuh.
“Gak,
jangan kacang mbek peyek urang iki ae lah, terong loyo ngono garai lemes,”
ucapnya dengan mulut sesak oleh nasi dari puluk tangannya.
“Di
campuri kemangi iki,” ujar Warsinah.
“Gah!”
bentaknya dengan terus mengunyah, sejenak dia meraih kembali gagang ceret dan
mengucuri mulutnya dengan cara mengangkat di depan wajah.
“Ah
... assuuuweger,” katanya, lalu meraih peyek udang yang terakhir, di bungkusan
daun pisang yang di bawa tadi istrinya.
“Pak.”
“Hemm.”
Kuswanoto terus menjejali mulutnya dengan nasi. Tangan Warsinah meraih satu
nasi yang menyangkut di kumis suaminya.
“Mangan
kok koyok bocah, nyepres,” ucap Warsinah seraya membuang nasi dari kumis
suaminya ke bawah.
“Gimana
yo,” kata Warsinah sambil menatap Kuswanoto yang juga memandangnya.
“Njenengan
kan tahu kalau pak Rete sudah mengumumkan untuk meminta sumbangan seikhlasnya,
kepada semua warga.”
Kuswanoto
meletakan piring, bunyi gemercik air terdengar saat mulut ceret yang mulai
membasahi tangannya, sebenarnya itu akan membuat mulut Warsinah ngomel kalau
dia cuci tangan setelah makan menggunakan air minum. Tetapi tidak untuk kali
ini.
“Seikhlasnya
to? Tanya Kuswanoto lalu meraih keretek dengan bungkus berwarna merah yang ada
di sampingnya.
“Iya
Pak, aku itu bingung, mau nyumbang berapa? Mana anakmu Sekar, bulan ini belum
ngasih kiriman.” Warsinah dengan wajah bingung menatap suaminya yang seperti
tak menggubris ucapannya.
“Halah
ngono ae kok bingung, namanya saja seikhlasnya, yo gak usah memaksa, seadanya
saja.”
“Iya
bener, kalau sekarang aku lagi ndak pegang uang, coba Njenengan pinjem dulu
sama Saimun.”
“Simun?
Potongane iko opo yo nduwe duwek!”
“Mbok
ya jangan begitu to Pak? Jangan suka meremehkan orang, siapa tahu dia punya simpanan,
nanti kalau Mbah Ali sudah menyuruh aku buruh unduh pasti tak bayar,” ucap
Warsinah terlihat memberesi sisa makan suaminya.
“E
... mbok Makne, dadi wong cilik po maneh gur tandur pari, gak tau nyekel duwek
ngeneki, dong onok butuh gur gawe sirahku mumet ... mumet ... mumet Makne,”
balasnya dengan bersandar di dinding papan.
“Lha
neng omah jek onok cekelan piro?” tanyannya kemudian setelah Warsinah hanya
membuang tatap ke arah tanah becek di mana cangkul suaminya masih berdiri
dengan mata cangkul tertanam di lumpur.
“Tinggal
tujuh puluh lima ribu, itu saja buat jagan beli kebutuhan pawon dan rokoke
Njenengan,” jawab Warsinah.
Semilir
angin sawah telah mengeringkan keringat Kuswanoto, hanya dengan berkolor dia
lalu duduk njegang. “Wes gak usah mumet-mumet, gampang nek perkoro nyumbang,
mbok nowo anakmu gak suwe maneh ngirimi duwek.”
“Iya
tetapi apa ya ndak malu kita kalau terus berharap sama Sekar?” hembusan napas
Warsinah terdengar panjang, dia tahu, selama ini sebagian hidupnya ditopang
oleh kiriman duit sang anak. Ini sudah hampir sebulan, anaknya belum juga
datang ke rumah, sebulan sekali biasanya sang anak akan mengunjunginya seraya
membawa cucu mereka.
“Kalau
ndak nyumbang ya kan malu, apa nanti kata orang.”
“Halah!
Lapo isin ... jenenge nyumbang yo nek onok, nek gak yo gak popo nek gak
nyumbang! serunya lalu turun meninggalkan Warsinah yang masih duduk menggantung
kaki.
“Masih
beduk lo Pak?”
“Lha
ginio nek beduk?” kata Kuswanoto seraya menggulung ujung kolor panjangnya.
“Mbok
ya laut sek.”
“Kate
ngiseng aku, heeeeekkkk!” jawab Kuswanoto di akhiri dengan bersendawa panjang.
****
Tak
lama setelah Kuswanoto hilang di dalam semak kecil di sisi timur sawah, dimana
ada sebatang pisang yang tumbuh subur di sana, Warsinah mengganti bajunya
dengan baju yang biasa dia gantung di belakang gubuk sawah. Sudah menjadi
kebiasaannya untuk membantu suaminya setelah Mbah Ali tak menyuruhnya buruh
unduh karena tak ada panenan sayur atau jagung.
No comments:
Post a Comment