Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 2


 BAB 2

Puluhan lelaki berkopiah duduk berjajar membentuk shaft, tampak paling ujung Kuswanoto yang mengenakan sarung hijau kotak-kotak dengan tumpal ungu. Dengan saksama mereka menyimak apa yang di sampaikan oleh Ustad Sopyan, perihal bantuan dari donatur. Sementara Pak RT yang mengenakan batik biru lengan panjang duduk di sebelah Ustad Sopyan yang bersorban.

“Alhamdulillah, dana dari donatur telah cair kemarin di rekening masjid, semuanya kini sudah saya serahkan sepenuhnya dengan Pak RT, ada pun pelaksanaannya biar nanti beliau yang akan menyampaikan kepada bapak-bapak sekalian,” kata Ustad Sopyan mengakhiri ucapan untuk memberikan waktu kepada Pak RT.

“Terima kasih sekali atas waktu yang diberikan, jadi langsung saja ya bapak-bapak, berhubung dana wakaf ini jumlahnya tak mencukupi untuk pembelian semua material yang di butuhkan,” ucapnya terpotong saat dia terlihat mengeluarkan kertas putih yang sudah tertulis rincian belanja.

“Dana yang sudah saya terima dari Ustad Sopyan, berjumlah sepuluh juta, utuh. Itu masih kurang banyak kalau melihat dari rincian harga yang langsung saya tanyakan ke toko bangunan, untuk merealisasikan tempat wudu, diperlukan empat belas juta tiga puluh delapan ribu lima ratus rupiah.”

“Pendapatan proposal yang telah kami sebar sebagian sudah membuahkan hasil, tujuan bapak-bapak di kumpulkan di sini, tak lebih untuk sama-sama mengetahui jumlah uang yang ada, termasuk sumbangan dari warga semua yang sudah ada di dalam kotak ini,” lanjutnya seraya meletakan satu tangan ke atas kotak kardus.

“Baiklah, akan saya sebutkan pendapatan masjid dari berbagai donatur yang menyumbang setelah menerima proposal, dan juga sumbangan dari warga.”

“Rin, Sobirin … tolong kamu catat semua biaya yang masuk.” Pak RT meminta satu orang yang ada di sisi kanan Ustad untuk mencatat pendapatan yang sudah terkumpul.

“Hamba Allah dua ratus ribu,” kata pak RT lalu meletakkan uang yang berada di dalam amplop itu di depannya.

“Siapa ya yang nyumbang dua ratus ribu?” terdengar bisik-sisik lelaki berkopiah hitam yang ada di baris kedua.

“Halah paling ya Pak RT sendiri,” jawab lelaki di sebelahnya.

“Mugiyo, lima puluh ribu rupiah,” sebut Pak RT seraya tersenyum ke arah Lelaki yang di sebut namanya tadi. Lelaki itu tersenyum seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, membanggakan jumlah yang dia sumbang.

“Pamer!” kata lelaki yang duduk di belaKangnya.

“Lo bukannya pamer, memang saya nyumbang mampunya ya segitu, lagi pula kenapa harus sembunyi-sembunyi,” katanya tak terima dikatakan pamer.

Suasana mulai gaduh, ada yang tertawa meremehkan ada yang menggunjing, kalau jumlah segitu saja gak harus menulis nama di amplopnya.

“Paijo, tiga ratus lima ribu.”

“Ehem!” dehem lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak, seakan dia juga ingin menunjukkan jumlah sumbangannya.

“Huuuuuu.” serbu suara hu terdengar dari mulut bapak-bapak di belaKangnya pula.

“Awakmu nyumbang piro Mun?” tanya Kuswanoto kepada Saimun yang duduk bersila di sampingnya.

“Seket, nyong agi bokek kie,” jawab lelaki ngapak ini.

“Tak kiro gak di woco jenenge, lapo ndadak di woco jenenge mbarang,” ujar Kuswanoto diantara suara Pak RT yang terus menyebut nama dan jumlah dari sumbangan warga.

“Ben jelas Kang, wis lah Rika rungakna bae.”

“Hamba Allah, sepuluh ribu.”

“Mosok enek to uwong seng nggo nyumbang mejide dewe sepuluh ewu, kebacut lah,” bisik Sarwo kepada Juntak yang berambut keriting tanpa kopiah.

“Ra popo, saikhlase to Mas,” jawabnya lirih.

Diwarnai suara riuh dan gelak tawa, Pak RT terus mengambil amplop dari dalam kardus, mereka lalu menerka-nerka saat amplop bertuliskan hamba Allah berisi jumlah lumayan banyak.

“Hamba Allah, satu juta rupiah.”

Serentak mereka menoleh ke arah Kuswanoto yang bingung membalas tatapan puluhan pasang mata.

“Ya iyalah, Kang Noto kan bisa minta sama anaknya yang jadi juragan perabotan di pasar,” ujar Timbul diiringi bisik-bisik dari semua jamaah masjid.

Lalu satu orang yang menggenggam HP maju, terlihat dia membisikkan sesuatu ke telinga Pak RT.

“Crekrek! Cekrek!”

Lelaki yang tak lain adalah Samamudin, lalu mengangkat HP yang ada di tangannya setelah mengarahkan kamera depan ke arah dirinya yang memegang amplop bertulis hamba Allah, dengan tersenyum semringah memandang kamera. “Cekrek … cekrek.”

“Sudah Pak?” tanya Pak RT.

Samamudin lalu mengangguk, “Sudah Pak RT, nanti mau saya posting di Facebook, hehehehe,” katanya diakhiri kekeh, lalu kembali ke barisan belaKang.

“Huuuuu,” percuma ditulisi hamba Allah kalau ujung-ujungnya selfie dan pamer!” teriak Misdu lalu diikuti beberapa lelaki yang menggeleng kepala.

“Kelewatan Samamudin,” gerutu lelaki yang ada didepan Misdu.

Lebih separuh nama yang berkumpul itu disebut, dengan jumlah bervariasi, berkali-kali Pak RT mencoba menenangkan situasi, saat suasana saling cemooh dan sindir setelah dia menyebutkan jumlah.

“Deneng jenenge Rika ora di waca-waca Kang, Rika nyumbang apa ora jane kie lah,” bisik Saimun kepada Kuswanoto.

“Gurung yak e,” jawabnya pendek.

Kembali mereka menghadap depan, kasak-kusuk puluhan lelaki yang hampir memenuhi setengah ruangan masjid mulai santer tentang Pak RT sendiri kira-kira nyumbang berapa.

“Hamba Allah, tiga juta lima ratus ribu.”

“Itu pasti Pak Rete yang nyumbang,” bisik lelaki berjanggut putih.

“Ya jelas lah, lha wong Pak Rete, harusnya ya memang begitu.”

“Maaf Pak Rete, itu yang nyumbang sebanyak itu apa tidak ada namanya!” seru Samamudin, merasa ada yang mengalahkan jumlah sumbangannya.

“Kan tadi sudah di sebut hamba Allah,” jawab Pak RT.

“Tinggal satu lagi, ini nama amplopnya Bapak Kuswanoto,” kata Pak RT, membuat yang punya nama tertunduk.

“Lima ribu rupiah, alhamdulillah?” lanjutnya.

Sontak terdengar suara kikik dan suasana makin gaduh terdengar.

“Ndak sesuai sama kumisnya, hahahahaha,” tawa salah satu dari mereka.

“Sudah, sudah, ndak baik menertawakan orang yang sudah ikhlas menyumbangkan hartanya, siapa tahu Lima ribu itu adalah separuh dari uang yang dia miliki, akan lebih mulia dari yang menyumbang ratusan atau jutaan, tetapi hanya untuk pamer,” ucap Ustad Sopyan, seketika suasana hening kembali.

“Rika nyumbang limang ewu, temenan apa gelowehan Kang,” bisik Saimun.

“Tak tapuk peci ko nek ngece awakmu!” ucap Kuswanoto dengan melotot.

“Masak iya Lima ribu pak Ustad, lha wong yang lainnya paling sedikit sepuluh ribu, jajan anakku saja lebih dari itu,” timpal lelaki yang duduk paling sudut belaKang.

Ustad Sopyan melirik ke arah Kuswanoto yang terus tertunduk, dia tahu apa yang di rasa lelaki suami Warsinah itu, perempuan yang pernah dia cintai dulu.

“Sudah-sudah ndak usah di bahas, Kang Noto nyumbang segitu yang penting ikhlas.” Pak RT mencoba menengahi.

“Jadi total semua dana yang terkumpul adalah tujuh belas juta empat puluh lima ribu.”

“Yang lima ribu itu punya Kang Noto, hahahahaha.”

“Hahahahaha.”

“Sopo seng ngenyek mau jal ngadeko, kene tak pingin weruh diapurane!” seru Kuswanotoyang berdiri dengan memperhatikan mereka satu-satu.

“Rika ngapa sih Kang, isin lah, iki neng mejid, deneng kaya kuwe!” ucap Saimun lalu menarik taangan Kuswanoto untuk segera duduk.

“Guyon ngono ae nesu to Kang,” kata Mukidi yang berkulit keling.

“Yo terus nek awakku nyumbang limang ewu dadi masalah nggo awakmu kiabeh iki hah!” geram Kuswanoto yang mudah tersulut emosi.

“Sudah! Sudah! Ini bukan ajang untuk pamer atau menunjukkan siapa yang nyumbang paling banyak, mohon bapak-bapak kembali tenang!” teriak Pak RT, suaranya nyaris tertelan gaduh.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search