CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 2
BAB 2
Puluhan lelaki berkopiah duduk
berjajar membentuk shaft, tampak paling ujung Kuswanoto yang mengenakan sarung
hijau kotak-kotak dengan tumpal ungu. Dengan saksama mereka menyimak apa yang
di sampaikan oleh Ustad Sopyan, perihal bantuan dari donatur. Sementara Pak RT
yang mengenakan batik biru lengan panjang duduk di sebelah Ustad Sopyan yang
bersorban.
“Alhamdulillah, dana dari donatur
telah cair kemarin di rekening masjid, semuanya kini sudah saya serahkan
sepenuhnya dengan Pak RT, ada pun pelaksanaannya biar nanti beliau yang akan
menyampaikan kepada bapak-bapak sekalian,” kata Ustad Sopyan mengakhiri ucapan
untuk memberikan waktu kepada Pak RT.
“Terima kasih sekali atas waktu yang diberikan,
jadi langsung saja ya bapak-bapak, berhubung dana wakaf ini jumlahnya tak
mencukupi untuk pembelian semua material yang di butuhkan,” ucapnya terpotong
saat dia terlihat mengeluarkan kertas putih yang sudah tertulis rincian
belanja.
“Dana yang sudah saya terima dari
Ustad Sopyan, berjumlah sepuluh juta, utuh. Itu masih kurang banyak kalau
melihat dari rincian harga yang langsung saya tanyakan ke toko bangunan, untuk
merealisasikan tempat wudu, diperlukan empat belas juta tiga puluh delapan ribu
lima ratus rupiah.”
“Pendapatan proposal yang telah kami
sebar sebagian sudah membuahkan hasil, tujuan bapak-bapak di kumpulkan di sini,
tak lebih untuk sama-sama mengetahui jumlah uang yang ada, termasuk sumbangan
dari warga semua yang sudah ada di dalam kotak ini,” lanjutnya seraya meletakan
satu tangan ke atas kotak kardus.
“Baiklah, akan saya sebutkan
pendapatan masjid dari berbagai donatur yang menyumbang setelah menerima
proposal, dan juga sumbangan dari warga.”
“Rin, Sobirin … tolong kamu catat
semua biaya yang masuk.” Pak RT meminta satu orang yang ada di sisi kanan Ustad
untuk mencatat pendapatan yang sudah terkumpul.
“Hamba Allah dua ratus ribu,” kata
pak RT lalu meletakkan uang yang berada di dalam amplop itu di depannya.
“Siapa ya yang nyumbang dua ratus
ribu?” terdengar bisik-sisik lelaki berkopiah hitam yang ada di baris kedua.
“Halah paling ya Pak RT sendiri,”
jawab lelaki di sebelahnya.
“Mugiyo, lima puluh ribu rupiah,”
sebut Pak RT seraya tersenyum ke arah Lelaki yang di sebut namanya tadi. Lelaki
itu tersenyum seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, membanggakan jumlah yang dia
sumbang.
“Pamer!” kata lelaki yang duduk di
belaKangnya.
“Lo bukannya pamer, memang saya
nyumbang mampunya ya segitu, lagi pula kenapa harus sembunyi-sembunyi,” katanya
tak terima dikatakan pamer.
Suasana mulai gaduh, ada yang tertawa
meremehkan ada yang menggunjing, kalau jumlah segitu saja gak harus menulis
nama di amplopnya.
“Paijo, tiga ratus lima ribu.”
“Ehem!” dehem lelaki yang mengenakan
kemeja kotak-kotak, seakan dia juga ingin menunjukkan jumlah sumbangannya.
“Huuuuuu.” serbu suara hu terdengar
dari mulut bapak-bapak di belaKangnya pula.
“Awakmu nyumbang piro Mun?” tanya
Kuswanoto kepada Saimun yang duduk bersila di sampingnya.
“Seket, nyong agi bokek kie,” jawab
lelaki ngapak ini.
“Tak kiro gak di woco jenenge, lapo
ndadak di woco jenenge mbarang,” ujar Kuswanoto diantara suara Pak RT yang
terus menyebut nama dan jumlah dari sumbangan warga.
“Ben jelas Kang, wis lah Rika
rungakna bae.”
“Hamba Allah, sepuluh ribu.”
“Mosok enek to uwong seng nggo
nyumbang mejide dewe sepuluh ewu, kebacut lah,” bisik Sarwo kepada Juntak yang
berambut keriting tanpa kopiah.
“Ra popo, saikhlase to Mas,” jawabnya
lirih.
Diwarnai suara riuh dan gelak tawa,
Pak RT terus mengambil amplop dari dalam kardus, mereka lalu menerka-nerka saat
amplop bertuliskan hamba Allah berisi jumlah lumayan banyak.
“Hamba Allah, satu juta rupiah.”
Serentak mereka menoleh ke arah
Kuswanoto yang bingung membalas tatapan puluhan pasang mata.
“Ya iyalah, Kang Noto kan bisa minta
sama anaknya yang jadi juragan perabotan di pasar,” ujar Timbul diiringi
bisik-bisik dari semua jamaah masjid.
Lalu satu orang yang menggenggam HP
maju, terlihat dia membisikkan sesuatu ke telinga Pak RT.
“Crekrek! Cekrek!”
Lelaki yang tak lain
adalah Samamudin, lalu mengangkat HP yang ada di tangannya setelah mengarahkan
kamera depan ke arah dirinya yang memegang amplop bertulis hamba Allah, dengan
tersenyum semringah memandang kamera. “Cekrek … cekrek.”
“Sudah Pak?” tanya Pak RT.
Samamudin lalu mengangguk,
“Sudah Pak RT, nanti mau saya posting di Facebook, hehehehe,” katanya diakhiri
kekeh, lalu kembali ke barisan belaKang.
“Huuuuu,” percuma ditulisi
hamba Allah kalau ujung-ujungnya selfie dan pamer!” teriak Misdu lalu diikuti
beberapa lelaki yang menggeleng kepala.
“Kelewatan Samamudin,”
gerutu lelaki yang ada didepan Misdu.
Lebih separuh nama yang
berkumpul itu disebut, dengan jumlah bervariasi, berkali-kali Pak RT mencoba
menenangkan situasi, saat suasana saling cemooh dan sindir setelah dia menyebutkan
jumlah.
“Deneng jenenge Rika ora
di waca-waca Kang, Rika nyumbang apa ora jane kie lah,” bisik Saimun kepada
Kuswanoto.
“Gurung yak e,” jawabnya
pendek.
Kembali mereka menghadap
depan, kasak-kusuk puluhan lelaki yang hampir memenuhi setengah ruangan masjid
mulai santer tentang Pak RT sendiri kira-kira nyumbang berapa.
“Hamba Allah, tiga juta
lima ratus ribu.”
“Itu pasti Pak Rete yang
nyumbang,” bisik lelaki berjanggut putih.
“Ya jelas lah, lha wong
Pak Rete, harusnya ya memang begitu.”
“Maaf Pak Rete, itu yang
nyumbang sebanyak itu apa tidak ada namanya!” seru Samamudin, merasa ada yang
mengalahkan jumlah sumbangannya.
“Kan tadi sudah di sebut
hamba Allah,” jawab Pak RT.
“Tinggal satu lagi, ini
nama amplopnya Bapak Kuswanoto,” kata Pak RT, membuat yang punya nama
tertunduk.
“Lima ribu rupiah, alhamdulillah?”
lanjutnya.
Sontak terdengar suara
kikik dan suasana makin gaduh terdengar.
“Ndak sesuai sama
kumisnya, hahahahaha,” tawa salah satu dari mereka.
“Sudah, sudah, ndak baik menertawakan
orang yang sudah ikhlas menyumbangkan hartanya, siapa tahu Lima ribu itu adalah
separuh dari uang yang dia miliki, akan lebih mulia dari yang menyumbang
ratusan atau jutaan, tetapi hanya untuk pamer,” ucap Ustad Sopyan, seketika suasana
hening kembali.
“Rika nyumbang limang ewu,
temenan apa gelowehan Kang,” bisik Saimun.
“Tak tapuk peci ko nek
ngece awakmu!” ucap Kuswanoto dengan melotot.
“Masak iya Lima ribu pak
Ustad, lha wong yang lainnya paling sedikit sepuluh ribu, jajan anakku saja
lebih dari itu,” timpal lelaki yang duduk paling sudut belaKang.
Ustad Sopyan melirik ke
arah Kuswanoto yang terus tertunduk, dia tahu apa yang di rasa lelaki suami
Warsinah itu, perempuan yang pernah dia cintai dulu.
“Sudah-sudah ndak usah di
bahas, Kang Noto nyumbang segitu yang penting ikhlas.” Pak RT mencoba
menengahi.
“Jadi total semua dana
yang terkumpul adalah tujuh belas juta empat puluh lima ribu.”
“Yang lima ribu itu punya Kang
Noto, hahahahaha.”
“Hahahahaha.”
“Sopo seng ngenyek mau jal
ngadeko, kene tak pingin weruh diapurane!” seru Kuswanotoyang berdiri dengan
memperhatikan mereka satu-satu.
“Rika ngapa sih Kang, isin
lah, iki neng mejid, deneng kaya kuwe!” ucap Saimun lalu menarik taangan
Kuswanoto untuk segera duduk.
“Guyon ngono ae nesu to Kang,”
kata Mukidi yang berkulit keling.
“Yo terus nek awakku
nyumbang limang ewu dadi masalah nggo awakmu kiabeh iki hah!” geram Kuswanoto
yang mudah tersulut emosi.
“Sudah! Sudah! Ini bukan
ajang untuk pamer atau menunjukkan siapa yang nyumbang paling banyak, mohon
bapak-bapak kembali tenang!” teriak Pak RT, suaranya nyaris tertelan gaduh.
No comments:
Post a Comment