CERKAK PUTU BAB 7
BAB 7
Terdengar tawa Bagus dan Albar di ruang depan yang hanya beralas
karpet plastik, tidak ada seperangkat tempat tidur, sinar matahari pagi masuk melalui
jendela yang terbuka, membuat ruangan itu seakan berpendar berwarna hijau dari
cat yang melapisi papan.
“Hahahahaha,” tawa Bagus seraya menarik tangan yang memegang Hp dari
rebutan Albar.
“Jangan, nanti Mbah Kakung marah!” teriak Albar, dan terus berusaha
merebut Hp di tangan Bagus.
“Ini Mbah Kakung to, hikhikhik....” Bagus terkikik melihat gambar di
layar Hp.
“Lihat, coba-coba aku lihat,” kata Albar beranjak untuk melihat poto
Mbah Kakungnya di layar Hp.
“Gantian … Albar juga mau lihat!” teriak Albar terus berusaha
merebut.
“Ahhhhh … sana,” balas Bagus lalu mendorong tubuh adiknya.
“Bluk!” tubuh Albar terjengkang.
“Bagus, Le … yang rukun sama adiknya lo yo,” teriak Warsinah dari
dapur.
“Kak Bagus ni Mbah, gak mau gantian!” adu Albar.
“Kan aku bilang nanti gantian!” bela Bagus lalu menyembunyikan Hp di
belakang tubuhnya dengan tangan.
Bagus lalu berdiri dan berjalan cepat ke arah dapur, bermaksud untuk
menunjukkan poto Mbah Kakungnya. Tetapi Albar segera berlari untuk merebutnya.
Mengetahui itu Bagus segera berlari.
“Brukk!” tubuh Bagus terpelanting saat sudah di ambang pintu tengah
tatkala Kuswanoto juga melewati pintu itu.
“Duk..!”
“Adohh yonggg,” erang
Kuswanoto seraya memegangi sesuatu di balik sarungnya.
Wajahnya merah padam seraya meringis setengah berjongkok. Memndadak
perutnya bak di remas kuat saat kepala Bagus membentur sesuatu di
selangkangannya.
“Matane suek..!!” maki Kuswanoto.
“Adoh yoh, yoh,” rintihnya, terlihat satu tangan membekap bagian
bawah perutnya.
Albar hanya berdiri takut melihat Mbah Kakungnya merintih kesakitan.
Sementara Bagus masih terjengkang di lantai.
“Adoh, doh, doh … pecah ndokku Makne.” Kuswanoto lalu duduk di
bangku kayu, kumisnya bergerak-gerak mengikuti sudut bibir yang terangkat
menahan mulas.
“Opo neh to jane Pakne?” ujar Warsinah yang menggendong Menur,
keluar dari dapur.
“Ndak apa-apa Le, Bar?” tanya Warsinah kepada Albar.
“Bukan Albar Mbah, Kak Bagus yang menabrak Mbah Kakung,” ucap Albar
dengan wajah ketakutan.
“Mbah, Hp-nya pecah,” tunjuk Bagus kearah Hp yang tadi di
genggamannya, kini tanpa baterai dan penutup belakang.
“Opo! Ginio Hp ne! pecah!” pekik Kuswanoto, lalu berjalan setengah
menunduk dan memegangi perutnya.
“Ajur, ajur kabeh ajur, iki Hp di tukokno Mamakmu! Dasar arek gak
….”
“Mbok wes to Pak,” potong Warsinah.
“Doh yongalahhh … duwe putu kok yo koyok ngene to kelakuane, hadoh,
hadoh, hadoh.” Kuswanoto lalu memungut benda yang tercecer di lantai.
“Wes kono Le, dolanan neng njobo kono,” ucap Warsinah segera di
ikuti Albar dan Bagus yang berjalan menunduk meninggalkan tempat itu.
“Mbok ra usah kereng-kereng mbek putu to Pak,” kata Warsinah yang
berdiri di belakang suaminya.
“Awakku yo nggumun, arek kok mbelinge gak umum,”jawab Kuswanoto.
“Namanya juga anak-anak,” bela Warsinah.
“Lha iki piye hah, iki piye, ko nek sekar kate telpon lha terus
kepiye!” kata Kuswanoto seraya
menunjukkan Hp dengan layar retak seribu.
“Yo ko nek enek duit golek dewe neh ae,” enteng jawab Warsinah.
“Penak lek ngomong, jembut ki di dol!” kata Kuswanoto masih kesal.
“Wes lah! kate mancing aku, rubres neng omah!” omel Kuswanoto lalu
menuju sampiran baju, dan meraih celana kolor panjangnya.
****
“Makan dulu Le, Gus … Bar,” panggil Warsinah kepada kedua cucunya.
“Lho kok murung, kenapa … sini, sini ngomong sama Mbah, ada apa to
Le,” ucap Warsinah ketika melihat Bagus yang berjalan dengan wajah menunduk.
“Mbah Kakung marah ya Mbah sama Bagus.” Kata Bagus sambil memainkan ujung bajunya.
“Hoalah, Ya ndak to, Mbah Kakung ndak marah sama Bagus dan juga
Albar, Mbah Kakungmu itu sayang sama kalian berdua,” hibur Warsinah dengan
wajah tersenyum.
“Tetapi Mbah Kakung tadi marah-marah waktu Hp-nya Bagus tidak
sengaja memecahkannya,” Bagus tak berani mendongak menatap Warsinah, dia
semakin menunduk dalam.
“Ndak apa-apa, nanti Mbah Kakung bisa beli lagi, sudah sana makan
dulu,” di akhir ucapannya, Warsinah
memegang tangan Bagus.
“Mbah Kakung sama Mbah Putri sayang semua sama kalian, kalian itu
cucu-nya Mbah, sudah ya, nanti kalau Mbah Kakung kalian, pulang kalian minta
maaf ya Le.” Ucapan Warsinah di jawab anggukan oleh Bagus.
Matahari semakin condong ke barat, angin berhembus memainkan
ujung-ujung daun alpukat mentega di halaman rumah. Jendela berdaun kayu itu
masih terbuka, di samping pintu yang tertutup.
“Lho kok ndak di makan?”
Warsinah menghampiri Bagus, mata itu mengerjap. Wajahnya masih mendung.
“Kalian harus makan, hari ini kalian akan di jemput oleh Mamak lo
Le,” ucap Warsinah mengelus rambut Bagus.
“Kita akan pulang ya Mbah,” tanya Albar.
“Iya, kemarin Mamak kalian telpon,” Warsinah menurunkan Menur dari
gendongannya.
“Mamak kalian ndak jadi dua minggu, ada satu dan lain hal yang
membuat dia harus kembali,” Warsinah menemani Albar yang terlihat lahap.
“Menur mau mau makan Nduk,” halus ucap Warsinah.
Bagus yang menghadap meja rendah di atas lantai hanya diam, tak
sedikit pun dia menyentuh makanan di piring.
Mendadak tubuhnya terguncang, Bagus menangis.
“Lho, kok malah nangis, ada apa Le,” gusar mendadak Warsinah.
“kalau Bagus pulang dan belum sempat meminta maaf sama Mbah Kakung,
Bagus akan sedih Mbah,” Bagus mengusap air matanya.
“Mbah Kakungmu pasti sudah memaafkan kalian, sudah … percaya sama
Mbah Putri,” kata Warsinah kembali mencoba menghibur Bagus.
“Bagus sayang to sama Mbah Kakung?”
Bagus mengangguk.
“Ya sama, Mbah Kakung juga sayang sama Bagus, kan Bagus juga di
buatkan egrang, Albar juga, iya to, itu artinya Mbah Kakung kalian itu sayang,”
tambah Warsinah.
“Bagus tak mau pulang, Bagus mu menunggu Mbah Kakung,” kata Bagus
seraya mendorong piring di hadapannya menjauh.
“Ya sudah, mudah-mudahan Mbah Kakungmu pulang sebelum Mamak kalian
datang.”
Bagus lalu lari menuju kamar, dia meraih sesuatu diatas meja kamar.
No comments:
Post a Comment