CERKAK PUTU BAB 6
BAB 6
“Mak, sstt..!” bisik Kuswanoto seraya mencolek Warsinah.
“Hemmm,” Warsinah hanya menggeliat.
“Heh, Mak,” kali ini k mengguncang-guncang bokong Warsinah yang
tidur dengan posisi memeluk Menur.
Bagus tidur paling ujung, sementara Albar berada di belakang
Warsinah. Semua sudah lelap kini, tersisa Kuswanoto yang masih belum bisa
tidur.
Kuswanoto menggulung sarungnya, saat Warsinah tak juga membuka
matanya.
“Sssst … Makne,” lirih suara Kuswanoto, takut membangunkan cucunya.
“Eggghh,” Warsinah kembali menggeliat, “opo Pak,” kata Warsinah
perlahan membuka matanya.
“Ayo, selak kaku kabeh awakku,” bisik Kuswanoto , nyaris tak
terdengar di telinga Warsinah.
“Op ogak krungu,” ucap Warsinah lalu mengucek matanya beberapa kali,
antara rasa kantuk yang berat serta silaunya lampu yang menerpa wajahnya.
“Ndang ayo, wes pirang bengi ngempet awakku,” bola mata Kuswanoto
bergerak-gerak mengamati ketiga cucunya.
“Neng kene,” tanya Warsinah.
Kuswanoto terdiam sejenak, lagi-lagi di lihatnya Bagus, Albar dan
Menur, nyaris tidak ada tempat lagi baginya untuk melakukannya.
“Gak iso, ko do tangi,” masih
dengan suara pelan, Kuswanoto menatap langit-langit kamar, berfikir, dan….
“Neng ngarep tipi ae,” ajak Kuswanoto.
Warsinah terdiam menatap suaminya, dia sadar, sebagai istri dia
berkewajiban melayani hasrat Kuswanoto.
“Piye?” bibir Kuswanoto nyaris hampir tak bergerak, takut salah satu
cucunya bangun dan gagal lagi untuk malam ini.
Warsinah menggeleng setengah malu, belum pernah dia melakukan itu di
tempat terbuka, selama menjadi istri Kuswanoto, semua dia layani di dalam
kamar.
“Isin,” ucap Warsinah pendek.
“Lah! Isin mbek sopo?” ucapan Kuswanoto terhenti saat Menur menggeliat
sambil mengusap matanya berkali-kali. Pandangan keduanya sejurus lalu memandang
Menur.
Mata mereka kembali saling tatap. Kuswanoto tahu akan maksud
Warsinah. Menur tak akan nyenyak bila tahu tak lagi di keloni oleh Mbah
Putrinya.
Dan Warsinah tahu, kalau Kuswanoto juga membutuhkan dirinya malam
ini.
“Dilik ae.”
“Sisok ae Pak.”
“Lah, sak crit ae gek uwes,” ucap Kuswanoto menunjuk ke arah
sarungnya.
Warsinah beringsut ke tepi tempat tidur, sekali lagi di lihatnya
ketiga cucunya.
“Lha nanti kalau mereka bangun, njur tahu kita gitu-gituan kepiye?”
Mereka terus berbicara dengan berbisik.
Udara semakin dingin menerobos masuk dari celah papan, Warsinah dan
Kuswanoto terdiam, berfikir untuk mencari tempat bagi mereka melakukan itu.
“Neng ngarep tipi, alon-alon ae,” Kuswanoto yang hanya mengenakan
sarung bergegas keluar kamar.
“Isin Pakne, malu.”
“Isin mbek sopo, lampune di pateni, ben peteng.”
“Sisok bengi ae lah Pak,” lirih suara Warsinah menolak keinginan
Kuswanoto.
“Wong pingin bengi iki kok e!” mata Kuswanoto melotot saat Warsinah
memutuskan untuk melakukannya besok malam.
“Sebentar saja yo,” pinta Warsinah.
“Iyo,iyo, lak wes metu rak uwes to.”
Mereka berdua lalu melangkah mengendap-endap menuju ruang belakang
yang masih terang benderang.
****
“Nanti kalau Menur bangun bagaimana Pak?”
“Gak mungkin bangun, lha mereka sudah nyeyak to tidurnya,” kata
Kuswanoto di sertai melongok pintu kamar yang tertutup tirai.
“Wes gek ndak mapan.” Kuswanoto menyuruh Warsinah untuk segera
berbaring diatas tikar yang di lapisi ambal.
“Tapi Pakne,” kata Warsinah yang melihat Kuswanoto mulai
melonggarkan gulungan sarung di pinggannya.
“Opo maneh jan lah!” ucap Kuswanoto kesal.
“Lampunya.” Tunjuk Warsinah ke arah lampu yang tepat di atasnya.
“Hadoh yongalah, kate kawen kok kokean rengkek,” gerutu Kuswanoto
menuju sakelar lampu.
“Klik!”
Ruangan berubah gelap.
Tidak, tidak sepenuhnya gelap, sinar lampu dari dapur yang juga
menerpa ruangan tengah itu tak benar-benar membuat gelap-gulita.
Warsinah yang sudah berbaring menoleh ke arah pintu dapur yang hanya
berjarak empat langkahnya.
Sementara Kuswanoto sudah mulai melepas lilitan jarik Warsinah.
“Pak,” kata Warsinah.
Kuswanoto sudah tak perduli, dia harus segera melepaskan itu,
melepaskan hasrat yang membuat isi kepalanya keruh.
Dengan menyingkap ujung depan sarungnya, Kuswanoto mencoba
melebarkan jarak kedua pahanya, mencoba dia merangkak maju untuk lebih menyatu
dengan Warsinah.
“Mbahhhhhh….”
Mbahh, huhuhuhu.”
Menur sudah berdiri diambang pintu dengan menangis.
“Alah, jibang bayik!” maki Kuswanoto kepada dirinya sendiri.
Sontak Warsinah segera merah kain jarik untuk menutupi bagian bawah
tubuhnya.
“Lo …lo …lo … kok bangun to Nduk,” ucap Warsinah segera mengulurkan
tangan untuk menyambut Menur yang menangis terjaga dari tidurnya.
Menur tak berkata apa-apa, mata kecil itu masih terlihat
mengantuk, Menur terjaga dan mendapati
Mbah Putrinya tak lagi di sisinya.
“Uripi lampune Pak,” perintah Warsinah.
“klik!”
Ruangan kini kembali terang.
Dalam dekapan Warsinah Menur memejamkan mata. Warsinah mengusap sisa
air mata Menur.
“Kamar,” ucap Menur seraya menunjuk ke arah kamar. Dan Warsinah tahu
akan maksud Menur yang meminta dirinya untuk kembali mengeloni Menur di kamar.
Tanpa memperdulikan Kuswanoto yang duduk terpekur, Warsinah segera
memboyong Menur kembali kekamar.
“Heh, Makne! Lha trus piye iki!” teriak Kuswanoto.
Warsinah berlalu, dari awal dia tidak yakin untuk meninggalkan
Menur, dan memilih mengikuti ajakan suaminya.
Di atas tikar, Kuswanoto menghempaskan tinjunya ke arah bantal di hadapannya.
Ujung jarinya lalu mengusap kumis lebat yang menghiasi wajah paruh baya itu,
Kuswanoto menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
“Gagal neh, gagal neh,” gumamnya.
Segera dia melepas semua gulungan sarung, menariknya hingga seruh
tubuhnya, menyisakan wajah yang terlihat kesal. Kuswanoto menghempaskan
kepalanya di atas bantal dengan posisi meringkuk, terbungkus kain sarung
kawung.
Malam akan menjadi begitu panjang saat dia merasa cairan itu mulai
mengalir ke atas. Dan Kuswanoto hanya butuh sedikit waktu dengan Warsinah untuk
membuat kembali bernapas lega.
“Dadi umbel,” ucapnya dalam hati.
No comments:
Post a Comment