Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK PUTU BAB 5



BAB 5

Menur sudah tertidur dalam balutan jarik, dengan dekapan dari Mbah Putrinya. sementara Albar dan Bagus terlihat berbaring dengan mata terus menatap layar kaca di hadapannya.

“Wes bengi lo Le, gek ndang mapan kono neng njero,” suruh Kuswanoto yang duduk di bangku kayu, mulutnya tak henti-henti terus mengepulkan asap dari ujung keretek yang menyala merah.

“Bagus belum ngantuk Mbah,” ucap Bagus seraya menggeliat. Albar terlihat masih fokus menatap layar.

“Klik.”

“Sementara itu si jago merah terus melalap pemukiman yang padat penduduk, petugas pemadam kebakaran kesulitan….”

“Mbah … jangan di ganti,” ucap Albar yang merasa terganggu oleh siaran televisi yang berubah menyiarkan berita malam.

“Wes bengi, gek turu njero kono,” ucapan Kuswanoto diakhiri dengan Bagus yang seketika merebut remote di tangannya.

“Lah … arek ki hes jan,” gumam Kuswanoto.

“Wes! Wes! Nonton berita ae lah, gak usah nontoni film ngonoan, film kartun kok yo di tonton!” Kuswanoto setengah mengumpat.

“Go rene remote!” pinta Kuswanoto kepada Bagus yang memegang remote.

“Mbaaahhh … nanti dulu!” pekik Bagus seraya mempertahankan remote dalam genggaman dari rebutan Kuswanoto.

“Neh ta lah!” Kuswanoto berusaha mengambil remote dari dekapan Bagus. Mengetahui itu Albar segera membantu Bagus dengan cara melepas genggaman Mbah Kakungnya dari tangan sang kakak.

“Iki opo to,” ucap Warsinah yang terbangun oleh ributnya suara Bagus dan Kuswanoto.

“Mbah Kakung ini lo Mbah, Bagus kan mau nonton, malah di ganti berita,” adu Bagus kepada Warsinah.

Mbok wes to Pak, arek jek nonton kok yo!” sentak Warsinah kepada Kuswanoto.

“E … enek seng mbelani, yo wes lah tak mapan turu ae lah,” gerutu Kuswanoto lalu menuju kamar.

“Wes ayo Le, pindah ke dalam sudah malam, besok lagi nontonnya,” kata Warsinah segera menggendong Menur yang sudah lelap dalam kelonannya.

Bagus dan Albar memang lebih dekat dengan Warsinah ketimbang Kuswanoto. Mungkin karena sifat ke ibuan yang membuat keduanya dekat. Tidur pun mereka tak ingin jauh dari Mbah Putri.

“Awas Pak, turu njobo kono,” kata Warsinah yang segera membaringkan Menur.

“Turu njobo neh?” ujar Kuswanoto garuk-garuk kepala.

“Ya apa muat kalau semua tidur di sini, mbok yon galah sama cucu,” gumam Warsinah.

“Awas Mbah,” ucap Bagus yang tiba-tiba juga menyusul Warsinah.

“Awas kemana,” seloroh Kuswanoto.

“Mbah Kakung kan biasanya tidur di luar,” ucap Albar, segera dia naik ke atas tempat tidur.

“Weladalah … sejak kapan Mbahmu ini harus tidur di luar.”

“Lha kan Mbah Kakung semalam tidur di luar,” bela Bagus yang juga sudah di dalam kamar.

“Wes, uwes … nggak siang, nggak malam ribut terus, wes sana Pak! cucu-cucumu mau tidur,” usir Warsinah.

“Weeee … lha nek awakku butuh lha njur piye Makne,” kata Kuswanoto setengah berbisik ke Warsinah.

“Prei!” jawabnya pendek, lalu segera berbaring memunggungi Kuswanoto yang duduk di belakangnya.

“Doh Yong! Prei Makne,” ujarnya kaget.

“Yo, njolak-njalok rai isin onok putene,” gerutu Warsinah.

“Lha yo jenenge wong lanang pingin, mosok kon nyepitno lawang,” potong Kuswanoto setengah kesal.

“Wes sana, bantalnya sekalian di bawa!” hardik Warsinah yang berubah kesal akibat suaminya yang terus ngoceh.

“Lah yoongg … yong, gapuk nggantung nek ngeneki corone,” gerutu Kuswanoto, terlihat dia turun seraya mendekap bantal untuk teman tidurnya malam ini.

****

Kuswanoto duduk di emperan rumah, di depannya secangkir kopi hangat masih terlihat mengepulkan asap beraroma khas.

“Tok, kletok, kletok.”

Albar terlihat semringah memandang Kuswanoto, terlihat dia menjangkah lebar dengan berdiri diatas batok kelapa. Di ujung jalan terlihat Bagus mulai mendekat dengan berdiri di atas egrang.

“Bar … Albar lihat,” teriak Bagus seraya memamerkan kebolehannya dalam menaiki egrang. Tingginya hanya dua jengkal dari tanah, tetapi itu sudah cukup membuat Bagus terlihat lebih tinggi. Kuswanoto sengaja membuatkan egrang berukuran rendah, dia takut kalau cucunya jatuh bila egrang di buat dengan jarak terlalu tinggi dari tanah.

Tangan Albar begitu seirama dengan langkah-langkah kakinya, kedua tali dari anyaman kain jarik yang sudah di pelintir tampak dalam genggamannya.

“Nyoh Pak Menur, tak ngrampuno njangan sek,” kata Warsinah dengan menyerahkan Menur dalam pangkuan Kuswanoto.

“Wadoh, wadoh cah ayu … hemmm,” ucap Kuswanoto di akhiri dengan ciuman mendarat di pipi mulus Menur.

“Dikk … lihat kakak Dik!” teriak Bagus kepada Menur.

“Mbah, Menur mau kesana,” ucap Menur mendongak Kuswanoto.

“Ojo cedak-cedak lo yo, rodok ngadoh ae,” kata Kuswanoto sembari menurunkan menur dari pangkuannya.

“Titituit …titituit….”

“Pak! Onok telepon!” teriak Warsinah dari dapur.

“Yo….”

“Asalamualaikum….”

“Waalaikumsalam Nduk,” jawab Kuswanoto.

“Lare-lare taseh nopo Pak.” Suara di seberang sana.

“Jek do dolanan neng latar, ginio Nduk,”

“Makne pundhi Pak.”

“Onok, kate ngomong ta.”

“Makne … ki anak wedokmu kate ngomong!” teriak Kuswanoto.

“Makkk..!”

“Iyo, iyo ra sah bengak-bengok, krungu-krungu, ngomong nek gak mbengok ngopo to jane,” kata Warsinah seraya menerima pemberian Hp dari Kuswanoto.

“Lha wong biosone budge kok e,” ujar Kuswanoto.

“Yo Nduk, onok opo to Nduk,” kata Warsinah lalu memunggungi Kuswanoto.

****

“Ladalah! Heh tibo nggko!” teriak Kuswanoto saat mengetahui Menur dalam gendongan Bagus di atas egrang.

Segera Kuswanoto berlari mencoba mengejar Bagus, sebab kalau bagus berhenti, dia dan Menur akan jatuh karena keseimbangan egrang haruslah terus berjalan.

“Heh! Alon-alon!”

Kuswanoto hampir dekat dengan Bagus yang masih menggendong Menur di punggungnya, kedua kaki Menur menjuntai dengan kedua tangan terus bergelayut di leher Bagus.

“Tep!”

Kuswanoto berhasil meraih Menur dan melepas dari punggung Bagus, mengetahui itu Bagus menghentikan langkahnya yang sontak tubuh dan egrangnya limbung ke arah Kuswanoto.

“Duk! Bruk!”

Batang bambu itu menerpa dan menimpa wajah Kuswanoto, sulit bagi Kuswanoto untuk menghindar dengan Menur masih dalam pelukannya, di tambah ujung sarungnya yang menyangkut di batang pijakan egrang.

“Adoh …adoh …adoh yonggg!”

Erang Kuswanoto saat tubuhnya terjengkang ke belakang, satu batang egrang dalam pegangan Bagus terlihat meluncur kerah wajah Kuswanoto dengan di barengi tubuh Bagus yang juga menindihnya.

“Duk!”

“Adoh …doh …doh, ajor wes raiku!” makinya.

****

“Adoh yong,” rintih Kuswanoto saat handuk yang sudah basah oleh air hangat itu menyeka kening bagian kanannya.

“Piye to Pak, lha untungne kok Menur ndak apa-apa,” ucap Warsinah sembari mencelupkan kembali ujung handuk itu.

“Adoh yongggg, rai di antem pring taker aboh ngene kok yo,” gerutu Kuswanoto.

“Makanya ndak usah di buatkan mainan yang aneh-aneh to,” potong Warsinah.

“Bar … Albar, hahahaha,” teriak Bagus yang berlari seraya tertawa.

“Bagus tampak berlari menghindari Albar yang terus mengejarnya.

“Hayo! Dolanan neng njero omah, neng latar kono!” bentak Kuswanoto.

“Wek … wek,” ledek Bagus kepada Albar yang terus mengejarnya.

“Byur!”

“Lah jiabang bayiiikkk..! gurung wae mingkem lambe Mbahmu iki!” damprat Kuswanoto kepada Albar yang kali ini menumpahkan air di sisi Warsinah dan membasahi sarung Kuswanoto.

Segera Albar lari ke luar dan terus mengejar Bagus yang memegang satu kelom batok.

“Hadoh yoooohhhh, kelakuane arek-arek ki jannnn!” ucap Kuswanoto seraya menggeleng melihat air sudah membasahi sarung dan sebagian lantai.

“Lah wes to Pak, gur banyu kok e,” bela Warsinah.

“Ke tutuk mpring, gur pring, ke siram banyu, gur banyu, Arek-arek mbeling ancene kae!” justru Warsinah kini di maki oleh Kuswanoto.

“wes kono jikokno suwalku!”

Warsinah bersungut-sungut meninggalkan Kuswanoto.

 

 

 



PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search