CERKAK PUTU BAB 5
BAB 5
Menur sudah tertidur dalam balutan jarik, dengan dekapan dari Mbah
Putrinya. sementara Albar dan Bagus terlihat berbaring dengan mata terus
menatap layar kaca di hadapannya.
“Wes bengi lo Le, gek ndang mapan kono neng njero,” suruh Kuswanoto
yang duduk di bangku kayu, mulutnya tak henti-henti terus mengepulkan asap dari
ujung keretek yang menyala merah.
“Bagus belum ngantuk Mbah,” ucap Bagus seraya menggeliat. Albar
terlihat masih fokus menatap layar.
“Klik.”
“Sementara itu si jago
merah terus melalap pemukiman yang padat penduduk, petugas pemadam kebakaran
kesulitan….”
“Mbah … jangan di ganti,” ucap Albar yang merasa terganggu oleh
siaran televisi yang berubah menyiarkan berita malam.
“Wes bengi, gek turu njero kono,” ucapan Kuswanoto diakhiri dengan
Bagus yang seketika merebut remote di tangannya.
“Lah … arek ki hes jan,” gumam Kuswanoto.
“Wes! Wes! Nonton berita ae lah, gak usah nontoni film ngonoan, film
kartun kok yo di tonton!” Kuswanoto setengah mengumpat.
“Go rene remote!” pinta Kuswanoto kepada Bagus yang memegang remote.
“Mbaaahhh … nanti dulu!” pekik Bagus seraya mempertahankan remote
dalam genggaman dari rebutan Kuswanoto.
“Neh ta lah!” Kuswanoto berusaha mengambil remote dari dekapan
Bagus. Mengetahui itu Albar segera membantu Bagus dengan cara melepas genggaman
Mbah Kakungnya dari tangan sang kakak.
“Iki opo to,” ucap Warsinah yang terbangun oleh ributnya suara Bagus
dan Kuswanoto.
“Mbah Kakung ini lo Mbah, Bagus kan mau nonton, malah di ganti
berita,” adu Bagus kepada Warsinah.
Mbok wes to Pak, arek jek nonton kok yo!” sentak Warsinah kepada
Kuswanoto.
“E … enek seng mbelani, yo wes lah tak mapan turu ae lah,” gerutu
Kuswanoto lalu menuju kamar.
“Wes ayo Le, pindah ke dalam sudah malam, besok lagi nontonnya,”
kata Warsinah segera menggendong Menur yang sudah lelap dalam kelonannya.
Bagus dan Albar memang lebih dekat dengan Warsinah ketimbang
Kuswanoto. Mungkin karena sifat ke ibuan yang membuat keduanya dekat. Tidur pun
mereka tak ingin jauh dari Mbah Putri.
“Awas Pak, turu njobo kono,” kata Warsinah yang segera membaringkan
Menur.
“Turu njobo neh?” ujar Kuswanoto garuk-garuk kepala.
“Ya apa muat kalau semua tidur di sini, mbok yon galah sama cucu,”
gumam Warsinah.
“Awas Mbah,” ucap Bagus yang tiba-tiba juga menyusul Warsinah.
“Awas kemana,” seloroh Kuswanoto.
“Mbah Kakung kan biasanya tidur di luar,” ucap Albar, segera dia
naik ke atas tempat tidur.
“Weladalah … sejak kapan Mbahmu ini harus tidur di luar.”
“Lha kan Mbah Kakung semalam tidur di luar,” bela Bagus yang juga
sudah di dalam kamar.
“Wes, uwes … nggak siang, nggak malam ribut terus, wes sana Pak!
cucu-cucumu mau tidur,” usir Warsinah.
“Weeee … lha nek awakku butuh lha njur piye Makne,” kata Kuswanoto
setengah berbisik ke Warsinah.
“Prei!” jawabnya pendek, lalu segera berbaring memunggungi Kuswanoto
yang duduk di belakangnya.
“Doh Yong! Prei Makne,” ujarnya kaget.
“Yo, njolak-njalok rai isin onok putene,” gerutu Warsinah.
“Lha yo jenenge wong lanang pingin, mosok kon nyepitno lawang,”
potong Kuswanoto setengah kesal.
“Wes sana, bantalnya sekalian di bawa!” hardik Warsinah yang berubah
kesal akibat suaminya yang terus ngoceh.
“Lah yoongg … yong, gapuk nggantung nek ngeneki corone,” gerutu
Kuswanoto, terlihat dia turun seraya mendekap bantal untuk teman tidurnya malam
ini.
****
Kuswanoto duduk di emperan rumah, di depannya secangkir kopi hangat
masih terlihat mengepulkan asap beraroma khas.
“Tok, kletok, kletok.”
Albar terlihat semringah memandang Kuswanoto, terlihat dia
menjangkah lebar dengan berdiri diatas batok kelapa. Di ujung jalan terlihat
Bagus mulai mendekat dengan berdiri di atas egrang.
“Bar … Albar lihat,” teriak Bagus seraya memamerkan kebolehannya
dalam menaiki egrang. Tingginya hanya dua jengkal dari tanah, tetapi itu sudah
cukup membuat Bagus terlihat lebih tinggi. Kuswanoto sengaja membuatkan egrang
berukuran rendah, dia takut kalau cucunya jatuh bila egrang di buat dengan
jarak terlalu tinggi dari tanah.
Tangan Albar begitu seirama dengan langkah-langkah kakinya, kedua
tali dari anyaman kain jarik yang sudah di pelintir tampak dalam genggamannya.
“Nyoh Pak Menur, tak ngrampuno njangan sek,” kata Warsinah dengan
menyerahkan Menur dalam pangkuan Kuswanoto.
“Wadoh, wadoh cah ayu … hemmm,” ucap Kuswanoto di akhiri dengan
ciuman mendarat di pipi mulus Menur.
“Dikk … lihat kakak Dik!” teriak Bagus kepada Menur.
“Mbah, Menur mau kesana,” ucap Menur mendongak Kuswanoto.
“Ojo cedak-cedak lo yo, rodok ngadoh ae,” kata Kuswanoto sembari
menurunkan menur dari pangkuannya.
“Titituit …titituit….”
“Pak! Onok telepon!” teriak Warsinah dari dapur.
“Yo….”
“Asalamualaikum….”
“Waalaikumsalam Nduk,” jawab Kuswanoto.
“Lare-lare taseh nopo Pak.” Suara di seberang sana.
“Jek do dolanan neng latar, ginio Nduk,”
“Makne pundhi Pak.”
“Onok, kate ngomong ta.”
“Makne … ki anak wedokmu kate ngomong!” teriak Kuswanoto.
“Makkk..!”
“Iyo, iyo ra sah bengak-bengok, krungu-krungu, ngomong nek gak
mbengok ngopo to jane,” kata Warsinah seraya menerima pemberian Hp dari
Kuswanoto.
“Lha wong biosone budge kok e,” ujar Kuswanoto.
“Yo Nduk, onok opo to Nduk,” kata Warsinah lalu memunggungi Kuswanoto.
****
“Ladalah! Heh tibo nggko!” teriak Kuswanoto saat mengetahui Menur
dalam gendongan Bagus di atas egrang.
Segera Kuswanoto berlari mencoba mengejar Bagus, sebab kalau bagus
berhenti, dia dan Menur akan jatuh karena keseimbangan egrang haruslah terus
berjalan.
“Heh! Alon-alon!”
Kuswanoto hampir dekat dengan Bagus yang masih menggendong Menur di
punggungnya, kedua kaki Menur menjuntai dengan kedua tangan terus bergelayut di
leher Bagus.
“Tep!”
Kuswanoto berhasil meraih Menur dan melepas dari punggung Bagus,
mengetahui itu Bagus menghentikan langkahnya yang sontak tubuh dan egrangnya
limbung ke arah Kuswanoto.
“Duk! Bruk!”
Batang bambu itu menerpa dan menimpa wajah Kuswanoto, sulit bagi
Kuswanoto untuk menghindar dengan Menur masih dalam pelukannya, di tambah ujung
sarungnya yang menyangkut di batang pijakan egrang.
“Adoh …adoh …adoh yonggg!”
Erang Kuswanoto saat tubuhnya terjengkang ke belakang, satu batang
egrang dalam pegangan Bagus terlihat meluncur kerah wajah Kuswanoto dengan di
barengi tubuh Bagus yang juga menindihnya.
“Duk!”
“Adoh …doh …doh, ajor wes raiku!” makinya.
****
“Adoh yong,” rintih Kuswanoto saat handuk yang sudah basah oleh air
hangat itu menyeka kening bagian kanannya.
“Piye to Pak, lha untungne kok Menur ndak apa-apa,” ucap Warsinah
sembari mencelupkan kembali ujung handuk itu.
“Adoh yongggg, rai di antem pring taker aboh ngene kok yo,” gerutu
Kuswanoto.
“Makanya ndak usah di buatkan mainan yang aneh-aneh to,” potong
Warsinah.
“Bar … Albar, hahahaha,” teriak Bagus yang berlari seraya tertawa.
“Bagus tampak berlari menghindari Albar yang terus mengejarnya.
“Hayo! Dolanan neng njero omah, neng latar kono!” bentak Kuswanoto.
“Wek … wek,” ledek Bagus kepada Albar yang terus mengejarnya.
“Byur!”
“Lah jiabang bayiiikkk..! gurung wae mingkem lambe Mbahmu iki!”
damprat Kuswanoto kepada Albar yang kali ini menumpahkan air di sisi Warsinah
dan membasahi sarung Kuswanoto.
Segera Albar lari ke luar dan terus mengejar Bagus yang memegang
satu kelom batok.
“Hadoh yoooohhhh, kelakuane arek-arek ki jannnn!” ucap Kuswanoto
seraya menggeleng melihat air sudah membasahi sarung dan sebagian lantai.
“Lah wes to Pak, gur banyu kok e,” bela Warsinah.
“Ke tutuk mpring, gur pring, ke siram banyu, gur banyu, Arek-arek
mbeling ancene kae!” justru Warsinah kini di maki oleh Kuswanoto.
“wes kono jikokno suwalku!”
Warsinah bersungut-sungut meninggalkan Kuswanoto.
No comments:
Post a Comment