Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK PUTU BAB 4


 BAB 4

Kuswanoto membalik bantal yang berada di kepalanya, bunyi jangkrik menandakan bahwa malam mulai larut. Dia sendiri masih terjaga di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dini hari.

Berkali-kali dia merapatkan sarung yang membungkus badannya. Hawa dingin sudah berembus turun. Rumah yang biasa hanya di terangi oleh lampu minyak, kini benderang oleh cahaya putih dari lampu hemat energi.

“Diangkriikk! Adem,” umpatnya dalam hati.

Untuk malam ini, Kuswanoto terpaksa mengalah, dan harus tidur beralaskan tikar, sebuah ambal berwarna biru tampak  melapisi bagian atas tikar.

“Wes bengi tipi ne kok yo ra di pateni to Pak,” ucapan Warsinah yang mendadak di belakangnya mengejutkan Kuswanoto.

“Ben, nggo konco,” jawab Kuswanoto enteng.

Warsinah menuju dapur yang hanya terjarak satu dinding papan dari ruang televisi.

“Sampek kapan awakku turun jogan terus Makne,” ucap Kuswanoto saat Warsinah kembali dengan satu gelas berisi air putih.

“Lha ngopo lo Pak, mbok yon ngalah karo putune,” kata Warsinah segera berlalu menuju kamar meninggalkan Kuswanoto.

“Gak ngerti wong lanang butuh ta,” batin Kuswanoto.

****

Pagi-pagi sekali Menur sudah terbangun dan ikut Warsinah ke dapur, sementara Bagus dan Albar masih melingkar diatas kasur kapuk.

“Menur ikut Mbah Kakung yo Nduk, Mbah Putri mau masak dulu, Menur mau makan apa hari ini Nduk?” ucap Warsinah kepada Menur yang terlihat murung sewaktu terbangun tadi.

“Kene, kene, pangku Mbah Kakung kene,” sambar Kuswanoto yang duduk di bangku seraya menghisap ujung kereteknya.

“Up ilah.” Kuswanoto mengangkat gadis kecil itu lalu meletakkannya dalam pangkuan dan menutupi sebagian tubuhnya dengan ujung sarung.

“Nanti Mbah Kakung suruh tangkap ayam di kandang lalu kita potong ayamnya ya Mbah,” ucap Warsinah membahasakan kata anak kecil.

“Yo, Menur mau ayam goreng apa ayam sambal Nduk,” tanya Kuswanoto kepada Menur.

“Ayam goreng,” jawab Menur pendek.

“Yo, yo … nanti kita potong ayamnya yo,”  ujar Kuswanoto seraya mendekap hangat tubuh Menur.

“Sak repotan ancene,” kata Kuswanoto.

“Ya mau gimana lagi to Pak, Sekar ya ndak mungkin bawa Menur, kulak perabotan itu kan ndak cukup sehari,” sahut Warsinah yang sedang memususi beras.

Tak lagi menggunakan dandang untuk menanak, kini Warsinah telah menggunakan mesin pemasak nasi, terlihat juga kompor gas lengkap dengan tabung berwarna biru di bagian bawah meja. Semua berubah drastis, rumah Warsinah kini telah memiliki perabot serba listrik. Sebenarnya sudah sejak dulu sang anak ingin membelikan ini semua, tetapi Warsinah dan Kuswanoto selalu menolak untuk itu. Hingga barang-barang impian yang belum terbeli, kini mereka dapat dengan barang-barang yang dikirim atas nama Sekar.

****

“Mbah Kakung ke mana Mbah,” tanya Bagus kepada Warsinah.

“Coba lihat di belakang sana,” jawab Warsinah dengan pengetus minyak yang masih di tangannya.

Segera Bagus berlari ke belakang dengan diikuti Albar.

“Mbah Kakung … Bagus cari-cari dari tadi malah di sini,” ucap Bagus yang mendapati Kuswanoto sedang duduk di balok kayu, tampak sebilah golok mencungkil lubang kecil dari bilah bambu di tangannya.

“Lha jare mau di buatkan egrang,” datar ucap Kuswanoto.

“Albar gak mau egrang, Albar mau kelom batok!” ketus Albar yang merasa kecewa setelah melihat Mbah Kakungnya lebih memilih membuatkan Bagus egrang.

“Yo ngko to, nanti Mbah Kakung buatkan juga kelom batok,” sergah Kuswanoto mencoba meyakinkan Albar untuk sabar.

“Memangnya kakak bisa main egrang, dulu juga kakak kan jatuh pas di buatkan si Mbah,” tanya Albar kepada Bagus yang sudah duduk di samping Kuswanoto.

“Itu kan dulu, dulu setahun lalu, nanti pas sudah jadi aku pasti bisa memainkannya, ya kan Mbah,” ucap Bagus seraya menatap Mbah Kakungnya yang hanya tersenyum.

“Kenapa tidak buat kelom batok saja, lebih gampang di mainkan, terus kalau jatuh tidak sakit, Mbah Kakung  juga pernah dulu membuatkan aku kelom batok,” ujar Albar kepada Bagus.

“Sama saja Le, mau kelom batok opo egrang itu sama saja, sama-sama butuh keseimbangan untuk memainkannya,” sela Kuswanoto.

“Tapi Mbah, kelom batok kan tidak susah di mainkannya, dari pada egrang,” tambah Albar.

“Kelom batok itu yo buat kamu yang lebih kecil usianya dari kakakmu ini, kamu juga butuh keseimbangan agar bisa melangkah saat kakimu menumpu batok,” kata Kuswanoto, lalu meletakkan golok.

“Sini-sini duduk sini.” Kuswanoto bergeser memberi tempat untuk Albar diantara Bagus.

“Ini hanya permainan saja Le, nanti kalau kalian sudah besar, yo sama seperti memainkan kelom batok atau egrang, untuk menjalani hidup, kalian berdua butuh keseimbangan agar tetap bisa berdiri, melawan semua rintangan hidup.”

“Tapi kalau egrang jatuh kan sakit Mbah?” potong Albar.

“Yo pasti itu, lha kalau kamu jatuh dari kelom batok, apa terus kamu gak mau memainkannya lagi,” tanya Kuswanoto.

“Mau Mbah, Albar suka kelom batok, di kota tidak ada anak-anak yang main kelom batok,” ucap Albar polos.

“Hahaha … Le, Tole … di anak-anak sekarang mana ada yang mau main kelom batok, wes kuno! Mereka itu lebih senang main di pantai, beli mainan yang sudah jadi di pasar, seperti kalian ini juga to … hehehehe,” kekeh Kuswanoto.

“Di rumah Albar banyak mainan, tapi tak ada kelom batok,” ucap lugu Albar.

“Yo gak onok to Le,” kata Kuswanoto lalu melanjutkan memasang penumpu kaki yang terbuat dari potongan bambu kering.

“Le, coba ambilkan kelapa kering itu, kuat gak,” perintah Kuswanoto kepada Bagus.

“Horee … sini Albar bantu bawa satunya.”

“Glebuk! Glebuk.”

“Wes sana kalian menjauh dulu,” ucap Kuswanoto lalu beranjak dengan dua batang egrang yang tinggal di beri satu palang kecil penyangga tumpuan kaki.

“Egrangku hampir jadi,” kata Bagus dengan senyum di bibirnya.

“Mbah, kelom batokku kapan jadinya,” ucap Albar yang tak lagi sabar.

“Iyo, yo sek to! Gantian.” Kuswanoto lalu menyerahkan egrang kepada Bagus, “gunakan kaki kananmu untuk pijakan pertama, lalu kaki kiri seraya menjaga keseimbanganmu.”

“Wek,” ledek Bagus kepada Albar seraya menjulurkan lidahnya.

“Sudah to! Jangan ngece adikmu begitu!” hardik Kuswanoto kepada Bagus yang sudah berlari membawa kedua egrang.

“Sudah sini duduk dekat Mbah sini,” ajak Kuswanoto kepada satu cucunya yang berdiri dengan raut tak sabar menanti kelom batok segera dibuat.

“Kita pecah dulu kelapanya, lha kamu mau gak air kelapa Le,” tawar Kuswanoto kepada Albar yang berambut ikal, berkulit putih.

“Mau Mbah,”ucap Albar dengan mengangguk.

“Sana minta cangkir sama Mbah Putrimu.”

Albar segera berlari kecil masuk kedalam dan meminta satu cangkir kepada Warsinah yang sedang memangku adiknya, Menur.

“Buat apa cangkir,” tanya Warsinah.

“Kata Mbah Kakung untuk tempat air kelapa,” kata Albar seraya mengerjap.

“Apa ya enak, lha wong kelapa tua,” kata Warsinah sambil menyerahkan satu cangkir plastik.

“Enak,” ucap Albar pendek dan segera berlalu.

Matahari mulai meninggi, gelak tawa Albar dan Bagus yang ada di halaman, mengisi hari-hari Kuswanoto dan Warsinah, kehadiran mereka di tambah Menur yang lebih pendiam memberikan hiburan tersendiri bagi keduanya.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search