CERKAK PUTU BAB 4
BAB 4
Kuswanoto membalik bantal yang berada di kepalanya, bunyi jangkrik
menandakan bahwa malam mulai larut. Dia sendiri masih terjaga di depan televisi
yang sedang menyiarkan berita dini hari.
Berkali-kali dia merapatkan sarung yang membungkus badannya. Hawa
dingin sudah berembus turun. Rumah yang biasa hanya di terangi oleh lampu
minyak, kini benderang oleh cahaya putih dari lampu hemat energi.
“Diangkriikk! Adem,” umpatnya dalam hati.
Untuk malam ini, Kuswanoto terpaksa mengalah, dan harus tidur
beralaskan tikar, sebuah ambal berwarna biru tampak melapisi bagian atas tikar.
“Wes bengi tipi ne kok yo ra di pateni to Pak,” ucapan Warsinah yang
mendadak di belakangnya mengejutkan Kuswanoto.
“Ben, nggo konco,” jawab Kuswanoto enteng.
Warsinah menuju dapur yang hanya terjarak satu dinding papan dari
ruang televisi.
“Sampek kapan awakku turun jogan terus Makne,” ucap Kuswanoto saat
Warsinah kembali dengan satu gelas berisi air putih.
“Lha ngopo lo Pak, mbok yon ngalah karo putune,” kata Warsinah
segera berlalu menuju kamar meninggalkan Kuswanoto.
“Gak ngerti wong lanang butuh ta,” batin Kuswanoto.
****
Pagi-pagi sekali Menur sudah terbangun dan ikut Warsinah ke dapur,
sementara Bagus dan Albar masih melingkar diatas kasur kapuk.
“Menur ikut Mbah Kakung yo Nduk, Mbah Putri mau masak dulu, Menur
mau makan apa hari ini Nduk?” ucap Warsinah kepada Menur yang terlihat murung
sewaktu terbangun tadi.
“Kene, kene, pangku Mbah Kakung kene,” sambar Kuswanoto yang duduk
di bangku seraya menghisap ujung kereteknya.
“Up ilah.” Kuswanoto mengangkat gadis kecil itu lalu meletakkannya
dalam pangkuan dan menutupi sebagian tubuhnya dengan ujung sarung.
“Nanti Mbah Kakung suruh tangkap ayam di kandang lalu kita potong
ayamnya ya Mbah,” ucap Warsinah membahasakan kata anak kecil.
“Yo, Menur mau ayam goreng apa ayam sambal Nduk,” tanya Kuswanoto
kepada Menur.
“Ayam goreng,” jawab Menur pendek.
“Yo, yo … nanti kita potong ayamnya yo,” ujar Kuswanoto seraya mendekap hangat tubuh
Menur.
“Sak repotan ancene,” kata Kuswanoto.
“Ya mau gimana lagi to Pak, Sekar ya ndak mungkin bawa Menur, kulak
perabotan itu kan ndak cukup sehari,” sahut Warsinah yang sedang memususi
beras.
Tak lagi menggunakan dandang untuk menanak, kini Warsinah telah
menggunakan mesin pemasak nasi, terlihat juga kompor gas lengkap dengan tabung
berwarna biru di bagian bawah meja. Semua berubah drastis, rumah Warsinah kini
telah memiliki perabot serba listrik. Sebenarnya sudah sejak dulu sang anak
ingin membelikan ini semua, tetapi Warsinah dan Kuswanoto selalu menolak untuk
itu. Hingga barang-barang impian yang belum terbeli, kini mereka dapat dengan
barang-barang yang dikirim atas nama Sekar.
****
“Mbah Kakung ke mana Mbah,” tanya Bagus kepada Warsinah.
“Coba lihat di belakang sana,” jawab Warsinah dengan pengetus minyak
yang masih di tangannya.
Segera Bagus berlari ke belakang dengan diikuti Albar.
“Mbah Kakung … Bagus cari-cari dari tadi malah di sini,” ucap Bagus
yang mendapati Kuswanoto sedang duduk di balok kayu, tampak sebilah golok
mencungkil lubang kecil dari bilah bambu di tangannya.
“Lha jare mau di buatkan egrang,” datar ucap Kuswanoto.
“Albar gak mau egrang, Albar mau kelom batok!” ketus Albar yang
merasa kecewa setelah melihat Mbah Kakungnya lebih memilih membuatkan Bagus
egrang.
“Yo ngko to, nanti Mbah Kakung buatkan juga kelom batok,” sergah
Kuswanoto mencoba meyakinkan Albar untuk sabar.
“Memangnya kakak bisa main egrang, dulu juga kakak kan jatuh pas di
buatkan si Mbah,” tanya Albar kepada Bagus yang sudah duduk di samping
Kuswanoto.
“Itu kan dulu, dulu setahun lalu, nanti pas sudah jadi aku pasti
bisa memainkannya, ya kan Mbah,” ucap Bagus seraya menatap Mbah Kakungnya yang
hanya tersenyum.
“Kenapa tidak buat kelom batok saja, lebih gampang di mainkan, terus
kalau jatuh tidak sakit, Mbah Kakung
juga pernah dulu membuatkan aku kelom batok,” ujar Albar kepada Bagus.
“Sama saja Le, mau kelom batok opo egrang itu sama saja, sama-sama
butuh keseimbangan untuk memainkannya,” sela Kuswanoto.
“Tapi Mbah, kelom batok kan tidak susah di mainkannya, dari pada
egrang,” tambah Albar.
“Kelom batok itu yo buat kamu yang lebih kecil usianya dari kakakmu
ini, kamu juga butuh keseimbangan agar bisa melangkah saat kakimu menumpu
batok,” kata Kuswanoto, lalu meletakkan golok.
“Sini-sini duduk sini.” Kuswanoto bergeser memberi tempat untuk
Albar diantara Bagus.
“Ini hanya permainan saja Le, nanti kalau kalian sudah besar, yo
sama seperti memainkan kelom batok atau egrang, untuk menjalani hidup, kalian
berdua butuh keseimbangan agar tetap bisa berdiri, melawan semua rintangan
hidup.”
“Tapi kalau egrang jatuh kan sakit Mbah?” potong Albar.
“Yo pasti itu, lha kalau kamu jatuh dari kelom batok, apa terus kamu
gak mau memainkannya lagi,” tanya Kuswanoto.
“Mau Mbah, Albar suka kelom batok, di kota tidak ada anak-anak yang
main kelom batok,” ucap Albar polos.
“Hahaha … Le, Tole … di anak-anak sekarang mana ada yang mau main
kelom batok, wes kuno! Mereka itu lebih senang main di pantai, beli mainan yang
sudah jadi di pasar, seperti kalian ini juga to … hehehehe,” kekeh Kuswanoto.
“Di rumah Albar banyak mainan, tapi tak ada kelom batok,” ucap lugu
Albar.
“Yo gak onok to Le,” kata Kuswanoto lalu melanjutkan memasang penumpu
kaki yang terbuat dari potongan bambu kering.
“Le, coba ambilkan kelapa kering itu, kuat gak,” perintah Kuswanoto
kepada Bagus.
“Horee … sini Albar bantu bawa satunya.”
“Glebuk! Glebuk.”
“Wes sana kalian menjauh dulu,” ucap Kuswanoto lalu beranjak dengan
dua batang egrang yang tinggal di beri satu palang kecil penyangga tumpuan
kaki.
“Egrangku hampir jadi,” kata Bagus dengan senyum di bibirnya.
“Mbah, kelom batokku kapan jadinya,” ucap Albar yang tak lagi sabar.
“Iyo, yo sek to! Gantian.” Kuswanoto lalu menyerahkan egrang kepada
Bagus, “gunakan kaki kananmu untuk pijakan pertama, lalu kaki kiri seraya
menjaga keseimbanganmu.”
“Wek,” ledek Bagus kepada Albar seraya menjulurkan lidahnya.
“Sudah to! Jangan ngece adikmu begitu!” hardik Kuswanoto kepada
Bagus yang sudah berlari membawa kedua egrang.
“Sudah sini duduk dekat Mbah sini,” ajak Kuswanoto kepada satu
cucunya yang berdiri dengan raut tak sabar menanti kelom batok segera dibuat.
“Kita pecah dulu kelapanya, lha kamu mau gak air kelapa Le,” tawar
Kuswanoto kepada Albar yang berambut ikal, berkulit putih.
“Mau Mbah,”ucap Albar dengan mengangguk.
“Sana minta cangkir sama Mbah Putrimu.”
Albar segera berlari kecil masuk kedalam dan meminta satu cangkir
kepada Warsinah yang sedang memangku adiknya, Menur.
“Buat apa cangkir,” tanya Warsinah.
“Kata Mbah Kakung untuk tempat air kelapa,” kata Albar seraya
mengerjap.
“Apa ya enak, lha wong kelapa tua,” kata Warsinah sambil menyerahkan
satu cangkir plastik.
“Enak,” ucap Albar pendek dan segera berlalu.
Matahari mulai meninggi, gelak tawa Albar dan Bagus yang ada di
halaman, mengisi hari-hari Kuswanoto dan Warsinah, kehadiran mereka di tambah
Menur yang lebih pendiam memberikan hiburan tersendiri bagi keduanya.
No comments:
Post a Comment