CERKAK PUTU BAB 3
BAB 3
Tiitt … tittt …. Suara klakson mobil.
Yang kesekian kali Warsinah tergopoh keluar rumah untuk melihat
barang apa lagi yang akan di kirim Sekar.
“Mbah Putri!”
Mbah ….”
Teriak tiga anak yang seketika menghambur turun dari mobil,
semringah Warsinah mendapati ketiga cucunya berlari ke arahnya, lalu memeluk
Warsinah.
“Lha mana Bapak dan Mamak kalian Le, Nduk?” tanya Warsinah kepada
dua bocah lelaki dan satu perempuan dalam dekapannya.
Ketiga bocah itu saling pandang, kemudian
menggeleng.
“Saya di suruh Ibu Sekar untuk mengantar mereka ke sini,” ucap
lelaki paruh baya yang sudah berada di hadapan Warsinah.
“Lha memangnya Sekar ke mana,” tanya Warsinah gusar.
“Kurang paham kulo, tadi hanya telepon, dan di suruh mengantarkan
anak-anaknya ke sini,” ujar lelaki yang mengantar ketiga cucunya.
“Ayo, ayo masuk sana, Mbah Kakung kalian ada di dalam.” Warsinah
lalu menyuruh ketiganya masuk.
Wajah-wajah bahagia tampak menghiasi ketiganya, sudah lama sekali
mereka tidak pernah lagi ke mari, terakhir hanya lebaran, itu pun tak sampai
sehari, dan mereka harus kembali lagi ke kota.
****
“Mbahhh,” teriak salah satu anak paling besar bernama Bagus.
“Weladalah....lha kok kalian yang datang, tak kiro barang opo neh
seng teko, hehehehe,” kata Kuswanoto diakhiri dengan tawa terkekeh menyambut
cucunya yang langsung memeluknya.
“Mbah Kakung,” satu anak yang lebih kurus bernama Albar, juga
langsung memeluk Kuswanoto yang selalu di panggil Mbah Kakung olehnya.
“Lo ... lo ... lo, lha wes gede awakmu le,” ucap Kuswanoto dengan
senyum mengembang.
“Lha kalau yang ini pasti Menur,” kata Kuswanoto seraya menunjuk
satu anak perempuan yang terlihat paling muda usianya.
Anak perempuan itu tetap memeluk Warsinah, tidk seperti kedua
kakaknya.
“Lho, ayo sana, salim sama Mbah Kakungmu dulu sana,” ucap Warsinah
halus kepada Menur.
Menur hanya menggeleng seraya terus mendekap pinggang Warsinah.
Menur memang terlihat takut sama Kuswanoto, mungkin karena dia tumbuh besar di
kota dan jarang bertemu dengan Mbah Kakungnya.
“Ayo sana, di simpan dulu tas nya,” ucap kepada Handaka dan Albar
yang masih memeluk Kuswanoto.
“Berarti malam ini kita nginap di sini ya Mbah Putri?” tanya Albar.
Warsinah hanya memandang Kuswanoto, dan tak menjawab pertanyaan itu,
hingga.
“Titittuitt ... titituit ... titituit,” Hp di samping Kuswanoto
berdering.
“Ayo,” ajak Warsinah kepada dua cucu laki-lakinya untuk segera
meletakkan tas yang dari tadi di sandang di punggung.
“Wes kono, sana ikut Mbah Putrimu,” ucapan Kuswanoto di akhiri
dengan beranjaknya Albar dan Bagus mengikuti Warsinah.
“Titituit ... titituit....”
“Halo,” ucap Kuswanoto mengawali sapa untuk nama yang muncul di
layar Hp.
“Asalamualaikum Pak.” Terdengar suara dari dalam telepon genggam.
“Waalaikumsalam,” jawab Kuswanoto.
“Cucunya Njenengan apa sudah sampai Pak,” terdengar suara seorang
perempuan.
“Wes Nduk, wes, nembe ae teko, lha iko podo neng kamar kambek Mbah
Putri ne,”
“Dos niki lo Pak, Sekar ini lagi di Jakarta, mungkin untuk dua
minggu di sini, jadi Sekar titip anak-anak sampai Sekar kembali,”
“Lha ngopo sampek sue men
neng Jakarta Nduk,” tanya Kuswanoto dengan wajah terlihat fokus dengan suara di
telingannya.
“Biasa to Pak, nopo maleh nek mboten urusan kulak dagangan, Mamak
wonten Pak?” suara itu jelas terdengar.
“Mak! Mak .... ki lo Sekar telpon!” teriak Kuswanoto memanggil
Warsinah.
“Sek Nduk ... Maaakkkk!” teriak Kuswanoto semakin kencang.
“Opo to Pak, bengak-bengok ae, krungu-krungu,” ucap Warsinah yang
sudah berdiri di hadapan Kuswanoto.
“Ki lo anak wedokmu telepon, ki Nduk nek kate ngomong mbek Mamakmu,
nyoh,” Kuswanoto menyerahkan Hp kepada Warsinah.
“Halo Nduk,”
“Mbah ... kapan kita mancing lagi kayak dulu itu lo Mbah,” kata Bagus
yang segera tiduran di paha Kuswanoto.
“Ayo Mbah ... Albar mau di carikan kelapa muda, Albar kan kalau ke
sini pasti di carikan kelapa muda sama Mbah Kakung,” ucap Albar setengah
menarik lengan Mbah Kakungnya.
“Ssssttt ... menengo sek to! Mbah Putrimu sek nelpon Mamakmu kae
lo!” hardik Kuswanoto kepada kedua cucunya, karena di anggap terlalu bising saat
Warsinah sedang bicara dengan Sekar.
“Besok Albar mau di buatkan kelom batok ya Mbah,” kata Bagus seraya
bangun dari pangkuan Kuswanoto.
“Enggak, kalau Albar mau di buatkan egrang dari bambu, tapi yang
pendek yaa Mbah,”
“Kelom batok!” teriak Bagus.
“Albar mau egrang!’
Kelom batok!”
“Egrang!”
“Hadoh, hadoh, budek kuping Mbahmu iki, lha kok malah gemberah!
Yo,yo sisok digawekno!” Kuswanoto dibuat pusing oleh kedua cucunya yang saling
berebut untuk di buatkan mainan kesukaannya masing-masing.
“Horee!” teriak Bagus tampak riang.
“Mbah ... tapi Albar mau egrang Mbah,” rengek Albar, seakan akan
Kuswanoto tak mengabulkan permintaannya.
“Iyo, iyo sisok podo tak gaweno,” lalu Kuswanoto mengelus-elus
rambut hitam Albar.
“Sini, sini Nduk cah ayu, sini sama Mbah Kakung,” ucap Kuswanoto
saat Warsinah sudah kembali dan meletakan Hp itu di lemari kayu.
Menur lagi-lagi menggeleng pelan.
“Lho itu Mbah Kakung lo Nduk, apa kamu ndak kangen sama Mbah
Kakungmu hah?” kata Warsinah seraya mengelus rambut panjang Menur.
“Menur takut,” ucap Menur seraya menarik jarik Warsinah.
“Lho takut kenapa cah ayu?” tanya Warsinah pelan.
Menur tak menjawab, matanya terus memandang Kuswanoto. Menur memang
lebih sering melihat Warsinah saat main ke rumah sewaktu Mbah Putri
menjenguknya.
“O ... biar nanti tak gunduli brengos Mbah Kakungmu itu yo,”
Warsinah lalu tersenyum kearah Menur, Warsinah kini tahu alasan Menur kenapa
dia tak mau dekat dengan Mbah Kakungnya.
“Sini, pangku Mbah Kakung,” ucap Kuswanoto terdengar penuh dengan
sayang.
Perlahan Menur mendekati Kuswanoto, dengan cepat Kuswanoto menangkap
Menur dan meletakan di pangkuannya.
“Wes sekolah durung?” tanya Kuswanoto.
Menur hanya menggeleng.
“Ayu yo Putune Mbah Kakung,” kata Kuswanoto lalu berusaha mencium
Menur. Gadis kecil itu tampak berontak menggelinjang geli saat kumis Mbah
Kakung menyentuh pipi mulusnya.
“Diambung Mbah Kakung kok gelem to.” Lalu Kuswanoto mencubit kecil
pipi Menur.
“Yo mesti gak gelem, lha ambune Mbah Kakung koyok Bandot yo Nduk,”
kata Warsinah diakhiri dengan senyum geli.
“Kok Bandot to,” ucap Kuswanoto menatap Warsinah.
“Lha prengus ambune,” enteng Warsinah menjawab.
“O ... wedoss!” maki Kuswanoto.
“Apa kata anak wedokmu Makne.”
“Dia tadi tu telepon, kalau titip anak-anaknya selama dua minggu,
Sekar sekarang ada di Jakarta dan akan langsung ke Sumatera untuk urusan
dagang, sekalian mampir ke Sungailiat tempat Hermawan kerja di kapal keruk
Timah,” jabar Warsinah.
“lha opo anak-anake gak sekolah ta?” tanya Kuswanoto seraya beranjak
dan melangkah meraih kereteknya.
“Libur katanya, yo memang di rumah ada pembantunya, tapi kata Sekar
lebih tenang ninggal anak-anak di sini,” kata Warsinah lalu meninggalkan
Kuswanoto dan melangkah ke depan, dimana terdengar suara Bagus dan Albar. Menur
pun segera lari dari pangkuan Mbah Kakung dan menggandeng tangan Mbah Putrinya.
No comments:
Post a Comment