CERKAK PUTU BAB 2
BAB 2
Cahaya matahari menerobos masuk dari celah papan dapur yang sedikit
terbuka. Hari pertama Warsinah menggunakan mesin cuci, itu juga setelah
Kuswanoto suaminya membaca berkali-kali buku petunjuk. Sisa air pembuangan itu
masih menggenang di halaman belakang. Warsinah sudah meminta suaminya untuk
memindah mesin cuci untuk lebih dekat dengan sumur, meletakkannya di sudut
dapur. Sementara Kuswanoto keberatan karena takut mesin cuci itu hilang seperti
beberapa kolornya yang juga hilang di jemuran.
“Masukan Air setengah tabung pencucian,” kata Kuswanoto yang duduk
njegang seraya membaca kertas kecil yang dilipat.
“Lha terus Pakne?” tanya Warsinah yang duduk di samping suaminya.
“Ya diisi to Makneee,” ujar Kuswanoto terus membaca tulisan di buku
petunjuk berwarna putih.
“Lha terus apa katanya,” tanya Warsinah.
Kuswanoto menoleh ke arah Warsinah, “Katanya siapa?” ucap Kuswanoto
mengeryitkan dahi.
“Kata buku itu lo Pak,” ucap Warsinah seraya menunjuk buku yang ada
di tangan suaminya.
“Katanya harus di isi air sekarang, sudah sana angkut airnya masuk!”
perintah Kuswanoto.
“Aku?” kata Warsinah menunjuk dirinya.
“Iya kamu to Makne, sudah sana ambil airnya dulu,” suruh Kuswanoto
kepada Warsinah.
“lho kok aku to, kan Njenengan seharusnya yang angkut airnya, mosok aku,
ya berat to Pakne,” bantah Warsinah merasa kalau dia merasa keberatan akan
petunjuk yang mengatakan dia harus mengangkut air masuk kedalam.
“Lha di buku bilangnya begitu kok e, ni … ni baca kalau gak
percaya!” kata Kuswanoto seraya menujukan huruf yang tampak begitu kecil di
mata Warsinah.
“Sudah sana di isi!” bentak Kuswanoto, di ikuti Warsinah yang
melangkah keluar untuk membawa air sesuai apa yang di baca suaminya.
Bermula dari kejadian tadi pagi, dengan di bantu suaminya, Warsinah
mencoba mengingat ingat akan fungsi tombol yang di tunjukan oleh Kuswanoto,
dari menggiling hingga mengering, Warsinah yakin, besok-besok dia tak akan lagi
di kadali suaminya.
“Tiiiittt … tittt,” suara klakson mobil.
“Kulonuwun..!” teriak suara dari luar.
“Monggo,” jawab Kuswanoto, lalu membukakan pintu depan.
“Pak Kusto?” tanya lelaki jangkung yang sudah berdiri di samping
pintu mobil.
“Kuswanoto pak,” jawab Kuswanoto membenarkan sebutan salah dari
ucapan lelaki jangkung tersebut.
“Antar Televisi pak, pesanan Ibu Sekar,” ucap lelaki itu sambil
menyerahkan nota pembayaran kepada Kuswanoto yang berdiri tersenyum semringah.
“Mak … Makne!” teriak Kuswanoto memanggil Warsinah.
Warsinah segera meninggalkan baju yang masih menumpuk di ember,
beberapa baju sudah dia jemur di tali yang memanjang dengan satu tiang bambu
minyak. Tergopoh dia menuju depan.
“Ada apa to Pakne, bengak-bengok,” kata Warsinah mendapati suaminya
tersenyum lebar.
“Ko … iko tipi kirimane anakmu, Sekar! Weh … gueedee tipi ne Makne,”
Kuswanoto menunjuk kardus cokelat yang bertuliskan televisi plasma 43 inch.
“Biyoh Pak, lha kok gede tenan tipi ne to? Lha punya Yu Paijem ndak
sebesar ini kok e,” ucap Warsinah terheran melihat televisi seukuran itu.
“O, wong ndeso, lha iki jenenge tipi Pasta!” kata Kuswanoto memberitahukan
model televisi jenis baru.
“Plasma Pak, bukan Pasta,” sambar lelaki jangkung dengan tersenyum.
“Nah yo kui Makne,” lanjut Kuswanoto.
“Apa coba,” tanya Warsinah.
“Plas, ma,” ucap Kuswanoto mengeja.
“Mau di pasang dimana Pak,” kata lelaki jangkung yang sudah
menggotong televisi di bantu oleh satu rekan kerjanya.
“Ayo, ayo masuk, saya tunjukan tempatnya,” Kuswanoto mendahului
masuk untuk menunjukkan tempat televisi itu akan di letakkan.
Kuswanoto dan Warsinah hanya bisa berdiri menjauh saat kedua orang
itu mulai meletakkan tivi, lalu menyalakannya.
“Ini gambarnya masih kabur Pak, mesti di pasang dulu antenanya,”kata
lelaki yang lebih pendek ini.
“Iya, iya … nanti tak carikan bambu untuk pasang antena,” jawab
Kuswanoto seraya mengangguk tersenyum.
****
“Wes gurung!” teriak Kuswanoto dari sisi sebelah kiri dinding pawon.
“Rung, sitik neh Pak!” sahut Warsinah yang berdiri di depan
televisi, tak ada gambar, hanya suara gemeresik.
“Wes..!” Kuswanoto teriak seraya memandangi ujung antena yang menghadap timur.
“Wes! Wes Pak!” teriak Warsinah tak kalah kencang.
Kuswanoto buru-buru masuk dan berdiri di samping istrinya, senyumnya
mengembang saat mendapati layar kaca itu menyiarkan berita siang.
“Beh, lha iki layare ombo, marem nontone iki Makne!” kata Kuswanoto
lalu surut mundur dan duduk njegang di bangku kayu.
“Iso ndelok sinetron yo Pakne nek bengi,” Warsinah ikut duduk di
samping suaminya, tatapannya tak lepas mengarah ke layar televisi.
“Gak! Gak onok sinetron!” kata Kuswanoto dengan nada setengah
membentak.
“Kata siapa, yo onok to nek di goleki gelombange,” ucap Warsinah
bersungut.
“Gelombang, e … mbok kiro iku radio tah,” tunjuk Kuswanoto ke arah
televisi.
“Onok Pakne, sinetron Korea iku lo,” ucap Warsinah seraya memandangi
Kuswanoto yang tiba-tiba tergelak.
“Hahahahaha, giayaamu Makne! Kat kapan roh film Korea hah!”
Kuswanoto masih terpingkal menahan tawanya.
“Yo wes, yo wes, dangdutan ae, onok to?” tanya Warsinah lagi.
“Gak onok, tipi iki isine gur berita, gak onok seng liyo!” kata
Kuswanoto seraya meraih remote diatas televisi.
“Yongalah Pak, mosok tipi apik-apik isine gur berita tok,” gerutu
Warsinah.
“Yo pancen ngono kok e,” kata Kuswanoto lalu menyambar rokok keretek
yang terbungkus warna merah.
“Tittt … tittiitttt!” suara klakson motor.
“Lho, kae onok dayoh neh Makne, jal ungaken,” Kuswanoto menyuruh
Warsinah untuk melihat motor yang sepertinya berhenti di halaman rumah.
****
Perbincangan antara Warsinah dengan pengendara motor itu tak
berlangsung lama setelah Warsinah menerima dua kotak kardus kecil, pemberian
pengendara itu. Setelah menyerahkan lembaran putih, pengendara motor itu pun
segera memutar gas, dan berlalu meninggalkan Warsinah.
“Pak …Pak!” Warsinah lagi-lagi harus tergopoh untuk kesekian kali.
Begitu banyak kiriman atas pesanan dari Sekar yang datang kerumahnya.
“Setrika Pak!” ucap Warsinah dengan rona berbinar senang mendapat
benda yang berada dalam bopongannya.
“Lha sitoke opo iku,” tanya Kuswanoto memperhatikan satu kotak
berukuran kecil di boyongan Warsinah.
“Apa ini yo,” gumam Warsinah seraya menunjukkan satu kotak kecil
yang terbungkus plastik.
“Sepertinya ini Hp Pak,” ujar Warsinah seraya menyerahkannya kepada
Kuswanoto yang duduk dilantai semen menghadap televisi.
“Walah … iyo Makne, lha iki Hp android!” sergah Kuswanoto lalu
menyambar kotak pemberian Warsinah.
Warsinah meletakan setrika itu di atas lemari kayu, “Kenapa yo Pak,
Sekar kok ngirimi kita barang-barang sebanyak ini,” lesu Warsinah lalu duduk di
samping Kuswanoto yang sibuk dengan Hp baru pemberian Sekar.
“Ya gak ada maksud apa-apa to Makne, mungkin maksud anakmu itu hanya
ingin membahagiakan orang tuanya, dengan mengirim perabotan dan elektronik,”
ucap Kuswanoto tanpa memperhatikan Warsinah yang mulai murung penuh tanda
tanya. “Apa iya begini cara membahagiakan orang tua, melihat dirimu sudah hidup
cukup saja Mamakmu ini sudah seneng lo Nduk,” batin Warsinah.
“Gak usah mikir yang aneh-aneh to Makne,” ucapan Kuswanoto
menyadarkan Warsinah akan apa yang mulai dia pikirkan. Warsinah hanya diam,
sementara Kuswanoto sudah sibuk dengan Hp di tangannya.
“Lha ini sudah ada nomornya Makne, kalau awakmu kangen tinggal
telpon Sekar, iyo to, gampang to, hehehehe,” seloroh Kuswanoto menarik kembali
Warsinah yang hampir hanyaut dengan semua tanda tanya akan barang-barang yang
dikirimkan sebanyak ini. Tak lama berselang mobil yang membawa barang itu
kembali, berbagai macam perabotan listrik terlihat memenuhi bak belakang mobil.
No comments:
Post a Comment