Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

CERKAK BENCES SUSI



BENCES SUSI




MALAM DI SUDUT KOTA (BAB 1)

“Coba misi-misi.”

“Saya banci masih suci.”

“Nambore eike Susi.” (Nama saya Suci.)

“Banci paling seksi.”

Icik ... icik.

Bunyi kecrekan seirama dengan lagu yang melantun dari seorang perempuan.  Bukan, seorang laki-laki kalau menilik dari suaranya yang kemayu, di bawah lampu merkuri penerang jalan.

 “Jengjong gengges bences ... uh.” (Jangan ganggu banci ... uh.)

“Jengjong gengges bences ... ih.” (Jangan ganggu banci ... ih.)

Malam masih terasa hangat dari sisa panas matahari yang melekat di aspal jalan. Tampak lalu lalang pemburu berbagai makanan, mulai dari otak-otak dengan kuah taoco, hingga pempek kapal selam.

Hal yang biasa terlihat di sudut Kota Sungai Liat, yang terus bersalin dengan banyak lampu di setiap sudut jalan, tak jauh dari Tirta Loka.

Setengah malam belum genap diputar, silih berganti pembeli datang dan pergi. Jalanan makin benderang oleh sorot lampu gerobak. Begitu juga dengan satu-satunya warung tenda yang berdinding spanduk bergambar ikan lele.

“Situ panggil-panggil.”

“Suit-suit centil.”

“Situ suka usil.”

“Ih, benci.”

“Eike banci Brebes.”

“Cantik-cantik pedes.”

“Ih, situ senyum-senyum gengges.”

“Eike pimpong cumi gemes.” (Saya kepingin cium gemas.)

Pluk!

Selembar uang jatuh ke dalam wadah plastik yang terlihat sengaja diletakkan tak jauh dari kakinya yang terlihat dipenuhi bulu.

“Ih, kamandose kitring capcup, ha ha ha.” (Ih, ke mana kita pergi, ha ha ha.)

Pasangan yang terlihat mesra dalam indah asmaraloka hanya melempar senyum seraya melewati satu wadah plastik yang ada di depan lelaki bertopi dengan baju putih lusuh, terlihat kumal dengan beberapa bagian penuh dengan jahitan kain tambal.

Pluk!

Lembar rupiah kembali mengisi plastik, saat satu lelaki yang menenteng hak lo pan melintas.

“Abang, kapan bawa Eike pergi,” ucapnya seraya mencolek pinggang, terlihat dibuat-buat gemulai.

“Wew ka ni, ade ge jeruk nak makan jeruk,” (Aduh kami ini, mana ada jeruk makan jeruk,) balas lelaki berpakaian necis.

“Ih, sebel! Sebel Eike,” ucapnya dengan mengentak kaki.

Sejenak dia menjatuhkan pandang kepada lelaki yang sedari tadi menengadahkan tangan meminta. Dilihatnya sejenak, wadah itu masih kosong.

“Selain kejujuran dan kebaikan hati, selanjutnya adalah karya, yang hargai,” ucap lelaki tua itu mendongak, lalu memandang kecrekan yang menghasilkan suara berisik.

“Namaku Susi. Bahkan aku sedang tak terlihat berkarya, suaraku tak merdu.”

“Buhuk ... uhuk!” Dibalas batuk.

Buru-buru Susi mengeluarkan isi tas, menyodorkan botol air minum kemasan.

“Eike sendiri tidak tahu, sepertinya mereka yang lewat tak melihat wadah ini.” Susi duduk bersila, hal yang berbanding terbalik dengan pakaian yang dia kenakan.

“Kenapa tak mengemis siang hari, ke pasar atau ke terminal?”

“Susah, Buhuk ... uhuk, Sungai Liat sudah tak lagi bersahabat dengan pengemis, orang-orang berseragam akan memaksa pemilik kaki buntung untuk seketika beranjak, berlari saling kejar.”

“Kamu lihat itu, hutan kota, bahkan harus terlihat bersih dari daunnya yang gugur.” Lelaki itu menyerahkan kembali botol, bahkan tak terlihat dengan jelas sewaktu dia menenggak separuh isinya.

“Ah, aku sendiri seperti daun kering itu, melayang turun dan tak tahu harus jatuh di sisi mana,” timpal Susi, melepas rambut palsu yang tadi terlihat  panjang sebahu. Dia sudah lagi memedulikan gerak gemulai serta nada kemayu ucapannya tadi.

“Aku bingung, Aku ini laki-laki,” ucapnya menoleh kepada lelaki dengan kedua pipi mengendur, “atau perempuan?”

“Buhuk ... uhuk. Tidak penting, menjadi laki-laki pun, kau akan melihat dirimu perempuan saat di depan cermin rias. Mengukuhkan dirimu perempuan, ada sesuatu yang tak bisa kau sembunyikan dari balik pakaianmu.”

Susi hanya tertunduk mendengarnya.

“He? Namaku Pakde Puspita. Panggil aku Puspita.”

Sontak Susi memandangnya. Di matanya, Puspita tidaklah terlihat seperti dirinya, dia sungguh hanya lelaki baya.

“Kaget?”

Susi menggeleng dan masih bungkam.

“Kau hanya melewati malam dengan terus duduk di sini.”

Susi mendengus, seakan ada beban berat yang dia pikul sedari tadi. Setelah beranjak, dia kembali mengenakan rambut palsu dan kembali memainkan alat untuk mengais rupiah.

Icik ... icik ... icik.

“Aku tak mau jikalau aku dimadu.”

Pulangkan saja kepada orang tuaku.”

“Abang! Culik eike dongse?”

Lelaki yang melintas hanya tersipu malu melihat tingkah Susi, seraya melempar uang yang sebelumnya sudah diremas.

Jalanan makin ramai, bising kendaraan serta kelakar tawa membaur, menelan suara Susi yang melebur. Di ujung jalan lain, tampak beberapa waria yang mulai berdatangan dan mulai menggoda para pelintas.

“Sudah malam, sebaiknya yey pulang saja.” Susi berjongkok tak senonoh. Dikumpulkannya lembaran pecahan dua ribu yang ada di plastik.

“Indang beti yey.” (Ini buat kamu.)

“Eike pamit, eike mau pulang.” Setelah meletakkan lembar rupiah di hadapan Puspita, dia bergegas meraih bungkusan plastik hitam yang sejak kedatangannya dia letakkan di sisi belakang trotoar.

“Tunggu!” Puspita bangkit, lalu tergopoh mengejar Susi.

“Tunggu! Mau ke mana kamu malam-malam begini, he?”

“Terserah eike,” jawab Susi seraya mengibas tangan untuk melempar rambut ke belakang.

“Aku melihat wajahmu tak seceria lagu yang kau nyanyikan.”

“Ada sesuatu yang kamu pikirkan?” imbuh Puspita.

“Eike mau mencari teman eike.”

“Ke mana, ha?” Puspita mendongak ke atas.

Benar apa dugaan Puspita, Susi berkali-kali membuang napas panjang.

“Pakde berterima kasih dengan ini.” Menunjukkan uang pemberian Susi.

“Iya,” balasnya pendek.

“Siapa temanmu?” Pakde Puspita melirik dua waria yang saling tertawa, seakan menertawakan mereka berdua.

“Ah, sudah, ih.” Susi berlalu merasa mereka terus membicarakannya dengan terus berbicara dengan Pakde Puspita.

“Mau ke mana? Tunggu.” Pakde Puspita kembali mengejar Susi.

“Eike sudah bilang berkali-kali, ya? Eike mau mencari teman eike.”

“Iya, ke mana? Sebaiknya kamu ikut aku, pulang.”

“Pulang, banci pulang jam begini, ih ... teweus pewong keles.” (... ditertawakan perawan kali.)

“Siapa temanmu itu? Biar besok kita cari berdua.”

“Apose? Ha ha ha.” (Apa? Ha ha ha.) Tawa itu terdengar suara laki-laki.

“Yey tidak malu menemani banci?”

Puspita terdiam, lalu menggeleng. “Tidak, aku juga punya anak sepertimu.”

“Banci?”

Puspita tak menjawab.

“Mangkalita dimandose?” (Pangkalannya di mana?)

“Sudah tua?” cecar Susi.

“Tidak, sepantar denganmu sepertinya, besok ulang tahunnya yang ke dua puluh satu.”

Duar!

Langit yang cerah mendadak mengeluarkan suara gemuruh, angin dingin mulai merendah, menandakan tak lama lagi hujan.

“Ayo,” ajak Puspita.

Benar, rintik hujan mulai turun, dan Susi harus ikut untuk mencari tempat berteduh, kalau tak mau maskara yang dia kenakan luntur beserta bulu matanya akan terlepas.

Keduanya lalu memutar jalan, meninggalkan remang sudut kota dengan menyusuri jalan kecil yang tepat diapit oleh deret gedung sarang walet.

 

PENGHUJUNG DESEMBER (BAB 2)

“Masuk.” Puspita menoleh ke belakang, tampak Susi berdiri ragu dengan terus menenteng plastik hitam.

“Ini rumahku, ayo.”

Terpaksa Susi menerima tawaran itu, mengingat tanah di belakangnya sudah basah oleh air yang turun dari ujung seng.

Susi nanar memperhatikan ruangan sekitar, atap seng yang sudah berkarat, dinding tripleks sebagian bolong.  Tetapi itu semua menjadi tak penting, ketika tiba-tiba dia mencium aroma menyeruak yang begitu menyengat.

“Uek! Uek.” Nyaris isi perutnya keluar, saat bau busuk makin santer dan tajam tercium.

“Ih, jijay.” (Ih, jijik.)

“Duduk.” Puspita melangkah melewati Susi, menutup pintu dan menguncinya.

Susi hanya berdiri, matanya lekat menatap sosok yang terbungkus dua kain sarung. Dahinya berkernyit, saat bau itu memang berasal dari atas tempat tidur.

“Anakku, seperti yang aku katakan tadi.” Puspita memilih duduk di kursi yang ada di hadapan Susi.

“Duduk,” ulangnya untuk kedua kali.

Andai di luar hujan tak makin deras, pastilah Susi memilih untuk segera meninggalkan rumah kumuh ini.

“Sekong?” (Sakit?) Hanya itu yang bisa dia tanyakan.

Puspita menggeleng.

“Dia hanya tertidur, hujan deras membuat dia hanya merapatkan penutup tubuhnya.”

Susi lantas menutup hidungnya, saat di rasa bau busuk makin tebal dan hanya berputar-putar di ruangan ini.

Puspita hanya memandangi Susi yang mulai tak nyaman, lalu bangkit dan menuju ke salah satu ruangan yang ada di belakangnya.

Dikejar rasa penasaran, Susi beranjak menuju tempat tidur dengan kelambu kumal, tangannya tak lepas dari hidung.

Lama dia mengamati sosok anak Puspita.

“Biarkan dia, nanti juga dia akan bangun sendiri.”

Sontak Susi terkejut, lalu cepat kembali menuju kursi.

“Ini.” Puspita memberikan album foto yang sedikit berdebu.

“Untuk apa?” Susi masih tak mengerti dengan semua ini, tetapi tetap dia membuka lembar demi lembar foto yang melekat.

“Di situ semua alasanku, kenapa aku tak pernah membenci banci.”

Jantung Susi berdegup kencang, bukan karena ucapan Puspita, tetapi sosok yang ada di dalam foto, tampak satu perempuan dengan  anak kecil laki-laki memenuhi tiap lembar album.

“Dia anakku, dan perempuan itu adalah aku. Puspita, nama yang sudah aku buang, aku kembali harus mengenalkannya kepadamu.”

Susi  memandang Puspita dengan tatap tak percaya.

“Mak ... maksudnya apa ini?”      

“Tidak, tidak ada maksud yang tersembunyi. Ini semua nyata, nyata seperti apa yang kamu alami.”

Susi makin tak mengerti apa yang Puspita ucapkan.

“Perempuan di foto itu tidaklah benar-benar seorang ibu. Dia yang menjadikan aku sebagai ibunya.” Puspita menoleh ke arah tempat tidur

“Dia aku temukan di salah satu jalanan sudut kota, malam itu. Tubuhnya sangat pucat oleh angin malam. Sejak saat itu aku memutuskan untuk mengasuhnya, menjadi ibu dengan tubuh laki-laki, bahkan aku tak menyebut diri ini bapak, meski aku seorang laki-laki.”

“Aku yang tak pernah mengandung, yang tak pernah suka terhadap perempuan, harus kelabakan saat menurunkan panas badannya.”

Puspita meraih tangan Susi. “Dengar, aku bahkan harus berjuang mengalahkan diriku sendiri, semua ini aku lakukan untuk Mahesa, anakku.”

“Mahesa?” Ada riak tak percaya di wajah Susi.

“Iya, Mahesa.” Seiring Puspita mengembuskan napas panjang, Susi melepas genggaman itu dengan menarik tangan perlahan.

“Aku sangat mencintainya. Mahesa kecil yang menjelma menjadi matahari di hidupku, mengubah bayangan perempuan menjadi laki-laki, kembali pada diriku sendiri.”

“Aku memutuskan untuk mengakhiri menjadi waria, dari seorang ibu berubah menjadi bapak. Meski berat, aku harus melakukannya.”

“Mahesa tak boleh menjadi seperti aku. Dia harus lurus melangkah menjadi laki-laki seperti nama yang aku sematkan, meski nyatanya tidak.”

“Mak ... maksudnya apa, Puspita?”

“Memasuki usia lima tahun, Mahesa terlihat sedikit berbeda, apa yang aku takutkan ternyata menjadi mimpi buruk.”

“Oh.” Susi mengusap air matanya yang  sudah berlinang.

“Terkadang, aku sempat berpikir, kalau Tuhan tak pernah adil kepada makhluknya.

“Meski begitu, aku tetap menyayanginya. Tak banyak yang bisa dia buat, hanya dengan menjadi sepertimu, kami saling bahu-membahu, aku tetap membiarkan dia dengan kecrekan, sementara aku hanya menjadi kuli di pasar.”

“Kami sudah belajar menerima apa yang sudah digariskan Tuhan. Terkadang aku tak bisa menahan air mataku, saat dia pulang dengan derai air mata, hatinya sering terluka saat semua orang makin menyudutkan keadaannya menjadi waria.”

“Bahkan semua belum berakhir, sepertinya Tuhan belum cukup untuk menguji hati ini.” Puspita mengusap sudut mata, ada yang basah di sana.

“Malam itu, dia pulang dengan digotong beberapa orang, tubuhnya sudah bersimbah darah.”

“Hu hu hu.” Justru Susi yang lebur dalam sengguk tangis.

“Seseorang telah merenggut Mahesa dariku. Ini penghujung tahun, Desember. Bulan di mana aku menemukan Mahesa, dan aku hanya bisa mengemis untuk mengabulkan satu permintaannya.”

“Kemeja?”

“Dari mana kamu tahu?” Tak kalah terkejut Puspita mendengarnya.

“A, aku ... aku hanya menebak saja.” Susi  mengusap ujung mata menggunakan lengan.

“Ya, kemeja lengan panjang,” imbuh Puspita.

“Aku bersumpah, bila aku menemukan orang yang telah melukai Mahesa, aku akan melakukan hal sama, seperti yang telah dia lakukan kepada anakku.”

“Aku minta maaf, Puspita.”

“Untuk apa, untuk apa kamu meminta maaf kepadaku, aku bahkan yang harus mengucapkan terima kasih, karena kamu telah mau mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu begitu baik, Susi.”

“Hu hu hu.” Susi sudah tak sanggup membendung rasa yang bergolak di dadanya, segenap rasa itu tumpah ruah dalam derai air mata.

“Aku rasa cukup, bagaimana denganmu?”

Susi menggeleng kuat, seakan tak dia tak mau mengambil kesempatan ini, kesempatan untuk menceritakan siapa dirinya.

“Andai Mahesa terbangun, tentu kamu akan memiliki seorang teman yang mungkin bisa kamu jadikan tempat bercerita, Tidak apa, tidak apa-apa kalau kamu tak mau berbagi cerita denganku.”

“Boleh aku melihatnya?”

Puspita mengangguk, menepis keraguan di hati Susi.

Susi bangkit, dan hanya berdiri dengan tubuh bergetar, nyatanya tangis tak jua mengantar langkahnya untuk mendekati tempat tidur.

“Mendekatlah, aku harap dia terbangun dan melihatmu, aku bahkan sangat berharap kalau kalian akan segera menjadi teman.

Puspita juga beranjak. “Di belakang mungkin masih tersisa gula dan teh, aku harap itu bisa menghangatkan tubuh kita setelahnya.” Kemudian melangkah ke dapur.

****

“Hu hu hu.” Makin dalam Susi terbenam dalam kesedihan, setelah penutup tubuh Mahesa yang dia buka.

“Maheswari, aku minta maaf, hu hu hu.”

Dengan terus bersimpuh  di lantai, tak lepas tangan Susi menggenggam tangan  Mahesa yang sudah membengkak, bau busuk yang jelas tercium sudah tak lagi dia pedulikan.

“Maheswari ... oh, hu hu hu.”

Bak diseret ke waktu ke belakang, sejuta penyesalan membungkus perasaannya.

****

“Eike sudah katakan samsara, Maheswari! Jangan kanua dekati lagi Mas Jaka!”

Plak!

Satu tamparan kuat mendarat di pipi Maheswari.

Plak!

Tamparan kuat membalasnya.

“Yey pikir yey sapose! Diana tak sukria samsara kanua, bances kaleng!” (Kamu pikir kamu siapa! Dia tak suka sama kamu, banci kaleng!)

“Jelas eike terlihat lebih seksi, kedua kakiku lebih mulus dibanding kakimu nyang berbulu itu. Ih, jijay.”

“Bahkan kami berdua sudah sepakat akan hidup serumah!”

“Cukup!” Susi menutup kedua telinga dalam derai, hatinya sudah sejak tadi berai.

“Mas Jaka, jelas-jelas tak menyukaimu! “

“Cukup Maheswari!”

“Kamu tahu! Begitu wangi aroma keringat kami ketika menyatu, kamu tahu!”

Susi yang terus melipat lutut dengan kedua tangan yang tak lepas dari telinga bangkit. Terlintas sesuatu di dalam tasnya, sesuatu bermata tajam yang kerap dia gunakan untuk mengancam saat lelaki yang telah menyatukan bagian tubuhnya memilih untuk membayar dengan alasan lupa membawa dompet.

“Yey telah merebutnya dariku, Maheswari!” Dengan cepat Susi melesakkan satu senjata hunus.

Jleb!

“Akh!”

Terlambat bagi Maheswari untuk menghindar, bahkan pisau itu masih bersarang di perutnya.

“Susi ... Susilo Lelana. Kau ... kau.”

Jleb!

Tusukan kedua tepat menghunjam leher, membuat Maheswari yang limbung langsung terkapar.

“Eike benci kanua, Mahesa! Eike benci!” (Saya benci kamu, Mahesa! Saya benci!)

Jleb!

Jleb!

 

HUJAN DESEMBER (BAB 3)

“Akh!”

“Akh!”

Susi mencoba berdiri, usaha itu hanya di dalam angan, kakinya bak lumpuh seketika. Mayat yang telah membusuk dengan seluruh tubuh sudah membengkak itu membuatnya bagai tak berpijak di bumi.

“Akh! hu hu hu.”

Makin histeris setelah mengetahui luka yang dia buat telah merobek separuh perut, nyaris terburai isinya karena kondisi kulit yang telah melepuh membusuk.

Dengan gontai dia menuju plastik yang ada di atas kursi, meraihnya lalu kembali ke tepi tempat tidur.

Dia keluarkan sebuah kotak dalam balut kertas kado, sejenak dia menunduk, dalam samar air mata, masih bisa dia melihat sebuah tulisan dengan nama Mahesa Maheswari.

Bahkan kini, dia harus membuka sendiri kado yang telah dia bungkus rapi, membukanya, dan sebuah kain putih masih di dalamnya.

“Hu hu hu.”

Butir-butir hangat jatuh membasahi kemeja putih yang telah dia persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.

****

“Nek, bulan depan eike ulang tahun. Eike pepita belalang kemeja putih buat Bapak.”

“Bukannya yey yang ulang tahun,” balas Susi menggantung kaki dengan masih mengenakan sepatu tumit tinggi.

“Benar, tetapi apa gunanya untukku. Eike ingin sekali, Bapak mengenakan baju lengan panjang putih.”

“Kapan-kapan aku boleh main ke rumahmu, ya? Sekalian kenalkan aku dengan bapakmu. Sapose tahu bisikan eike makarena juga endang lekong, ha ha ha.” (Siapa tahu bisa aku makan juga itu laki, ha ha ha.)

“Begindang deh, ah.” (Begitu ya, ah.)

“Ha ha ha.”

“Yey lihat sekitar, di sudut kota ini kita sudah berteman hampir lima tahun, tetapi rumahmu saja, eike tak tahu,” sambung Susi, masih menyisakan tawa.

****

“Siapa kamu sebenarnya? Benda apa di tanganmu, ha!”

Susi sontak terkejut saat Puspita sudah berdiri di belakangnya.

“Siapa kamu!”

Susi hanya menunduk seraya memegang kemeja yang sudah dia keluarkan sebelumnya, tubuhnya berguncang seiring sengguk isak kian keras terdengar.

Prang!

Seketika dua gelas jatuh dan berserak di lantai beserta satu nampan kecil.

“Kau yang telah membunuh Mahesa? Kau yang telah membunuh anakku? Katakan!”

“Maafkan aku, Puspita. Hu hu hu.”

Puspita segera berlari menuju pintu, membukanya, lalu berlari menerobos lebat hujan yang tak kunjung reda.

“Akh!”

“Hu hu hu.”

Susi menangis seraya bersujud di lantai, kemeja putih masih dalam genggaman.

“Maafkan aku, maafkan aku!”

“Aku menyesal, sungguh menyesal telah gelap mata waktu itu, oh. Hu hu hu.”

“Puspita!”

Segera Susi mengejar Puspita, meski deras hujan mengaburkan pandangannya.

****

Rintik hujan masih tersisa dari hujan semalam. Susi hanya sesenggukan saat kerumunan orang mulai meninggalkan rumah kumuh di sudut perkotaan.

Kuat dia menggigit bibirnya sendiri, saat orang terakhir melangkah mengiringi keranda yang mengangkut jenazah Mahesa.

“Bapaknya Maheswari kok tidak kelihatan, ya?”

Tak memedulikan satu perempuan yang berdiri di sampingnya, Susi mengambur pergi dengan berlari.

Melewati pasar dengan satu lambang tudung saji, Susi terus berlari dengan mata berderai, puluhan mata menyaksikan itu. Hingga tepat di bawah tugu Adi Pura, dia menumpahkan semua rasa yang berkecamuk.

Bising kendaraan yang melintasi bundaran tugu Adi Pura Sungai Liat, bak kalah keras oleh tangis Suci. Semua terasa lengang sejenak, hingga kembali ramai oleh orang-orang yang berlarian menuju tengah jalan.

“Ada yang tertabrak!”

Suci jelas mendengarnya.

“Pengemis! Pengemis tua tertabrak mobil!”

Susi sudah tak kuat beranjak, angannya jauh melayang, rasa penyesalannya makin dalam memaku, terlebih kerumunan yang menggotong pengemis tua bersimbah darah tepat melintas di hadapannya.

“Puspita,” gumamnya seraya menyandarkan kepala pasrah.

“Maafkan aku, maafkan aku.”

Hujan gerimis mengundang puluhan burung walet untuk saling berkejaran, tepat di atas tugu. Tak tahu harus berbuat apa, Susi membiarkan rintik membasahi tubuhnya. Andai dia bukan banci, andai dia tak harus terbakar cemburu, andai dia tak pernah mendengar cerita Puspita,

“Kamu pernah menanyakan, kamu lelaki atau perempuan?”

Sontak Susi menoleh ke belakang. “Pakde Puspita! Benarkah ini Pakde Puspita!”

“Akh!” Susi berteriak kencang, menumpahkan semua rasa maaf dalam derai tangis.

“Sudah, sudah. Yang lalu biar berlalu.”

“Susi minta ampun, Puspita. Susi ... Susi ....”

“Jangan minta ampun kepadaku. Ini, benda yang akan menunjukkan siapa kamu.” Puspita memberikan kain sarung yang masih terlipat.

“Waktu zuhur akan segera tiba, di sana kita akan mengadu. Jelas kau tak akan pakai mukena, ‘kan?”

“Oh, Pakde Puspita.”

Segera Susi memeluk Puspita, dalam erat dekap, Susi berjalan dengan terus memeluk lengan Puspita, seakan tak ingin lagi terpisah, hingga suara klakson mengejutkan keduanya.

Tittttt!

Brak!

Dalam sekejap, orang-orang kembali berhamburan ke tengah jalan, dua korban tergeletak dengan bersimbah darah.

TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search