CERKAK BENCES SUSI
BENCES SUSI
MALAM
DI SUDUT KOTA (BAB 1)
“Coba misi-misi.”
“Saya banci masih suci.”
“Nambore eike Susi.” (Nama saya Suci.)
“Banci paling seksi.”
Icik ... icik.
Bunyi kecrekan seirama dengan lagu yang
melantun dari seorang perempuan. Bukan,
seorang laki-laki kalau menilik dari suaranya yang kemayu, di bawah lampu
merkuri penerang jalan.
“Jengjong
gengges bences ... uh.” (Jangan ganggu
banci ... uh.)
“Jengjong gengges bences ... ih.” (Jangan ganggu banci ... ih.)
Malam masih terasa hangat dari sisa
panas matahari yang melekat di aspal jalan. Tampak lalu lalang pemburu berbagai
makanan, mulai dari otak-otak dengan kuah taoco, hingga pempek kapal selam.
Hal yang biasa terlihat di sudut Kota
Sungai Liat, yang terus bersalin dengan banyak lampu di setiap sudut jalan, tak
jauh dari Tirta Loka.
Setengah malam belum genap diputar,
silih berganti pembeli datang dan pergi. Jalanan makin benderang oleh sorot
lampu gerobak. Begitu juga dengan satu-satunya warung tenda yang berdinding
spanduk bergambar ikan lele.
“Situ panggil-panggil.”
“Suit-suit centil.”
“Situ suka usil.”
“Ih, benci.”
“Eike banci Brebes.”
“Cantik-cantik pedes.”
“Ih, situ senyum-senyum gengges.”
“Eike pimpong cumi gemes.” (Saya kepingin cium gemas.)
Pluk!
Selembar uang jatuh ke dalam wadah
plastik yang terlihat sengaja diletakkan tak jauh dari kakinya yang terlihat
dipenuhi bulu.
“Ih, kamandose kitring capcup, ha ha ha.”
(Ih, ke mana kita pergi, ha ha ha.)
Pasangan yang terlihat mesra dalam indah
asmaraloka hanya melempar senyum seraya melewati satu wadah plastik yang ada di
depan lelaki bertopi dengan baju putih lusuh, terlihat kumal dengan beberapa
bagian penuh dengan jahitan kain tambal.
Pluk!
Lembar rupiah kembali mengisi plastik, saat
satu lelaki yang menenteng hak lo pan melintas.
“Abang, kapan bawa Eike pergi,” ucapnya
seraya mencolek pinggang, terlihat dibuat-buat gemulai.
“Wew ka ni, ade ge jeruk nak makan
jeruk,” (Aduh kami ini, mana ada jeruk
makan jeruk,) balas lelaki berpakaian necis.
“Ih, sebel! Sebel Eike,” ucapnya dengan mengentak
kaki.
Sejenak dia menjatuhkan pandang kepada
lelaki yang sedari tadi menengadahkan tangan meminta. Dilihatnya sejenak, wadah
itu masih kosong.
“Selain kejujuran dan kebaikan hati,
selanjutnya adalah karya, yang hargai,” ucap lelaki tua itu mendongak, lalu memandang
kecrekan yang menghasilkan suara berisik.
“Namaku Susi. Bahkan aku sedang tak
terlihat berkarya, suaraku tak merdu.”
“Buhuk ... uhuk!” Dibalas batuk.
Buru-buru Susi mengeluarkan isi tas,
menyodorkan botol air minum kemasan.
“Eike sendiri tidak tahu, sepertinya
mereka yang lewat tak melihat wadah ini.” Susi duduk bersila, hal yang berbanding
terbalik dengan pakaian yang dia kenakan.
“Kenapa tak mengemis siang hari, ke
pasar atau ke terminal?”
“Susah, Buhuk ... uhuk, Sungai Liat
sudah tak lagi bersahabat dengan pengemis, orang-orang berseragam akan memaksa
pemilik kaki buntung untuk seketika beranjak, berlari saling kejar.”
“Kamu lihat itu, hutan kota, bahkan harus
terlihat bersih dari daunnya yang gugur.” Lelaki itu menyerahkan kembali botol,
bahkan tak terlihat dengan jelas sewaktu dia menenggak separuh isinya.
“Ah, aku sendiri seperti daun kering
itu, melayang turun dan tak tahu harus jatuh di sisi mana,” timpal Susi,
melepas rambut palsu yang tadi terlihat
panjang sebahu. Dia sudah lagi memedulikan gerak gemulai serta nada
kemayu ucapannya tadi.
“Aku bingung, Aku ini laki-laki,”
ucapnya menoleh kepada lelaki dengan kedua pipi mengendur, “atau perempuan?”
“Buhuk ... uhuk. Tidak penting, menjadi
laki-laki pun, kau akan melihat dirimu perempuan saat di depan cermin rias.
Mengukuhkan dirimu perempuan, ada sesuatu yang tak bisa kau sembunyikan dari
balik pakaianmu.”
Susi hanya tertunduk mendengarnya.
“He? Namaku Pakde Puspita. Panggil aku
Puspita.”
Sontak Susi memandangnya. Di matanya,
Puspita tidaklah terlihat seperti dirinya, dia sungguh hanya lelaki baya.
“Kaget?”
Susi menggeleng dan masih bungkam.
“Kau hanya melewati malam dengan terus
duduk di sini.”
Susi mendengus, seakan ada beban berat
yang dia pikul sedari tadi. Setelah beranjak, dia kembali mengenakan rambut
palsu dan kembali memainkan alat untuk mengais rupiah.
Icik ... icik ... icik.
“Aku tak mau jikalau aku dimadu.”
Pulangkan saja kepada orang tuaku.”
“Abang! Culik eike dongse?”
Lelaki yang melintas hanya tersipu malu
melihat tingkah Susi, seraya melempar uang yang sebelumnya sudah diremas.
Jalanan makin ramai, bising kendaraan
serta kelakar tawa membaur, menelan suara Susi yang melebur. Di ujung jalan
lain, tampak beberapa waria yang mulai berdatangan dan mulai menggoda para
pelintas.
“Sudah malam, sebaiknya yey pulang
saja.” Susi berjongkok tak senonoh. Dikumpulkannya lembaran pecahan dua ribu
yang ada di plastik.
“Indang beti yey.” (Ini buat kamu.)
“Eike pamit, eike mau pulang.” Setelah
meletakkan lembar rupiah di hadapan Puspita, dia bergegas meraih bungkusan
plastik hitam yang sejak kedatangannya dia letakkan di sisi belakang trotoar.
“Tunggu!” Puspita bangkit, lalu tergopoh
mengejar Susi.
“Tunggu! Mau ke mana kamu malam-malam
begini, he?”
“Terserah eike,” jawab Susi seraya
mengibas tangan untuk melempar rambut ke belakang.
“Aku melihat wajahmu tak seceria lagu
yang kau nyanyikan.”
“Ada sesuatu yang kamu pikirkan?” imbuh
Puspita.
“Eike mau mencari teman eike.”
“Ke mana, ha?” Puspita mendongak ke
atas.
Benar apa dugaan Puspita, Susi
berkali-kali membuang napas panjang.
“Pakde berterima kasih dengan ini.” Menunjukkan
uang pemberian Susi.
“Iya,” balasnya pendek.
“Siapa temanmu?” Pakde Puspita melirik
dua waria yang saling tertawa, seakan menertawakan mereka berdua.
“Ah, sudah, ih.” Susi berlalu merasa
mereka terus membicarakannya dengan terus berbicara dengan Pakde Puspita.
“Mau ke mana? Tunggu.” Pakde Puspita
kembali mengejar Susi.
“Eike sudah bilang berkali-kali, ya?
Eike mau mencari teman eike.”
“Iya, ke mana? Sebaiknya kamu ikut aku,
pulang.”
“Pulang, banci pulang jam begini, ih ...
teweus pewong keles.” (... ditertawakan
perawan kali.)
“Siapa temanmu itu? Biar besok kita cari
berdua.”
“Apose? Ha ha ha.” (Apa? Ha ha ha.) Tawa itu terdengar suara laki-laki.
“Yey tidak malu menemani banci?”
Puspita terdiam, lalu menggeleng.
“Tidak, aku juga punya anak sepertimu.”
“Banci?”
Puspita tak menjawab.
“Mangkalita dimandose?” (Pangkalannya di mana?)
“Sudah tua?” cecar Susi.
“Tidak, sepantar denganmu sepertinya,
besok ulang tahunnya yang ke dua puluh satu.”
Duar!
Langit yang cerah mendadak mengeluarkan
suara gemuruh, angin dingin mulai merendah, menandakan tak lama lagi hujan.
“Ayo,” ajak Puspita.
Benar, rintik hujan mulai turun, dan
Susi harus ikut untuk mencari tempat berteduh, kalau tak mau maskara yang dia
kenakan luntur beserta bulu matanya akan terlepas.
Keduanya lalu memutar jalan,
meninggalkan remang sudut kota dengan menyusuri jalan kecil yang tepat diapit
oleh deret gedung sarang walet.
PENGHUJUNG
DESEMBER (BAB 2)
“Masuk.” Puspita menoleh ke belakang,
tampak Susi berdiri ragu dengan terus menenteng plastik hitam.
“Ini rumahku, ayo.”
Terpaksa Susi menerima tawaran itu,
mengingat tanah di belakangnya sudah basah oleh air yang turun dari ujung seng.
Susi nanar memperhatikan ruangan
sekitar, atap seng yang sudah berkarat, dinding tripleks sebagian bolong. Tetapi itu semua menjadi tak penting, ketika
tiba-tiba dia mencium aroma menyeruak yang begitu menyengat.
“Uek! Uek.” Nyaris isi perutnya keluar,
saat bau busuk makin santer dan tajam tercium.
“Ih, jijay.” (Ih, jijik.)
“Duduk.” Puspita melangkah melewati
Susi, menutup pintu dan menguncinya.
Susi hanya berdiri, matanya lekat
menatap sosok yang terbungkus dua kain sarung. Dahinya berkernyit, saat bau itu
memang berasal dari atas tempat tidur.
“Anakku, seperti yang aku katakan tadi.”
Puspita memilih duduk di kursi yang ada di hadapan Susi.
“Duduk,” ulangnya untuk kedua kali.
Andai di luar hujan tak makin deras,
pastilah Susi memilih untuk segera meninggalkan rumah kumuh ini.
“Sekong?” (Sakit?) Hanya itu yang bisa dia tanyakan.
Puspita menggeleng.
“Dia hanya tertidur, hujan deras membuat
dia hanya merapatkan penutup tubuhnya.”
Susi lantas menutup hidungnya, saat di
rasa bau busuk makin tebal dan hanya berputar-putar di ruangan ini.
Puspita hanya memandangi Susi yang mulai
tak nyaman, lalu bangkit dan menuju ke salah satu ruangan yang ada di
belakangnya.
Dikejar rasa penasaran, Susi beranjak
menuju tempat tidur dengan kelambu kumal, tangannya tak lepas dari hidung.
Lama dia mengamati sosok anak Puspita.
“Biarkan dia, nanti juga dia akan bangun
sendiri.”
Sontak Susi terkejut, lalu cepat kembali
menuju kursi.
“Ini.” Puspita memberikan album foto
yang sedikit berdebu.
“Untuk apa?” Susi masih tak mengerti
dengan semua ini, tetapi tetap dia membuka lembar demi lembar foto yang
melekat.
“Di situ semua alasanku, kenapa aku tak
pernah membenci banci.”
Jantung Susi berdegup kencang, bukan
karena ucapan Puspita, tetapi sosok yang ada di dalam foto, tampak satu
perempuan dengan anak kecil laki-laki
memenuhi tiap lembar album.
“Dia anakku, dan perempuan itu adalah
aku. Puspita, nama yang sudah aku buang, aku kembali harus mengenalkannya
kepadamu.”
Susi
memandang Puspita dengan tatap tak percaya.
“Mak ...
maksudnya apa ini?”
“Tidak, tidak ada maksud yang
tersembunyi. Ini semua nyata, nyata seperti apa yang kamu alami.”
Susi makin tak mengerti apa yang Puspita
ucapkan.
“Perempuan di foto itu tidaklah benar-benar
seorang ibu. Dia yang menjadikan aku sebagai ibunya.” Puspita menoleh ke arah
tempat tidur
“Dia aku temukan di salah satu jalanan
sudut kota, malam itu. Tubuhnya sangat pucat oleh angin malam. Sejak saat itu
aku memutuskan untuk mengasuhnya, menjadi ibu dengan tubuh laki-laki, bahkan
aku tak menyebut diri ini bapak, meski aku seorang laki-laki.”
“Aku yang tak pernah mengandung, yang
tak pernah suka terhadap perempuan, harus kelabakan saat menurunkan panas
badannya.”
Puspita meraih tangan Susi. “Dengar, aku
bahkan harus berjuang mengalahkan diriku sendiri, semua ini aku lakukan untuk
Mahesa, anakku.”
“Mahesa?” Ada riak tak percaya di wajah
Susi.
“Iya, Mahesa.” Seiring Puspita
mengembuskan napas panjang, Susi melepas genggaman itu dengan menarik tangan
perlahan.
“Aku sangat mencintainya. Mahesa kecil
yang menjelma menjadi matahari di hidupku, mengubah bayangan perempuan menjadi
laki-laki, kembali pada diriku sendiri.”
“Aku memutuskan untuk mengakhiri menjadi
waria, dari seorang ibu berubah menjadi bapak. Meski berat, aku harus
melakukannya.”
“Mahesa tak boleh menjadi seperti aku.
Dia harus lurus melangkah menjadi laki-laki seperti nama yang aku sematkan,
meski nyatanya tidak.”
“Mak ... maksudnya apa, Puspita?”
“Memasuki usia lima tahun, Mahesa
terlihat sedikit berbeda, apa yang aku takutkan ternyata menjadi mimpi buruk.”
“Oh.” Susi mengusap air matanya yang sudah berlinang.
“Terkadang, aku sempat berpikir, kalau
Tuhan tak pernah adil kepada makhluknya.
“Meski begitu, aku tetap menyayanginya.
Tak banyak yang bisa dia buat, hanya dengan menjadi sepertimu, kami saling
bahu-membahu, aku tetap membiarkan dia dengan kecrekan, sementara aku hanya
menjadi kuli di pasar.”
“Kami sudah belajar menerima apa yang
sudah digariskan Tuhan. Terkadang aku tak bisa menahan air mataku, saat dia
pulang dengan derai air mata, hatinya sering terluka saat semua orang makin
menyudutkan keadaannya menjadi waria.”
“Bahkan semua belum berakhir, sepertinya
Tuhan belum cukup untuk menguji hati ini.” Puspita mengusap sudut mata, ada
yang basah di sana.
“Malam itu, dia pulang dengan digotong
beberapa orang, tubuhnya sudah bersimbah darah.”
“Hu hu hu.” Justru Susi yang lebur dalam
sengguk tangis.
“Seseorang telah merenggut Mahesa
dariku. Ini penghujung tahun, Desember. Bulan di mana aku menemukan Mahesa, dan
aku hanya bisa mengemis untuk mengabulkan satu permintaannya.”
“Kemeja?”
“Dari mana kamu tahu?” Tak kalah
terkejut Puspita mendengarnya.
“A, aku ... aku hanya menebak saja.”
Susi mengusap ujung mata menggunakan
lengan.
“Ya, kemeja lengan panjang,” imbuh
Puspita.
“Aku bersumpah, bila aku menemukan orang
yang telah melukai Mahesa, aku akan melakukan hal sama, seperti yang telah dia
lakukan kepada anakku.”
“Aku minta maaf, Puspita.”
“Untuk apa, untuk apa kamu meminta maaf
kepadaku, aku bahkan yang harus mengucapkan terima kasih, karena kamu telah mau
mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu begitu baik, Susi.”
“Hu hu hu.” Susi sudah tak sanggup membendung
rasa yang bergolak di dadanya, segenap rasa itu tumpah ruah dalam derai air
mata.
“Aku rasa cukup, bagaimana denganmu?”
Susi menggeleng kuat, seakan tak dia tak
mau mengambil kesempatan ini, kesempatan untuk menceritakan siapa dirinya.
“Andai Mahesa terbangun, tentu kamu akan
memiliki seorang teman yang mungkin bisa kamu jadikan tempat bercerita, Tidak
apa, tidak apa-apa kalau kamu tak mau berbagi cerita denganku.”
“Boleh aku melihatnya?”
Puspita mengangguk, menepis keraguan di
hati Susi.
Susi bangkit, dan hanya berdiri dengan
tubuh bergetar, nyatanya tangis tak jua mengantar langkahnya untuk mendekati
tempat tidur.
“Mendekatlah, aku harap dia terbangun
dan melihatmu, aku bahkan sangat berharap kalau kalian akan segera menjadi
teman.
Puspita juga beranjak. “Di belakang
mungkin masih tersisa gula dan teh, aku harap itu bisa menghangatkan tubuh kita
setelahnya.” Kemudian melangkah ke dapur.
****
“Hu hu hu.” Makin dalam Susi terbenam
dalam kesedihan, setelah penutup tubuh Mahesa yang dia buka.
“Maheswari, aku minta maaf, hu hu hu.”
Dengan terus bersimpuh di lantai, tak lepas tangan Susi menggenggam
tangan Mahesa yang sudah membengkak, bau
busuk yang jelas tercium sudah tak lagi dia pedulikan.
“Maheswari ... oh, hu hu hu.”
Bak diseret ke waktu ke belakang, sejuta
penyesalan membungkus perasaannya.
****
“Eike
sudah katakan samsara, Maheswari! Jangan kanua dekati lagi Mas Jaka!”
Plak!
Satu tamparan kuat mendarat di pipi
Maheswari.
Plak!
Tamparan kuat membalasnya.
“Yey
pikir yey sapose! Diana tak sukria samsara kanua, bances kaleng!” (Kamu pikir
kamu siapa! Dia tak suka sama kamu, banci kaleng!)
“Jelas
eike terlihat lebih seksi, kedua kakiku lebih mulus dibanding kakimu nyang
berbulu itu. Ih, jijay.”
“Bahkan
kami berdua sudah sepakat akan hidup serumah!”
“Cukup!” Susi menutup
kedua telinga dalam derai, hatinya sudah sejak tadi berai.
“Mas
Jaka, jelas-jelas tak menyukaimu! “
“Cukup
Maheswari!”
“Kamu
tahu! Begitu wangi aroma keringat kami ketika menyatu, kamu tahu!”
Susi yang terus melipat lutut dengan
kedua tangan yang tak lepas dari telinga bangkit. Terlintas sesuatu di dalam
tasnya, sesuatu bermata tajam yang kerap dia gunakan untuk mengancam saat
lelaki yang telah menyatukan bagian tubuhnya memilih untuk membayar dengan
alasan lupa membawa dompet.
“Yey
telah merebutnya dariku, Maheswari!” Dengan cepat Susi melesakkan satu
senjata hunus.
Jleb!
“Akh!”
Terlambat bagi Maheswari untuk
menghindar, bahkan pisau itu masih bersarang di perutnya.
“Susi
... Susilo Lelana. Kau ... kau.”
Jleb!
Tusukan kedua tepat menghunjam leher,
membuat Maheswari yang limbung langsung terkapar.
“Eike
benci kanua, Mahesa! Eike benci!” (Saya benci kamu, Mahesa! Saya benci!)
Jleb!
Jleb!
HUJAN
DESEMBER (BAB 3)
“Akh!”
“Akh!”
Susi mencoba berdiri, usaha itu hanya di
dalam angan, kakinya bak lumpuh seketika. Mayat yang telah membusuk dengan
seluruh tubuh sudah membengkak itu membuatnya bagai tak berpijak di bumi.
“Akh! hu hu hu.”
Makin histeris setelah mengetahui luka
yang dia buat telah merobek separuh perut, nyaris terburai isinya karena
kondisi kulit yang telah melepuh membusuk.
Dengan gontai dia menuju plastik yang
ada di atas kursi, meraihnya lalu kembali ke tepi tempat tidur.
Dia keluarkan sebuah kotak dalam balut
kertas kado, sejenak dia menunduk, dalam samar air mata, masih bisa dia melihat
sebuah tulisan dengan nama Mahesa Maheswari.
Bahkan kini, dia harus membuka sendiri
kado yang telah dia bungkus rapi, membukanya, dan sebuah kain putih masih di
dalamnya.
“Hu hu hu.”
Butir-butir hangat jatuh membasahi
kemeja putih yang telah dia persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
****
“Nek, bulan depan eike ulang tahun. Eike
pepita belalang kemeja putih buat Bapak.”
“Bukannya yey yang ulang tahun,” balas
Susi menggantung kaki dengan masih mengenakan sepatu tumit tinggi.
“Benar,
tetapi apa gunanya untukku. Eike ingin sekali, Bapak mengenakan baju lengan panjang
putih.”
“Kapan-kapan
aku boleh main ke rumahmu, ya? Sekalian kenalkan aku dengan bapakmu. Sapose
tahu bisikan eike makarena juga endang lekong, ha ha ha.” (Siapa tahu bisa aku
makan juga itu laki, ha ha ha.)
“Begindang
deh, ah.” (Begitu ya, ah.)
“Ha
ha ha.”
“Yey
lihat sekitar, di sudut kota ini kita sudah berteman hampir lima tahun, tetapi
rumahmu saja, eike tak tahu,” sambung Susi, masih menyisakan tawa.
****
“Siapa kamu sebenarnya? Benda apa di
tanganmu, ha!”
Susi sontak terkejut saat Puspita sudah
berdiri di belakangnya.
“Siapa kamu!”
Susi hanya menunduk seraya memegang
kemeja yang sudah dia keluarkan sebelumnya, tubuhnya berguncang seiring sengguk
isak kian keras terdengar.
Prang!
Seketika dua gelas jatuh dan berserak di
lantai beserta satu nampan kecil.
“Kau yang telah membunuh Mahesa? Kau
yang telah membunuh anakku? Katakan!”
“Maafkan aku, Puspita. Hu hu hu.”
Puspita segera berlari menuju pintu,
membukanya, lalu berlari menerobos lebat hujan yang tak kunjung reda.
“Akh!”
“Hu hu hu.”
Susi menangis seraya bersujud di lantai,
kemeja putih masih dalam genggaman.
“Maafkan aku, maafkan aku!”
“Aku menyesal, sungguh menyesal telah
gelap mata waktu itu, oh. Hu hu hu.”
“Puspita!”
Segera Susi mengejar Puspita, meski
deras hujan mengaburkan pandangannya.
****
Rintik hujan masih tersisa dari hujan
semalam. Susi hanya sesenggukan saat kerumunan orang mulai meninggalkan rumah
kumuh di sudut perkotaan.
Kuat dia menggigit bibirnya sendiri,
saat orang terakhir melangkah mengiringi keranda yang mengangkut jenazah
Mahesa.
“Bapaknya Maheswari kok tidak kelihatan,
ya?”
Tak memedulikan satu perempuan yang
berdiri di sampingnya, Susi mengambur pergi dengan berlari.
Melewati pasar dengan satu lambang
tudung saji, Susi terus berlari dengan mata berderai, puluhan mata menyaksikan
itu. Hingga tepat di bawah tugu Adi Pura, dia menumpahkan semua rasa yang
berkecamuk.
Bising kendaraan yang melintasi bundaran
tugu Adi Pura Sungai Liat, bak kalah keras oleh tangis Suci. Semua terasa
lengang sejenak, hingga kembali ramai oleh orang-orang yang berlarian menuju
tengah jalan.
“Ada yang tertabrak!”
Suci jelas mendengarnya.
“Pengemis! Pengemis tua tertabrak
mobil!”
Susi sudah tak kuat beranjak, angannya
jauh melayang, rasa penyesalannya makin dalam memaku, terlebih kerumunan yang
menggotong pengemis tua bersimbah darah tepat melintas di hadapannya.
“Puspita,” gumamnya seraya menyandarkan
kepala pasrah.
“Maafkan aku, maafkan aku.”
Hujan gerimis mengundang puluhan burung
walet untuk saling berkejaran, tepat di atas tugu. Tak tahu harus berbuat apa,
Susi membiarkan rintik membasahi tubuhnya. Andai dia bukan banci, andai dia tak
harus terbakar cemburu, andai dia tak pernah mendengar cerita Puspita,
“Kamu pernah menanyakan, kamu lelaki
atau perempuan?”
Sontak Susi menoleh ke belakang. “Pakde
Puspita! Benarkah ini Pakde Puspita!”
“Akh!” Susi berteriak kencang,
menumpahkan semua rasa maaf dalam derai tangis.
“Sudah, sudah. Yang lalu biar berlalu.”
“Susi minta ampun, Puspita. Susi ...
Susi ....”
“Jangan minta ampun kepadaku. Ini, benda
yang akan menunjukkan siapa kamu.” Puspita memberikan kain sarung yang masih
terlipat.
“Waktu zuhur akan segera tiba, di sana
kita akan mengadu. Jelas kau tak akan pakai mukena, ‘kan?”
“Oh, Pakde Puspita.”
Segera Susi memeluk Puspita, dalam erat
dekap, Susi berjalan dengan terus memeluk lengan Puspita, seakan tak ingin lagi
terpisah, hingga suara klakson mengejutkan keduanya.
Tittttt!
Brak!
Dalam sekejap, orang-orang kembali
berhamburan ke tengah jalan, dua korban tergeletak dengan bersimbah darah.
TAMAT
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment