Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

CERITA LEPAS: KLOEWOENG 2



 

KLOEWOENG 2

Perempuan itu hanya bisa terisak, seraya menutupi separuh bagian bawahnya dengan selimut, sementara seorang lelaki duduk beradu punggung menyangga kepala.

“Maafkan aku, Dik.” Hanya itu yang terucap dari mulut lelaki bertelanjang dada, dia menoleh, punggung mulus sang perempuan tampak tersingkap tak tertutup selimut.

“Aku belum bisa,” tambahnya.

“Sampai kapan, Mas?”

Hembus napas terdengar berat nan panjang, itu sebuah jawaban.

Dengan kedua tangannya, wajah lelaki itu dia benamkan dalam-dalam, seakan ingin mengubur pula rasa kecewa.

“Tiga bulan, Mas … tiga bulan,” ucap perempuan itu, yang tak lain adalah istrinya, terdengar lirih bercampur isak.

“Kalau pernikahan kita hanya untuk menutupi semua rahasia Kang Mas, lebih baik aku minta cerai,” sambungnya, lalu membalikkan badan.

Semakin terdengar dengus panjang dari sang suami.

“Aku perempuan, Mas? Istrimu.”

“Sampai kapan akan terus begini, aku juga butuh nafkah batin, Mas.”

Suasana hening sesaat.

“Aku masih butuh waktu,” ujar sang suami, terdengar patah arang.

“Ah,” desah sang istri, kecewa.

“Kamu bisa minta cerai, kalau kamu mau,” katanya seraya berbalik menatap mata istrinya.

“Katakan Mas, katakan, apa yang membuatmu tak terlihat seperti wujudmu yang gagah ini, ha, apa? Apa?”

“Apakah kau tak menyukai istrimu ini, apa kau tak bernafsu dengan tubuh ini, ha?” sambungnya.

“Bukan begitu maksudku,” balas sang suami.

“Lalu apa? Kamu homo, iya! Kamu homo?”

“Jangan katakan itu, Dik! Aku lelaki normal!”

“Terus? Kenapa belum pernah sama sekali kita berhasil melakukannya? Kenapa!” sang istri bangkit duduk, seraya membetulkan letak selimut agar terus menutupi bagian tubuhnya.

“Aku … aku … hanya.”

“Hanya apa? Menikahi aku agar semua orang tahu Kang Mas lelaki normal, ha!”

“Tutup mulutmu, Dik!”


****

“Berapa sisa yang ada di atas palet?” tanyaku.

“Enam puluh,” jawab Kadir, seraya menyerahkan catatan kecil berisi coretan teli.

Aku duduk di balik meja dengan hasil produksi selama delapan jam ini, dan itu harus sudah selesai sebelum para Kerani yang lain datang menggantikan kami.

Bakir, kepala gudang, baru saja masuk, bersamaan dengan empat puluh kuli. Kepala gudang yang juga berasal dari Kerani, setelah mendapat persetujuan dari tiga kepala sif, serta mendengarkan usulan empat mandor, menggantikan Pak Rendra, kepala gudang sebelumnya, pabrik baru, sebuah pabrik yang juga berproduksi menghasilkan tepung tapioka.

Aku terus menjumlah, ada empat lembar kertas yang sudah di garis oleh Anwar, satu temanku yang sudah pergi ke kompresor untuk membersihkan diri dari sisa debu sagu.

Lalu lalang para kuli yang sudah berganti pakaian, jam delapan tepat, mereka harus meninggalkan corong-corong itu, untuk digantikan oleh empat puluh kuli lainnya, dua belas jam jatah satu rombongan, yang dikepalai oleh mandor, menyisakan tumpuk karung bersisi tepung tapioka di atas palet.

“Ini gaji lembur, kamu tanda tangani saja di sini,” kata Bakir, menyodorkan selembar kertas berisi daftar nama, namaku paling atas, di sampingnya dengan jabatan yang tak begitu penting bagiku, hanya sebagai kepala Kerani, aku malu membacanya, terbayang seketika wajah Kadir dan Anwar, akan selalu putih oleh debu sagu, karena aku juga akan segera menuju kompresor untuk membersihkan diri, sebelum mampir sejenak ke mes, mandi.

Aku hitung uang pemberian atasanku, empat puluh delapan ribu, pas.

"Kang, No.” Sebuah bisik di telinga

Aku segera menoleh ke belakang, satu kuli tampak menyerahkan sebuah kertas.

“Apa ini?”

“Aku dapat titipan dari mandor,” ujarnya pelan, nyaris tak terdengar oleh ramai cakap para kuli.                                                                                         

Tanpa membukanya, aku segera memasukkannya ke saku celana, lalu pergi dari kerumunan para kuli yang melingkari meja Bakir.

****

Gemuruh ayakan serta derit rotor, deru blower raksasa yang digerakkan oleh dinamo, sudah tak lagi terdengar, aku sudah menjejakkan kaki melewati pagar dorong nan besar, di sisi kiri dan kanan, berderet mobil truk yang mengantre untuk segera lekas naik timbangan, untuk menghitung bobot beban.

Sesampainya di pinggir jalan, aku segera memasuki angkutan Kota yang sudah menunggu, para karyawan pabrik yang telah berganti sif adalah para penumpang setia angkutan ini.

Aku duduk pada bagian belakang, menghadap satu perempuan yang membuang wajah ke jendela.

Teringat akan benda yang ada di saku, aku segera meraih dan membukanya, aku sedikit tersenyum mendapati tulisan latin di atas kertas, seperti cakar ayam, meski begitu, aku masih bisa membaca pesannya.

Seketika wajahnya hadir membayang, melebarkan senyum ini, tak lama terdengar deru mobil melaju, melantun lagu dari sepiker yang ada di bawah bangku, aku kenal lagu ini, sebuah lagu yang dibawakan oleh Poppy Mercury.

Kau memang jauh di mata.

Namun dekat di hati.

Lautan pulau menghalangi.

Namun tak merintangi.

Cintaku tetap milikmu.

Cinta memang tak bermata.

Dan tak punya telinga.

Namun tetap di dalam dada.

Menyatukan rasa.

 

Bila luka datang melanda.

Dunia rasanya gelap gulita.

Bila suka mendera jiwa.

Bahagia. 

Suatu hari nanti.

Kita akan berjumpa.

Bintang akan bersinar.

Dan rembulan tersenyum.

Di antara kita.

Suatu hari nanti.

Jalan pasti terbuka.

Walau kita berbeda.

Tak ada paksa dan walau.

Itu bukan Problema.

Cintaku tetap milikmu.

Cinta memang tak bermata.

Dan tak punya telinga.

Namun tetap di dalam dada.

Menyatukan rasa.

Angkutan Kota terus menjauh dari gerbang pabrik, meninggalkan secarik kertas di pinggir jalan, sebelum tadi aku meremasnya.

****

Bukan yang pertama, ini sudah kali ke tiga aku melewati jalan batu kasar yang aku tapak, terasa begitu lengang, menghadirkan damai jiwa, mengusir sisa pekak serta gemuruh mesin-mesin penghancur singkong yang tak pernah berhenti selama dua puluh empat jam.

“Bade teng pundi, Kang?” (Mau ke mana, Kang?)

“Griyone, Kang Sukamto,” (Rumahnya, Kang Sukamto) jawabku, kepada satu lelaki yang menghentikan gayuh sepeda batangan.

“Kulo teraken nopo pripun?” (Saya antarkan atau bagaimana?)         

“Mboten usah, mang lajengakemawon, kersane kulo mlampah mawon.” (Tidak usah, silakan lanjut, biar saya berjalan saja)

“Nggeh pun dos niku, kulo rumiyen nggih?” (Ya sudah, saya duluan ya?)

“Nggeh, monggo, monggo.” (Ya, silakan, silakan)

Aku tersenyum mengantarnya berlalu dari samping kananku, tak heran bagiku bila mendapati seseorang berjalan, maka siapa saja akan menanyakan tujuan, menawarkan bantuan untuk diantar, ah, sebuah kebiasaan yang selalu tertanam bagi orang-orang desa yang masih menjunjung adab, ya, aku berani bilang begitu bukan tanpa alasan.

Indraloka, nama desa ini, aku sudah tak asing dengan namanya, dua malam aku pernah menginap di rumah Kang Sukamto, dengan ikut mobil truk jemputan kuli pabrik, malam pertama sewaktu ada hiburan layar tancap, kebetulan waktu itu aku sif sore.

Halaman rumah yang ditumbuhi jambu bangkok, sudah terlihat dari tempatku melangkah, dua anak kecil berlarian main kejar-kejaran, lalu hilang saat satu berlari masuk ke dalam rumah, lalu tak lama kemudian satu lelaki ke luar dengan menggendong salah satunya.

“Sudah Mbah bilang toh? Jangan lari-lari,” ujarnya seraya mencoba menenangkan anak kecil bercelana jeans pendek dalam gendongan, sementara satu anak yang tadi terlihat mengejar bergelayut d, menarik-narik sarung poleng yang tergulung di pinggang lelaki yang hanya mengenakan singlet.

Aku masih berdiri dengan tersenyum, sesekali menggaruk kepala bagian belakang, keras suara tangis anak dalam gendongan tak menyadari kedatanganku.

“Cup, cup! Sudah, sudah, itu … itu ada gajah dimakan cecak,” ujarnya seraya menunjuk langit, membuat anak itu menghentikan tangis sejenak.

“Dasar tukang bohong.”

Kulihat dia segera berbalik.

“Eh kamu, sudah dari tadi sampai?”

Aku tersenyum lalu jongkok, mengulurkan kedua tangan, berharap satu anak kecil yang terus bergayut di kaki itu berlari dalam pelukan.

“Sana salin dulu sama Pakde,” katanya, tetapi itu semakin membuat anak itu membenamkan wajah ke sarung.

“Pakde punya ini? Mau?”

Sejenak dia menoleh, lalu menggeleng menolak sebatang permen panjang yang aku berikan.

“Ayo masuk, pasti kamu mengantuk sekali, biar nanti dibuatkan kopi, ayo masuk,” ajaknya.

“Sengaja aku titip surat untukmu, takutnya kalau titip omongan, kamu tidak mau datang ke sini.”

“Ah! Mana mungkin aku tak datang,” jawabku, lalu aku menghempaskan bokong di bangku kayu.

“Le, bawa adikmu ke belakang sana, bilang sama Mbah, suruh buat kopi, ada dayoh agung, sudah sana.”

“Aku sudah izin dengan Bakir, untuk tak ke pabrik, selama dua hari,” tambahnya.

Aku hanya menguap, berat sudah kelopak mata ini, terdengar ramai di dapur, terlihat beberapa ibu-ibu dari sela gorden pintu yang menjurus lurus ke belakang.

Tak lama kemudian satu perempuan datang dengan dua gelas kopi lengkap dengan tatakan lapik.

“Siapa ini, Kang?” aku bertanya, melempar senyum ke arah perempuan berambut panjang yang meletakkan gelas di hadapan kami.

“Adikku, yang dari Rawa Jitu.”

Dengan setengah mengangguk, perempuan itu mengulurkan tangan ke padaku, aku membalasnya, lalu dia berlalu tanpa menyebutkan nama.

“Baru datang kemarin sore, Tuti … panggilannya.”

“Kamu mau mandi dulu apa bagaimana? Biar nanti aku suruh Mbakyumu untuk menyiapkan sarapan.”

“Tidak usah repot-repot, sudah seperti dengan siapa saja Sampean ini, Kang,” kataku, lalu meraih gelas yang aromanya akan selalu aku rindu kala pagi.

“Badanmu bau onggok, sudah sana mandi dulu.”

Benar apa yang dia katakan, bau limbah beserta onggok masih terasa menyengat, meski aku sudah salin dari pakaian yang aku simpan di dalam lemari, nyatanya tak menjamin lekat bau seperti tai kucing itu tak menempel.

Kulihat dia beranjak masuk ke dalam, meninggalkan aku sendiri di ruang tamu yang berdinding papan dilabur. Tak ada hiasan dinding, hanya sebuah televisi di atas rak, juga sebuah CD lengkap dengan deret VCD campur sari.

Aku menoleh saat dia sudah kembali dengan sebuah handuk, menyerahkannya kepadaku seraya berkata, “Mandi dulu sana, biar segar badanmu.”

“Ayo lewat sini.” Dia mengajak aku ke belakang, padahal aku berencana untuk memutar rumah saja, malu ada banyak perempuan di dapur.

****

Dia menyuruh aku untuk masuk saja ke kamarnya, celana panjang dasaran serta kaus lengan pendek sudah dia siapkan di atas kasur kapuk.

“Pak! Ajak makan,” kata istrinya, terdengar dari kamar, hanya terbatas gorden pintu.

Aku jadi malu sendiri, kedatanganku selalu disambut bak tamu agung, aku sendiri tak tahu kenapa, apa hanya karena televisi, VCD, uang yang aku berikan? Aku membantunya ikhlas, memberikan benda bergambar itu, tak lebih hanya alasan dia begitu baik terhadap aku, sudah seperti Kakak sendiri malah.

“Makan dulu, pasti perutmu belum diisi sejak semalam.” Dia muncul dari celah gorden.

Aku hanya tersenyum sewaktu dia menuju ke belakang, aku malah tak tahu harus berbuat apa di rumah ini, dua kali aku main ke sini, dua kali pula aku diajak olehnya ke rumah Rahmat, ya meski hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol, sebelum malam datang beserta mobil jemputan kuli.

Kamar yang begitu sederhana, tak begitu luas, dan entah kenapa, aku membayangkan sewaktu dia memaksakan tugasnya sebagai suami, di atas kasur yang sedang aku duduki.

Sukamto, itu namanya, yang aku ingat dia sudah berumur lima puluh lima, tiga tahun lebih tua dariku, tetapi sebagai kuli pabrik yang sudah bekerja hampir dua puluh tahun, membuat kulitnya yang hitam masih terlihat kencang, wajahnya juga, menegaskan gagah yang dimiliki, meski tak lebat seperti kumis di atas bibir ini, beberapa helai putih bulu kumisnya sudah terlihat di antara kumis kasarnya.

Aku selalu damai di sini, terlebih seharian aku akan ada di sisinya, ya, cukup dengan melihat dan duduk di sampingnya, aku sudah merasa bahagia, sesederhana itu.

“Loh, ayo, kok malah melamun di kamar!”

Aku terenyak, dia kembali datang untuk ajakan ke dua.

“Mbah … Agil mau sama Mbah,” rengek bocah itu lagi.

Aku hanya bisa berdiri di belakangnya saat dia menggendong bocah itu, membawanya ke bangku yang menghadap meja kayu.

“Duduk sini, mau makan?” tawarnya kepada bocah yang tadi menyebut nama Agil.

“Geser sini, Pakde itu mau duduk,” katanya seraya menggeser Agil.

“Biar saja toh, Kang,” celetukku.

Terlihat begitu perhatian sekali dia dengan Agil, aku sadar, Agil hanya anak Rahmat, tetapi dia memperlakukannya seperti cucu sendiri.

****

“Kalau mengantuk, kamu bisa tidur di kamar,” ucapnya, begitu melihat aku sudah menguap berkali-kali, terlebih dari siang aku belum tidur, aku harus kerja dobel sif, dari jam empat sore hingga jam delapan pagi, menggantikan Suwandi yang berhalangan, sudah biasa bagi kami sesama Kerani untuk bertukar sif.

Aku merebahkan badan di bangku kayu, sungguh mataku terasa berat, meski di luar matahari mulai terik, serta sesekali terdengar tawa keras dari belakang.

Dia datang dengan kipas angin, meletakkannya di kamar, aku masih bisa melihatnya, bahkan saat dia berdiri menatap dan berkata, “Loh, tidur di kamar, sudah tidak apa-apa, jangan sungkan-sungkan, tidur di kamar!” perintahnya.

Terpaksa aku menuruti ucapannya, meski aku canggung untuk tidur di kamar, terlebih dia beristri.

“Sudah sana!” ulangnya.

Aku bangkit lalu bergegas menuju kamar.

“Nanti kalau ada uang, ingin rasanya aku menambah kamar di sebelah dapur, biar tidak repot kalau kamu, adikku, mau menginap di sini,” ucapnya seraya membuka jendela kamar.

Angin dari jendela menerobos masuk, sudah cukup bagiku sebenarnya, tetapi dia sudah telanjur memencet tombol kipas angin, lalu pergi dari kamar, seakan ingin mempersilakan aku untuk segera tidur.

“Ayo! Jangan main di situ Le, ada Pakde mau tidur,” kata istrinya, dari balik gorden, aku tersenyum, aku merasa diperlakukan bak Raja di rumah ini.

“Sopo to Kang, dulur lanang po piye?” (Siapa itu Kang, saudara lelaki atau bagaimana?)

“Wong liyo, tapi wes nganggep Kakang karo aku.” (Orang lain, tetapi sudah menganggap aku Kakak.)

“Uwonge lo Jah, apikan.” (Orangnya loh Jah, baik.)

“Kerjo neng pabrik to yo’an?” (Kerja di pabrik juga?)

“Iyo, Kerani gudang, seng ngawasi rombonganku.” (Iya, Kerani gudang, yang mengawasi rombongan saya.)

“Oalah, nganteng yo uwonge.” (Ialah, ganteng ya orangnya.)

“Hus! Ngawor lek ngomong,” (Hus! Asal saja kalau bicara.)

Obrolan itu masih terdengar di telingaku, suara istrinya, dia, dan juga suara satu perempuan.

Berkali-kali aku membolak-balik badan, mataku yang tadi berat, kini tak mau juga terpejam, selebihnya tak lagi kudengar suaranya, hanya kikik beberapa ibu-ibu yang sedang membicarakan para suaminya.

Kembali aku menghadap dinding kamar, mencoba untuk lekas terbang ke alam mimpi, tetapi gagal.

Segera aku memejamkan mata, saat dia kembali masuk, napasku mendadak sesak, jantungku berdegup kencang saat dia melepas gulungan sarung, menggantungnya di sebuah paku, hanya dengan mengenakan kaus singlet, dia meraih sebuah celana dasaran hitam yang juga tergantung, lalu duduk di tepi tempat tidur.

Ternyata dia tak mengenakan celana dalam, bokongnya yang hitam tepat di hadapanku, lalu berdiri menyamping dengan memasukkan kaki ke lubang celana, meski tak utuh sepenuhnya, tetapi aku sempat melihat benda yang menggantung itu separuh.

Dia membuka lemari satu-satunya yang ada di sudut, di sisi kepalaku, mengenakan batik lengan pendek, andainya dia pada posisi ini sewaktu melepas sarung, mungkin aku akan bisa dengan jelas melihat memilikinya.

Dia sudah menyisir rambutnya yang ikal, menghadap cermin, tanpa menyadari aku yang tengah berpura-pura tidur, tak lama kemudian dia ke luar kamar.

“Mak! Aku mau ke rumah Wagiman,” ucapnya setengah berteriak.

Tak ada sahut dari istrinya, tetapi aku masih bisa menerka dari langkahnya, dia menuju pintu depan.

Aku membuka mata, telentang, aku lirik sarung poleng yang melingkar di paku. Seketika aku teringat isi tulisan di surat itu.

“Malam ini akan ada acara nyewu, datanglah, sebenarnya aku ingin mengatakan ini langsung kepadamu, tetapi lupa, hingga aku melihatmu sudah berjalan pulang meninggalkan pabrik. Kakangmu.”

Itu yang tadi membuatku tersenyum, lucu menurutku, padahal dia bisa menyampaikan kabar ini dengan titip lisan kepada anak buahnya, dan tak harus mengirim surat itu.

****

Istrinya terlihat sibuk di belakang, sementara aku hanya duduk di hampar tikar, lantai rumah ini tertutup tikar sepenuhnya, karena selepas bakda isya, acara kenduri akan dilangsungkan.

“Pakai peci, sekalian ganti celanamu, pakai sarung,” katanya, aku lantas menoleh.

“Begini saja kenapa,” balasku.

“Ya tidak patut, itu di kamar sudah disiapkan baju sama Mbakyumu.”

Aku tak kuasa menolak, aku pikir ada benarnya apa yang dia katakan, tak pantas rasanya duduk kenduri dengan mengenakan kaus.

Rasanya aku ingin tertawa, kamar ini seperti kamar kami berdua, bahkan baju yang disiapkan di atas kasur itu juga miliknya, sarung poleng seperti papan catur, ah, itu sarung yang dia kenakan tadi.

“Assalamualaikum.”

Suara tamu mulai berdatangan, dengan menghadap cermin, aku membetulkan letak peci yang kukenakan.

Aku langsung mengambil tempat duduk, kulihat dia mulai sibuk menyalami satu persatu tamu undangan, dia berdiri di dekat pintu dengan batik dipadu sarung Lasem.

“Tidak kerja?” tanya salah satu tamu, dia langsung duduk di sampingku, dia adalah Trimo, kuli pabrik juga.

“Kebetulan aku sif sore, tukar sif dengan Kerani lain,” jawabku.

Dalam waktu singkat, ruangan ini nyaris penuh oleh semua para undangan, tak lama berselang acara pun di mulai.

Aku melirik ke arahnya, juga duduk bersila dengan membaca Yasin, ada yang sesak di dada seketika, berharap sekali aku bisa pindah duduk di sebelahnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan di hadapan banyak tamu seperti ini.

Akan hadir di Wattpad

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search