CERITA LEPAS: KLOEWOENG 2
KLOEWOENG 2
Perempuan itu hanya bisa terisak, seraya
menutupi separuh bagian bawahnya dengan selimut, sementara seorang lelaki duduk
beradu punggung menyangga kepala.
“Maafkan aku, Dik.” Hanya itu yang
terucap dari mulut lelaki bertelanjang dada, dia menoleh, punggung mulus sang
perempuan tampak tersingkap tak tertutup selimut.
“Aku belum bisa,” tambahnya.
“Sampai kapan, Mas?”
Hembus napas terdengar berat nan
panjang, itu sebuah jawaban.
Dengan kedua tangannya, wajah lelaki itu
dia benamkan dalam-dalam, seakan ingin mengubur pula rasa kecewa.
“Tiga bulan, Mas … tiga bulan,” ucap
perempuan itu, yang tak lain adalah istrinya, terdengar lirih bercampur isak.
“Kalau pernikahan kita hanya untuk
menutupi semua rahasia Kang Mas, lebih baik aku minta cerai,” sambungnya, lalu
membalikkan badan.
Semakin terdengar dengus panjang dari
sang suami.
“Aku perempuan, Mas? Istrimu.”
“Sampai kapan akan terus begini, aku
juga butuh nafkah batin, Mas.”
Suasana hening sesaat.
“Aku masih butuh waktu,” ujar sang
suami, terdengar patah arang.
“Ah,” desah sang istri, kecewa.
“Kamu bisa minta cerai, kalau kamu mau,”
katanya seraya berbalik menatap mata istrinya.
“Katakan Mas, katakan, apa yang
membuatmu tak terlihat seperti wujudmu yang gagah ini, ha, apa? Apa?”
“Apakah kau tak menyukai istrimu ini,
apa kau tak bernafsu dengan tubuh ini, ha?” sambungnya.
“Bukan begitu maksudku,” balas sang
suami.
“Lalu apa? Kamu homo, iya! Kamu homo?”
“Jangan katakan itu, Dik! Aku lelaki
normal!”
“Terus? Kenapa belum pernah sama sekali
kita berhasil melakukannya? Kenapa!” sang istri bangkit duduk, seraya
membetulkan letak selimut agar terus menutupi bagian tubuhnya.
“Aku … aku … hanya.”
“Hanya apa? Menikahi aku agar semua
orang tahu Kang Mas lelaki normal, ha!”
“Tutup mulutmu, Dik!”
****
“Berapa sisa yang ada di atas palet?”
tanyaku.
“Enam puluh,” jawab Kadir, seraya
menyerahkan catatan kecil berisi coretan teli.
Aku duduk di balik meja dengan hasil
produksi selama delapan jam ini, dan itu harus sudah selesai sebelum para Kerani yang lain datang menggantikan
kami.
Bakir, kepala gudang, baru saja masuk,
bersamaan dengan empat puluh kuli. Kepala gudang yang juga berasal dari Kerani,
setelah mendapat persetujuan dari tiga kepala sif, serta mendengarkan usulan
empat mandor, menggantikan Pak Rendra, kepala gudang sebelumnya, pabrik baru,
sebuah pabrik yang juga berproduksi menghasilkan tepung tapioka.
Aku terus menjumlah, ada empat lembar
kertas yang sudah di garis oleh Anwar, satu temanku yang sudah pergi ke
kompresor untuk membersihkan diri dari sisa debu sagu.
Lalu lalang para kuli yang sudah
berganti pakaian, jam delapan tepat, mereka harus meninggalkan corong-corong
itu, untuk digantikan oleh empat puluh kuli lainnya, dua belas jam jatah satu
rombongan, yang dikepalai oleh mandor, menyisakan tumpuk karung bersisi tepung
tapioka di atas palet.
“Ini gaji lembur, kamu tanda tangani
saja di sini,” kata Bakir, menyodorkan selembar kertas berisi daftar nama, namaku
paling atas, di sampingnya dengan jabatan yang tak begitu penting bagiku, hanya
sebagai kepala Kerani, aku malu membacanya, terbayang seketika wajah Kadir dan
Anwar, akan selalu putih oleh debu sagu, karena aku juga akan segera menuju
kompresor untuk membersihkan diri, sebelum mampir sejenak ke mes, mandi.
Aku hitung uang pemberian atasanku,
empat puluh delapan ribu, pas.
"Kang, No.” Sebuah bisik di telinga
Aku segera menoleh ke belakang, satu
kuli tampak menyerahkan sebuah kertas.
“Apa ini?”
“Aku dapat titipan
dari mandor,” ujarnya pelan, nyaris tak terdengar oleh ramai cakap para kuli.
Tanpa
membukanya, aku segera memasukkannya ke saku celana, lalu pergi dari kerumunan
para kuli yang melingkari meja Bakir.
****
Gemuruh ayakan
serta derit rotor, deru blower raksasa yang digerakkan oleh dinamo, sudah tak
lagi terdengar, aku sudah menjejakkan kaki melewati pagar dorong nan besar, di
sisi kiri dan kanan, berderet mobil truk yang mengantre untuk segera lekas naik
timbangan, untuk menghitung bobot beban.
Sesampainya di
pinggir jalan, aku segera memasuki angkutan Kota yang sudah menunggu, para
karyawan pabrik yang telah berganti sif adalah para penumpang setia angkutan
ini.
Aku duduk pada
bagian belakang, menghadap satu perempuan yang membuang wajah ke jendela.
Teringat akan
benda yang ada di saku, aku segera meraih dan membukanya, aku sedikit tersenyum
mendapati tulisan latin di atas kertas, seperti cakar ayam, meski begitu, aku
masih bisa membaca pesannya.
Seketika
wajahnya hadir membayang, melebarkan senyum ini, tak lama terdengar deru mobil
melaju, melantun lagu dari sepiker yang ada di bawah bangku, aku kenal lagu
ini, sebuah lagu yang dibawakan oleh Poppy Mercury.
Kau memang jauh di mata.
Namun dekat di hati.
Lautan pulau menghalangi.
Namun tak merintangi.
Cintaku tetap milikmu.
Cinta memang tak bermata.
Dan tak punya telinga.
Namun tetap di dalam dada.
Menyatukan rasa.
Bila luka datang melanda.
Dunia rasanya gelap gulita.
Bila suka mendera jiwa.
Bahagia.
Suatu hari nanti.
Kita akan berjumpa.
Bintang akan bersinar.
Dan rembulan tersenyum.
Di antara kita.
Suatu hari nanti.
Jalan pasti terbuka.
Walau kita berbeda.
Tak ada paksa dan walau.
Itu bukan Problema.
Cintaku tetap milikmu.
Cinta memang tak bermata.
Dan tak punya telinga.
Namun tetap di dalam dada.
Menyatukan rasa.
Angkutan Kota
terus menjauh dari gerbang pabrik, meninggalkan secarik kertas di pinggir
jalan, sebelum tadi aku meremasnya.
****
Bukan yang pertama, ini sudah kali ke
tiga aku melewati jalan batu kasar yang aku tapak, terasa begitu lengang,
menghadirkan damai jiwa, mengusir sisa pekak serta gemuruh mesin-mesin
penghancur singkong yang tak pernah berhenti selama dua puluh empat jam.
“Bade teng pundi, Kang?” (Mau ke mana, Kang?)
“Griyone, Kang Sukamto,” (Rumahnya, Kang Sukamto) jawabku, kepada
satu lelaki yang menghentikan gayuh sepeda batangan.
“Kulo teraken
nopo pripun?” (Saya antarkan atau
bagaimana?)
“Mboten usah,
mang lajengakemawon, kersane kulo mlampah mawon.” (Tidak usah, silakan lanjut,
biar saya berjalan saja)
“Nggeh pun dos niku,
kulo rumiyen nggih?” (Ya sudah, saya duluan ya?)
“Nggeh, monggo,
monggo.” (Ya, silakan, silakan)
Aku tersenyum
mengantarnya berlalu dari samping kananku, tak heran bagiku bila mendapati
seseorang berjalan, maka siapa saja akan menanyakan tujuan, menawarkan bantuan
untuk diantar, ah, sebuah kebiasaan yang selalu tertanam bagi orang-orang desa
yang masih menjunjung adab, ya, aku berani bilang begitu bukan tanpa alasan.
Indraloka, nama
desa ini, aku sudah tak asing dengan namanya, dua malam aku pernah menginap di
rumah Kang Sukamto, dengan ikut mobil truk jemputan kuli pabrik, malam pertama
sewaktu ada hiburan layar tancap, kebetulan waktu itu aku sif sore.
Halaman rumah
yang ditumbuhi jambu bangkok, sudah terlihat dari tempatku melangkah, dua anak
kecil berlarian main kejar-kejaran, lalu hilang saat satu berlari masuk ke
dalam rumah, lalu tak lama kemudian satu lelaki ke luar dengan menggendong
salah satunya.
“Sudah Mbah bilang toh? Jangan lari-lari,”
ujarnya seraya mencoba menenangkan anak kecil bercelana jeans pendek dalam
gendongan, sementara satu anak yang tadi terlihat mengejar bergelayut d,
menarik-narik sarung poleng yang tergulung di pinggang lelaki yang hanya
mengenakan singlet.
Aku masih
berdiri dengan tersenyum, sesekali menggaruk kepala bagian belakang, keras
suara tangis anak dalam gendongan tak menyadari kedatanganku.
“Cup, cup!
Sudah, sudah, itu … itu ada gajah dimakan cecak,” ujarnya seraya menunjuk
langit, membuat anak itu menghentikan tangis sejenak.
“Dasar tukang
bohong.”
Kulihat dia segera
berbalik.
“Eh kamu, sudah
dari tadi sampai?”
Aku tersenyum
lalu jongkok, mengulurkan kedua tangan, berharap satu anak kecil yang terus
bergayut di kaki itu berlari dalam pelukan.
“Sana salin dulu
sama Pakde,” katanya, tetapi itu semakin membuat anak itu membenamkan wajah ke
sarung.
“Pakde punya
ini? Mau?”
Sejenak dia
menoleh, lalu menggeleng menolak sebatang permen panjang yang aku berikan.
“Ayo masuk,
pasti kamu mengantuk sekali, biar nanti dibuatkan kopi, ayo masuk,” ajaknya.
“Sengaja aku
titip surat untukmu, takutnya kalau titip omongan, kamu tidak mau datang ke
sini.”
“Ah! Mana
mungkin aku tak datang,” jawabku, lalu aku menghempaskan bokong di bangku kayu.
“Le, bawa adikmu
ke belakang sana, bilang sama Mbah, suruh buat kopi, ada dayoh agung, sudah sana.”
“Aku sudah izin
dengan Bakir, untuk tak ke pabrik, selama dua hari,” tambahnya.
Aku hanya
menguap, berat sudah kelopak mata ini, terdengar ramai di dapur, terlihat
beberapa ibu-ibu dari sela gorden pintu yang menjurus lurus ke belakang.
Tak lama kemudian
satu perempuan datang dengan dua gelas kopi lengkap dengan tatakan lapik.
“Siapa ini,
Kang?” aku bertanya, melempar senyum ke arah perempuan berambut panjang yang
meletakkan gelas di hadapan kami.
“Adikku, yang
dari Rawa Jitu.”
Dengan setengah
mengangguk, perempuan itu mengulurkan tangan ke padaku, aku membalasnya, lalu
dia berlalu tanpa menyebutkan nama.
“Baru datang
kemarin sore, Tuti … panggilannya.”
“Kamu mau mandi
dulu apa bagaimana? Biar nanti aku suruh Mbakyumu untuk menyiapkan sarapan.”
“Tidak usah
repot-repot, sudah seperti dengan siapa saja Sampean ini, Kang,” kataku, lalu
meraih gelas yang aromanya akan selalu aku rindu kala pagi.
“Badanmu bau onggok, sudah sana mandi dulu.”
Benar apa yang
dia katakan, bau limbah beserta onggok masih terasa menyengat, meski aku sudah
salin dari pakaian yang aku simpan di dalam lemari, nyatanya tak menjamin lekat
bau seperti tai kucing itu tak menempel.
Kulihat dia
beranjak masuk ke dalam, meninggalkan aku sendiri di ruang tamu yang berdinding
papan dilabur. Tak ada hiasan dinding, hanya sebuah televisi di atas rak,
juga sebuah CD lengkap dengan deret VCD campur sari.
Aku menoleh saat
dia sudah kembali dengan sebuah handuk, menyerahkannya kepadaku seraya berkata,
“Mandi dulu sana, biar segar badanmu.”
“Ayo lewat
sini.” Dia mengajak aku ke belakang, padahal aku berencana untuk memutar rumah
saja, malu ada banyak perempuan di dapur.
****
Dia menyuruh aku
untuk masuk saja ke kamarnya, celana panjang dasaran serta kaus lengan pendek
sudah dia siapkan di atas kasur kapuk.
“Pak! Ajak
makan,” kata istrinya, terdengar dari kamar, hanya terbatas gorden pintu.
Aku jadi malu
sendiri, kedatanganku selalu disambut bak tamu agung, aku sendiri tak tahu
kenapa, apa hanya karena televisi, VCD, uang yang aku berikan? Aku membantunya
ikhlas, memberikan benda bergambar itu, tak lebih hanya alasan dia begitu baik
terhadap aku, sudah seperti Kakak sendiri malah.
“Makan dulu,
pasti perutmu belum diisi sejak semalam.” Dia muncul dari celah gorden.
Aku hanya
tersenyum sewaktu dia menuju ke belakang, aku malah tak tahu harus berbuat apa
di rumah ini, dua kali aku main ke sini, dua kali pula aku diajak olehnya ke
rumah Rahmat, ya meski hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol, sebelum malam
datang beserta mobil jemputan kuli.
Kamar yang
begitu sederhana, tak begitu luas, dan entah kenapa, aku membayangkan sewaktu
dia memaksakan tugasnya sebagai suami, di atas kasur yang sedang aku duduki.
Sukamto, itu
namanya, yang aku ingat dia sudah berumur lima puluh lima, tiga tahun lebih tua
dariku, tetapi sebagai kuli pabrik yang sudah bekerja hampir dua puluh tahun,
membuat kulitnya yang hitam masih terlihat kencang, wajahnya juga, menegaskan
gagah yang dimiliki, meski tak lebat seperti kumis di atas bibir ini, beberapa
helai putih bulu kumisnya sudah terlihat di antara kumis kasarnya.
Aku selalu damai
di sini, terlebih seharian aku akan ada di sisinya, ya, cukup dengan melihat
dan duduk di sampingnya, aku sudah merasa bahagia, sesederhana itu.
“Loh, ayo, kok
malah melamun di kamar!”
Aku terenyak,
dia kembali datang untuk ajakan ke dua.
“Mbah … Agil mau
sama Mbah,” rengek bocah itu lagi.
Aku hanya bisa
berdiri di belakangnya saat dia menggendong bocah itu, membawanya ke bangku
yang menghadap meja kayu.
“Duduk sini, mau
makan?” tawarnya kepada bocah yang tadi menyebut nama Agil.
“Geser sini,
Pakde itu mau duduk,” katanya seraya menggeser Agil.
“Biar saja toh,
Kang,” celetukku.
Terlihat begitu
perhatian sekali dia dengan Agil, aku sadar, Agil hanya anak Rahmat, tetapi dia
memperlakukannya seperti cucu sendiri.
****
“Kalau
mengantuk, kamu bisa tidur di kamar,” ucapnya, begitu melihat aku sudah menguap
berkali-kali, terlebih dari siang aku belum tidur, aku harus kerja dobel sif,
dari jam empat sore hingga jam delapan pagi, menggantikan Suwandi yang
berhalangan, sudah biasa bagi kami sesama Kerani untuk bertukar sif.
Aku merebahkan
badan di bangku kayu, sungguh mataku terasa berat, meski di luar matahari mulai
terik, serta sesekali terdengar tawa keras dari belakang.
Dia datang
dengan kipas angin, meletakkannya di kamar, aku masih bisa melihatnya, bahkan
saat dia berdiri menatap dan berkata, “Loh, tidur di kamar, sudah tidak
apa-apa, jangan sungkan-sungkan, tidur di kamar!” perintahnya.
Terpaksa aku
menuruti ucapannya, meski aku canggung untuk tidur di kamar, terlebih dia
beristri.
“Sudah sana!”
ulangnya.
Aku bangkit lalu
bergegas menuju kamar.
“Nanti kalau ada
uang, ingin rasanya aku menambah kamar di sebelah dapur, biar tidak repot kalau
kamu, adikku, mau menginap di sini,” ucapnya seraya membuka jendela kamar.
Angin dari
jendela menerobos masuk, sudah cukup bagiku sebenarnya, tetapi dia sudah
telanjur memencet tombol kipas angin, lalu pergi dari kamar, seakan ingin
mempersilakan aku untuk segera tidur.
“Ayo! Jangan
main di situ Le, ada Pakde mau tidur,” kata istrinya, dari balik gorden, aku
tersenyum, aku merasa diperlakukan bak Raja di rumah ini.
“Sopo to Kang,
dulur lanang po piye?” (Siapa itu Kang, saudara lelaki atau bagaimana?)
“Wong liyo, tapi
wes nganggep Kakang karo aku.” (Orang lain, tetapi sudah menganggap aku Kakak.)
“Uwonge lo Jah,
apikan.” (Orangnya loh Jah, baik.)
“Kerjo neng
pabrik to yo’an?” (Kerja di pabrik juga?)
“Iyo, Kerani
gudang, seng ngawasi rombonganku.” (Iya, Kerani gudang, yang mengawasi
rombongan saya.)
“Oalah, nganteng
yo uwonge.” (Ialah, ganteng ya orangnya.)
“Hus! Ngawor lek
ngomong,” (Hus! Asal saja kalau bicara.)
Obrolan itu
masih terdengar di telingaku, suara istrinya, dia, dan juga suara satu
perempuan.
Berkali-kali aku
membolak-balik badan, mataku yang tadi berat, kini tak mau juga terpejam,
selebihnya tak lagi kudengar suaranya, hanya kikik beberapa ibu-ibu yang sedang
membicarakan para suaminya.
Kembali aku
menghadap dinding kamar, mencoba untuk lekas terbang ke alam mimpi, tetapi
gagal.
Segera aku
memejamkan mata, saat dia kembali masuk, napasku mendadak sesak, jantungku berdegup
kencang saat dia melepas gulungan sarung, menggantungnya di sebuah paku, hanya
dengan mengenakan kaus singlet, dia meraih sebuah celana dasaran hitam yang
juga tergantung, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Ternyata dia tak
mengenakan celana dalam, bokongnya yang hitam tepat di hadapanku, lalu berdiri
menyamping dengan memasukkan kaki ke lubang celana, meski tak utuh sepenuhnya,
tetapi aku sempat melihat benda yang menggantung itu separuh.
Dia membuka
lemari satu-satunya yang ada di sudut, di sisi kepalaku, mengenakan batik
lengan pendek, andainya dia pada posisi ini sewaktu melepas sarung, mungkin aku
akan bisa dengan jelas melihat memilikinya.
Dia sudah
menyisir rambutnya yang ikal, menghadap cermin, tanpa menyadari aku yang tengah
berpura-pura tidur, tak lama kemudian dia ke luar kamar.
“Mak! Aku mau ke
rumah Wagiman,” ucapnya setengah berteriak.
Tak ada sahut
dari istrinya, tetapi aku masih bisa menerka dari langkahnya, dia menuju pintu
depan.
Aku membuka
mata, telentang, aku lirik sarung poleng yang melingkar di paku. Seketika aku
teringat isi tulisan di surat itu.
“Malam ini akan ada acara nyewu, datanglah,
sebenarnya aku ingin mengatakan ini langsung kepadamu, tetapi lupa, hingga aku
melihatmu sudah berjalan pulang meninggalkan pabrik. Kakangmu.”
Itu yang tadi
membuatku tersenyum, lucu menurutku, padahal dia bisa menyampaikan kabar ini
dengan titip lisan kepada anak buahnya, dan tak harus mengirim surat itu.
****
Istrinya
terlihat sibuk di belakang, sementara aku hanya duduk di hampar tikar, lantai
rumah ini tertutup tikar sepenuhnya, karena selepas bakda isya, acara kenduri
akan dilangsungkan.
“Pakai peci,
sekalian ganti celanamu, pakai sarung,” katanya, aku lantas menoleh.
“Begini saja
kenapa,” balasku.
“Ya tidak patut,
itu di kamar sudah disiapkan baju sama Mbakyumu.”
Aku tak kuasa
menolak, aku pikir ada benarnya apa yang dia katakan, tak pantas rasanya duduk
kenduri dengan mengenakan kaus.
Rasanya aku
ingin tertawa, kamar ini seperti kamar kami berdua, bahkan baju yang disiapkan
di atas kasur itu juga miliknya, sarung poleng seperti papan catur, ah, itu
sarung yang dia kenakan tadi.
“Assalamualaikum.”
Suara tamu mulai
berdatangan, dengan menghadap cermin, aku membetulkan letak peci yang
kukenakan.
Aku langsung
mengambil tempat duduk, kulihat dia mulai sibuk menyalami satu persatu tamu
undangan, dia berdiri di dekat pintu dengan batik dipadu sarung Lasem.
“Tidak kerja?”
tanya salah satu tamu, dia langsung duduk di sampingku, dia adalah Trimo, kuli
pabrik juga.
“Kebetulan aku sif
sore, tukar sif dengan Kerani lain,” jawabku.
Dalam waktu
singkat, ruangan ini nyaris penuh oleh semua para undangan, tak lama berselang
acara pun di mulai.
Aku melirik ke
arahnya, juga duduk bersila dengan membaca Yasin, ada yang sesak di dada
seketika, berharap sekali aku bisa pindah duduk di sebelahnya, tetapi itu tak
mungkin kulakukan di hadapan banyak tamu seperti ini.
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment