ABDI NDORO SOEMITRO EPISODE 3
Ndoro Nyai masuk menemui Karmini. “Wes dicepakake kebeh nggo
Ndoro Kakung.” Pada episode lalu.
“Eh, Ndoro Nyai.” Karmini menjura hormat. “Sampun, Ndoro,”
Ndoro Nyai menatapnya tajam. “Karmini, kowe ngerti to aturan
neng omah iki? Aku ora seneng yen bocah anyar gampang kagum karo Ndoro Kakung.”
Deg!
Dada Karmini bagai digedor balok mendengarnya.
Karmini menunduk, jantungnya berdebar, ucapan tadi terdengar
seolah-olah Ndoro Nyai sudah tahu kalau ia hamil.
“Inggih, Ndoro Nyai. Kulo ngertos.”
“Wes gek ditatakke madang nggo ndoromu!”
“Kulo, Nyai Ndoro,” balas Karmini kian tertunduk dalam dan ...
kita masuk ke episode 3.
Yaelah, Bray! Baru nemu cerita ini? Artinya kita berjodoh!
Baca dulu episode sebelumnya biar gak bingung, dan inilah ....
ABDI NDORO SOEMITRO: EPISODE 3
Ndoro Nyai duduk di serambi, matanya menajam seperti pedang.
Karmini menghampiri, menunduk dengan tangan menekuk di depan
dada.
“Ndoro Nyai, kulo … kulo … mbobot yogane Ndoro Kakung,” ujar
Karmini dengan suara bergetar, hampir menangis.
Ndoro Nyai mendengar itu kontan emosinya meledak. “Opo!”
“Kok wani-wani kowe ngomong ngono! Ngomong opo kowe iki, ha!” Langsung beranjak dari kursi, Lur.
Lagian, hitungan bulan menjadi abdi kok berani-beraninya ngaku hamil anaknya
Ndoro Soemitro. Ya, iyalah marah Ndoro Nyai. Ya kali enggak. Hiks. 😁
“Ampun, Ndoro Nyai. Hu hu hu.” Karmini merangkak lalu
bersujud di kaki Ndoro Nyai.
“Tenan opo seng mbok omongne iki, ha!” bentak Ndoro Nyai, tak
bisa lagi menahan amarah loh, Lur.
“Saestu, Ndoro. Saestu,” jawab Karmini sangat yakin.
“Abdi anyar, kowe ojo ngapusi aku! Iki omahku lan kowe .…”
Suara Ndoro Nyai meninggi, tangan menepuk meja kayu serambi.
Brak!
Karmini terus bersujud minta ampun, tangannya gemetar. “Ndoro,
kulo mboten ngapusi. Hu hu hu.”
Ndoro Nyai lantas meminta Karmini berdiri. “Ngadek! Ngadek
omongku!”
Takut sebenarnya bagi Karmini untuk jujur, tetapi ia sudah
memikirkan lebih baik berkata jujur saja, toh kehamilannya tidak bisa
ditutup-tutupi. Iyo to, Lur.
Kalau rahasia pakde masih bisa pakde tutup-tutupi dari
mbokdemu. Pokoknya pinter-pinter pakde membohongi mbokdemu perkara cinta
terlarang yang pakde jalani bersama janda kidul kali itu. Memang Karmini bisa
menutup-nutupi kehamilannya? Yo gak iso! Janda kidul kali loh gak bakal hamil,
meski pakde....
Astagfirullah cangkemku! Kok malah curhat to!
Wes, ayo! Kembali pada kisah Karmini, Lur! Ngelantur ko
ngendi-endi ngko malahan.
“Dadi, tenan kowe mbobot anake ndoromu dewe, ha!” desak Ndoro
Nyai.
Dalam isak Karmini mengangguk. “Inggih, Ndoro.”
Kontan tangan Ndoro Nyai melayang, menampar pipi Karmini.
Plak!
Plak!
“Ampun, Ndoro. Hu hu hu.”
Malah ditambah lagi oleh Ndoro Nyai.
Plak!
“Aku ora bakal ngizini abdi anyar ngancem rumah tanggaku!
Kowe kudu lungo soko kene saiki ugo, Endel!”
“Ampuni kulo, Ndoro,” rengek Karmini lalu bersimpuh di kaki
Ndoro Nyai.
“Ora! Pokoke saiki kowe kudu lungo ko omahku. Lungo!” balas
Ndoro Nyai dengan menepis tangan Karmini.
Piye to ki, Lur. Malah runyam ngeneki dadine. Jajal undang
Ndoro Soemitro, ditempukno ae! Biar semua jelas, biar semua terang benderang.
Jangan hanya Karmini yang dicecar terus, panggil itu Ndoro Soemitro yang
ngacengan. Heran! Apa harus pakde yang memanggilnya, ha!
“Ampun, Ndoro. Hu hu hu,” ratap Karmini saat Ndoro Nyai
menyeret tubuhnya keluar.
“Lungo ko omahku, Endel!” geram Ndoro Nyai terus menarik tangan Karmini yang masih beringsut
di kakinya.
Yadi yang sedang membersihkan mobil tersentak. “Ciloko!”
Menatap Karmini dengan panik. “Karmini!” pekik hatinya.
Buru-buru Yadi berlari untuk menghampiri.
“Lungo ko omahku!” Masih terdengar suara Ndoro Nyai saat
Karmini kini melangkah gontai sambil memegangi pipi, menangis.
Suara pintu dibanting dengan keras.
Brak!
Ndoro Nyai menutup rapat-rapat pintu untuk Karmini, untuk
masalah yang menyesakkan dadanya.
Yadi buru-buru menghampiri Karmini yang melangkah menuju
pelataran rumah.
“Kar, Karmini! Opo sing kowe omongke, ha?” tanya Yadi sambil
berjalan di samping Karmini yang bungkam dan hanya menangis.
“Karmini!” Yadi hanya terpaku saat Karmini terus melangkah
meninggalkan pelataran rumah Ndoro Soemitro menuju gerbang berpagar motif
bentar.
“Karmini!” panggil Yadi tanpa mampu menggerakkan kaki untuk
mengejar langkah Karmini lagi.
“Karmini!”
Kini di pelataran Yadi terus menatap Karmini yang bayangannya
mulai menghilang, wajahnya pucat, hatinya bergejolak antara takut dan rasa
bersalah loh, Lur.
Misal pakde di posisi Yadi pasti pakde kejar kayak Drakor
itu, di bawah guyuran hujan. 😁
Waktu muda dulu pakde begitu pas mbokdemu ngambek. Kalau
sekarang masa bodo! Gak akan pakde kejar. Eh, kejar tidak, ya? Nanti yang
nemani pakde tidur siapa? Yang masakin, yang nyuciin ....
Perempuan kalau ngambek kenapa toh selalu minta dihampiri
lebih dulu gitu! Tidak Sri, tidak mbkdemu, sama saja! Pacar atau istrimu apa
juga begitu? Coba komen, Lur. Pakde kok kepo pingin tahu. 😁
Lanjut lagi cerita, Lur.
Kita fokus pada Yadi yang masih terpaku di pelataran rumah ... tanpa
bayangan Karmini.
“Karmini, aku … aku kudu ngomong. Sebenere ...,” batin Yadi,
Kini hanya bisa menunduk untuk masalah yang menimpa Karmini.
“Jujur aku demen karo kowe, Kar. Aku cinta.”
****
Petang belum begitu ranum, langit mulai gelap, mulai dihias gugusan
gemintang. Sinar rembulan separuh terasa teduh, jatuh menyinari kebun tembakau
di belakang rumah Ndoro Soemitro, berdiri kokoh dan angkuh.
Malam itu dilakukan sidang, Lur. Ndoro Nyai mengumpulkan
semua abdi! Sekiranya para abdi sudah boleh pulang, tetapi Ndoro Nyai meminta
mereka kumpul.
“Sopo ae seng wani-wanine gawe ulah bakal tak kon metu ko
omah iki!”
Para abdi semua duduk timpuh berjajar, termasuk Mbah Sukir
dan Yadi.
Ini bukan sidang para petingi Pertamina yang tiap akhir tahun
membukukan kerugian ya, Lur.
Heran juga sama Pertamina yang katanya selalu rugi. Tukang
kios eceran tetangga pakde loh untung kok, meski jual per liter. Ini malah yang
masok merugi terus. Piye to? Ha ha ha. 😂 Bisnis minyak kalau rugi ya sudah tutup saja. Tiap-tiap baca berita kok
rugi terus. Mau heran, tetapi kok ... coba tanya tukang eceran, rugi apa
untung? Untung tuh, meski seribu per liter. Pertamina apa kabar?
Percaya deh sama pakde, bentar lagi Pertamina menyampaikan
kalau merugi lagi tahun ini. Bentar lagi kan tutup buku tahunan.
Bodo, ah! Mari lanjut ke sidang di rumah Ndoro Nyai. Bukan
untuk membahas Pertamina, tetapi ....
“Sopo seng ngerti nek Karmini meteng, ha?” tanya Ndoro Nyai
dan hanya dijawab bungkam oleh semua abdi.
“Enek seng ruh bocah kae muntah-muntah?”
Kini para andi saling tatap, kepala mereka saling geleng,
mengisyaratkan kalau mereka tidak tahu ihwal Karmini yang hamil.
“Ayo ngomong!” pinta Ndoro Nyai lalu mengamati satu demi satu
para abdinya yang kini semua tertunduk. Takut kalau wajah Ndoro Nyai yang tegas
itu makin serius, Lur.
“Kowe kabeh ojo-ojo sekongkol, yo!” Suaranya meninggi.
“Ampun, Ndoro. Kulo nggeh mboten ngertos,” kata abdi
perempuan yang lain. Lupa pakde yang ini namanya. He he he.
Di belakang ... Yadi mulai gelisah. Tangannya berkali-kali
menyikut lengan Mbah Sukir. Lalu ... “Pripun niki, Mbah?” bisiknya kepada Mbah
Sukir yang terus menunduk, tak mampu menatap wajah Ndoro Nyai yang masih
dirundung murka.
“Mbah!”
Akan tetapi, Mbah Sukir hanya menoleh ke arah Yadi tanpa
berucap sepatah pun.
“Pripun?”
Mbah Sukir kini menggeleng.
“Aduh! Kok Sampean ... lajeng kepripun niki, Mbah!”
Tanpa Yadi sadari Ndoro Nyai memperhatikan rasa cemas dan
gugup yang kini mendera. “Ehem!”
“Yadi!” kata Ndoro Nyai.
“Eh, kulo, Ndoro,” jawabnya.
“Wes gek ngomongo opo seng kowe weruh,” ucap Ndoro Nyai.
“Mbo ... mboten, Ndoro. Kulo mboten ....” Suara Yadi kian
terdengar gugup.
“Sampean ruh nek Karmini meteng, Mbah?” Kali ini ditujukan
kepada Mbah Sukir.
Kontan Mbah Sukir tertunduk kian dalam lalu menggeleng.
“Ampun, Ndoro. Kulo sakjane ... sakjane ....”
“Sakjane nopo, Mbah! Ngomong seng jujur!” potong Ndoro Nyai.
Mbah Sukir malah menggeleng.
“Nek Sampean ora gelem jujur, nasibe bakal koyo Karmini! Sopo
ae seng wes goroh neng mburiku kudu metu ko omah iki!”
Mbah Sukir lantas merangkak maju ... memberi sembah di kaki
Ndoro Nyai.
“Ampun, Ndoro. Kulo ampun dipecat, Ndoro.”
Ndoro Nyai kian yakin kalau Mbah Sukir tahu perkara hamilnya
Karmini. “Sampean wes sedoso warso dadi abdiku, Mbah. Saiki Sampean jujur.”
“Bener Karmini mbobot?” cecar Ndoro Nyai, Lur.
Mbah Sukir lalu mendongak, menatap wajah Ndoro Nyai sambil
mengangguk. “Enggeh, Ndoro.”
Kontan para abdi yang ada di belakang Mbah Sukir gaduh oleh
kasak-kusuk ... tidak percaya kalau Karmini hamil.
“Ngadek!” pinta Ndoro Nyai.
Kaki Mbah Sukir gemetar. Ia beranjak ... berdiri di depan
Ndoro Nyai dengan tertunduk.
“Karo sopo?” cecarnya lagi.
Mbah Sukir kembali bungkam, tetapi melirik Yadi yang duduk,
tertunduk pula.
“Karo sopo, Mbah!” bentak Ndoro Nyai.
“Karo ndoro kakung! Iyo!” tambahnya dengan nada kian meninggi
membuat para abdi yang duduk timpuh tertunduk kian dalam.
Mbah Sukir menggeleng.
“Karo sopo!” bentak Ndoro Nyai.
Mbah Sukir menjawab, “Ya ... Yad ....”
Kontan mata Ndoro Nyai menatap Yadi.
Yang ditatap kian tertunduk.
“Yadi?” tanya Ndoro Nyai memperjelas ucapan Mbah Sukir.
Dahinya kontan berkernyit, jelas beda dengan pengakuan Karmini sendiri kalau ia
hamil dan mengandung anak suaminya.
Mbah Sukir lalu menatap Tadi. “Nek aku ngapusi opo yo Ndoro
Nyai weruh?” gulat batinnya.
“E, sanes, Ndoro,” kata Mbah Sukir.
Makin berkerut ya ‘kan dahi Ndoro Nyai mendengar Mbah Sukir
yang plin-plan, Lur.
Yadi merasa lega, jelas Mbah Sukir ingin menyelamatkan posisi
dan kariernya sebagai abdi di rumah ini.
“Maksud Sampean opo, Mbah?” tanya Ndoro Nyai.
“Opo aku ngaku ae yo?” batin Yadi saat Mbah Sukir kembali
bungkam.
“Percuma!” kata Ndoro Nyai lantas meninggalkan para abdinya.
Namun, sebelum ia masuk dan menutup kamar ... “Mbah!”
Mbah Sukir masih bingung dan saling tatap dengan Yadi.
“Bubar!” pinta Ndoro Nyai sambil menepukkan tangan.
Plok!
Kontan semua abdi beranjak lalu pergi meninggalkan ruangan,
termasuk Yadi.
Kini menyisakan Mbah Sukir dan Ndoro Nyai.
Waduh! Apa Ndoro Nyai mau ajeb-ajeb dengan Mbah Sukir? Kok
para abdi malah disuruh bubar? Apakah Ndoro Nyai dan Mbah Sukir akan masuk ke
kamar ya, Lur? Nantikan kelanjutan kisahnya di episode berikutnya.🙏
Tapi bo ‘ong. 😁Tidak, Lur. Tidak! Yang tadi hanya bercanda kok. Cerita masih terus
berlanjut. He he he.
Mbah Sukir melangkah pelan. Ia tahu ada sesuatu yang penting,
sesuatu yang akan dibicarakan empat mata saja.
“Mbah, saiki Sampean kudu ngewangi aku,” kata Ndoro Nyai saat
ruangan sepi.
“Kulo, Ndoro.”
Ndoro Nyai lalu berkata, “*&^% (tittttttt).” Lagi-lagi
disensor. He he he.
“Paham?” imbuhnya kemudian.
Mbah Sukir lantas terlihat mengangguk-angguk, Lur.
“Nek Sampean ora pingin tak pecat, lakoni opo seng tak omong
mau. Paham, Mbah!”
“Kulo, Ndoro. Paham,” jawab Mbah Sukir.
Ndoro Nyai lantas bergegas masuk.
Brak!
Mbah Sukir masih mematung di depan pintu kamar yang sudah
tertutup rapat.
Apakah kamu menangkap sebuah kode dari pakde, Lur? Pakde
sudah main mata mosok kamu gak paham juga to.
Apa! Sulit katamu?
Ya, tidak juga, Lur. Sebenarnya nyaris terbuka rahasianya,
tetapi pakde milih menikung cerita agar kamu terus bertanya-tanya.
Eh, kira-kira Mbah Sukir mengemban misi apa dari Ndoro Nyai
ya, Lur? Bagaimana kalau pakde akhiri saja episode ini. Kamu sudah lelah
membaca to?
“Lanjut dong, Pakde. Lanjut gak kataku, ha!”
Oke, oke. Pakde lanjut lagi ceritanya.
****
Yadi yang sejak tadi menunggu Mbah Sukir kini tergesa-gesa
menghampiri lelaki sepuh itu, menarik tangannya di rimbunnya hanjuang.
“Sek to, Di. Alon! Alon!” kata Mbah Sukir serius saat hampir
jatuh begitu Yadi menarik tangannya menuju rimbun hanjuang yang samar dalam
siram bulan separuh.
“Sampean iki piye to, Mbah!”
“Sst!” balas Mbah Sukir menempelkan telunjuk keriputnya di
bibir Yadi. Cie, cie ... suit, suit!😁
Yadi langsung menampik telunjuk Mbah Sukir. “Dih, apaan sih!”
Tidak, Lur. Tidak. Yadi tidak bilang begitu kok. Yang tadi
bisa-bisanya pakde saja. He he he. Guyon, Lur. Guyon.
“Sampean lo seng nduwe rencana. Ngopo aku didadosaken tumbal,
ha!” kata Yadi geram.
“Kan ora sido to, Di,” balas Mbah Sukir.
“Nek nganti kulo dipecat, Sampean ugo bakal dipecat, Mbah!”
“Ealah, Di, Yadi. Wes to tenangne atimu. Ora, ora, Di!”
“Tak tekek lo Sampean ngko, Mbah!”
“Tego men karo wong sepuh, Di.”
“Yo tego la Sampean wea tegi kalih kulo kok!” balas Yadi.
“Lajeng sakniki pripun, ha?”
“Sek to, Di. Sek! Utekku rasane arep njeblok! Gak iso mikir!”
jawab Mbah Sukir lalu mondar-mandir di depan Yadi sambil meletakkan telunjuk di
dahi, sok mikir.
Melihat itu, Yadi yang geram lantas meletakkan satu kaki
hingga Mbah Sukir keserimpet!
Bruk!
“Matane!” maki Mbah Sukir saat tubuhnya terjatuh menyusur
tanah.
“Sakniki rencanane pripun, ha!” ucap Yadi tanpa mau menolong,
terlanjur kesal, saat Mbah Sukir mengulurkan satu tangan, meminta pertolongan
untuk beranjak.
“Kualat kowe, Di. Wong tuo mbok jegal!”
“Sampean iku seng kuwalat nek nganti kulo sios dipecat kalih
Ndoro Nyai!”
“Pripun!” imbuh Yadi.
Mbah Sukir memilih duduk di batu yang ada di depan hanjuang
yang daunnya menghitam oleh malam.
“Aku entok amanat soko Ndoro Nyai,” jawab Mbah Sukir.
“Nasib kulo nik ilo, Mbah! Perkawes urusan Sampean kaleh
Ndoro Nyai kulo mboten purun ngertos!”
“Iki penting Di. Penting!” Mbah Sukir beranjak dari duduknya.
“Rene!” Meminta Yadi mendekat.
Gobloknya Yadi mendekat dan Mbah Sukir lantas membisikkan
sesuatu. “Bla, bla, bla, ewes-ewes %$#90 (Tittt).”
“Ben Karmini dewe seng ngakuni nek seng metengi iku Ndoro
Soemitro. Cocok karo regone ndog ora?”
“Tapi, Mbah?”
Langsung Mbah Sukir menginjak jempol kaki Yadi. “Topa, tapi,
topa, tapi!”
“Aduh!” pekik Yadi lalu meringis kesakitan.
“Sesok isuk aku budal.” Mbah Sukir lantas meninggalkan Yadi.
Mentolo nyampluki ro sendal yo to, Lur! Engkres tenan tuwek
siji iki. Diancok! Ng’getingi! 😁
Makin penasaran ya ‘kan apa pesan Ndoro Nyai kepada Mbah
Sukir sewaktu di depan kamar tadi. Ya, ‘kan, Lur.
Next, Lur!
****
Pagi datang dengan sejuta drama kehidupan bagi manusia.
Paijo namanya, salah satu pemuda yang bertugas memanen daun
tembakau di kebun Ndoro Soemitro, datang menghadap Ndoro Nyai di serambi rumah.
“Kulo, Ndoro,” ucap Paijo menjura hormat lalu timpuh di
tekel, sementara Ndoro Nyai menatap langit pagi sambil terus mengibaskan kipas.
“Aku ngundang kowe mrene pestine enek perlune,” ucap Ndoro
Nyai dingin.
“Kulo, Ndoro,” balas Paijo tertunduk tanpa bernai menatap
wajah Ndoro Nyai yang kini menatapnya.
“Tolong selidiki Karmini.”
“Ngapunten, Ndoro. Karmini?” tanya Paijo menatap wajah Ndoro
Nyai sejenak lalu kembali menunduk.
“Yo, abdi anyar seng ngaku meteng kae,” balas Ndoro Nyai.
“Mbah Sukir diluk nek mrono. Ojo nganti kowe konangan. Dong
po ra?” imbuhnya.
Paijo hanya diam, bingung, masih mencerna maksud ucapan Ndoro
Nyai.
“Maksutipun dos pundi, Ndoro. Nopo kulo kedah mebuntuti Mbah
Sukir ngoten?”
“Hem.” Hanya itu yang diucapkan Ndoro Nyai.
“Nek nganti Karmini kae nduwe garwo utowo lanangan, tolong
wehno iki.” Ndoro Nyai lantas menyerahkan buntelan yang berisi uang dan
selembar surat yang sudah ia tulis semalam.
Waduh! Ndoro Nyai ikut ambil peran nih, Lur. Ndoro Nyai
mencium aroma tidak percaya akan status yang disandang oleh Karmini yang
mengaku janda.
Pakde berharap kalau Karmini ini benar-benar janda. Akan
tetapi, mari kita lihat, apakah Karmini yang kini menjadi idola pakde
benar-benar seorang janda. Secara pakde tuh ngefans berat sama janda, terutama
janda pirang sebelah desa itu. Ah, mbohlah! Sepertinya pakde harus masuk ke
antrean dalam menaklukkan hatinya, belum lagi harus main kucing-kucingan sama
mbokdemu yang akhir-akhr ini suka periksa isi galeri HP pakdemu ini. Lha
untungnya semua video dan foto sudah pakde pindahkan ke folder aman. Yess!
WEs ayo lanjut. Gak usah ngomoning janda pirang itu, mending
kita fokus sama tokoh kita yang juga janda ndeso itu. Gas!
“Wehno nek Mbah Sukir wes balik. Eling! Ojo nganti konangan
Karmini utowo Mbah Sukir.”
“Sendiko dawuh, Ndoro,” jawab Paijo.
****
Mari kita mengintili ... eh, opo yo ... pokonya mari kita
membututi Mbah Sukir yang mengemban tugas dari Ndoro Nyai, Lur. Kita intili
beliau. Hiks.
Setelah bertanya dengan satu lelaki yang sibuk menghalau
puluhan bebek di tepi galangan sawah, “Oh, Karmini. Sampean mang lurus mawon,
Mbah. Mangke wonten griyo, niku griyone Karmini.”
“Weladalah! Maturnuwun nggeh, Kang.”
“Dawah sami-sami, Mbah.”
Mbah Sukir lantas menuju arah yang ditunjukkan tersebut. Ia
menyusuri teduh jalan yang di apit rapat pohon-pohon bidara.
Di belakangnya ... jauh dari jangkauan penglihatan Mbah
Sukir, Paijo terus membuntutinya.
****
Singkatnya, Mbah Sukir sampai juga di rumah Karmini seperti
yang dijelaskan oleh penggembala bebek tadi, Lur.
Mbah Sukir lantas mengetuk pintu rumah sederhana, terbuat
dari geribik pipil.
Tok. Tok. Tok!
“Kulonuwun!”
“Kar! Karmini!”
Tok. Tok. Tok!
Tak lama berselang pintu terbuka dan muncullah seorang
laki-laki.
Weh! Kok laki-laki? Waduh! Jangan-jangan Karmini nyimpen
ani-ani ... eh, kok ani-ani to. Opo yo? Aha! Ana-ana. Yo to?😁
Eh, Lur. Mosok tonggo kiwo omah kae ....
Udah, Pakde. Udah! Lanjut saja ke ceritanya, ih!
Piye to! Pakde loh lagi mau cerita tentang tetangga pakde
yang menjadi ana-ana pejabat dinas pemerintah daerah kok.
Lanjut gak! Aku timpuk beneran nih!
Iya, iya! Galak amat! Pakde lanjutin kok. Cium dulu sini.
Buru!
Iya, Sayang. Iya. Bayuh!
Mari lanjut ke ceritanya, Lur.
“Madosi sinten, Mbah?” tanya lelaki itu.
“Iki omahe Karmini to?” Mbah Sukir balik tanya sebab di
kepalanya Karmini itu janda, tetapi ini kok ....
“Leres,” balas lelaki itu.
“Lha Sampean iki sopone?” Mbah Sukir tanya lagi.
Dibalas lagi dong sama lelaki itu. “Kulo bojone Karmini.”
“Ha! Bojone?” Mbah Sukir bengong songong memperlihatkan
giginya yang ompong. Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komen. Pakde segera
kembali!
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment