Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

ABDI NDORO SOEMITRO EPISODE 3

 

Ndoro Nyai masuk menemui Karmini. “Wes dicepakake kebeh nggo Ndoro Kakung.” Pada episode lalu.

“Eh, Ndoro Nyai.” Karmini menjura hormat. “Sampun, Ndoro,”

Ndoro Nyai menatapnya tajam. “Karmini, kowe ngerti to aturan neng omah iki? Aku ora seneng yen bocah anyar gampang kagum karo Ndoro Kakung.”

Deg!

Dada Karmini bagai digedor balok mendengarnya.

Karmini menunduk, jantungnya berdebar, ucapan tadi terdengar seolah-olah Ndoro Nyai sudah tahu kalau ia hamil.

“Inggih, Ndoro Nyai. Kulo ngertos.”

“Wes gek ditatakke madang nggo ndoromu!”

“Kulo, Nyai Ndoro,” balas Karmini kian tertunduk dalam dan ... kita masuk ke episode 3.

Yaelah, Bray! Baru nemu cerita ini? Artinya kita berjodoh! Baca dulu episode sebelumnya biar gak bingung, dan inilah ....

 


ABDI NDORO SOEMITRO: EPISODE 3




Ndoro Nyai duduk di serambi, matanya menajam seperti pedang.

Karmini menghampiri, menunduk dengan tangan menekuk di depan dada.

“Ndoro Nyai, kulo … kulo … mbobot yogane Ndoro Kakung,” ujar Karmini dengan suara bergetar, hampir menangis.

Ndoro Nyai mendengar itu kontan emosinya meledak. “Opo!”

“Kok wani-wani kowe ngomong ngono! Ngomong opo kowe  iki, ha!” Langsung beranjak dari kursi, Lur. Lagian, hitungan bulan menjadi abdi kok berani-beraninya ngaku hamil anaknya Ndoro Soemitro. Ya, iyalah marah Ndoro Nyai. Ya kali enggak. Hiks. 😁

“Ampun, Ndoro Nyai. Hu hu hu.” Karmini merangkak lalu bersujud di kaki Ndoro Nyai.

“Tenan opo seng mbok omongne iki, ha!” bentak Ndoro Nyai, tak bisa lagi menahan amarah loh, Lur.

“Saestu, Ndoro. Saestu,” jawab Karmini sangat yakin.

“Abdi anyar, kowe ojo ngapusi aku! Iki omahku lan kowe .…” Suara Ndoro Nyai meninggi, tangan menepuk meja kayu serambi.

Brak!

Karmini terus bersujud minta ampun, tangannya gemetar. “Ndoro, kulo mboten ngapusi. Hu hu hu.”

Ndoro Nyai lantas meminta Karmini berdiri. “Ngadek! Ngadek omongku!”

Takut sebenarnya bagi Karmini untuk jujur, tetapi ia sudah memikirkan lebih baik berkata jujur saja, toh kehamilannya tidak bisa ditutup-tutupi. Iyo to, Lur.

Kalau rahasia pakde masih bisa pakde tutup-tutupi dari mbokdemu. Pokoknya pinter-pinter pakde membohongi mbokdemu perkara cinta terlarang yang pakde jalani bersama janda kidul kali itu. Memang Karmini bisa menutup-nutupi kehamilannya? Yo gak iso! Janda kidul kali loh gak bakal hamil, meski pakde....

Astagfirullah cangkemku! Kok malah curhat to!

Wes, ayo! Kembali pada kisah Karmini, Lur! Ngelantur ko ngendi-endi ngko malahan.

“Dadi, tenan kowe mbobot anake ndoromu dewe, ha!” desak Ndoro Nyai.

Dalam isak Karmini mengangguk. “Inggih, Ndoro.”

Kontan tangan Ndoro Nyai melayang, menampar pipi Karmini.

Plak!

Plak!

“Ampun, Ndoro. Hu hu hu.”

Malah ditambah lagi oleh Ndoro Nyai.

Plak!

“Aku ora bakal ngizini abdi anyar ngancem rumah tanggaku! Kowe kudu lungo soko kene saiki ugo, Endel!”

“Ampuni kulo, Ndoro,” rengek Karmini lalu bersimpuh di kaki Ndoro Nyai.

“Ora! Pokoke saiki kowe kudu lungo ko omahku. Lungo!” balas Ndoro Nyai dengan menepis tangan Karmini.

Piye to ki, Lur. Malah runyam ngeneki dadine. Jajal undang Ndoro Soemitro, ditempukno ae! Biar semua jelas, biar semua terang benderang. Jangan hanya Karmini yang dicecar terus, panggil itu Ndoro Soemitro yang ngacengan. Heran! Apa harus pakde yang memanggilnya, ha!

“Ampun, Ndoro. Hu hu hu,” ratap Karmini saat Ndoro Nyai menyeret tubuhnya keluar.

“Lungo ko omahku, Endel!” geram Ndoro Nyai terus  menarik tangan Karmini yang masih beringsut di kakinya.

Yadi yang sedang membersihkan mobil tersentak. “Ciloko!”

Menatap Karmini dengan panik. “Karmini!” pekik hatinya.

Buru-buru Yadi berlari untuk menghampiri.

“Lungo ko omahku!” Masih terdengar suara Ndoro Nyai saat Karmini kini melangkah gontai sambil memegangi pipi, menangis.

Suara pintu dibanting dengan keras.

Brak!

Ndoro Nyai menutup rapat-rapat pintu untuk Karmini, untuk masalah yang menyesakkan dadanya.

Yadi buru-buru menghampiri Karmini yang melangkah menuju pelataran rumah.

“Kar, Karmini! Opo sing kowe omongke, ha?” tanya Yadi sambil berjalan di samping Karmini yang bungkam dan hanya menangis.

“Karmini!” Yadi hanya terpaku saat Karmini terus melangkah meninggalkan pelataran rumah Ndoro Soemitro menuju gerbang berpagar motif bentar.

“Karmini!” panggil Yadi tanpa mampu menggerakkan kaki untuk mengejar langkah Karmini lagi.

“Karmini!”

Kini di pelataran Yadi terus menatap Karmini yang bayangannya mulai menghilang, wajahnya pucat, hatinya bergejolak antara takut dan rasa bersalah loh, Lur.

Misal pakde di posisi Yadi pasti pakde kejar kayak Drakor itu, di bawah guyuran hujan. 😁

Waktu muda dulu pakde begitu pas mbokdemu ngambek. Kalau sekarang masa bodo! Gak akan pakde kejar. Eh, kejar tidak, ya? Nanti yang nemani pakde tidur siapa? Yang masakin, yang nyuciin ....

Perempuan kalau ngambek kenapa toh selalu minta dihampiri lebih dulu gitu! Tidak Sri, tidak mbkdemu, sama saja! Pacar atau istrimu apa juga begitu? Coba komen, Lur. Pakde kok kepo pingin tahu. 😁

Lanjut lagi cerita, Lur.  Kita fokus pada Yadi yang masih terpaku di pelataran rumah ... tanpa bayangan Karmini.

“Karmini, aku … aku kudu ngomong. Sebenere ...,” batin Yadi, Kini hanya bisa menunduk untuk masalah yang menimpa Karmini.

“Jujur aku demen karo kowe, Kar. Aku cinta.”

 

****

Petang belum begitu ranum, langit mulai gelap, mulai dihias gugusan gemintang. Sinar rembulan separuh terasa teduh, jatuh menyinari kebun tembakau di belakang rumah Ndoro Soemitro, berdiri kokoh dan angkuh.

Malam itu dilakukan sidang, Lur. Ndoro Nyai mengumpulkan semua abdi! Sekiranya para abdi sudah boleh pulang, tetapi Ndoro Nyai meminta mereka kumpul.

“Sopo ae seng wani-wanine gawe ulah bakal tak kon metu ko omah iki!”

Para abdi semua duduk timpuh berjajar, termasuk Mbah Sukir dan Yadi.

Ini bukan sidang para petingi Pertamina yang tiap akhir tahun membukukan kerugian ya, Lur.

Heran juga sama Pertamina yang katanya selalu rugi. Tukang kios eceran tetangga pakde loh untung kok, meski jual per liter. Ini malah yang masok merugi terus. Piye to? Ha ha ha. 😂 Bisnis minyak kalau rugi ya sudah tutup saja. Tiap-tiap baca berita kok rugi terus. Mau heran, tetapi kok ... coba tanya tukang eceran, rugi apa untung? Untung tuh, meski seribu per liter. Pertamina apa kabar?

Percaya deh sama pakde, bentar lagi Pertamina menyampaikan kalau merugi lagi tahun ini. Bentar lagi kan tutup buku tahunan.

Bodo, ah! Mari lanjut ke sidang di rumah Ndoro Nyai. Bukan untuk membahas Pertamina, tetapi ....

“Sopo seng ngerti nek Karmini meteng, ha?” tanya Ndoro Nyai dan hanya dijawab bungkam oleh semua abdi.

“Enek seng ruh bocah kae muntah-muntah?”

Kini para andi saling tatap, kepala mereka saling geleng, mengisyaratkan kalau mereka tidak tahu ihwal Karmini yang hamil.

“Ayo ngomong!” pinta Ndoro Nyai lalu mengamati satu demi satu para abdinya yang kini semua tertunduk. Takut kalau wajah Ndoro Nyai yang tegas itu makin serius, Lur.

“Kowe kabeh ojo-ojo sekongkol, yo!” Suaranya meninggi.


“Ampun, Ndoro. Kulo nggeh mboten ngertos,” kata abdi perempuan yang lain. Lupa pakde yang ini namanya. He he he.

Di belakang ... Yadi mulai gelisah. Tangannya berkali-kali menyikut lengan Mbah Sukir. Lalu ... “Pripun niki, Mbah?” bisiknya kepada Mbah Sukir yang terus menunduk, tak mampu menatap wajah Ndoro Nyai yang masih dirundung murka.

“Mbah!”

Akan tetapi, Mbah Sukir hanya menoleh ke arah Yadi tanpa berucap sepatah pun.

“Pripun?”

Mbah Sukir kini menggeleng.

“Aduh! Kok Sampean ... lajeng kepripun niki, Mbah!”

Tanpa Yadi sadari Ndoro Nyai memperhatikan rasa cemas dan gugup yang kini mendera. “Ehem!”

“Yadi!” kata Ndoro Nyai.

“Eh, kulo, Ndoro,” jawabnya.

“Wes gek ngomongo opo seng kowe weruh,” ucap Ndoro Nyai.

“Mbo ... mboten, Ndoro. Kulo mboten ....” Suara Yadi kian terdengar gugup.

“Sampean ruh nek Karmini meteng, Mbah?” Kali ini ditujukan kepada Mbah Sukir.

Kontan Mbah Sukir tertunduk kian dalam lalu menggeleng. “Ampun, Ndoro. Kulo sakjane ... sakjane ....”

“Sakjane nopo, Mbah! Ngomong seng jujur!” potong Ndoro Nyai.

Mbah Sukir malah menggeleng.

“Nek Sampean ora gelem jujur, nasibe bakal koyo Karmini! Sopo ae seng wes goroh neng mburiku kudu metu ko omah iki!”

Mbah Sukir lantas merangkak maju ... memberi sembah di kaki Ndoro Nyai.

“Ampun, Ndoro. Kulo ampun dipecat, Ndoro.”

Ndoro Nyai kian yakin kalau Mbah Sukir tahu perkara hamilnya Karmini. “Sampean wes sedoso warso dadi abdiku, Mbah. Saiki Sampean jujur.”

“Bener Karmini mbobot?” cecar Ndoro Nyai, Lur.

Mbah Sukir lalu mendongak, menatap wajah Ndoro Nyai sambil mengangguk. “Enggeh, Ndoro.”

Kontan para abdi yang ada di belakang Mbah Sukir gaduh oleh kasak-kusuk ... tidak percaya kalau Karmini hamil.

“Ngadek!” pinta Ndoro Nyai.

Kaki Mbah Sukir gemetar. Ia beranjak ... berdiri di depan Ndoro Nyai dengan tertunduk.

“Karo sopo?” cecarnya lagi.

Mbah Sukir kembali bungkam, tetapi melirik Yadi yang duduk, tertunduk pula.

“Karo sopo, Mbah!” bentak Ndoro Nyai.

“Karo ndoro kakung! Iyo!” tambahnya dengan nada kian meninggi membuat para abdi yang duduk timpuh tertunduk kian dalam.

Mbah Sukir menggeleng.

“Karo sopo!” bentak Ndoro Nyai.

Mbah Sukir menjawab, “Ya ... Yad ....”

Kontan mata Ndoro Nyai menatap Yadi.

Yang ditatap kian tertunduk.

“Yadi?” tanya Ndoro Nyai memperjelas ucapan Mbah Sukir. Dahinya kontan berkernyit, jelas beda dengan pengakuan Karmini sendiri kalau ia hamil dan mengandung anak suaminya.

Mbah Sukir lalu menatap Tadi. “Nek aku ngapusi opo yo Ndoro Nyai weruh?” gulat batinnya.

“E, sanes, Ndoro,” kata Mbah Sukir.

Makin berkerut ya ‘kan dahi Ndoro Nyai mendengar Mbah Sukir yang plin-plan, Lur.

Yadi merasa lega, jelas Mbah Sukir ingin menyelamatkan posisi dan kariernya sebagai abdi di rumah ini.

“Maksud Sampean opo, Mbah?” tanya Ndoro Nyai.

“Opo aku ngaku ae yo?” batin Yadi saat Mbah Sukir kembali bungkam.

“Percuma!” kata Ndoro Nyai lantas meninggalkan para abdinya. Namun, sebelum ia masuk dan menutup kamar ... “Mbah!”

Mbah Sukir masih bingung dan saling tatap dengan Yadi.

“Bubar!” pinta Ndoro Nyai sambil menepukkan tangan.

Plok!

Kontan semua abdi beranjak lalu pergi meninggalkan ruangan, termasuk Yadi.

Kini menyisakan Mbah Sukir dan Ndoro Nyai.

 

Waduh! Apa Ndoro Nyai mau ajeb-ajeb dengan Mbah Sukir? Kok para abdi malah disuruh bubar? Apakah Ndoro Nyai dan Mbah Sukir akan masuk ke kamar ya, Lur? Nantikan kelanjutan kisahnya di episode berikutnya.🙏

Tapi bo ‘ong. 😁Tidak, Lur. Tidak! Yang tadi hanya bercanda kok. Cerita masih terus berlanjut. He he he.

Mbah Sukir melangkah pelan. Ia tahu ada sesuatu yang penting, sesuatu yang akan dibicarakan empat mata saja.

“Mbah, saiki Sampean kudu ngewangi aku,” kata Ndoro Nyai saat ruangan sepi.

“Kulo, Ndoro.”

Ndoro Nyai lalu berkata, “*&^% (tittttttt).” Lagi-lagi disensor. He he he.

“Paham?” imbuhnya kemudian.

Mbah Sukir lantas terlihat mengangguk-angguk, Lur.

“Nek Sampean ora pingin tak pecat, lakoni opo seng tak omong mau. Paham, Mbah!”

“Kulo, Ndoro. Paham,” jawab Mbah Sukir.

Ndoro Nyai lantas bergegas masuk.

Brak!

Mbah Sukir masih mematung di depan pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

 

Apakah kamu menangkap sebuah kode dari pakde, Lur? Pakde sudah main mata mosok kamu gak paham juga to.

Apa! Sulit katamu?

Ya, tidak juga, Lur. Sebenarnya nyaris terbuka rahasianya, tetapi pakde milih menikung cerita agar kamu terus bertanya-tanya.

Eh, kira-kira Mbah Sukir mengemban misi apa dari Ndoro Nyai ya, Lur? Bagaimana kalau pakde akhiri saja episode ini. Kamu sudah lelah membaca to?

“Lanjut dong, Pakde. Lanjut gak kataku, ha!”

Oke, oke. Pakde lanjut lagi ceritanya.

 

****

Yadi yang sejak tadi menunggu Mbah Sukir kini tergesa-gesa menghampiri lelaki sepuh itu, menarik tangannya di rimbunnya hanjuang.

“Sek to, Di. Alon! Alon!” kata Mbah Sukir serius saat hampir jatuh begitu Yadi menarik tangannya menuju rimbun hanjuang yang samar dalam siram bulan separuh.

“Sampean iki piye to, Mbah!”

“Sst!” balas Mbah Sukir menempelkan telunjuk keriputnya di bibir Yadi.  Cie, cie ... suit, suit!😁

Yadi langsung menampik telunjuk Mbah Sukir. “Dih, apaan sih!”

Tidak, Lur. Tidak. Yadi tidak bilang begitu kok. Yang tadi bisa-bisanya pakde saja. He he he. Guyon, Lur. Guyon.

“Sampean lo seng nduwe rencana. Ngopo aku didadosaken tumbal, ha!” kata Yadi geram.

“Kan ora sido to, Di,” balas Mbah Sukir.

“Nek nganti kulo dipecat, Sampean ugo bakal dipecat, Mbah!”

“Ealah, Di, Yadi. Wes to tenangne atimu. Ora, ora, Di!”

“Tak tekek lo Sampean ngko, Mbah!”

“Tego men karo wong sepuh, Di.”

“Yo tego la Sampean wea tegi kalih kulo kok!” balas Yadi.

“Lajeng sakniki pripun, ha?”

“Sek to, Di. Sek! Utekku rasane arep njeblok! Gak iso mikir!” jawab Mbah Sukir lalu mondar-mandir di depan Yadi sambil meletakkan telunjuk di dahi, sok mikir.

Melihat itu, Yadi yang geram lantas meletakkan satu kaki hingga Mbah Sukir keserimpet!

Bruk!

“Matane!” maki Mbah Sukir saat tubuhnya terjatuh menyusur tanah.

“Sakniki rencanane pripun, ha!” ucap Yadi tanpa mau menolong, terlanjur kesal, saat Mbah Sukir mengulurkan satu tangan, meminta pertolongan untuk beranjak.

“Kualat kowe, Di. Wong tuo mbok jegal!”

“Sampean iku seng kuwalat nek nganti kulo sios dipecat kalih Ndoro Nyai!”

“Pripun!” imbuh Yadi.

Mbah Sukir memilih duduk di batu yang ada di depan hanjuang yang daunnya menghitam oleh malam.

“Aku entok amanat soko Ndoro Nyai,” jawab Mbah Sukir.

“Nasib kulo nik ilo, Mbah! Perkawes urusan Sampean kaleh Ndoro Nyai kulo mboten purun ngertos!”

“Iki penting Di. Penting!” Mbah Sukir beranjak dari duduknya.

“Rene!” Meminta Yadi mendekat.

Gobloknya Yadi mendekat dan Mbah Sukir lantas membisikkan sesuatu. “Bla, bla, bla, ewes-ewes %$#90 (Tittt).”

“Ben Karmini dewe seng ngakuni nek seng metengi iku Ndoro Soemitro. Cocok karo regone ndog ora?”

“Tapi, Mbah?”

Langsung Mbah Sukir menginjak jempol kaki Yadi. “Topa, tapi, topa, tapi!”

“Aduh!” pekik Yadi lalu meringis kesakitan.

“Sesok isuk aku budal.” Mbah Sukir lantas meninggalkan Yadi.

Mentolo nyampluki ro sendal yo to, Lur! Engkres tenan tuwek siji iki. Diancok! Ng’getingi! 😁

Makin penasaran ya ‘kan apa pesan Ndoro Nyai kepada Mbah Sukir sewaktu di depan kamar tadi. Ya, ‘kan, Lur.

Next, Lur!

 

****

Pagi datang dengan sejuta drama kehidupan bagi manusia.

Paijo namanya, salah satu pemuda yang bertugas memanen daun tembakau di kebun Ndoro Soemitro, datang menghadap Ndoro Nyai di serambi rumah.

“Kulo, Ndoro,” ucap Paijo menjura hormat lalu timpuh di tekel, sementara Ndoro Nyai menatap langit pagi sambil terus mengibaskan kipas.

“Aku ngundang kowe mrene pestine enek perlune,” ucap Ndoro Nyai dingin.

“Kulo, Ndoro,” balas Paijo tertunduk tanpa bernai menatap wajah Ndoro Nyai yang kini menatapnya.

“Tolong selidiki Karmini.”

“Ngapunten, Ndoro. Karmini?” tanya Paijo menatap wajah Ndoro Nyai sejenak lalu kembali menunduk.

“Yo, abdi anyar seng ngaku meteng kae,” balas Ndoro Nyai.

“Mbah Sukir diluk nek mrono. Ojo nganti kowe konangan. Dong po ra?” imbuhnya.

Paijo hanya diam, bingung, masih mencerna maksud ucapan Ndoro Nyai.

“Maksutipun dos pundi, Ndoro. Nopo kulo kedah mebuntuti Mbah Sukir ngoten?”

“Hem.” Hanya itu yang diucapkan Ndoro Nyai.

“Nek nganti Karmini kae nduwe garwo utowo lanangan, tolong wehno iki.” Ndoro Nyai lantas menyerahkan buntelan yang berisi uang dan selembar surat yang sudah ia tulis semalam.

Waduh! Ndoro Nyai ikut ambil peran nih, Lur. Ndoro Nyai mencium aroma tidak percaya akan status yang disandang oleh Karmini yang mengaku janda.

Pakde berharap kalau Karmini ini benar-benar janda. Akan tetapi, mari kita lihat, apakah Karmini yang kini menjadi idola pakde benar-benar seorang janda. Secara pakde tuh ngefans berat sama janda, terutama janda pirang sebelah desa itu. Ah, mbohlah! Sepertinya pakde harus masuk ke antrean dalam menaklukkan hatinya, belum lagi harus main kucing-kucingan sama mbokdemu yang akhir-akhr ini suka periksa isi galeri HP pakdemu ini. Lha untungnya semua video dan foto sudah pakde pindahkan ke folder aman. Yess!

WEs ayo lanjut. Gak usah ngomoning janda pirang itu, mending kita fokus sama tokoh kita yang juga janda ndeso itu. Gas!

“Wehno nek Mbah Sukir wes balik. Eling! Ojo nganti konangan Karmini utowo Mbah Sukir.”

“Sendiko dawuh, Ndoro,” jawab Paijo.

 

****

 

Mari kita mengintili ... eh, opo yo ... pokonya mari kita membututi Mbah Sukir yang mengemban tugas dari Ndoro Nyai, Lur. Kita intili beliau. Hiks.

Setelah bertanya dengan satu lelaki yang sibuk menghalau puluhan bebek di tepi galangan sawah, “Oh, Karmini. Sampean mang lurus mawon, Mbah. Mangke wonten griyo, niku griyone Karmini.”

“Weladalah! Maturnuwun nggeh, Kang.”

“Dawah sami-sami, Mbah.”

Mbah Sukir lantas menuju arah yang ditunjukkan tersebut. Ia menyusuri teduh jalan yang di apit rapat pohon-pohon bidara.

Di belakangnya ... jauh dari jangkauan penglihatan Mbah Sukir, Paijo terus membuntutinya.

 

****

 

Singkatnya, Mbah Sukir sampai juga di rumah Karmini seperti yang dijelaskan oleh penggembala bebek tadi, Lur.

Mbah Sukir lantas mengetuk pintu rumah sederhana, terbuat dari geribik pipil.

Tok. Tok. Tok!

“Kulonuwun!”

“Kar! Karmini!”

Tok. Tok. Tok!

Tak lama berselang pintu terbuka dan muncullah seorang laki-laki.

Weh! Kok laki-laki? Waduh! Jangan-jangan Karmini nyimpen ani-ani ... eh, kok ani-ani to. Opo yo? Aha! Ana-ana. Yo to?😁

Eh, Lur. Mosok tonggo kiwo omah kae ....

Udah, Pakde. Udah! Lanjut saja ke ceritanya, ih!

Piye to! Pakde loh lagi mau cerita tentang tetangga pakde yang menjadi ana-ana pejabat dinas pemerintah daerah kok.

Lanjut gak! Aku timpuk beneran nih!

Iya, iya! Galak amat! Pakde lanjutin kok. Cium dulu sini.

Buru!

Iya, Sayang. Iya. Bayuh!

Mari lanjut ke ceritanya, Lur.

“Madosi sinten, Mbah?” tanya lelaki itu.

“Iki omahe Karmini to?” Mbah Sukir balik tanya sebab di kepalanya Karmini itu janda, tetapi ini kok ....

“Leres,” balas lelaki itu.

“Lha Sampean iki sopone?” Mbah Sukir tanya lagi.

Dibalas lagi dong sama lelaki itu. “Kulo bojone Karmini.”

“Ha! Bojone?” Mbah Sukir bengong songong memperlihatkan giginya yang ompong. Bersambung.

Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komen. Pakde segera kembali!

 

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search