Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERPEN TRIO MBAJUK ORANG BUTA bikin tertawa

 TRIO MBAJUK: DUA BUTA


“Wong picek, wong budek, kabeh pesti ngalami luput lan duso, Git!” (Orang buta, orang tuli, semua pasti mengalami khilaf dan dosa, Git!)

Trio Mbajuk yang personilnya adalah Kuswanoto, Saimun, dan Sugito sedang duduk bercerita sore itu di teras rumah Saimun menunggu waktu berbuka puasa.

“Serius, Kang. Catatan dosa orang buta itu sudah dihapus!” bantah Sugito.

“Nyong ura ngandel. Rika weruh apa dalile, he?” (Saya tidak percya. Anda tahu dalilnya apa, he?), celetuk Saimun yang setuju dengan Kuswanoto kalau orang buta juga masih bisa melakukan sebuah dosa.

“Kok jek panggah ngono ae to awakmu ki, Git! Wong picek yo, panggah ae iso gawe duso!” (Kok masih begitu saja kamu ini, Git! Orang buta ya, tetap saja biasa berbuat dosa!). Kuswanoto masih dengan pendiriannya kalau yang dikatakan Sugito salah.

Trio Mbajuk bercerita tentang masalah keagamaan dan kebetulan mereka menyinggung suatu masalah yang mengatakan bahwa orang buta tidak berdosa.

“Jal terangna nangapa wong picek ura dusa,” (Coba terangkan kenapa orang buta tidak berdosa), kata Saimun seraya menggeser kursi dan mengambil keretek abangan milik Kuswanoto.

“Aduh!” pekik Saimun saat Kuswanoto menggeplak tangannya.

“Sebatang baelah, Kang.” (Satu batang saja, Kang).

“Sebatang, sebatang! Wes limang batang kat mau tak itung! Bulan puoso ki!” (Satu batang, satu batang! Sudah lima batang aku hitung dari tadi! Bulan puasa ini!).

"Deneng enteng temenan kui lambe. Rika dewek we ura puasa. Ngalor ngidul nggawani rokok!" (Perasaan enteng benar itu bibir. Anda sendiri juga tidak puasa. Ke sana kemari mengantongi rokok!).

“Nyoh!” (Ini). Kuswanoto menyerahkan uang 50.000 kepada Saimun yang terkenal pengangguran. Kerja paling juga kalau diajak Kuswanoto jadi kernet di proyek perumahan. “Tuku dewe kono!” (Beli sendiri sana!).

“Kositlah! Dilit maning buka mbok. Jal apa alasane wong buta ura dusa,” (Nanti dulu! Sebentar lagi juga buka puasa. Coba apa alasannya orang buta tidak berdosa), kata Saimun yang masih penasaran akan alasan Sugito.

“Kenapa orang buta tidak berdosa? Ya, karena pintu masuknya dosa tertutup baginya, sebab mata inilah jalan masuknya dosa yang selalu melihat ke sana kemari yang dapat mendatangkan dosa. Melihat tetangga iri dari mana?” jawab Sugito.

“Saka mata?” (Dari mata?)  Saimun melongo.

“Orang merampok karena apa?” tanya Sugito lagi.

“Mergao pingin njupuk barange uwong,” (Karena ingin menguasai barang orang lain), jawab Kuswanoto kini.

“Ya, semua itu karena melihat, Kang. Melihat harta orang dengan apa? Ya, dengan mata to?” jabar Sugito.

“Iya, ya. Kabeh-kabeh saka mripat,” (Iya, ya. Semua berawal dari mata), gumam Saimun.

“Orang nonton bokep dengan mata, melihat foto-foto syur dengan mata, tergoda janda juga awalnya dari mata yang melihat kecantikan. Orang mencuri uang juga karena mata melihat peluang, orang mencuri ayam dengan mata. Semua kejahatan yang berakibat dosa berawal dari mata.” Sugito kembali menerangkan kalau mata adalah jalan masuk awal sebuah dosa.

“Iya, ya. Bener, Rika. Apa-apa saka mripat sik.” (Iya, ya. Benar, Anda. Apa-apa dari mata dulu). Saimun setuju kali ini.

“Nek awakku gak percoyo, Git!” (Kalau aku tidak percaya, Git!). Kuswanoto masih menolak pendapat Sugito.

“Terserah Njenengan, Kang. Yang pasti orang buta ‘kan tidak bisa melihat. Jadi, tidak ada dosa baginya,” jelas Sugito lagi.

 

****

 

Keesokan harinya.

Kuswanoto yang mengantar istrinya ke pasar sejenak berjalan-jalan dengan maksud untuk bertemu orang buta. Ia penasaran akan ucapan Sugito, benarkah orang buta tak pernah berdosa?

“Mak, aku tak mrono sek, yo.” (Mak, aku kesana dulu, ya).

“Ojo sui-sui lo, Pak. Ngko ilang neh.” (Jangan lama-lama, loh, Pak. Nanti hilang lagi).

“Alak masa Allah. Wong sakmene gedene kok iso ilang,” (Masa Allah. Orang besarnya begini kok bisa hilang), balas Kuswanoto.

“La minggu wingi aku wes rampung blonjo, Njenengan ilang!” (La Minggu kemari saya sudah selesai belanja, Njenengan menghilang!).

“Iyo, iyo! Iku ae seng dibahas. Gak sengojo wektu iko ketemu Sri. Dadi, yo tak terno balek sek.” (Iya, iya! Itu saja terus yang diungkit. Tidak sengaja waktu itu ketemu Sri. Jadi, ya aku antar pulang lebih dulu).

“Lah! Garwone Njenengan ki aku opo Sri, he!” (La! Istri Njenengan ini aku apa Sri, he!).

“Wes to, Mak. Isin disawang uwong iko lo. Wes kono tak enteni neng parkiran kene.” (Sudah toh, Mak. Malu dilihat orang-orang itu loh. Sudah nanti aku tunggu di sini).

“Awas ae nek ilang neh!” (Awas saja kalau menghilang lagi!).

“Gak ogak, Mak. Sri iku wes dadi masa lalu.”

Kuswanoto tersenyum saat istrinya berlalu sambil merengut kesal.

 

****

 

Di ujung los pasar.

Kuswanoto benar-benar ingin membuktikan kalau ucapan Sugito salah dan mau membuktikan pendapatnya bahwa orang buta bisa juga berbuat dosa.

Benar saja, Kuswanoto melihat satu lelaki yang berjalan dengan menggunakan tongkat, rambut lusuh, baju sedikit compang-camping, dan pakai kacamata hitam.

Buru-buru Kuswanoto menyiapkan kantong plastik dan mengisinya dengan selembar uang 50.000 dan 10.000 lima lembar.

Sejenak Kuswanoto memperhatikan gerak-gerik lelaki buta yang sedang berjalan dengan tongkatnya itu.

Kurang dari satu menit Kuswanoto melepas kemeja batik lengan panjang yang ia kenakan, berganti baju dekil, mengeluarkan tongkat, semua sudah ia persiapkan dan disembunyikan di balik kemeja batiknya tadi.

“Aha!”

Cring ...!

Tongkat kayu kini sudah di tangannya.

Untuk terlihat paripurna, Kuswanoto lantas mengeluarkan kaca mata hitam yang juga sudah ia persiapkan dari rumah, mengacak-acak rambutnya, tangannya ia gosok-gosokkan di dinding kotor lalu diusap ke muka. Pokoknya totalitas costplay menjadi orang buta hingga tak satu pun mengenalinya.

Peci segera ia miringkan.

Sret!

 

****

 

Kini Kuswanoto berpura-pura menjadi orang buta.

Ia berjalan sambil membawa tongkat lalu dengan sengaja menabrakkan dirinya kepada lelaki buta tersebut.

Bruk!

Kuswanoto pun pura-pura mengeluh, “Aduh, Yonggggg.”

“Apes tenan urepku. Wong ki picek ta matane. Roh wong buta ngeneki kok ditabrak! Gak duwe welas asih blas!” (Sial benar hidupku. Orang ini buta apa matanya! Tidak punya rasa belas kasihan sama sekali!).

Lelaki buta itu pun heran mendengar keluhan orang yang ditabraknya. Buru-buru ia berkata, “Maaf. Saya juga orang buta, saya tidak dapat melihat, hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkat ini. Maafkan saya.”

“Sekali lagi saya mohon maaf karena saya sungguh-sungguh tak sengaja,” imbuh lelaki buta tersebut dengan mengulurkan tangan untuk meraba di mana lelaki yang tak sengaja ia tabrak.

Dengan sedikit meraba-raba Kuswanoto meraih uluran tangan lelaki buta itu dan beranjak bangkit.

“Oalah. Kamu juga orang buta, yo?” tanya Kuswanoto pura-pura tidak tahu.

“Iya, Pak. Saya buta,” jawab lelaki buta.

“Coba peganglah tongkatku ini kalau tidak percaya. Orang buta harus memakai tongkat untuk berjalan,” lanjut lelaki buta agar Kuswanoto percaya kalau dirinya benar-benar buta.

Maka disuruhlah Kuswanoto untuk memegang tongkatnya. “Silakan pegang, Pak.”

Dengan segera Kuswanoto memegangnya.

“Ah, Si Bapak. Bukan yang itu, Pak,” ujar lelaki buta lalu membetulkan celananya.

“Oh, sepurone. La aku kira itu tongkat, tapi kok lembek.”

“Saya buta sejak lahir, Pak,” ucap lelaki buta setelah Kuswanoto memegang tongkat kayu miliknya.

“Boleh saya pegang tongkat, Bapak?” tanya lelaki buta sekadar ingin memastikan ucapan Kuswanoto kalau orang yang ada di hadapannya juga benar-benar buta, sama dengan dirinya.

“O, ya monggo. Silakan.”

Lelaki buta langsung memegang tongkat milik Kuswanoto.

“Bukan yang itu, Goblok!” Kuswanoto lalu menggeplak tangan laki buta yang mencoba meraba-raba miliknya.

Plak!

“Oh, maaf. Saya kira itu tongkat bapak. Saya ‘kan buta, Pak."

Kemudian Kuswanoto berkata, “Kalau begitu kita senasib, Dulur. Piye kalau kita mencari rezeki bersama-sama.”

Lelaki buta itu pun menyetujui ajakan Kuswanoto karena memang, ya ... mereka senasib, sama-sama orang buta.

 

****

 

Dua jam berlalu Kuswanoto berperan jadi orang buta.

Keduanya berjalan beriringan menyusuri los demi los pasar dengan berjalan ala orang buta, memegang tongkat.

Ketika melewati los, tampak seorang ibu yang menggandeng anaknya, sedang menawar sebuah tas.

“Bu, lihat ada orang buta,” ucap anaknya saat Kuswanoto dan lelaki buta lewat.

“Jangan bilang begitu, ah! Nanti kedengar sama orangnya jadi tidak enak loh,” jawab ibunya tanpa menoleh dan sibuk memilih-milih beberapa model tas sekolah.

“Orang buta kok gandengan ya, Bu? Jangan-jangan mereka pacaran.”

Kuswanoto yang tepat di samping bocah dan mendengarnya langsung mengarahkan ujung tongkat.

Peletak!

“Aduh!” pekik bocah itu lalu menangis memegangi kepala. “Hu hu hu.”

“Kamu kenapa, ha! Kenapa menangis?”

“Dipukul orang buta itu, Bu. Hu hu hu.”

“Dia itu orang buta, Le. Mana mungkin bisa memukulmu.”

“Tapi, Bu.”

“Sudah sini minggir!”

Kuswanoto yang mengenakan kaca mata hitam menahan tawa sambil terus berjalan menggandeng tangan lelaki buta.

 

****

 

Keduanya terus berjalan hingga sampai di ujung los, berhadapan dengan WC umum pasar yang akan segera direnovasi.

Kuswanoto kebelet kencing. “Hop, hop! Aku mau kencing. Dari tadi aku sudah menahannya.”

“Apa mau saya antar ke dalam, Pak? Biar saya bantu pegangi.”

“Gak usah!” balas Kuswanoto.

“Saya tidak mungkin melihat. Jadi, kalau Bapak tak keberatan biar saya antar ke dalam.”

“Pokoke kamu tunggu di sini ae.” Kuswanoto menolak iba dari lelaki buta itu.

“Tolong kamu pegang ini.” Kuswanoto lantas menyerahkan kantong plastik yang sudah berisi uang yang ia persiapkan tadi.

“Pokoknya kamu jaga baik-baik isinya sampai aku keluar, yo,” pinta Kuswanoto.

“Baik, Pak. Saya akan menunggu di sini,” balas lelaki buta seraya menerima kantong plastik pemberian Kuswanoto yang dititipkan padanya.

 

****

 

Singkat cerita.

Dari balik pintu WC Kuswanoto yang pura-pura kencing terus memperhatikan tingkah laku lelaki buta yang ia tinggalkan di depan pintu.

Terlihat lelaki buta sedang meraba-raba kantong plastik milik Kuswanoto yang dititipkan padanya.

“Banyak sekali uangnya. Lebih baik aku mengambilnya lalu pergi. Pasti ia tak dapat mencariku karena ia juga orang buta,” pikir lelaki buta sambil tersenyum.

Banar saja, lelaki buta itu lantas berlalu dan mencari tempat persembunyian agar Kuswanoto tidak dapat menemukannya.

Kuswanoto yang tahu itu lantas menuju tumpukan batu material di sisi pintu WC, mengambil beberapa, dan melempari lelaki buta yang bersembunyi di samping gerobak tua.

Wuing!

Peletak!

“Aduh!” pekik lelaki buta karena lemparan Kuswanoto tepat mendarat di kepalanya.

Kuswanoto terus mendekat seraya berkata lantang, “Ya, Allah! Apes tenan nasibku iki dadi wong buta. Mandar mugo seng njupuk duwekku kenek watu seng tak bialang iki!” (Ya, Allah! Sial benar nasibku ini jadi orang buta. Semoga saja yang mengambil uangku terkena lemparan batu yang kulempar ini!).

Lantas kembali melempar batu ke arah lelaki buta yang masih bersembunyi.

Wuing!

Peletak.

Tak lama kemudian terdengar lagi suara kesakitan dari lelaki buta yang masih bersembunyi. “Aduh! Kok aku kena lagi!” rintihnya sambil memegangi kepalanya yang benjol.

Lelaki buta pun jadi panik dan heran kenapa doa temannya yang buta itu seketika terkabul.

“Ah, mungkin itu hanya kebetulan saja,” batin lelaki buta menghibur diri lalu beranjak untuk menghindar.

Kuswanoto yang tahu itu lantas melemparinya dengan batu.

Wuing!

Kali ini luput mengenai sasaran.

Lelaki buta lantas melangkah cepat untuk menghindari batu yang terus dilempar ke arahnya.

Wuing!

Akan tetapi, Kuswanoto juga bergerak cepat mengikutinya sambil terus melempari batu.

Wuing!

Kali ini mengenai sasaran, kepala lelaki buta.

Peletak!

“Aduh!” pekik lelaki buta lagi dengan langkah setengah berlari.

Tak tinggal diam, Kuswanoto juga mengejarnya sambil terus melempari batu.

Wuing!

Peletak!

Lelaki buta makin dibuat bingung, kenapa kepalanya terus terkena lemparan batu dari Kuswanoto secara beruntun.

“Heran! Mengapa semua sasaran yang dilempar bapak buta itu selalu tepat mengenaiku!”

Lelaki buta menghentikan langkah karena curiga.

“Berhenti kau orang buta penipu!” teriak Kuswanoto lantang.

Lelaki buta jelas mengenali suara teman barunya yang ia kenal beberapa waktu tadi. Sejenak ia berbalik menghadap Kuswanoto.

“Kok kamu tahu kalau aku menipu?” tanyanya kepada Kuswanoto yang berdiri dengan masih memegang batu.

“Kamu hanya pura-pura buta to? Aku menitipkan kantong itu kepadamu hanya ingin ....”

“Sungguh aku buta, Pak!” potong lelaki buta.

“Kamu mau mengambil isi kantong plastikku to!” Kuswanoto melangkah mendekat.

“Tidak!” jawab lelaki buta.

Kuswanoto lantas merebut kantong plastik itu.

Sret!

Kemudian menghitung isinya.

“La ini kurang 50. 000! Jumlahnya total 100.000.”

Dengan cepat Kuswanoto mencekik kerah baju lelaki buta dan merogoh saku baju.

“Ini apa, ha! 50.000!”

Tentu saja lelaki buta terkejut, bagaimana mungkin temannya yang buta tahu kalau ia telah menyembunyikan sebagian uang yang ada di dalam kantong plastik.

“Kok Bapak tahu?” tanyanya heran.

Kuswanoto lantas melepas kacamata lelaki buta itu kemudian melepas pula kacamata hitam miliknya.

“Gito!” pekik Kuswanoto.

Kuswanoto kelas terkejut saat mengetahui wajah di balik kacamata hitam lelaki buta itu.

“Kang Noto!” pekik Sugito tak kalah terkejut.

Kontan Kuswanoto menggeplak kepala lelaki buta yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, yaitu Sugito.

Plak!

“Aduh, Kang! Sakit! Kepalaku sudah benjol karena Njenengan lempari dengan batu tadi.”

“Sejak kapan awakmu ngemis, ha!”

“Sudah ... eh, baru ... baru dua bulan, Kang.”

“Dino iki wes oleh piro!” (Hari ini sudah dapat berapa!).

“Baru dapat 35.000, Kang.”

“Ndi!” (Mana!).

Buru-buru Sugito merogoh saku celana dan menunjukkan hasil meminta-mintanya.

Secepat kilat Kuswanoto merebut uang yang ada di tangan Sugito.

“Jangan, Kang! Itu baru dapat segitu! Dosa merebut uang yang bukan hak Panjenengan!”

“Duso ko endi, ha! Aku ini buta, Git! Bukankah orang buta tidak berdosa? Kamu ingat ucapanmu kemarin ha!”

“Ingat, gak, ha!” Lalu menggeplak lagi kepala Sugito.

Plak!

“Aduh!” pekik Sugito kesakitan.

“Ingat gak, ha!” Sugito digeplak lagi.

Plak!

“Aduh!”

“Ingat to!”

Plak!

“Aduh!”

“Sampai pecah kepalamu juga tidak apa-apa, Git! Aku ‘kan orang buta.”

Plak!

“Aduh!” Sugito lantas jatuh terduduk.

“Ampun, Kang. Ampun. Hu hu hu.”

Tak peduli, Kuswanoto lantas meninggalkan Sugito yang kemarin berucap seakan-akan sebagai Ustaz Sopyan yang mengguruinya soal dosa orang buta, ia harus segera ke WC, berganti baju sebelum istrinya mengambek lagi dan menuduh menghilang dengan janda kidul kali itu.  

Puas hatinya karena telah membuktikan kalau orang buta juga bisa melakukan dosa, terlepas itu siapa orangnya, dan kebetulan hari ini adalah Sugito yang telah berlindung dari dalil yang tak tahu dari mana sumbernya. END


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search