PALUPI
PALUPI
Siang itu cuaca cerah. Toko milik Kho Alung sedang ramai pembeli. Toko itu berada di sebuah desa yang jauh dari pusat kota.
Sudah lama sekali Kho Alung tinggal dan membangun usaha di desa tersebut. Nama desanya Segar Mulia
Kho Alung sebenarnya orang Surabaya. Dulu ia berdagang ember sampai ke pelosok desa. Di desa Segar Mulia itulah Kho Alung mendapatkan banyak pelanggan.
Kemudian dia memutuskan untuk membeli tanah di desa itu dan membangun toko perabotan, namun seiring berjalannya waktu Kho Alung melebarkan bisnisnya. Dia mulai menjual bahan makanan pokok.
Toko Kho Alung semakin berkembang, hingga akhirnya Kho Alung jadi seorang agen toko kelontong di desa tersebut.
Bisa dibilang Kho Alung adalah satu-satunya orang kaya di desa Segar Mulia. Walaupun Kho Alung menetap di desa itu, tapi dia menikah dengan sesama etnis Tionghoa yang berasal dari Surabaya. Dia dijodohkan oleh orang tuanya. Kemudian Kho Alung membawa serta istrinya ke desa Segar Mulia.
****
Selama berpuluh-puluh tahun Kho Alung menetap di desa itu bersama istri dan anaknya. Dari pernikahannya itu Kho Alung dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Palupi. Dia tumbuh dan besar di Desa Segar Mulia.
Setahun sekali Kho Alung pulang ke kampung halamannya di Surabaya, hanya untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya.
Hidup Kho Alung awalnya berjalan mulus-mulus saja, namun siang itu kalung punya firasat buruk. Selama jaga toko, hatinya tidak enak, seperti akan ada hal buruk yang terjadi padanya.
“Palupi sudah pulang belum ya dari sekolah?” tanya Kho Alung sambil melayani pembeli.
“Sudah kok, Pi. Tadi mami jemput,” timpal istrinya dari dalam rumah, wanita itu sedang sibuk masak.
“Oh? Syukur kalo begitu,” kata Kho Alung.
Walaupun Palupi sudah pulang, namun perasaan Kho Alung masih tidak tenang, entah apa yang akan terjadi padanya. Pada saat itu ada seorang lelaki bertubuh kurus ceking, dia hanya mengenakan kaus singlet saja dan celana hitam. Lelaki itu berumur 30 tahunan. Dia beli beras pada Kho Alung.
“Harga beras sekarang berapa, Kho?” tanya lelaki itu.
“Murah ini. Cuma 1.500 perak per liter,” ucap Kho Alung sambil tersenyum ramah.
Lelaki kurus berkaus singlet melirik ke dalam rumahnya Kho Alung. Dia tampak sangat mencurigakan.
“Beli berasnya jadi nggak?” tanya Kho Alung pada lelaki itu.
“Iya jadi, Kho. Saya ambil 5 liter saja,” ucap si lelaki kurus.
Kho Alung segera menyerok beras itu, lalu memasukkannya ke dalam plastik hitam. Kemudian Kho Alung menyerahkan beras tersebut pada lelaki asing yang baru dia lihat.
Tampaknya lelaki itu bukan warga Segar Mulia. Baru kali ini Kho Alung melihatnya. Karena waktu itu sedang ramai pembeli Kho Alung tidak sempat menanyakan nama dan tempat tinggal lelaki tersebut.
****
Singkat cerita.
Malam itu hujan turun dengan sangat deras, Kho Alung dan istrinya sedang merayakan hari ulang tahun anaknya yang ketujuh.
Palupi saat itu sangat senang, karena dia dapat kado ulang tahun berupa boneka beruang yang cukup besar, sayangnya kebahagiaan keluarga Kho Alung seketika saja pudar saat listrik di rumahnya mati secara tiba-tiba.
Pet!
“Ya. Mati lampu,” ucap istrinya Kho Alung.
“Tapi lampu jalanan masih hidup itu, Mi,” kata Kho Alung sambil menunjuk jendela.
Petir di luar terdengar sangat keras dan bergemuruh, sementara hujan turun semakin deras.
Kemudian Kho Alung mendengar ada suara gelas pecah di dapur.
Prang!
Kho Alung mulai curiga, ia menyuruh anak dan istrinya masuk ke kamar.
Sambil membawa senter, Palupi dibawa oleh ibunya ke dalam kamar.
Kemudian Kho Alung mengecek apa yang terjadi di dapur. Dia berjalan pelan-pelan sambil menyorotkan senternya.
Saat tiba di dapur, Kho Alung tidak melihat siapa pun di sana, hanya saja jendela dapur itu tampak sudah terbuka, ada seseorang yang membobolnya.
Kho Alung segera mengambil pisau. Dia yakin, pasti ada maling yang sudah masuk ke dalam rumahnya itu.
Dan benar saja, di belakang Kho Alung sudah ada dua orang lelaki, yang satu bertubuh kurus, dan yang satu lagi bertubuh gemuk. Mereka meringkus Kho Alung dari belakang.
“Mami, lari!” teriak Kho Alung.
Sebelum akhirnya Khi Alung dihabisi oleh dua lelaki misterius. Ia terkapar tak bernyawa di atas lantai.
Bruk!
Mengetahui itu, istri Kho Alung panik, kemudian dengan cekatan dia membuka jendela kamar, lalu mengeluarkan anaknya melalui jendela itu.
“Lari!” bentak ibunya pada Palupi.
Palupi pun berlari meninggalkan rumahnya di bawah guyuran hujan.
Sementara ibunya Palupi tertangkap, kemudian dihabisi oleh Kedua lelaki itu.
Jlep!
Crep!
“Akh!” pekik terakhir ibunya Palupi.
Rupanya mereka berdua kurang puas, mereka juga berniat untuk menghabisi Palupi. Mereka keluar dari kamar itu melalui jendela, sementara Palupi sudah tidak terlihat.
“Kejar bocah itu!!” bentak lelaki kurus pada kawannya.
Segera mereka berdua lari masuk ke dalam hutan untuk mencari Palupi.
Namun anehnya Palupi tidak ada. Mereka tidak berhasil menangkap anak kecil itu, dan tak lama kemudian mereka pun pergi dari desa tersebut sebelum warga lain tahu akan aksi mereka.
****
Keesokan harinya.
Desa segar Mulia gempar. Mereka berkerumun di rumahnya Kho Alung.
Sementara Kho Alung dan istrinya terkapar tak bernyawa di atas lantai.
Polisi juga berdatangan diiringi dengan suara sirene ambulans.
Masyarakat tak menyangka kejadian tragis ini menimpa keluarga Kho Alung, padahal Kho Alung orangnya sangat baik dan ramah.
Kejadian itu masih menjadi misteri di benak masyarakat, terlebih Palupi hilang entah ke mana.
Polisi berusaha keras untuk mengusut motif dari peristiwa itu, namun upaya itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Pelakunya tidak pernah ditemukan.
****
Sebulan setelah kejadian itu.
Di Desa segar Mulia dibangunlah sebuah toko kelontong yang sangat besar dan megah. Toko itu milik Pak Broto. Dia adalah warga Segar Mulia yang baru saja di PHK dari perusahaan.
Dari uang PHK-nya itu Pak Broto bisa membuka toko kelontong dan menggaet mantan pelanggannya Kho Alung.
Sementara itu pihak keluarga yang ada di Surabaya memutuskan untuk menjual rumah Kho Alung, namun hingga saat ini rumah itu tak kunjung laku.
Lantas bagaimana dengan nasib Palupi? Apakah anak itu masih hidup?
****
Yang terjadi malam itu, malam di mana istri Kho Alung menyuruh Palupi untuk berlari menjauh dari rumah di bawah guyuran hujan.
Tak ada yang tahu, bahwa malam itu Palupi tergelincir ke dalam lubang sumur tua. Sumur itu tidak ada tembok pembatas sama sekali, sehingga Palupi tidak sengaja masuk ke dalam sumur tersebut, dan parahnya lagi, sumurnya sedang penuh dengan air hujan.
Palupi tercebur.
Byur!
Dia geragapan karena tidak bisa berenang sama sekali.
Kakinya menggapai-gapai permukaan sumur, untung saja kaki kanannya menginjak sebuah batu.
Dia naik ke atas batu itu, dan kini air sumur hanya tinggal sedengkul Palupi.
Dia menangis ketakutan dan juga kedinginan.
Palupi merintih, memanggil-manggil ibunya, sementara hujan semakin deras membuat permukaan air semakin tinggi.
Kalau Palupi tidak segera keluar dari sumur, dia pasti tenggelam. Tak ada satu orang pun yang mendengar rintihan Palupi karena suaranya yang pelan.
“Papi, Mami,” rintih Palupi.
Dan tanpa diduga-duga, sebelum air sumur menenggelamkan Palupi, tiba-tiba saja muncul rambut yang sangat panjang, menjulur dari atas bibir sumur.
Rambut itu perlahan mendekati Palupi.
Palupi pun mendongak, tak ada siapa-siapa di atas sumur itu, yang terlihat hanya gumpalan rambut panjang saja, diiringi dengan lebat petir yang menggelegar.
Tanpa pikir panjang, Palupi meraih rambut itu, lalu berpegangan dengan sangat erat.
Rambut misterius melingkari tubuh Palupi, lalu menarik tubuh Palupi keluar dari dalam sumur.
Perlahan tubuh Palupi terangkat.
Palupi bergelantungan di dalam lubang sumur, dan saat ia tiba di permukaan, Palupi kaget melihat makhluk yang sangat mengerikan. Makhluk itu bertubuh besar dan berbulu, rambutnya panjang, punya taring, matanya merah, kedua kakinya berwujud kambing.
Entah makhluk apa yang ditemui Palupi, yang jelas saat itu juga, Palupi pingsan karena tidak kuat melihat makhluk aneh yang menolongnya.
Kemudian saat Palupi tersadar, tiba-tiba saja Palupi sudah terbaring di atas ranjang bambu beralaskan kasur kapuk yang sangat empuk.
Palupi mengedip-ngedipkan kedua matanya. Dia ada di dalam kamar bilik.
Sayup-sayup Palupi mendengar suara gaduh, seperti orang yang sedang belajar bela diri. Suara itu berasal dari halaman rumah.
Perlahan Palupi bangkit. Kini dia dalam posisi duduk, kemudian terdengar derit lantai bambu, pertanda ada seseorang dekat.
“Sudah siuman, ya?” tanya nenek berkebaya putih dan berkain jarit.
Palupi tidak kenal nenek itu.
“Tadi nenek buatkan jahe hangat untuk kamu, tapi kamu enggak kunjung siuman. Jahenya sudah dingin. Sebentar, ya. Nenek mau hangatkan lagi jahe buat kamu,” ucap nenek itu.
Palupi masih bingung. Dia tidak menimpali apa pun.
“Oh. Kenalkan. Saya Mbok Tirah,” ucap nenek itu.
“Orang-orang biasa memanggil saya Mbok Tirah,” sambungnya.
Kemudian Mbok Tirah tersenyum, lalu beranjak ke dapur untuk menghangatkan jahe.
Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa jahe hangat untuk Palupi.
“Mami sama Papi di mana?” tanya Palupi pada Mbok Tirah.
Wanita tua itu tersenyum ramah. Dia seperti hendak menjelaskan sesuatu pada Palupi, tapi nenek itu ragu-ragu.
Selang beberapa saat, lantai bambu kembali berderit, pertanda ada orang yang mendekat. Lalu muncullah sosok lelaki yang umurnya kisaran 50 tahunan. Dia mengenakan baju dan celana serba hitam, juga ikat pinggang yang berwarna merah.
Lelaki itu adalah Burhan. Dia yang menemukan Palupi semalam. Entah bagaimana tadinya tiba-tiba Palupi bisa terkapar di halaman rumahnya. Bisa jadi makhluk mengerikan itulah yang mengantarkan Palupi ke rumah Burhan.
“Kau sudah siuman?” tanya Burhan sambil mendekat pada Palupi.
“Oh, ya. Namamu siapa?” Burhan kembali bertanya.
“Palupi,” ucap gadis kecil itu.
“Nama yang cantik,” timpal Burhan.
Burhan sebenarnya sudah tahu siapa nama anak kecil itu, bahkan Burhan sudah tahu apa yang terjadi pada Palupi, tapi dia belum mau memberitahu semua pada Palupi.
Ternyata yang semalam menolong Palupi adalah makhluk gaib peliharaannya Burhan. Makhluk itu sengaja membawa Palupi ke rumah Burhan.
Makhluk itu juga mengisahkan kepada Burhan soal kejadian tragis yang menimpa Palupi.
“Aku mau pulang. Hu hu hu.” Palupi menagis.
“Iya. Nanti Abah akan antar kamu pulang,” kata Burhan.
Namun sayangnya ucapan itu hanya untuk menenangkan hati Palupi. Burhan tidak mau Palupi pulang ke desa Segar Mulia, Karena di sana ada orang jahat yang mengancam nyawa anak itu.
****
Esok harinya.
Perlahan Palupi turun dari tempat tidurnya, dia ingin menghirup udara segar. Dia juga penasaran pada suara gaduh di halaman rumah Burhan, itu jelas suara orang yang sedang belajar ilmu silat.
Palupi berdiri di bibir pintu, tampaklah belasan orang muda-mudi sedang berbaris rapi sambil memperagakan gerakan silat.
Mereka semua sangat kompak dalam berlatih bela diri. Palupi juga memperhatikan sekitarnya. Dia sangat terkesima, ternyata Palupi ada di bawah lereng gunung.
Padepokan bela diri itu dikelilingi tebing-tebing yang sangat tinggi. Di tempat itu juga ada rumah bilik yang menjadi tempat tinggal murid-murid Burhan.
“Aku ini di mana?” tanya Palupi.
“Kamu di padepokan bela diri Burhan,” jawab Burhan.
“Abah akan ajari kamu bela diri, supaya kamu jadi wanita yang kuat,” ucap Burhan.
Palupi terdiam, yang dia inginkan saat ini hanya pulang.
Semenjak saat itu, Palupi selalu merengek minta pulang, dan selama berhari-hari dia hanya menangis.
Palupi tidak betah tinggal di padepokan Burhan, namun sesekali Mbok Tirah berusaha menghibur hati Palupi, dan lama-kelamaan Palupi pun betah tinggal di sana.
Burhan juga sudah berkata jujur, kalau kedua orang tuanya Palupi sudah meninggal. Burhan bahkan tahu siapa pelaku yang sudah menghabisi kedua orang tua Palupi dari bisikan dari makhluk halus peliharaannya “Nanti kalau kau sudah pandai bela diri. Abah akan kasih tahu siapa pelakunya,” ucap Burhan pada Palupi.
****
18 tahun kemudian.
Tahun demi tahun pun berlalu. Kini Palupi berumur 25 tahun, umur yang cukup matang bagi seorang perempuan.
Dia sudah pandai bela diri. Palupi menguasai berbagai macam keahlian bela diri. Dia ahli pedang, Toya, dan senjata lainnya, hingga pada suatu hari Palupi diberitahu oleh Burhan soal pelaku yang sudah menghabisi kedua orang tuanya.
Saat itu juga Palupi minta izin pada Burhan untuk pergi balas dendam pada pelaku yang telah menghabisi kedua orang tuanya.
Ternyata pelakunya adalah pemilik toko kelontong baru di Desa Segar Mulia. Dia sengaja menyuruh orang untuk menghabisi keluarga Kho Alung, karena dia tidak mau ada saingan, namanya Pak Broto kini tokonya semakin besar saja.
Dan saat malam tiba, toko Pak Broto pun ditutup. Palupi mengintai pergerakan Pak Broto dari atap rumah.
Saat itu, Palupi mengenakan pakaian serba hitam dan membawa pisau kecil untuk menghabisi Pak Broto.
Palupi tak Butuh waktu lama untuk menghabisi lelaki itu, hanya dalam beberapa menit saja Pak Broto sudah terkapar tak bernyawa di dalam kamarnya.
Jlep!
“Akh!” pekik kematian dari Pak Broto.
Palupi sangat puas.
****
Dia pun pulang ke padepokannya, namun Palupi kaget dengan apa yang disaksikannya. Saat itu Padepokan Burhan luluh lantah, diserang oleh Grup Poleng. Mereka adalah sekelompok jawara yang tidak suka pada Padepokan Burhan. Grup Poleng itulah yang punya dendam pribadi pada Burhan. Tengah malam, saat Burhan dan murid-muridnya sedang tidur, Group Poleng pun menyerang Padepokan itu dan menghabisi semuanya.
Para murid Burhan tidak sempat melawan, mereka terkapar tak bernyawa.
Palupi menangis di Padepokan itu, dan tak lama kemudian ada suara dari kejauhan, itu anggota Grup Poleng. Mereka kembali ke Padepokan Burhan untuk mencari barang berharga, maklum saat aksi itu dilancarkan Ketua Group Poleng mereka melarang anak buahnya untuk mengambil barang berharga, misi mereka hanya menghabisi Burhan dan murid-muridnya, namun ternyata ada anggota Group Poleng yang tidak patuh, mereka malah kembali untuk mencari barang berharga.
Segera Palupi bersembunyi.
Dia menguping percakapan anggota Group Poleng itu.
Jumlah mereka ada lima orang, dan sejak itulah Palupi tahu kalau komplotan mereka yang sudah menghancurkan Padepokan Burhan, dan dengan sekejap, Palupi berhasil menumbangkan mereka berempat. Palupi sengaja menyisakan satu orang, dia mau menggali informasi tentang Group Poleng.
“Katakan di mana markas kalian!” bentar Palupi.
Lelaki itu memberitahu lokasi markas Group Poleng. Dia tampak sangat ketakutan. “Kumohon biarkan aku hidup,” ucap si lelaki, namun Palupi mengingkari janjinya, dia tetap menghabisi lelaki itu.
Crep!
Lelaki itu pun terkapar tak bernyawa.
Bruk!
****
Singkat cerita.
Malamnya Palupi mendatangi markas Group Poleng.
Palupi benar-benar hebat. Dia berhasil menghabisi 50 orang dalam semalam. Tentu Palupi main rapi.
Dia mengendap-endap ke setiap rumah anggota Group Poleng, kemudian menghabisi mereka semua.
Setelah dendam Palupi terbalaskan, ia pun pergi dari sana.
SELESAI

No comments:
Post a Comment