KAMANUSAN HIDUP SEJATI MELALUI SEBAB AKIBAT PART 5
PART 5
Semua syarat sudah
dijalankan.
Sebelum pementasan malam itu dan kejadian demi kejadian aneh
ditemui Mujiono.
Beberapa kali ia melihat sosok ibunya menangis di antara
penonton. Bukan hanya di satu tempat, tapi selalu berpindah tempat.
Ternyata keganjilan juga dialami pemain jaranan lain hampir semuanya kesurupan sehingga melakukan hal yang tidak masuk akal.
Ada yang mengunyah beling layaknya orang makan, ada yang
memanjat panggung sangat tinggi, dan ada yang memperlihatkan keahliannya dalam
ilmu kekebalan, baik kebal senjata tajam maupun kebal dari bacok malah
menegangkan.
Itu juga dialami para penonton. Beberapa dari mereka
berteriak histeris mengaku kalau melihat sosok genderuwo ikut dalam pementasan,
tapi bukan sebagai tokoh pemeran melainkan menjadi para pemainnya.
Beruntung semua dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada satu pun
pemain yang terluka.
Tentu saja semua berkat Mbah Sarko yang selalu mengucapkan
mantra di sudut panggung tepatnya di antara 7 bubur aneka warna.
Setelah pementasan berakhir Mujiono menggelepar tidak
sadarkan diri.
Sengaja Mbah Sarko menyuruh agar semua tidak mendekat dan
membiarkan Mujiono pada tempatnya.
Di alam bawah sadar itu Mujiono ditemui Bu Maksum yang
menggandeng seorang anak kecil.
“Nak, ibu akan memandikanmu agar tidak sia-sia hidupmu.”
Mujiono mengharap dengan sangat tulus, benar-benar mengharap
agar Bu Maksum mau dimandikannya.
Senyum Bu Maksum tersungging sangat lepas.
Saat siraman pertama dilakukan, Mujiono merasa kepanasan di
bagian tengkuknya, namun itu hanya sesaat saja karena setelah itu dia merasa
sejuk dan enteng. Hanya sekali itu saja ibunya membasuh kemudian mendadak
hilanglah entah ke mana.
Sekuat tenaga Mujiono berteriak memanggil.
“Bu!”
“Ibuuu!”
“Ibuuuuuu!”
Namun, ibunya tidak datang lagi.
Dia terus berteriak hingga akhirnya siuman.
Setelah benar-benar tersadar Mujiono menangis penuh
penyesalan. Dia merasa banyak dosa atas perilakunya selama ini dan malam itu
juga dia pun putusan pulang.
Dia akan menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya, akan
selalu mendampingi keduanya sampai maut menjemput.
Setelah mengutarakan maksudnya dia berpamitan pada semua.
“Kembalilah jika kamu mau,” ucap Mbah Sarko sambil memberikan
uang saku sebagai ongkos.
Mujiono mengucap salam dan berlalu dari kawan-kawannya.
Hasim melepas dengan mata berkaca-kaca.
****
Setidaknya sudah tiga kali bis yang ditumpangi Mujiono macet,
padahal belum ada separuh perjalanan, membuat sopir maupun yang lain karena
merasa ada yang tidak beres.
Ini adalah pertama kali mereka mengalami itu sampai-sampai
sopir berkata pada penumpangnya agar siapa saja yang membawa barang bertuah
supaya pindah ke bis lain karena biasanya benda-benda semacam itulah yang
menjadikan sebuah kesialan.
Mujiono beranjak mencari bis lain meski tidak membawa barang
jimat. Dia merasa bahwa dirinya adalah sumber dari kesialan tersebut dan hal
yang sama kembali ditemui bis yang baru ditumpangi itu juga mengalami kemacetan.
Lagi-lagi Mujiono harus berpindah kendaraan lain dan memilih
melakukan perjalanan dengan pararel, hanya menaiki bis saat akan melewati
perbatasan antar wilayah dan semua terlewati dengan lancar.
****
Sekitar pukul 09.00.
Mujiono sudah sampai di rumah.
Di sana bergerombol pada tetangganya yang membuat perasaan
campur aduk muncul begitu dia mengucap salam.
“Assalamualaikum.”
Semua perhatian tertuju padanya.
Mereka panik dengan segera dia melangkah masuk dan ternyata
ibunya dalam keadaan sakaratul maut.
Saat Mujiono mendekat sang ibu mendadak tersadar dan beberapa
saat memandang Mujiono hingga napas itu pun terhenti. Ibunya telah tiada.
“Bu!”
“Ibuuu!”
“Ibuuuuuu!”
Andainya perjalanan dari Surabaya lancar, dia pasti masih
bisa berbicara dengan ibunya yang ternyata kematian hari ini bertepatan dengan
3 minggu dari kematian ayahnya.
Menangis histeris Miyati yang menggendong seorang bocah juga
berduka teramat dalam.
“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku,” ucap Mujiono membuat semua
orang ikut bersedih.
****
Selepas hari itu Mujiono merasa dirinya menjadi lebih baik. Rasa
sakit yang terkadang muncul di tengkuknya juga telah lenyap.
Ia putuskan berhenti sebagai anggota grup seni jaranan dan
memilih tinggal di kampung membina rumah tangga yang semakin tertata bersama Miyati.
Dia berjanji akan selalu mencurahkan perhatian bagi keluarga terutama si kecil.
Sedangkan Sri tetap dianggap sebagai saudara kandung, tetap
diberi sebagian harta warisan untuk ke depan nanti.
****
16 tahun kemudian.
Rupanya kebahagiaan tidak serta-merta didapatkan.
Mujiono seperti dihukum atas segala perbuatannya di masa lalu.
Meski memiliki pekerjaan yang mampu mencukupi segala
kebutuhan, namun kebahagiaan batin tidak ia temukan.
Eko tumbuh menjadi anak pembangkang, tidak bisa dinasihati,
dan nakal luar biasa.
Berulang kali Mujiono mengeluarkan uang demi menebusnya dari
proses hukum dan hukuman bagi Mujiono tidak sampai di situ saja, suatu hari
saat sedang bekerja sebagai seorang pemasang listrik layaknya pegawai PLN dia
kesetrum dan jatuh bersimbah darah.
Selama bertahun-tahun menjalani pekerjaannya hari itu menjadi
hari yang naas dan musibah tersebut membuat tubuhnya lumpuh bagian kiri.
Keadaannya kini benar-benar mirip saat ia lakoni dulu yakni
saat berprofesi sebagai pengemis.
Meski hanya menjalani pekerjaan menipu selama 10 hari saja,
namun dia tidak akan pernah melupakannya.
Keadaannya semakin memburuk ketika tidak ada yang mau
merawatnya. Baik Eko maupun Miyati memilih menghindar. Bahkan Miyati menggugat
cerai saat sakit tersebut berjalan 9 bulan.
“Biarlah Eko ikut aku, Mas. Dia bukan darah dagingmu.”
Sama sekali Mujiono tidak menyangka jika istrinya berucap
seperti itu. Dia baru sadar bahwa kehamilan Miyati dulu dari benih beberapa
orang bukan dia sendiri.
Nyatanya selama berumah tangga sangat lama Miyati tidak hamil
lagi. Bisa saja ada masalah atas dirinya, tetapi dalam hatinya yakin bahwa Eko
adalah putranya, darah dagingnya.
****
Semenjak perpisahan itu Mujiono dirawat oleh Sri. Dia selalu
berdoa semoga lekas membaik dan menjalani hidup normal kembali.
Hampir setiap senja dia merenung di pusara orang tuanya,
mengingat masa lalu yang tidak tahu siapa yang harus disalahkan.
Mau tidak mau dia harus percaya bahwa liur genderuwo telah
mengubah segalanya.
“Hukum Karma itu berlaku jika kamu masih seperti ini! Anakmu
kelak akan membalasnya dan di saat itulah kamu akan sadar dan menyesal!”
Perkataan yang pernah diucapkan ibunya terus terngiang. Dia
yang pulang meminta dimandikan sang ibu menjadi penyesalan panjang tidak berujung.
Mimpi itu tidak pernah terwujud. Kini dia menunggu keputusan Tuhan atas dirinya,
jika diberi kesembuhan dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan sisa usianya.
SELESAI
No comments:
Post a Comment