Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

TRESNANING WAGIYAH PART 2

 PART 2

Sepeda motor yang mereka tumpangi itu pun terjatuh.

Brakk!

Naasnya Widodo ikut terseret sepeda motor yang mengarah ke kiri. Sedangkan Wagiyah terjatuh dari kendaraan dan terguling ke arah kanan meski sempat terguling beberapa meter.

Wagiyah selamat dan hanya mengalami luka-luka ringan.

Nasib naas dialami Widodo. Ia meninggal di tempat kejadian karena terlindas ban truk pengangkut tebu yang tidak menduga ada orang terjatuh di depannya.

Kejadian yang sangat cepat tanpa bisa dihindari.

Krsak!

Bress!

Suara tulang remuk.

Krak!

Seketika itu pula lalu lintas menjadi macet.

Wagiyah bangkit dari tempatnya terguling. Ia seperti orang linglung, seperti hilang kesadaran, tapi ketika melihat seseorang tengah terkapar di bawah kolong truk seketika itu pula pandangan Wagiyah menjadi nanar.

Wagiyah merangkak menuju jasad yang sudah nyaris tidak berbentuk itu. Ia menyaksikan tubuh hancur calon suaminya.

Dengan pandangan kosong ia belum percaya dengan apa yang terjadi, tapi ia mengenali jasad itu jasad Widodo calon suaminya.

“Tidakkkk!”

“Mas!”

****

Seminggu kemudian.

Acara tahlil malam ketujuh di rumah orang tua Widodo pun usai sudah.

Tamu yang hadir mulai berpamitan satu persatu.

Mereka mencoba menguatkan hati keluarga yang ditinggalkan, tidak terkecuali juga untuk Wagiyah.


Namun, mata Wagiyah semakin sembap. Ia tidak berhenti menangis. Betapa ia harus menyesali kejadian di waktu itu. Mengapa ia tidak ikut mati saja bersama Widodo. Kenapa Tuhan harus menyelamatkan nyawanya. Karena hari ini sepekan sejak meninggalnya Widodo seharusnya menjadi hari yang paling bahagia buat Wagiyah. Hari yang telah lama ia dan Widodo nantikan, namun hanya air mata dan kedukaan yang ia rasakan baik sang bapak maupun calon mertua Wagiyah meski juga terlihat betapa kehilangan, namun ada segurat ketegaran di hati mereka. Dari itulah Mereka mencoba menenangkan Wagiyah dari rasa kehilangannya.

Mereka semua kehilangan dan dengan cara apa pun di waktu kapan pun semua pasti terjadi.

Ya, kematian itu pasti akan terjadi.


“Sudahlah, Nduk. Diikhlaskan saja, ya. Semua sudah menjadi takdir. Biarkan Widodo tenang di alam sana. Yang penting sekarang doakan Widodo supaya diampuni segala dosa-dosanya serta amal kebaikannya diterima. Kita semua ini kehilangan, Nduk. Bukan hanya kamu. Sudahlah. Kamu yang sabar ya, Nduk.”

Sang calon ibu mertua meski juga dengan air mata mengalir deras tampak lebih tabah dan mencoba menenangkan calon menantunya itu.

“Semua ini karena salah saya, Bu. Kalau saya menurut kata bapak, Widodo tidak akan mengalami kecelakaan. Semua ini salah saya, salah saya.”

Raungan tangis Wagiyah pun semakin menjadi-jadi.

“Kalau nyawa itu bisa ditukar, saya rela mati, Bu . Yang penting Widodo bisa hidup kembali. Saya rela menumpahkan darah saya demi Widodo, Bu.”

Sang ibu mertua terus memberikan nasehat bahwa semua sudah tersurat. Kapan, di mana, dan bagaimana, semua sudah tersurat. Ia harus tegar dan harus tangguh.

Kalau benar-benar mencintai Widodo, haruslah tabah meneruskan hidup dan meraih bahagia agar Widodo bisa tersenyum di alam sana.

Di sela tangis Wagiyah itu tanpa sengaja ia menoleh ke arah ruang belakang. Ia melihat sekelebatan orang berjalan. Dari sudut pandang mata Wagiyah ia meyakini sekelebatan orang itu adalah Widodo, padahal pada saat itu semua anggota keluarga sedang berada di ruang depan.

Dengan setengah berteriak Wagiyah menyebut-nyebut nama Almarhum Widodo.

Sorot matanya tertuju ke arah belakang.

Semua yang mendengar tentu saja terkejut.

“Mas Widodo!”

“Mas!” teriak Wagiyah.

“Mana mungkin itu Widodo! Widodo sudah meninggal. Tidak mungkin ia kembali!”

Akan tetapi, Wagiyah segera berdiri, masih dengan menyebut-nyebut nama almarhum.

“Mas Widodo!”

“Mas!”

Ia lantas menuju ke ruang belakang.

“Mas Widodo!”

“Mas!”

Karuan saja semua pandang mata tertuju pada Wagiyah.

Keluarga yang berada di sana terheran sekaligus waswas. Jangan-jangan pikiran Wagiyah mulai terganggu, tapi semua yang berada di ruang tengah itu seketika tertegun, bukan seorang saja, tapi hampir semua yang berada di sana mendengar hal yang sama.

“Wagiyah, aku pulang, Wagiyah.” Itu adalah suara Widodo.

Sontak mereka saling berpandangan lalu disusul bulu tengkuk mereka meremang bersamaan, apalagi saat tiba-tiba saja tercium aroma wangi yang khas di ruang itu. Aroma itu bukan wangi bunga. Beberapa bahkan sempat mengembang kempiskan hidung.

Mereka terbelalak ketika menyadari aroma yang mereka cium adalah wangi kapur barus yang biasanya ditaruh di sekitar jenazah.

Ayah Widodo dan beberapa saudara yang lain segera ikut menghambur ke ruang belakang.

Di sana ia melihat Wagiyah seperti sedang berbicara dengan seseorang, tapi pembicaraan itu tampaknya tidak berlangsung lama.

Wagiyah kembali menangis. Bersamaan itu bau kapur barus itu pun berangsur hilang.

****

Keesokan harinya.

“Demi Allah, Pak! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Aku bahkan sempat berbicara padanya. Dia benar-benar Mas Widodo, Pak!” Wagiyah mencoba meyakinkan ayahnya bahwa Widodo benar-benar pulang. Tentu saja ayahnya tidak mempercayai apa yang dikatakan anaknya.

Sang ayah terlihat sangat kasihan pada anaknya itu.

Pak Rahmat ayahnya Wagiyah menarik nafas dalam-dalam. Beliau pandangi anaknya dengan sorot teduh. Terlihat betapa rasa sedih itu juga beliau rasakan.

Di tengah keharuan itu beliau berucap bahwa semua yang telah mati tidak akan kembali, begitu pula dengan Widodo yang sudah berbeda alam dengan mereka. Ia berada di alam barzah sedangkan mereka masih berada di alam dunia. Meskipun begitu, Wagiyah tetap bertahan dengan pendiriannya bahwa yang ia lihat kemarin adalah benar-benar Widodo.

Begitu pun Pak Rahmat kini, beliau harus berusaha lebih keras menenangkan hati anaknya itu. Jiwa Wagiyah pasti sedang terguncang, dan beliau tidak ingin Wagiyah terlalu dalam kesedihannya. Beliau tidak ingin Wagiyah mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.

****

Hawa dingin di malam itu mulai merayap dan merasuki tulang.

Hujan deras memang baru saja, namun petir masih sekali menggelegar.

Pak Rahmat dan istrinya masih bertahan di ruang tamu. Mereka berdua sesekali menutup telinga dengan kedua tangan ketika kilat yang berkelebat seakan menyambar ke dalam rumah lalu disusul suara petir yang dahsyat.

Klap!

Duar!

Beberapa saat kemudian Pak Rahmat menyuruh agar istrinya beristirahat, tapi sang istri masih terdiam. Pikirannya terus berkecamuk. Beliau sangat prihatin dengan kondisi Wagiyah yang berubah drastis.

Begitu pun dengan Pak Rahmat, beliau bingung tidak tahu harus berbuat apa. Tidak kurang beliau menasihati anaknya. Beliau juga sudah minta Satiman kakak Wagiyah supaya turut memberikan semangat pada adiknya. Tanpa diminta pun sang kakak sudah melakukan itu. Ia bahkan berencana mengenalkan Wagiyah dengan rekan sekantornya, dan sebagai kakak tentulah Satiman tidak akan mengenalkan Wagiyah dengan laki-laki sembarangan.

****

Pak Rahmat dan istrinya tengah dilanda kegundahan yang mendalam.

Bukan saja karena Wagiyah masih bersikukuh bawa hampir setiap malam Widodo datang menemuinya.

BERSAMBUNG KE PART 3

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search