TRESNANING WAGIYAH PART 2
PART 2
Sepeda motor yang mereka tumpangi itu pun terjatuh.
Brakk!
Naasnya Widodo ikut terseret sepeda motor yang mengarah ke
kiri. Sedangkan Wagiyah terjatuh dari kendaraan dan terguling ke arah kanan meski
sempat terguling beberapa meter.
Wagiyah selamat dan hanya mengalami luka-luka ringan.
Nasib naas dialami Widodo. Ia meninggal di tempat kejadian
karena terlindas ban truk pengangkut tebu yang tidak menduga ada orang terjatuh
di depannya.
Kejadian yang sangat cepat tanpa bisa dihindari.
Krsak!
Bress!
Suara tulang remuk.
Krak!
Seketika itu pula lalu lintas menjadi macet.
Wagiyah bangkit dari tempatnya terguling. Ia seperti orang
linglung, seperti hilang kesadaran, tapi ketika melihat seseorang tengah
terkapar di bawah kolong truk seketika itu pula pandangan Wagiyah menjadi nanar.
Wagiyah merangkak menuju jasad yang sudah nyaris tidak
berbentuk itu. Ia menyaksikan tubuh hancur calon suaminya.
Dengan pandangan kosong ia belum percaya dengan apa yang
terjadi, tapi ia mengenali jasad itu jasad Widodo calon suaminya.
“Tidakkkk!”
“Mas!”
****
Seminggu kemudian.
Acara tahlil malam ketujuh di rumah orang tua Widodo pun usai
sudah.
Tamu yang hadir mulai berpamitan satu persatu.
Mereka mencoba menguatkan hati keluarga yang ditinggalkan, tidak terkecuali juga untuk Wagiyah.
Namun, mata Wagiyah semakin sembap. Ia tidak berhenti
menangis. Betapa ia harus menyesali kejadian di waktu itu. Mengapa ia tidak
ikut mati saja bersama Widodo. Kenapa Tuhan harus menyelamatkan nyawanya.
Karena hari ini sepekan sejak meninggalnya Widodo seharusnya menjadi hari yang
paling bahagia buat Wagiyah. Hari yang telah lama ia dan Widodo nantikan, namun
hanya air mata dan kedukaan yang ia rasakan baik sang bapak maupun calon mertua
Wagiyah meski juga terlihat betapa kehilangan, namun ada segurat ketegaran di
hati mereka. Dari itulah Mereka mencoba menenangkan Wagiyah dari rasa
kehilangannya.
Mereka semua kehilangan dan dengan cara apa pun di waktu
kapan pun semua pasti terjadi.
Ya, kematian itu pasti akan terjadi.
“Sudahlah, Nduk. Diikhlaskan saja, ya. Semua sudah menjadi takdir.
Biarkan Widodo tenang di alam sana. Yang penting sekarang doakan Widodo supaya diampuni
segala dosa-dosanya serta amal kebaikannya diterima. Kita semua ini kehilangan,
Nduk. Bukan hanya kamu. Sudahlah. Kamu yang sabar ya, Nduk.”
Sang calon ibu mertua meski juga dengan air mata mengalir
deras tampak lebih tabah dan mencoba menenangkan calon menantunya itu.
“Semua ini karena salah saya, Bu. Kalau saya menurut kata bapak,
Widodo tidak akan mengalami kecelakaan. Semua ini salah saya, salah saya.”
Raungan tangis Wagiyah pun semakin menjadi-jadi.
“Kalau nyawa itu bisa ditukar, saya rela mati, Bu . Yang
penting Widodo bisa hidup kembali. Saya rela menumpahkan darah saya demi Widodo,
Bu.”
Sang ibu mertua terus memberikan nasehat bahwa semua sudah tersurat.
Kapan, di mana, dan bagaimana, semua sudah tersurat. Ia harus tegar dan harus
tangguh.
Kalau benar-benar mencintai Widodo, haruslah tabah meneruskan
hidup dan meraih bahagia agar Widodo bisa tersenyum di alam sana.
Di sela tangis Wagiyah itu tanpa sengaja ia menoleh ke arah
ruang belakang. Ia melihat sekelebatan orang berjalan. Dari sudut pandang mata Wagiyah
ia meyakini sekelebatan orang itu adalah Widodo, padahal pada saat itu semua
anggota keluarga sedang berada di ruang depan.
Dengan setengah berteriak Wagiyah menyebut-nyebut nama Almarhum
Widodo.
Sorot matanya tertuju ke arah belakang.
Semua yang mendengar tentu saja terkejut.
“Mas Widodo!”
“Mas!” teriak Wagiyah.
“Mana mungkin itu Widodo! Widodo sudah meninggal. Tidak
mungkin ia kembali!”
Akan tetapi, Wagiyah segera berdiri, masih dengan menyebut-nyebut
nama almarhum.
“Mas Widodo!”
“Mas!”
Ia lantas menuju ke ruang belakang.
“Mas Widodo!”
“Mas!”
Karuan saja semua pandang mata tertuju pada Wagiyah.
Keluarga yang berada di sana terheran sekaligus waswas. Jangan-jangan
pikiran Wagiyah mulai terganggu, tapi semua yang berada di ruang tengah itu
seketika tertegun, bukan seorang saja, tapi hampir semua yang berada di sana mendengar
hal yang sama.
“Wagiyah, aku pulang, Wagiyah.” Itu adalah suara Widodo.
Sontak mereka saling berpandangan lalu disusul bulu tengkuk
mereka meremang bersamaan, apalagi saat tiba-tiba saja tercium aroma wangi yang
khas di ruang itu. Aroma itu bukan wangi bunga. Beberapa bahkan sempat
mengembang kempiskan hidung.
Mereka terbelalak ketika menyadari aroma yang mereka cium
adalah wangi kapur barus yang biasanya ditaruh di sekitar jenazah.
Ayah Widodo dan beberapa saudara yang lain segera ikut
menghambur ke ruang belakang.
Di sana ia melihat Wagiyah seperti sedang berbicara dengan
seseorang, tapi pembicaraan itu tampaknya tidak berlangsung lama.
Wagiyah kembali menangis. Bersamaan itu bau kapur barus itu
pun berangsur hilang.
****
Keesokan harinya.
“Demi Allah, Pak! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Aku
bahkan sempat berbicara padanya. Dia benar-benar Mas Widodo, Pak!” Wagiyah
mencoba meyakinkan ayahnya bahwa Widodo benar-benar pulang. Tentu saja ayahnya
tidak mempercayai apa yang dikatakan anaknya.
Sang ayah terlihat sangat kasihan pada anaknya itu.
Pak Rahmat ayahnya Wagiyah menarik nafas dalam-dalam. Beliau pandangi
anaknya dengan sorot teduh. Terlihat betapa rasa sedih itu juga beliau rasakan.
Di tengah keharuan itu beliau berucap bahwa semua yang telah
mati tidak akan kembali, begitu pula dengan Widodo yang sudah berbeda alam
dengan mereka. Ia berada di alam barzah sedangkan mereka masih berada di alam
dunia. Meskipun begitu, Wagiyah tetap bertahan dengan pendiriannya bahwa yang
ia lihat kemarin adalah benar-benar Widodo.
Begitu pun Pak Rahmat kini, beliau harus berusaha lebih keras
menenangkan hati anaknya itu. Jiwa Wagiyah pasti sedang terguncang, dan beliau
tidak ingin Wagiyah terlalu dalam kesedihannya. Beliau tidak ingin Wagiyah mengalami
sesuatu yang tidak diinginkan.
****
Hawa dingin di malam
itu mulai merayap dan merasuki tulang.
Hujan deras memang baru saja, namun petir masih sekali
menggelegar.
Pak Rahmat dan istrinya masih bertahan di ruang tamu. Mereka
berdua sesekali menutup telinga dengan kedua tangan ketika kilat yang
berkelebat seakan menyambar ke dalam rumah lalu disusul suara petir yang
dahsyat.
Klap!
Duar!
Beberapa saat kemudian Pak Rahmat menyuruh agar istrinya
beristirahat, tapi sang istri masih terdiam. Pikirannya terus berkecamuk. Beliau
sangat prihatin dengan kondisi Wagiyah yang berubah drastis.
Begitu pun dengan Pak Rahmat, beliau bingung tidak tahu harus
berbuat apa. Tidak kurang beliau menasihati anaknya. Beliau juga sudah minta Satiman
kakak Wagiyah supaya turut memberikan semangat pada adiknya. Tanpa diminta pun
sang kakak sudah melakukan itu. Ia bahkan berencana mengenalkan Wagiyah dengan
rekan sekantornya, dan sebagai kakak tentulah Satiman tidak akan mengenalkan Wagiyah
dengan laki-laki sembarangan.
****
Pak Rahmat dan istrinya tengah dilanda kegundahan yang
mendalam.
Bukan saja karena Wagiyah masih bersikukuh bawa hampir setiap
malam Widodo datang menemuinya.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment