MISTERI SULIKAH EPISODE 4
AKHIR PERJALANAN HIDUP (EPISODE TERAKHIR)
Dalam keadaan panik dan suasana yang nyala padam Sri segera
meninggalkan tempat itu untuk menuju kamar.
Suatu hal menegangkan terjadi di malam itu, sebelum Sri beranjak
ke kamar, pandangannya mengarah pada sosok Sugiyem. Pembantu itu memasang
wajahnya kembali, dan terlihat wajah itu berubah menjadi perempuan yang kala
itu menggendong Sulikah sewaktu mereka berhenti di sebuah gubuk geribik, raut
muka yang masih tersimpan di dalam benak Yadi maupun Sri.
Sosok tersebut lalu menghilang, disusul dengan Diah yang ada
di kamar berhenti menangis.
Yadi yang tersadar lantas mengikuti istrinya berlari menuju
kamar, dan mereka tidak melihat Diah pada tempatnya.
“Tidak!”
“Anakku.”
Di saat itulah muncul Sugiyem yang kembali datang.
“Apa yang terjadi?” tanya Sugiyem penuh keheranan.
“Di mana anakku. Hu hu hu.”
“Di mana anakku!” bentak Sri kepada Sugiyem.
“Kembalikan anakku!”
Sugiyem yang merasa kebingungan terus membela diri. Dia
berusaha meyakinkan bahwa dirinya baru pulang dari rumah Bu Eva mengantarkan
apa yang disuruh Sri.
Mendengar jawaban itu Sri pun pingsan.
Kini tidak ada yang bisa dilakukan Sri dan Yadi. Mereka hanya
merasa menyesal atas perbuatannya pada Sulikah, bahkan kini anak kandung mereka
menjadi korbannya.
****
Tiga hari kemudian.
Hampir setiap tengah malam hantu ibu kandung Sulikah datang
bersama dengan suara tangis Diah, diakhiri dengan bahak tawa sosok tersebut
yang sangat menakutkan.
Setelah tiga hari gangguan selalu datang, akhirnya Yadi mulai
memanggil orang pintar untuk menyelesaikan masalahnya, tapi sudah empat orang
yang didatangkan, semuanya tidak mampu melawan. Mereka menyerah dengan kekuatan
sosok tersebut.
Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, berharap di
kampung lebih tenang dan ada jalan keluar dari apa yang telah menimpa mereka.
****
“Apa kamu masih ingat di mana tempat kita menemukan Sulikah
dulu, Mas?” Sri berucap lirih.
Yadi hanya diam. Diperhatikannya semua sepanjang pinggir
jalan, tidak terlihat ada rumah di sana. Jelas sekali dalam ingatannya kalau
dulu di sekitar itulah berdiri sebuah gubuk dengan temaram lampu templok.
Sri yang pernah menggendong dulu ikut memandangi tempat
tersebut. Mereka hanya saling diam saja saat tidak menemukan rumah yang dicari.
Saat kembali fokus pada jalan, Yadi mengerem mobilnya secara
mendadak.
Ciiiiitt!
Yadi seperti melihat Sulikah dan menabraknya.
Jelas sangat terasa kalau dia menabrak sesuatu.
“Ada apa, Mas!” Sri dengan nada gemetar.
“Tidak.” Yadi menjawab lalu turun menengok ke depan mobilnya.
Tidak ada apa pun yang tertabrak.
Kemudian dengan panik dia pandangi setiap sudut di sekeliling.
Tidak ada yang tampak aneh. Semua terlihat normal, yang aneh hanya suasananya
sangat sunyi. Tidak ada satu pun mobil ataupun motor yang lewat.
Yadi pun kembali masuk ke dalam mobil.
“Ada apa, Mas! Apa yang kamu lihat!” Sri yang masih penasaran
kembali bertanya.
Belum sempat Yadi menjawab, mereka dikejutkan dengan
kehadiran Sulikah.
“Akh!”
Sosok itu menangis sambil mengusap darah segar di betis
kirinya.
Sejenak kemudian dipandangi ayah dan ibunya dengan tajam,
lalu menghilang.
Blep!
Dengan hati tidak karuan, Yadi kembali melanjutkan perjalanan.
****
Yadi hampir mengalami kecelakaan beberapa kali, tapi
beruntunglah semua mampu dihindari sampai tujuan.
Di rumah orang tua Sri tampak ramai. Kemudian mereka
mendengarkan cerita Yadi dengan saksama.
Sementara Sri terus terisak di samping ibunya. “Kamu telah melakukan kesalahan besar, Anakku.”
“Dan kenapa baru sekarang kalian buka rahasia tentang Sulikah?”
ucap Ayah Yadi.
“Maafkan kami, Pak. Kami tidak menyangka akan ada kejadian
seperti ini,” ucap Yadi dengan menangis.
“Kalian telah ingkar janji dengan membuang Sulikah. Biarpun
dia kurang sempurna, tetapi anak itu telah memberi kebahagiaan pada kalian. Bahkan
dengan kehadirannya mampu menambah kebahagiaan dengan hadirnya Diah,” tutur ayahnya
kemudian.
“Ya sudahlah, Kang. Semua sudah terlanjur terjadi. Sekarang
sama-sama kita pikirkan bagaimana jalan keluar untuk masalah ini,” ucap ibunya
meredam suaminya.
Di dalam kekalutan itu ayahnya Yadi kemudian menceritakan
tentang sosok angker di perbatasan yakni di tempat Yadi menemukan Sulikah.
“Dari legenda yang beredar di tempat itu memang ada sosok
penunggu gaib namanya dikenal luas dengan Nyi Suketi.”
“Dari kisah yang ada, diceritakan kalau hutan perbatasan itu
merupakan tempat bersemadi bagi pasangan yang ingin mendapatkan momongan.”
“Namun kebanyakan hanya petaka dari Allah yang didapat.”
“Nyai Suketi sendiri dalam sejarahnya adalah seseorang istri
Patih yang dalam perjalanan hidupnya dia merasa tersiksa karena ulah sang Patih.”
“Hal itu terjadi karena Nyi Suketi tidak mampu memberikan keturunan
sesuai keinginan sang Patih.”
“Dari siksaan batin yang sangat kuat, dia pun ditinggal oleh suaminya yang
kemudian dia berjalan tanpa arah mencari ketenangan jiwa, hingga saat tiba di
sebuah hutan, dia bertemu dengan seorang Pertapa. Akhirnya ketenteraman batin
mulai ditemui.”
“Sang Pertapa memberikan arahan agar menghilangkan semua
jenjang dan masalah duniawi. Hingganya ia pun bertapa di tempat tersebut.”
“Tepatnya di sisi sebuah batu besar, diyakini Nyi Suketi
hilang secara gaib di sana.”
“Dan kemudian seiring bergulirnya waktu, batu tersebut
menjadi tempat semadi bagi siapa pun yang ingin mendapatkan momongan.”
“Dari wangsit yang selalu didapatkan, mereka pasti disuruh agar
mengambil anak pupon, yakni anak yang diasuh sejak bayi dan dianggap sebagai
anak sendiri, yang kemudian muncul pendapat dari masyarakat bahwa anak pupon
adalah anak yang mampu memancing kehamilan dan pemikiran itu pun masih
berlanjut hingga sekarang.”
****
Malam itu akhirnya mereka putuskan mencari orang pintar.
Mereka akan menemui seorang dukun tersohor yang Tidak diragukan lagi
kedigdayaannya, dan malam ini juga mereka berangkat ke sana, namun hanya tiga orang saja yang berangkat
yakni Yadi, dan istrinya, yang ditemani Ayah Yadi.
BAGIAN 5
Sesampainya di sana mereka duduk di teras rumah yang terlihat
angker. Sambil menunggu satu pasien di dalam mereka masih duduk dalam ketegangan.
Di rumah yang jauh dari pemukiman warga, rumah dari anyaman bambu yang cukup besar itu
hanya dihuni sang dukun dan istrinya diketahui kalau anak-anak mereka telah
berumah tangga dan tinggal di kota.
Setelah pasien keluar, mereka segera masuk.
Dukun memakai baju serba hitam dan jari tangannya dipenuhi
akik warna-warni itu mendengarkan masalah yang diceritakan Yadi.
Begitu selesai, tanpa basa-basi sang dukun lalu mulai
melakukan ritual.
“Aku mendengar suara menggema tanpa wujud.”
“Suara yang sama. Penuh kemarahan.”
Selesai ritual singkat, sang dukun kembali duduk bersila dan
menghabiskan sisa kopinya yang tinggal beberapa teguk saja.
Sang dukun berucap kalau sosok hantu itu mempunyai kekuatan
yang luar biasa .
“Apakah anak kami masih bisa diselamatkan, Mbah?”
“Dia sudah menunggu kita di tempat tinggalnya. Besok petang
kita berangkat ke sana. Sekarang kalian pulanglah,” balas sang dukun.
Meski belum puas dengan penjelasan sang dukun, namun mereka
tetap beriringan meninggalkan rumah itu.
****
Bada Ashar.
Yadi yang didampingi istri sampai di rumah Mbah Kabul, sang
dukun kemarin yang mereka datangi.
Setelah menyiapkan segala keperluan mereka pun melaju memulai
perjalanan.
****
Dengan mengendarai
mobil, mereka tiba setelah bada Isya.
Di sekitar lokasi, Yadi dan Sri melihat dengan saksama. Mencari
di mana letak persis rumah yang dijumpainya dulu.
Yadi tiba-tiba menghentikan mobilnya.
Ciitttttt!
Dia melihat seseorang yang dikenalnya ada di seberang jalan,
dia adalah Fitrah, yang merupakan salah satu karyawannya di pabrik.
“Fitrah!” Yadi memanggil Fitrah yang tidak begitu jelas
wajahnya.
Yadi pun mendekat. “Kamu dari mana, ha?”
Belum sempat Fitrah menjawab tiba-tiba Mbah Kabul turun dari
mobil. Dia melihat Sulikah melambaikan tangan di balik semak.
Serentak semua turun dan mengikuti Mbah Kabul, termasuk
Fitrah.
“Mbah, ada apa!”
Mereka melewati motor Fitrah yang terparkir di bawah pohon
beringin yang besar, lalu berjalan masuk ke semak.
Fitrah hanya diam dan di benaknya dipenuhi tanda tanya.
Sampailah mereka di sebuah makam tanpa ada dua kuburan lain
di sana. Makam yang masih terlihat baru dengan bunga segar di atasnya.
“Makam siapa ini, ha?”
“Apa yang kamu lakukan di sini, Fitrah?”
“Maaf, Pak. Aku tadi ke sini menguburkan seorang anak.”
Fitrah berucap disusul dengan bercerita kalau makam baru itu tempat dia
mengubur seorang anak. Sementara beberapa orang yang membantu termasuk Pak
Modin sudah lebih dulu pulang.
Cerita itu dilanjutkan. “Beberapa hari yang lalu saya bertemu
dengan seorang anak perempuan. Anak tersebut kesakitan seperti habis dianiaya.”
“Kata dokter ada pendarahan di otaknya. Sangat serius. Karena
mungkin terbentur benda keras,” terang Fitrah.
“Sebelum meninggal dunia, anak itu mengajak saya ke hutan ini.
Dia minta dimakamkan di sini, Pak.”
Memang benar ucapan itu, sehari kemudian bocah malang itu
meninggal dunia dan Fitrah memenuhi keinginan terakhirnya itu.
Fitra selesai bercerita, muncullah ibu kandung Sulikah. Diah
anak yang berada di gendongannya menangis dengan sangat keras, sedangkan Sulikah
yang digandengnya memegang muka yang masih mengeluarkan darah.
Sri yang melihat Diah berteriak-teriak histeris memanggil putri
kandungnya.
“Diah, Anakku!”
“Kembalikan anakku!”
Sejenak kemudian Mbah Kabul duduk bersila, lalu menyuruh Yadi
meletakkan dupa yang ditaruh di hadapannya sambil mulutnya komat-kamit.
Terdengar mobil berlalu-lalang dengan klakson ringan, tapi
mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di balik semak hutan yang mereka
lewati.
Sejurus kemudian sosok perempuan itu mulai menyerang Mbah
Kabul. Dia mendekat, menyingkirkan dupa yang mulai berasap, lalu selendangnya yang digunakan untuk menggendong Diah, dililitkan
pada tubuh dukun sakti itu.
Berniat membantu, Yadi langsung terpental ke samping dan
menghantam pohon bahkan hanya dengan satu kibasan tangan.
Seketika sosok itu berubah sangat menakutkan. Kepalanya terlepas
dari tubuhnya, melayang-layang mendekati wajah Mbah Kabul yang terus berusaha
melepaskan lilitan di tubuhnya.
“Lepaskan!”
“Lepaskan!”
“Akh!”
Tidak ada yang berani bergerak saat itu baik Sri, Fitrah,
atau pun Yadi.
Beberapa saat kemudian lilitan selendang itu terlepas dari
tubuh Mbah Kabul dan saat itu pula kepala sosok itu langsung menembus tubuh
Mbah Kabul hingga jebol.
Des!
Jrat!
“Akh!”
Jrat!
Sungguh pemandangan yang mengerikan. Darah pun berceceran ke mana-mana.
Sang dukun pun tumbang tidak berkutik!
(Ladalah! Jare dukun
sakti! Piye to, Bul, Kabul. Ha ha ha).
****
Di satu sisi, Sulikah menarik tangan Yadi dan mengajaknya.
Sri menjerit-jerit memegang sang suami, sementara Yadi yang berontak dengan
ajakan Sulikah membuat anak itu menjadi marah.
Sulikah pun menarik tangan Yadi hingga terlepas dari tubuhnya.
Melihat kengerian itu membuat Yadi berteriak kesakitan. Tak lama kemudian tubuh
Yadi ambruk.
Bruk!
Fitrah sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Dia kebingungan
dengan semua yang dilihatnya.
Setelah Yadi tumbang dengan berlumuran darah, Sri yang
ditarik secara gaib menjerit meminta ampun, hingga tanpa daya, tubuh Sri dilemparkan.
Wuing!
Wuzz!
Bruk!
Terhantam ranting semak berduri yang membuat wajah Sri hancur!
Gerosak!
Bruk!
“Akhhhh!!”
Dengan kemarahan, sosok itu membelah tubuh Diah menjadi dua
bagian.
Krat!
Jrat!
Srat!
Anak tidak berdosa itu menjadi korban keganasan sosok
perempuan mengerikan itu.
Darahnya muncrat mengguyur wajah kedua orang tuanya yang
berteriak histeris.
Jrat!
Cur!
“Akhhhh!”
Sulikah hanya diam mematung, dan masih memegang tangan Yadi
yang putus.
Kemudian sosok itu tertawa hingga tidak menyangka ada
gumpalan api yang mengarah padanya.
Wus!
Menembus jantung.
Blar!
Lalu menuju Sulikah.
Wus!
Yang kemudian membakar keduanya.
Blar!
Gratak!
Gratak!
Gratak!
Rupanya sebelum menutup mata, Mbah Kabul masih sempat
menyingkirkan kedua hantu itu, meskipun Diah tidak tertolong. Mbah Kabul masih
sempat membaca mantra dan menarik tubuh Diah untuk diubah menjadi gumpalan api
yang dilepas untuk mengembalikan kedua hantu. (Amazing, Mbah Kabul. Ha ha ha.)
Lalu kemudian Mbah Kabul menutup mata untuk selama-lamanya. (Walah?).
Fitrah bangkit dari rasa gemetarnya. Dalam keremangan cahaya
bulan dia melihat darah berceceran dimana-mana. Dia mendekati Yadi dan Sri yang
masih berteriak histeris memegangi muka.
“Akhhh!”
“Apa kamu mengenal mereka, Fitrah?” tanya Yadi saat melihat
anak buahnya itu.
Fitrah menjawab kalau sosok itu adalah budenya.
“Namanya Suwati. Dia menghilang sekitar delapan tahun yang
lalu dalam keadaan hamil besar.”
“Semasa hidupnya Suwati kesulitan mendapat anak hingga dia
pergi dari kampung.”
“Diyakini kalau dia melakukan ritual, yaitu melakukan semadi.”
“Pelaksanaannya hanya memakai jarit yang telah disiram dengan
air ketuban tiga orang yang akan melahirkan dalam hari yang sama.”
“Suaminya adalah Mujiono, yang menganggap kalau istrinya
sudah gila, lalu dia berselingkuh dengan seorang perempuan pemilik warung kopi.”
“Ketika kembali hendak mengabarkan berita kehamilannya, Suwati
malah dituduh telah melakukan selingkuh dengan lelaki lain.”
“Suwati yang merasa dikecewakan suaminya berkata kalau dia
akan bunuh diri, dan membuat menyesal siapa pun yang telah membuatnya tersakiti,
dan itu terbukti dengan meninggalnya secara misterius.”
****
1 tahun kemudian.
Sri masuk rumah sakit jiwa karena terus berteriak tidak jelas
sejak kejadian itu, begitu pun Yadi yang buntung juga mengalami depresi berat.
Keduanya harus menerima akibat dari apa yang telah diperbuat,
mengingkari janji dengan menyia-nyiakan anak pupon.
Kehidupan yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan berakhir
dengan kisah tragis yang harus mereka lewati. Tuhan telah menulis kisah hidup
umatnya dengan berbagai cerita.
TAMAT
No comments:
Post a Comment