Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

KISAH YUK SURIYAH YANG KONON MATI DAN ARWAHNYA GENTAYANGAN

 


Kabar kematian Yuk Suripah.

Sore itu di pertengahan tahun 1994 suasana Kampung Bangorejo tidak seperti biasanya.

Hangatnya riuh canda dan aktivitas warga perkampungan yang berlokasi di sekitar wilayah kota Kabupaten Banyuwangi ini mendadak sendu dalam kesedihan, tepatnya setelah kabar meninggalnya salah satu warga yang biasa dipanggil Yuk Suripah.

“Semoga amal ibadahmu diterima dan wafatmu Khusnul Khotimah, ya.” Seakan kalimat itu bergumam di bibir warga dari rumahnya masing-masing sesaat setelah suara pengumuman kematian yang terdengar dari sepiker Musala.

****

Dulu semasa hidupnya.

Semua warga tahu bahwa Yuk Suripah bukanlah warga asli kelahiran kampung mereka. Dia anak angkat dari Mbah Turisan pemilik pagelaran seni drama dan tarian yang populer di zamannya.

Konon kedua orang tua kandung Yuk Suripah ini meninggal dunia karena menjadi korban pembegalan di era tahun 70-an.

Di bawah asuhan dan bimbingan Mbah Turisan.

Suripah remaja tumbuh menjadi seorang penari, penyanyi, dan pemain drama yang bertalenta.

Kepiawaiannya tersebut membuat ia sangat terkenal di sekitar wilayah Kabupaten Banyuwangi, bahkan ketenaran namanya sampai ke tingkat Keresidenan di Jawa Timur.

Selain itu, ia juga memiliki talenta sebagai pengusaha dan jiwa pemimpin, ini terbukti sepeninggal Mbah Turisan dia mampu melanjutkan memimpin, serta mengelola sanggar teater peninggalan orang tua angkatnya tersebut.

Bahkan usahanya pun merambah sampai ke persewaan sound sistem.

Selain masih muda dan cantik Yuk Suripah juga dikenal dermawan. Tidak jarang beberapa kali jika ada warga masyarakat yang sedang mengadakan acara hajatan, pernikahan, atau khitanan, mereka tidak segan meminta tolong dan meminta bantuan pada Yuk Suripah untuk mendukung kelangsungan acaranya.

Namun pencapaian serta harfiah duniawi ini mungkin tidak sebanding dengan apa yang dirasakan dalam kehidupan pribadinya.

Meskipun Yuk Suripah memiliki wajah cantik, tubuh yang bagus, kaya, dan baik hati, tetapi dalam kisah cintanya, dia belum bisa dikatakan sukses.

Di usia yang mendekati separuh baya statusnya masih lajang.

Jangankan keturunan, pasangan hidup atau suami pun belum dimiliki.

Dia menjalani hidupnya dalam kesendirian hampir 4,5 tahun, dan kemudian menderita sakit.

Entah apa jenis penyakit yang diderita, tapi yang pasti pengobatan secara medis dan alternatif pun belum mampu untuk mengidentifikasi dan mengobatinya, karena secara fisik tidak ada tampak hal yang aneh atau kelihatan dia sedang sakit.

Tidak ada luka atau kondisi badan yang kurus lemah, sama sekali tidak tampak.

Mungkin orang yang belum tahu pun menganggap dia sehat, karena semua kelihatan baik-baik saja.

Namun tidak jarang orang-orang sekitar mengabarkan bahwa aroma tubuh dari Yuk Suripah cukup membuat mual dan muntah. Bahkan hanya untuk sekadar berbicara dengannya saja aroma tersebut seakan menguap dan menusuk hidung bagi lawan bicaranya.

Tidak jarang pula warga mencibir dan menyatakan kalau Yuk Suripah ini sedang kena karma, kena paten, atau jenis santet agar korban tidak melakukan kawin, dan bermacam pikiran liar lainnya. Kendati demikian, Yuk Suripah tidak pernah menggugurkan silaturahmi dengan warga.

Mungkin dalam pikirannya, semua terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga yang bisa dia perbuat hanya menjalani hidup dan kehidupan semampunya.

Memang semenjak popularitasnya meredup dan usahanya lambat laut mengalami penurunan sampai bangkrut, ditambah kondisi kesehatan yang tidak baik, dia memilih tinggal menjauh dari pemukiman warga kampung, tepatnya berada di pinggiran selatan kampung.

Tampak rumah sederhana dengan luas lebih dari 15 meter persegi.

Berapa benteng khusus dengan paduan susunan batu bata merah dan bambu anyam sebagai dindingnya. Di rumah inilah Yuk Suripah tinggal. Seorang wanita yang pernah berjaya dengan ketenaran dan bergelimang harta.

****

Kembali kepada kematian Yuk Suripah.

Tampak beberapa ibu-ibu yang sedang sibuk mengurus persiapan proses memandikan jenazah. Sesekali terlihat pula di antara mereka menyergah dan menutup hidung dengan punggung lengan tangannya, seperti tidak betah dengan suatu aroma.

Bahkan di antara mereka ada yang memercikkan ludah tanda mual dan jijik, dirasakan ketika ada yang menyingkap kain penutup wajah dari jenazah terbelalak tajam mulut menganga dan lidahnya yang menjulur hampir keluar.

Dalam suasana itu, yang terdengar hanya lirih suara-suara warga membaca kalimat-kalimat zikir dan ayat Alquran, dan surat-surat pendek, membuat keadaan semakin sedih menahan pilu bercampur dengan hawa aroma yang tidak nyaman menjadi satu dari mayat Yuk Suripah.

****

Hari-hari pun berlalu.

Keadaan Bangorejo kembali dengan rutinitas normal seperti biasanya. Warga beraktivitas sesuai dengan keperluan dan profesinya masing-masing, namun suasana itu tidak berlangsung lama tatkala warga mulai menyuarakan rumor tentang teror gangguan dari Yuk Suripah.

Tidak sedikit dari warga yang memberikan kesaksian terkait hal mistis yang mereka alami. Kabar dan perbincangan mengenai gangguan tersebut hampir terjadi di setiap saat. Ada saja kisah cerita yang cukup membuat bulu kuduk merinding saat mendengarnya.

 Ada yang mengisahkan teror yang terjadi di rumahnya, di ladang, bahkan sampai ada yang merasa tidak tenang karena gangguan tersebut hampir setiap hari dialaminya.

Masih hangat menjadi perbincangan mengenai kejadian horor yang dialami salah satu warga, Muhaimin namanya. Kebetulan dia adalah penjaga kebun semangka milik juragan kampung sebelah.

Sudah menjadi tugasnya untuk melindungi dan mengamankan buah semangka yang siap panen dari gangguan pencuri atau minimal dua buah semangka tersebut aman dari serangan hewan liar pemakan buah.

Malam itu, seperti biasanya Muhaimin melakukan pemeriksaan dan patroli di sekitar kebun semangka. Saat dia sedang berjalan menyusuri tepian area kebun yang kebetulan letaknya berdekatan dengan rumah mendiang Yuk Suripah, sayup-sayup dia mendengar suara wanita sedang menangis lirih.

Dengan segera Muhaimin menyalahkan lampu sorot ke sekitar area kebun untuk mencari tahu di mana asal suara tangisan tersebut.

Tiba-tiba matanya membelalak mengikuti arah salat. Tampak olehnya dari ujung ada sosok wanita muda sedang duduk tertunduk di dekat pematang.

Muhaimin mempercepat langkahnya untuk mendekat dan khawatir telah terjadi sesuatu terhadap sosok wanita itu.

Anehnya semakin Muhaimin mendekati sosok tersebut, namun jarak sosok tersebut seakan makin jauh dari posisinya, meskipun dia melangkah sudah cukup jauh dari tempat semula, tapi tidak pernah sampai pada sosok tersebut.

Sadar ada yang tidak beres Muhaimin pun berhenti, dan dengan segala keberanian yang tersisa dia hanya bisa membaca ayat-ayat Alquran yang dia ingat semampunya.

Dalam kepanikan itu, mata Muhaimin terpejam merapat, namun semakin dalam matanya terpejam semakin jelas tergambar akan sosok wanita dengan wajah rusak dan berdarah-darah. Kepalanya hancur sebelah.

Sosok itu berdiri sambil memegang erat pundak kanan Muhaimin.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, Muhaimin sudah tidak bisa mengingatnya lagi karena dia telah hilang kesadaran. Dia baru tersadar dengan kondisi sudah tergeletak di atas papan kayu di gubuk tempat bisa ia menunggu kebun.

****

Menyikapi keadaan teror yang dialami oleh sebagian besar warga kampung dan keluhan-keluhan atas kondisi yang tidak nyaman, akhirnya dengan penuh kebijaksanaan para perangkat kampung dan sesepuh kampung mengadakan sebuah pertemuan khusus untuk membahas dan menyelesaikan hal tersebut bersama-sama warga.

****

Akhirnya pertemuan diadakan di Masjid yang berada tepat di tengah-tengah kampung.

Hampir seluruh warga menghadiri satu persatu.

Kemudian mereka diminta untuk menyampaikan dan menceritakan apa yang mereka alami.

Mendengar penuturan dari kisah para warga, rata-rata dari setiap kejadian yang mereka alami selalu ada hal penting yang ingin disampaikan oleh sosok yang mereka duga adalah arwah gentayangan Yuk Suripah karena menganut sesuatu yang bisa mendongkrak popularitasnya sebagai penari dan pemimpin rombongan.

Para warga menduga, seakan-akan sosok atau yang dianggap arwah mendiang Yuk Suripah yang meninggalkan sebuah pesan permintaan, sepertinya belum sempat ditunaikan di masa hidupnya.

Mayoritas warga tidak memungkiri kalau semasa hidupnya Yuk Suripah ini adalah orang yang baik, tetapi mereka juga mengerti bahwa Yuk Suripah ini termasuk pribadi yang tertutup, sehingga warga pun tidak pernah tahu hal apa yang sebenarnya terjadi terhadap diri dan kehidupannya selama ini.

Diskusi malam itu memutuskan untuk menemui Mas Untung yang memang diketahui dekat dengan Yuk Suripah.

****

Cerita Mas Untung.

Siapa yang tak kenal dengan Mas Untung? Hanya saja semenjak kematian Yuk Suripah, Mas Untung masih menumpang di rumah salah satu warga di kampung sebelah. Karena warga juga memaklumi bila Mas Untung memang tidak punya saudara atau hidup sebatang kara.

Mas Untung adalah bagian dari rombongan panjak yang akan ikut ke mana Yuk Suripah menari.  Karena itulah, akhirnya beberapa warga sepakat untuk membawa Mas Untung ke Masjid.

Warga berharap kalau arwah Yuk Suripah yang konon kerap menghantui warga tidak lagi mengusik ketenangan kampung dan mereka berharap ada sesuatu yang akan disampaikan Mas Untuk perihal pesan yang mungkin ingin disampaikan oleh arwah Yuk Suripah.

Warga juga tahu, semenjak Yuk Suripah sakit dan nama besar Yuk Suripah meredup, Mas Untung bekerja serabutan di kampung lain sekedar bantu-bantu warga yang membutuhkan tenaganya, asal bisa makan demi kelangsungan hidupnya.

Warga masih menunggu datangnya Mas Untung, tapi beberapa warga yang diutus untuk menjemput Mas Untung belum juga terlihat.

Tak lama berselang, terlihat Yuk Darmi yang tergopoh-gopoh berlarian kecil memakai payung, juga ikut hadir meski sedikit terlambat.

Wajah Yuk Darmi terlihat pucat, dan di depan semua yang hadir di Masjid itu Yuk Darmi menceritakan bahwa. “Saya baru saja melihat dan mengikuti Mas Untung.”

“Saya mengikuti langkahnya sampai jauh.”

“Kapan?” tanya salah satu lelaki yang terlihat berkerumun saat Yuk Darmi datang dengan terengah-engah tadi.

“Hampir 1 jam yang lalu,” jawab Yuk Darmi.

“Saya melihat kalau Mas Untung sedang menangis di atas kuburan, tetapi ....”

Ucapan Yuk Darmi terhenti saat tiga lelaki yang diutus untuk menjemput, datang bersama Mas Untung.

Kegaduhan sempat terjadi setelah tadi secara saksama semua warga yang hadir sempat mempertanyakan cerita Yuk Darmi yang memang dikenal warga sebagai tukang nyinyir serta kerap menabur kebencian, terlebih kepada mendiang Yuk Suripah semasa hidupnya.

Beruntung para perangkat kampung menenangkan kembali suasana karena orang yang mungkin bisa menjelaskan semua teror telah hadir, yaitu Mas Untung.

Yuk Darmi kemudian dipersilakan duduk bersama beberapa ibu-ibu yang juga turut hadir. Meski begitu, sempat ia melempar pandang tak suka kepada Mas Untung.

Di tengah hujan yang sedang turun akhirnya Mas Untung datang dan dipersilahkan untuk duduk, berada di antara warga malam itu.

****

Ditemani suara air hujan yang turun mengenai atap serambi Masjid, Mas Untung bicara dengan cukup berat dan tertatih.

Dia pun mulai menyampaikan keadaan sebenarnya.

“Aku memanggil Yuk Suripah yang kalian kenal dengan sebutan mamak.”

“Mak Suripah pernah mengasuhku kala itu, hingga kebangkrutannya, membuatku memilih untuk pergi meninggalkan kampung ini.” Mas Untung membuka cerita.

“Apa yang kalian tuduhkan jelas tidak beralasan kalau Mak Suripah gentayangan karena menganut ilmu tertentu.”

“Semua bermula saat Mak Suripah yang sering aku temani, diundang untuk tampil memeriahkan acara dari salah satu partai yang cukup besar.”

“Rombongan Mak Suripah diminta tampil beberapa kali di tempat dan malam yang berbeda. Sampai di suatu wilayah, kami bertemu dengan salah seorang petinggi wilayah tersebut lalu diberikan jamuan.”

“Petinggi itu kemudian menyuruhku untuk bergabung dengan para panjak yang lain.”

 “Aku dan para panjak yang sudah lama menunggu akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Mak Suripah, hingga peristiwa itu tidak terjadi.”

“Mak Suripah bercerita dengan wajah ketakutan kala itu kepadaku.”

“Ceritanya setelah aku meninggalkan ruangan. Betapa terkejutnya Mak Suripah saat itu, karena tiba-tiba saja salah satu petinggi partai tersebut mencoba melakukan perbuatan tidak senonoh.”

“Dia hendak memperkosa Mak Suripah di sebuah kamar yang disediakan untuk rias mempersiapkan penampilan.”

Mas untung sejenak menghembuskan apas yang begitu berat saat kembali mengenang masa kelam dan kini harus menceritakannya di hadapan semua yang hadir.

“Sesaat aku melihat Mak Suripah dalam kondisi syok, tapi demi nama baik, rombongan panjak harus tetap tampil menghibur dan memberikan sajian terbaik.”

“Hingga saat mereka meminta sisa pembayaran atas penampilan tersebut, namun para politisi justru mengajukan syarat jika Mak Suripah bersedia tidur dengan petinggi partai tersebut, maka akan dibayar lunas dan diberikan tambahan.”

“Tentu saja hal itu ditolak dan Mak Suripah lebih memilih mengabaikan sisa uang pelunasan.”

“Sekian lamanya hal-hal seperti ini sering terjadi dan Mak Suripah lebih memilih untuk diam dan tidak memedulikan.”

“Dia hanya ingin semua orang yang bekerja bersamanya bisa mendapatkan hasil yang halal, berkah, dan bermanfaat, untuk keluarganya.”

“Bahkan dia rela mengorbankan semua hartanya demi menutupi gaji para pemain di sanggar tari dan juga para panjak.”

“Yang aku tahu, setiap ada pementasan, semua pasti dapat bayaran dan semua menganggap bayaran itu memang benar dari yang memakai jasa mereka, padahal terkadang tidak demikian adanya.”

“Mak Suripah itu orang baik, dia benar-benar masih suci, perawan, dan tidak pernah disentuh oleh lelaki mana pun sampai akhir hidupnya.”

 “Mak Suripah mempertahankan kesucian sampai saat ini hanya karena ingin membuktikan bahwa tidak setiap penari penyanyi ataupun pelaku pentas panggung itu murah.”

“Bahwa siapa pun berhak dihargai, dan mendapatkan penghargaan, saling menghormati, dan mengasihi, tidak peduli apa pun dan siapa pun di balik semua itu.”

“Setelah kejadian itu, saya berusaha mencari perlindungan pada orang yang  aku anggap bisa membantu saat berhadapan dengan lingkungan para pejabat atau penguasa.”

“Maka secara diam-diam aku memutuskan untuk menyampaikan hal ini pada Almarhum Pak Marwan, suami Yuk Darmi.”

“Karena semua warga juga tahu, Pak Marwan orang terpandang, punya jabatan di pemerintahan, dan berpengaruh juga dalam satu golongan partai, tetapi aku salah, dan justru menghancurkan hidup Mak Suripah.”

“Yang sebenarnya terjadi adalah karena Pak Marwan mencintai  Mak Suripah.”

“Pak Marwan ingin menikmati tubuh Mak Suripah dan ingin menjadikan Mak Suripah  sebagai istri sirinya.”

“Semua itu Pak Marwan ceritakan kepadaku karena kecewa pada Yuk Darmi yang mandul, pemarah, juga yang menyuruh preman untuk merampok.”

“Sebelum kematian Pak Marwan, dia pernah bercerita kepadaku.”

“Saat itu Pak Marwan menyuruh seseorang memberikan obat perangsang untuk dicampur ke minuman Mak Suripah, tapi sayangnya obat tersebut justru terminum dirinya sendiri.”

“Pak Marwan yang punya penyakit khusus, menjadikan obat perangsang itu berakibat fatal, sehingga komplikasi itu terjadi, dan mengakibatkan kematiannya beberapa hari kemudian.”

Sejurus kemudian pandangan mata Mas Untung tertuju pada Yuk Darmi. Kemudian dengan lantang dia bersuara. “Bahwa penyakit yang diderita Mak Suripah  semua berawal dari ulah Yuk Darmi karena dendam!”

“Yuk Darmi menyuruh Wiwin untuk berhutang pada Mak Suripah, lalu sengaja uang tersebut tidak dikembalikan.”

“Hingga ketika Wiwin dalam keadaan sakit, Mak Suripah mendatangi dan membawanya ke rumah sakit, tapi justru Yuk Darmi bilang ke orang-orang kalau sakitnya Wiwin akibat ditagih hutang dan tidak tenang, karena paksaan Mak Suripah agar mengembalikan uang pinjaman dengan bunga berlipat yang besar, seakan-akan Mak Suripah itu rentenir, padahal tidak demikian kenyataannya.”

Mas Untung masih menatap Yuk Darmi yang tertunduk.

“Aku masih diberi kesempatan hidup untuk menyampaikan apa yang Mak Suripah yakini bahwa itu benar.”

“Mak Suripah tidak pernah mencuri atau menyakiti orang lain. Aku dan Mak Suripah tidak pernah mengusik kehidupan kalian. Bagi saya, Mak Suripah hanya ingin bermasyarakat dan mengabdi pada sesama dengan baik.”

“Saya mau menyampaikan permintaan terakhir dari Mak Suripah.”

“Sebelum meninggal Mak Suripah ingin memohon maaf atas segala hal yang pernah terjadi selama hidupnya bersama kalian, dan mengucapkan terima kasih, pada siapa pun yang pernah mengenal dan membantunya.”

Diujung ucap, tiba-tiba Mas Untung ruangan pertemuan kontan menjadi panik melihat kondisi Mas Untung yang meradang kesakitan dan memegang dadanya.

Segera beberapa warga terlihat tanggap dan menyandarkan Mas Untung.

Pak Lurah mengubah suasana menjadi sedikit genting dengan menyuruh tangan kanannya mempersiapkan mobil. Pak Lurah memerintahkan agar Mas Untung dibawa ke RSUD Blambangan.

 Setelah pertemuan itu, akhirnya semua warga sepakat untuk menggelar tahlil bersama yang ditujukan untuk almarhumah Mak Suripah.

Singkat cerita, jeda beberapa hari kemudian, terdengar kabar keadaan Mas Untung sudah mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang. Semua warga pun bersyukur.

Sejak saat itu Mas Untung menempati rumah peninggalan almarhumah Mak Suripah.

Atas kerja bakti warga, rumah tersebut direnovasi kecil sekadar untuk memenuhi kelayakan dijadikan sebagai tempat tinggal dan Mas Untung juga dihibahkan sepetak lahan yang tidak jauh dari rumah itu agar bisa dijadikan mata pencahariannya sambil tetap membantu warga kampung yang membutuhkan tenaganya.

****

Puluhan tahun berlalu dan kini Mas Untung sudah dikaruniai tiga anak dan satu cucu yang sudah mulai beranjak dewasa.

Beliau dan keluarganya hidup damai bahagia dalam lingkungan kampung yang asri sampai saat ini.

SELESAI

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search