KISAH YUK SURIYAH YANG KONON MATI DAN ARWAHNYA GENTAYANGAN
Kabar kematian Yuk
Suripah.
Sore itu di pertengahan tahun 1994 suasana Kampung Bangorejo
tidak seperti biasanya.
Hangatnya riuh canda dan aktivitas warga perkampungan yang
berlokasi di sekitar wilayah kota Kabupaten Banyuwangi ini mendadak sendu dalam
kesedihan, tepatnya setelah kabar meninggalnya salah satu warga yang biasa dipanggil
Yuk Suripah.
“Semoga amal ibadahmu diterima dan wafatmu Khusnul Khotimah,
ya.” Seakan kalimat itu bergumam di bibir warga dari rumahnya masing-masing sesaat
setelah suara pengumuman kematian yang terdengar dari sepiker Musala.
****
Dulu semasa hidupnya.
Semua warga tahu bahwa Yuk Suripah bukanlah warga asli
kelahiran kampung mereka. Dia anak angkat dari Mbah Turisan pemilik pagelaran
seni drama dan tarian yang populer di zamannya.
Konon kedua orang tua kandung Yuk Suripah ini meninggal dunia
karena menjadi korban pembegalan di era tahun 70-an.
Di bawah asuhan dan bimbingan Mbah Turisan.
Suripah remaja tumbuh menjadi seorang penari, penyanyi, dan
pemain drama yang bertalenta.
Kepiawaiannya tersebut membuat ia sangat terkenal di sekitar
wilayah Kabupaten Banyuwangi, bahkan ketenaran namanya sampai ke tingkat Keresidenan
di Jawa Timur.
Selain itu, ia juga memiliki talenta sebagai pengusaha dan
jiwa pemimpin, ini terbukti sepeninggal Mbah Turisan dia mampu melanjutkan
memimpin, serta mengelola sanggar teater peninggalan orang tua angkatnya
tersebut.
Bahkan usahanya pun merambah sampai ke persewaan sound sistem.
Selain masih muda dan cantik Yuk Suripah juga dikenal
dermawan. Tidak jarang beberapa kali jika ada warga masyarakat yang sedang
mengadakan acara hajatan, pernikahan, atau khitanan, mereka tidak segan meminta
tolong dan meminta bantuan pada Yuk Suripah untuk mendukung kelangsungan
acaranya.
Namun pencapaian serta harfiah duniawi ini mungkin tidak
sebanding dengan apa yang dirasakan dalam kehidupan pribadinya.
Meskipun Yuk Suripah memiliki wajah cantik, tubuh yang bagus,
kaya, dan baik hati, tetapi dalam kisah cintanya, dia belum bisa dikatakan
sukses.
Di usia yang mendekati separuh baya statusnya masih lajang.
Jangankan keturunan, pasangan hidup atau suami pun belum
dimiliki.
Dia menjalani hidupnya dalam kesendirian hampir 4,5 tahun,
dan kemudian menderita sakit.
Entah apa jenis penyakit yang diderita, tapi yang pasti
pengobatan secara medis dan alternatif pun belum mampu untuk mengidentifikasi
dan mengobatinya, karena secara fisik tidak ada tampak hal yang aneh atau
kelihatan dia sedang sakit.
Tidak ada luka atau kondisi badan yang kurus lemah, sama
sekali tidak tampak.
Mungkin orang yang belum tahu pun menganggap dia sehat,
karena semua kelihatan baik-baik saja.
Namun tidak jarang orang-orang sekitar mengabarkan bahwa
aroma tubuh dari Yuk Suripah cukup membuat mual dan muntah. Bahkan hanya untuk
sekadar berbicara dengannya saja aroma tersebut seakan menguap dan menusuk
hidung bagi lawan bicaranya.
Tidak jarang pula warga mencibir dan menyatakan kalau Yuk Suripah
ini sedang kena karma, kena paten, atau jenis santet agar korban tidak melakukan
kawin, dan bermacam pikiran liar lainnya. Kendati demikian, Yuk Suripah tidak
pernah menggugurkan silaturahmi dengan warga.
Mungkin dalam pikirannya, semua terjadi atas kehendak Yang
Maha Kuasa, sehingga yang bisa dia perbuat hanya menjalani hidup dan kehidupan
semampunya.
Memang semenjak popularitasnya meredup dan usahanya lambat
laut mengalami penurunan sampai bangkrut, ditambah kondisi kesehatan yang tidak
baik, dia memilih tinggal menjauh dari pemukiman warga kampung, tepatnya berada
di pinggiran selatan kampung.
Tampak rumah sederhana dengan luas lebih dari 15 meter
persegi.
Berapa benteng khusus dengan paduan susunan batu bata merah dan
bambu anyam sebagai dindingnya. Di rumah inilah Yuk Suripah tinggal. Seorang
wanita yang pernah berjaya dengan ketenaran dan bergelimang harta.
****
Kembali kepada kematian
Yuk Suripah.
Tampak beberapa ibu-ibu yang sedang sibuk mengurus persiapan
proses memandikan jenazah. Sesekali terlihat pula di antara mereka menyergah
dan menutup hidung dengan punggung lengan tangannya, seperti tidak betah dengan
suatu aroma.
Bahkan di antara mereka ada yang memercikkan ludah tanda mual
dan jijik, dirasakan ketika ada yang menyingkap kain penutup wajah dari jenazah
terbelalak tajam mulut menganga dan lidahnya yang menjulur hampir keluar.
Dalam suasana itu, yang terdengar hanya lirih suara-suara
warga membaca kalimat-kalimat zikir dan ayat Alquran, dan surat-surat pendek,
membuat keadaan semakin sedih menahan pilu bercampur dengan hawa aroma yang
tidak nyaman menjadi satu dari mayat Yuk Suripah.
****
Hari-hari pun berlalu.
Keadaan Bangorejo kembali dengan rutinitas normal seperti biasanya.
Warga beraktivitas sesuai dengan keperluan dan profesinya masing-masing, namun
suasana itu tidak berlangsung lama tatkala warga mulai menyuarakan rumor tentang
teror gangguan dari Yuk Suripah.
Tidak sedikit dari warga yang memberikan kesaksian terkait
hal mistis yang mereka alami. Kabar dan perbincangan mengenai gangguan tersebut
hampir terjadi di setiap saat. Ada saja kisah cerita yang cukup membuat bulu kuduk
merinding saat mendengarnya.
Ada yang mengisahkan
teror yang terjadi di rumahnya, di ladang, bahkan sampai ada yang merasa tidak
tenang karena gangguan tersebut hampir setiap hari dialaminya.
Masih hangat menjadi perbincangan mengenai kejadian horor
yang dialami salah satu warga, Muhaimin namanya. Kebetulan dia adalah penjaga
kebun semangka milik juragan kampung sebelah.
Sudah menjadi tugasnya untuk melindungi dan mengamankan buah
semangka yang siap panen dari gangguan pencuri atau minimal dua buah semangka
tersebut aman dari serangan hewan liar pemakan buah.
Malam itu, seperti biasanya Muhaimin melakukan pemeriksaan
dan patroli di sekitar kebun semangka. Saat dia sedang berjalan menyusuri tepian
area kebun yang kebetulan letaknya berdekatan dengan rumah mendiang Yuk Suripah,
sayup-sayup dia mendengar suara wanita sedang menangis lirih.
Dengan segera Muhaimin menyalahkan lampu sorot ke sekitar
area kebun untuk mencari tahu di mana asal suara tangisan tersebut.
Tiba-tiba matanya membelalak mengikuti arah salat. Tampak
olehnya dari ujung ada sosok wanita muda sedang duduk tertunduk di dekat
pematang.
Muhaimin mempercepat langkahnya untuk mendekat dan khawatir
telah terjadi sesuatu terhadap sosok wanita itu.
Anehnya semakin Muhaimin mendekati sosok tersebut, namun
jarak sosok tersebut seakan makin jauh dari posisinya, meskipun dia melangkah
sudah cukup jauh dari tempat semula, tapi tidak pernah sampai pada sosok
tersebut.
Sadar ada yang tidak beres Muhaimin pun berhenti, dan dengan
segala keberanian yang tersisa dia hanya bisa membaca ayat-ayat Alquran yang
dia ingat semampunya.
Dalam kepanikan itu, mata Muhaimin terpejam merapat, namun
semakin dalam matanya terpejam semakin jelas tergambar akan sosok wanita dengan
wajah rusak dan berdarah-darah. Kepalanya hancur sebelah.
Sosok itu berdiri sambil memegang erat pundak kanan Muhaimin.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, Muhaimin sudah tidak bisa
mengingatnya lagi karena dia telah hilang kesadaran. Dia baru tersadar dengan
kondisi sudah tergeletak di atas papan kayu di gubuk tempat bisa ia menunggu
kebun.
****
Menyikapi keadaan teror yang dialami oleh sebagian besar
warga kampung dan keluhan-keluhan atas kondisi yang tidak nyaman, akhirnya
dengan penuh kebijaksanaan para perangkat kampung dan sesepuh kampung
mengadakan sebuah pertemuan khusus untuk membahas dan menyelesaikan hal
tersebut bersama-sama warga.
****
Akhirnya pertemuan diadakan di Masjid yang berada tepat di
tengah-tengah kampung.
Hampir seluruh warga menghadiri satu persatu.
Kemudian mereka diminta untuk menyampaikan dan menceritakan
apa yang mereka alami.
Mendengar penuturan dari kisah para warga, rata-rata dari
setiap kejadian yang mereka alami selalu ada hal penting yang ingin disampaikan
oleh sosok yang mereka duga adalah arwah gentayangan Yuk Suripah karena
menganut sesuatu yang bisa mendongkrak popularitasnya sebagai penari dan
pemimpin rombongan.
Para warga menduga, seakan-akan sosok atau yang dianggap
arwah mendiang Yuk Suripah yang meninggalkan sebuah pesan permintaan,
sepertinya belum sempat ditunaikan di masa hidupnya.
Mayoritas warga tidak memungkiri kalau semasa hidupnya Yuk Suripah
ini adalah orang yang baik, tetapi mereka juga mengerti bahwa Yuk Suripah ini
termasuk pribadi yang tertutup, sehingga warga pun tidak pernah tahu hal apa
yang sebenarnya terjadi terhadap diri dan kehidupannya selama ini.
Diskusi malam itu memutuskan untuk menemui Mas Untung yang
memang diketahui dekat dengan Yuk Suripah.
****
Cerita Mas Untung.
Siapa yang tak kenal dengan Mas Untung? Hanya saja semenjak kematian Yuk Suripah, Mas
Untung masih menumpang di rumah salah satu warga di kampung sebelah. Karena
warga juga memaklumi bila Mas Untung memang tidak punya saudara atau hidup sebatang
kara.
Mas Untung adalah bagian dari rombongan panjak yang akan ikut
ke mana Yuk Suripah menari. Karena
itulah, akhirnya beberapa warga sepakat untuk membawa Mas Untung ke Masjid.
Warga berharap kalau arwah Yuk Suripah yang konon kerap
menghantui warga tidak lagi mengusik ketenangan kampung dan mereka berharap ada
sesuatu yang akan disampaikan Mas Untuk perihal pesan yang mungkin ingin
disampaikan oleh arwah Yuk Suripah.
Warga juga tahu, semenjak Yuk Suripah sakit dan nama besar
Yuk Suripah meredup, Mas Untung bekerja serabutan di kampung lain sekedar
bantu-bantu warga yang membutuhkan tenaganya, asal bisa makan demi kelangsungan
hidupnya.
Warga masih menunggu datangnya Mas Untung, tapi beberapa
warga yang diutus untuk menjemput Mas Untung belum juga terlihat.
Tak lama berselang, terlihat Yuk Darmi yang tergopoh-gopoh
berlarian kecil memakai payung, juga ikut hadir meski sedikit terlambat.
Wajah Yuk Darmi terlihat pucat, dan di depan semua yang hadir
di Masjid itu Yuk Darmi menceritakan bahwa. “Saya baru saja melihat dan mengikuti
Mas Untung.”
“Saya mengikuti langkahnya sampai jauh.”
“Kapan?” tanya salah satu lelaki yang terlihat berkerumun
saat Yuk Darmi datang dengan terengah-engah tadi.
“Hampir 1 jam yang lalu,” jawab Yuk Darmi.
“Saya melihat kalau Mas Untung sedang menangis di atas
kuburan, tetapi ....”
Ucapan Yuk Darmi terhenti saat tiga lelaki yang diutus untuk
menjemput, datang bersama Mas Untung.
Kegaduhan sempat terjadi setelah tadi secara saksama semua
warga yang hadir sempat mempertanyakan cerita Yuk Darmi yang memang dikenal
warga sebagai tukang nyinyir serta kerap menabur kebencian, terlebih kepada
mendiang Yuk Suripah semasa hidupnya.
Beruntung para perangkat kampung menenangkan kembali suasana
karena orang yang mungkin bisa menjelaskan semua teror telah hadir, yaitu Mas
Untung.
Yuk Darmi kemudian dipersilakan duduk bersama beberapa
ibu-ibu yang juga turut hadir. Meski begitu, sempat ia melempar pandang tak
suka kepada Mas Untung.
Di tengah hujan yang sedang turun akhirnya Mas Untung datang
dan dipersilahkan untuk duduk, berada di antara warga malam itu.
****
Ditemani suara air hujan yang turun mengenai atap serambi Masjid,
Mas Untung bicara dengan cukup berat dan tertatih.
Dia pun mulai menyampaikan keadaan sebenarnya.
“Aku memanggil Yuk Suripah yang kalian kenal dengan sebutan
mamak.”
“Mak Suripah pernah mengasuhku kala itu, hingga
kebangkrutannya, membuatku memilih untuk pergi meninggalkan kampung ini.” Mas
Untung membuka cerita.
“Apa yang kalian tuduhkan jelas tidak beralasan kalau Mak
Suripah gentayangan karena menganut ilmu tertentu.”
“Semua bermula saat Mak Suripah yang sering aku temani,
diundang untuk tampil memeriahkan acara dari salah satu partai yang cukup besar.”
“Rombongan Mak Suripah diminta tampil beberapa kali di tempat
dan malam yang berbeda. Sampai di suatu wilayah, kami bertemu dengan salah
seorang petinggi wilayah tersebut lalu diberikan jamuan.”
“Petinggi itu kemudian menyuruhku untuk bergabung dengan para
panjak yang lain.”
“Aku dan para panjak
yang sudah lama menunggu akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Mak Suripah,
hingga peristiwa itu tidak terjadi.”
“Mak Suripah bercerita dengan wajah ketakutan kala itu
kepadaku.”
“Ceritanya setelah aku meninggalkan ruangan. Betapa
terkejutnya Mak Suripah saat itu, karena tiba-tiba saja salah satu petinggi
partai tersebut mencoba melakukan perbuatan tidak senonoh.”
“Dia hendak memperkosa Mak Suripah di sebuah kamar yang
disediakan untuk rias mempersiapkan penampilan.”
Mas untung sejenak menghembuskan apas yang begitu berat saat
kembali mengenang masa kelam dan kini harus menceritakannya di hadapan semua
yang hadir.
“Sesaat aku melihat Mak Suripah dalam kondisi syok, tapi demi
nama baik, rombongan panjak harus tetap tampil menghibur dan memberikan sajian
terbaik.”
“Hingga saat mereka meminta sisa pembayaran atas penampilan
tersebut, namun para politisi justru mengajukan syarat jika Mak Suripah bersedia
tidur dengan petinggi partai tersebut, maka akan dibayar lunas dan diberikan tambahan.”
“Tentu saja hal itu ditolak dan Mak Suripah lebih memilih mengabaikan
sisa uang pelunasan.”
“Sekian lamanya hal-hal seperti ini sering terjadi dan Mak Suripah
lebih memilih untuk diam dan tidak memedulikan.”
“Dia hanya ingin semua orang yang bekerja bersamanya bisa
mendapatkan hasil yang halal, berkah, dan bermanfaat, untuk keluarganya.”
“Bahkan dia rela mengorbankan semua hartanya demi menutupi
gaji para pemain di sanggar tari dan juga para panjak.”
“Yang aku tahu, setiap ada pementasan, semua pasti dapat
bayaran dan semua menganggap bayaran itu memang benar dari yang memakai jasa
mereka, padahal terkadang tidak demikian adanya.”
“Mak Suripah itu orang baik, dia benar-benar masih suci,
perawan, dan tidak pernah disentuh oleh lelaki mana pun sampai akhir hidupnya.”
“Mak Suripah mempertahankan
kesucian sampai saat ini hanya karena ingin membuktikan bahwa tidak setiap
penari penyanyi ataupun pelaku pentas panggung itu murah.”
“Bahwa siapa pun berhak dihargai, dan mendapatkan penghargaan,
saling menghormati, dan mengasihi, tidak peduli apa pun dan siapa pun di balik semua
itu.”
“Setelah kejadian itu, saya berusaha mencari perlindungan pada
orang yang aku anggap bisa membantu saat
berhadapan dengan lingkungan para pejabat atau penguasa.”
“Maka secara diam-diam aku memutuskan untuk menyampaikan hal
ini pada Almarhum Pak Marwan, suami Yuk Darmi.”
“Karena semua warga juga tahu, Pak Marwan orang terpandang,
punya jabatan di pemerintahan, dan berpengaruh juga dalam satu golongan partai,
tetapi aku salah, dan justru menghancurkan hidup Mak Suripah.”
“Yang sebenarnya terjadi adalah karena Pak Marwan mencintai Mak Suripah.”
“Pak Marwan ingin menikmati tubuh Mak Suripah dan ingin
menjadikan Mak Suripah sebagai istri
sirinya.”
“Semua itu Pak Marwan ceritakan kepadaku karena kecewa pada
Yuk Darmi yang mandul, pemarah, juga yang menyuruh preman untuk merampok.”
“Sebelum kematian Pak Marwan, dia pernah bercerita kepadaku.”
“Saat itu Pak Marwan menyuruh seseorang memberikan obat perangsang
untuk dicampur ke minuman Mak Suripah, tapi sayangnya obat tersebut justru
terminum dirinya sendiri.”
“Pak Marwan yang punya penyakit khusus, menjadikan obat
perangsang itu berakibat fatal, sehingga komplikasi itu terjadi, dan
mengakibatkan kematiannya beberapa hari kemudian.”
Sejurus kemudian pandangan mata Mas Untung tertuju pada Yuk Darmi.
Kemudian dengan lantang dia bersuara. “Bahwa penyakit yang diderita Mak Suripah
semua berawal dari ulah Yuk Darmi karena
dendam!”
“Yuk Darmi menyuruh Wiwin untuk berhutang pada Mak Suripah, lalu
sengaja uang tersebut tidak dikembalikan.”
“Hingga ketika Wiwin dalam keadaan sakit, Mak Suripah mendatangi
dan membawanya ke rumah sakit, tapi justru Yuk Darmi bilang ke orang-orang kalau
sakitnya Wiwin akibat ditagih hutang dan tidak tenang, karena paksaan Mak Suripah
agar mengembalikan uang pinjaman dengan bunga berlipat yang besar, seakan-akan
Mak Suripah itu rentenir, padahal tidak demikian kenyataannya.”
Mas Untung masih menatap Yuk Darmi yang tertunduk.
“Aku masih diberi kesempatan hidup untuk menyampaikan apa yang
Mak Suripah yakini bahwa itu benar.”
“Mak Suripah tidak pernah mencuri atau menyakiti orang lain.
Aku dan Mak Suripah tidak pernah mengusik kehidupan kalian. Bagi saya, Mak
Suripah hanya ingin bermasyarakat dan mengabdi pada sesama dengan baik.”
“Saya mau menyampaikan permintaan terakhir dari Mak Suripah.”
“Sebelum meninggal Mak Suripah ingin memohon maaf atas segala
hal yang pernah terjadi selama hidupnya bersama kalian, dan mengucapkan terima kasih,
pada siapa pun yang pernah mengenal dan membantunya.”
Diujung ucap, tiba-tiba Mas Untung ruangan pertemuan kontan
menjadi panik melihat kondisi Mas Untung yang meradang kesakitan dan memegang
dadanya.
Segera beberapa warga terlihat tanggap dan menyandarkan Mas
Untung.
Pak Lurah mengubah suasana menjadi sedikit genting dengan
menyuruh tangan kanannya mempersiapkan mobil. Pak Lurah memerintahkan agar Mas
Untung dibawa ke RSUD Blambangan.
Setelah pertemuan itu,
akhirnya semua warga sepakat untuk menggelar tahlil bersama yang ditujukan
untuk almarhumah Mak Suripah.
Singkat cerita, jeda beberapa hari kemudian, terdengar kabar
keadaan Mas Untung sudah mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang. Semua
warga pun bersyukur.
Sejak saat itu Mas Untung menempati rumah peninggalan
almarhumah Mak Suripah.
Atas kerja bakti warga, rumah tersebut direnovasi kecil sekadar
untuk memenuhi kelayakan dijadikan sebagai tempat tinggal dan Mas Untung juga dihibahkan
sepetak lahan yang tidak jauh dari rumah itu agar bisa dijadikan mata
pencahariannya sambil tetap membantu warga kampung yang membutuhkan tenaganya.
****
Puluhan tahun berlalu dan kini Mas Untung sudah dikaruniai
tiga anak dan satu cucu yang sudah mulai beranjak dewasa.
Beliau dan keluarganya hidup damai bahagia dalam lingkungan kampung
yang asri sampai saat ini.
SELESAI
No comments:
Post a Comment