SAWAN
SAWAN INGKUNG KEMATIAN
Sungguh bahagia sekali keluarga kecil Tunjang. Hanya selang 5
bulan menjalani pernikahan Sarintem istrinya, dinyatakan positif hamil oleh
dokter.
Tunjang sebisa mungkin menasihati sang istri agar menuruti
nasehat orang tua sekitar tentang larangan-larangan semasa hamil.
Maklum saja Tunjang lahir dan besar di tanah Jawa, lebih
tepatnya di pelosok desa yang tidak boleh lupa dengan adat istiadat, ditambah
lagi keluarga Tunjang termasuk keluarga yang sangat berhati-hati sekali dengan
aturan di tanah setempat.
Dari awal kehamilan sampai Sarintem hamil tua semula dirasa
baik-baik saja, sama seperti harapan dan doa orang tua mereka yang pada
akhirnya Sarintem pun melahirkan dengan selamat termasuk pula dengan buah
hatinya.
Keluarga kecil itu dikaruniai seorang anak laki-laki yang
sempurna kondisi fisiknya.
Tidak henti-hentinya Tunjang terus mengucap syukur dengan
perasaan yang berbunga-bunga.
Sesuai kesepakatan, anak itu diberi nama Iyono.
Di usianya yang genap 9 bulan di saat itu Sarintem merasa ada
sesuatu yang aneh dari Iyono. Semua berawal ketika para tetangga sedang
bersenda gurau di depan rumahnya. Sarintem keluar dan ikut membaur dengan
menggendong Iyono.
Perbincangan di antara mereka semakin asyik dengan Iyonong
berbagi informasi tentang perkembangan anak mereka masing-masing.
Di saat itulah Sarintem merasa kalau putranya tertinggal dari
anak seusia Iyono. Bahkan dari yang lahir setelahnya pun juga lebih bagus
perkembangannya. Hal itu terlihat dari anak lain yang sudah bisa berdiri dengan
tegap dengan telapak kaki yang benar-benar menapak. Sementara Iyono, belum bisa
Berdiri tegap seperti temannya.
Ketika Sarintem memperlihatkan kaki Iyono yang belum bisa menapak,
para ibu memberi nasehat agar setiap pagi sebelum turun dari ranjang tempat
tidur disuruhnya untuk mengurut kaki Iyono.
Sebenarnya Sarintem sudah melakukan hal tersebut sesuai
perintah mertuanya, namun dia tetap tidak mengerti kenapa kaki Iyono belum bisa
menapak seperti teman-teman sebayanya padahal Iyono yang paling aktif dibanding
anak lain.
Percakapan hari itu tidak membuat Sarintem lebih
memperhatikan dengan benar kaki Iyono. Dia masih berpikir positif, mungkin sedikit
terlambat bagi Iyono akan perkembangan untuk yang satu ini.
****
Hari terus berlalu.
Di usia yang menginjak 2 tahun kaki Iyono sama sekali belum
ada perkembangan, padahal Sarintem sudah melakukan apa yang dinasihatkan para
orang tua termasuk beberapa dukun bayi yang dia datangi untuk melakukan pijit.
Dia sama sekaIi tidak mengerti dengan keadaan Iyono.
Yang membuatnya sedih adalah di setiap berkumpul di Posyandu
maupun membaur dengan warga selalu saja Iyono dibanding-bandingkan dengan teman
sepantarnya, termasuk anak yang lahir sesudah Iyono. Semua sudah bisa berjalan
meski ada yang belum sempurna.
Tunjang sendiri selalu mengingatkan agar istrinya tetap sabar
karena mungkin Iyono telat perkembangannya dalam hal itu. Di sisi lain Tunjang
merasa kalau memang ada kejanggalan pada putranya yang belum diketahuinya.
Selain terlihat tegar dengan omongan tetangga sekitar Tunjang
dan Sarintem juga selalu mencari jalan untuk pertumbuhan Iyono, akan tetapi
beberapa dokter anak yang dituju belum juga mampu memberi jalan keluar. Mereka
hanya memberi saran dan menasihati, namun tidak tampak hasilnya.
Suatu ketika saat ada acara syukuran di rumah salah satu
sahabatnya di sana Tunjang yang memiliki kesempatan berbincang dengan ustaz
setempat pun meminta saran darinya. Dia berharap sang ustaz bisa membantu. Lalu
ustaz tersebut menyarankan untuk memandikan Iyono dengan air bekas wudu
istrinya.
Menurutnya Iyono terkena penyakit yang dipicu rasa iri dan
dengki karena tidak diketahui pelakunya maka sebagai langkah awal pengobatan
adalah dengan membasuh air bekas wudu ibunya. Jika kondisinya masih tetap sama
maka bisa diusahakan dengan bacaan Ruqayah.
Tunjang langsung memberitahu saran dari pak ustaz pada
istrinya.
****
Di hari-hari
selanjutnya.
Setiap Iyono mandi, Sarintem terlebih dahulu menandakan air wudunya
untuk campuran mandi Iyono, namun setelah 3 minggu kaki Iyono tidak kunjung
tegak juga.
Ia juga selalu mengajarkan Iyono cara melangkah dengan benar.
Kaki Iyono dipegang dan menahannya supaya bisa menahan langkah dengan tegak,
namun ketika tangannya tidak menahan kaki, Iyono kembali lagi seperti semula.
Sarintem melihat dengan jelas kaki sebelah kiri Iyono
melengkung dan terbuka, sangat berbeda dengan kaki kanannya yang tegak lurus.
Sarintem sempat pasrah jikalau Iyono memang ditakdirkan
seperti itu. Dia berpikir jika sudah besar nanti tentu tidak bisa berjalan
normal seperti temannya yang lain dan akan menjadi bahan tertawa.
Siang itu Tunjang dan Sarintem sudah berada di rumah keluarga
Sarintem di luar kota ketika mendapat telepon adiknya kecelakaan.
Mereka langsung bergegas berangkat Mudiyo adik bungsu Sarintem
mengalami cedera tulang kaki sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.
Sebenarnya sore itu ada rencana untuk menemui Pak Ustaz. Sarintem
berniat meminta doa Ruqayah untuk Iyono, akan tetapi kabar mendadak itu membuat
mereka menunda menemui Pak Ustaz. Bahkan mereka diminta menginap dua mingguan
di rumah sang Ibu. Maklum saja Bu Tini yang seorang janda harus bekerja di
sebuah pabrik sepatu untuk biaya hidup bersama Mudiyo, jadi Sarintem disuruh
untuk menjaga Mudiyo di rumah.
****
Perempuan paruh baya yang hendak memijat Mudiyo datang.
Sarintem mempersiapkan segala sesuatunya, sedangkan Bu Tini
yang menggendong Iyono menunggu Mudiyo di dalam kamar.
Bu Ijah adalah tukang urut yang dianggap mumpuni. Bu Ijah
bukanlah tukang urut biasa. Selain bijaksana, dia juga tahu akan
penyakit-penyakit non medis seperti sawan, kesambet, ataupun penyakit karena
gangguan makhluk gaib yang lain.
Bukan hanya itu, Bu Ijah juga penganut kejawen asli yang
sudah turun temurun diwariskan oleh pihak keluarganya, namun dia juga tidak
pernah lupa untuk sejalan dengan ajaran sang pencipta.
Selama memijit Mudiyo pandangan Bu Ijah selalu mengarah pada Iyono.
Melihat ada sesuatu hal yang disembunyikan oleh dukun pijit
tersebut Bu Tini pun memulai basa-basi
hingga muncullah pertanyaan tentang pandangan Bu Ijah yang selalu mengarah pada
Iyono.
Dengan terus terang Bu Ijah berujar bahwa dia melihat kalau
ada sawan yang menempel pada diri Iyono dan sawan itu telah menempel semenjak
masih dalam kandungan.
Melanjutkan ucapannya bahwa Iyono terkena sawan ceker ingkung.
Hal itu membuat kakinya tidak bisa melangkah dengan jejak.
Mendengar penjelasan tersebut Bu Tini langsung memanggil Sarintem.
Tidak menunggu lama datanglah Sarintem didampingi Tunjang.
Ketika Bu Tini menanyakan perihal kondisi Iyono pasangan muda
itu memberitahu kebenaran dari ucapan Bu Ijah dan hal itulah yang sedang mereka
pikirkan jalan keluarnya, hanya saja mereka baru tahu dan baru mendengar tentang
istilah sawan ceker ingkung.
Dengan masih memijat Mudiyo Bu Ijah menanyakan pada mereka apakah
pasangan suami istri itu pernah makan ceker semasa hamil Iyono?
Sejenak suasana hening.
Baik Tunjang maupun Sarintem berpikir ke masa-masa kehamilan.
****
Sementara itu Iyono Sudah terlelap di gendongan Bu Tini.
Bu Ijah mengisi keheningan dengan berkisah tentang ayam
ingkung. Menurutnya istilah ingkung berasal dari kata meneng yang berarti
memanjatkan doa pada Tuhan dengan kesungguhan hati.
Menjadi komponen pokok dalam tumpeng, ayam ingkung sudah ada
sejak Kerajaan Jawa dipengaruhi oleh Agama Hindu.
“Ayam ingkung memiliki filosofi yang tidak bisa diabaikan
dalam budaya Jawa. Ayam adalah lambang dari rasa syukur dan kenikmatan yang
didapat di dunia karena kuasa Tuhan.”
“Hanya ayam yang baik dan lezat saja yang menjadi persembahan.
Itulah mengapa ayam ingkung disajikan dalam bentuk utuh dan ditata dengan indah.
Sedangkan yang dipergunakan hanya ayam kampung saja.”
“Masyarakat Jawa sendiri memaknai bahwa ayam adalah bentuk
doa baik bagi manusia agar bisa meniru perilaku ayam.”
“Ayam tidak melahap semua makanan yang diberikan padanya
melainkan hanya memakan mana yang baik dan tidak makan yang buruk.”
“Manusia diharapkan bisa memilih mana yang baik dan mana yang
buruk yang harus ditinggalkan dalam hidupnya.”
“Dari pandangan itulah maka diharuskan berhati-hati jika
menikmati ayam ingkung terutama yang dipergunakan untuk suatu acara khusus
ataupun sebagai sesaji,” terang Bu Ijah panjang lebar perkara ingkung.
Mendengar kata sesaji membuat Tunjang mengatakan suatu
kejadian di mana saat itu Sarintem Tengah hamil 5 bulan.
****
Kala itu ....
Keluarga mereka berduka karena kakek Tunjang meninggal dunia.
Atas perintah orang tua Tunjang disuruhnya Sarintem untuk
pergi ke rumah tetangga sampai pemakaman selesai. Itu dikhawatirkan jika Sarintem
terkena sawan mayat.
Seperti yang dijanjikan setelah selesai acara pemakaman
dengan segera Tunjang pergi untuk menjemput Sarintem dan kembali ke rumah
berkumpul dengan keluarga besar, namun Sarintem yang tertidur membuat Tunjang
menunggunya beberapa saat hingga sekitar 20 menit kemudian mereka pun kembali
ke rumah.
Sesampai di rumah terlihat anggota keluarga juga beberapa
tetangga sedang berkumpul makan-makan yang rupanya mereka selesai melahap
sesaji yang diperuntukkan bagi mayat sang kakek. Orang Jawa menyebutnya sebagai
acara gugur gunung.
Sarintem yang terlihat lapar ikut membaur dan ikut menyantap ayam
ingkung yang tersisa.
Secara kebetulan Sarintem mendapat kaki ayam, dari paha ayam
sampai ceker.
Anggota keluarga lain yang biasanya memperingatkan mungkin
karena dalam suasana berduka sehingga lupa dengan pantangan tersebut.
Selah menceritakan kejadian yang diingat Tunjang tidak
langsung menjawab pertanyaan Bu Ijah tadi, dan setelah Mudiyo selesai dipijat
Ia pun meminta agar Iyono ikut dipijatnya.
Baru saja bagian pinggul di pegang, Iyono sudah berteriak
kesakitan meskipun hanya dipijat pelan namun Iyono menangis makin keras hingga
tersedu-sedu.
Bu Ijah menunjukkan pada Tunjang juga Sarintem tentang
kondisi kaki Iyono yang ternyata kaki yang satunya tidaklah sama.
Jelas sekali kalau telapak kaki terlihat bengkok.
Bu Ijah kembali menekan pinggul Iyono yang mana di situ titik
utama permasalahannya.
Kemudian Bu Ijah meminta pada pihak keluarga agar segera
menyiapkan sawan untuk sarana mengobati Iyono.
“Hal utama yang diharuskan adalah ceker ayam kampung,” kata
Bu Ijah.
“Itu sangat berpengaruh. Penting untuk sawannya.”
Bu Ijah memberitahu cara meracik sawanan yang nantinya
langsung dioleskan pada beberapa bagian tubuh Iyono.
Setelah selesai Iyono pun digendong selayak bayi yang baru
lahir.
Sebelum berpamitan karena ada pasien lain yang menunggu, Bu
Ijah memberitahukan kalau dia akan kembali nanti malam untuk mengurut Iyono sekalian
dia membawakan salah satu syarat penangkal sawan ceker.
****
Sore datang
memperlihatkan keramahan alam.
Tunjang dan Sarintem tersenyum bahagia sambil menyaksikan Iyono
yang sudah mulai berjalan.
Meskipun terlambat, tapi rasa syukur tetap selalu terucap.
Kekhawatiran keluarga kecil mereka sudah teratasi di tangan
Bu Ijah dan Ustaz. Mereka melakukan pengobatan untuk Iyono.
Selain diurut Bu Ijah mereka juga melakukan doa Ruqayah demi
kebaikan ke depan dan Tuhan mengabulkan permintaan mereka melalui tangan orang
yang lebih mumpuni.
“Itulah kenyataan tentang apa yang diyakini orang Jawa pada
umumnya yakni tentang sawan, di mana sawan pada bayi sering kali dikaitkan
dengan hal-hal mistis.”
“Apa yang dialami Sarintem justru orang tuanya yang terkena
sawan dan berpengaruh pada sang cabang bayi.”
“Sebagai orang tua sudah seharusnya berhati-hati dalam
menjaga janin maupun anak-anak karena bukan hanya mitos tapi kenyataannya sawan
itu memang ada,” imbuh Bu Ijah.
No comments:
Post a Comment