DAHURU SEDO BAB 1
BAB 1
“Baru pulang Kang?”
“Iya. Wong cilik yo gene ki,” (Iya. Orang kecil ya begini ini,) jawab
lelaki berjaket dengan sarung menggulung di leher, menyerahkan uang sesuai
takaran bensin yang dituang.
“Njenengan sih enak, kerja pindah tidur
saja dibayar,” ujar lelaki berperut buncit itu meletakan botol kosong.
“Pindah turu piye! Wong kerjo kok!” (Pindah tidur bagaimana! Kerja kok!)
“Guyon Kang, Begitu saja kok melotot,
he he he.”
“Hutang bensin yang kemarin tidak
dibayar sekalian?” tambahnya.
“Utang sepuluh ewu kok yo ditagih,
eram tenan dadi bakul,” (Hutang sepuluh
ribu saja ditagih, kebangetan dadi penjual,) balasnya menang sendiri.
“La saya cuma tanya, kalau belum
punya uang ya tidak apa-apa, ya tidak usah marah, orang kok dikit-dikit marah
to Njenengan itu.”
“Gurung bayaran, ko nek wes nompo
bayaran tak saur, opo kate mbok tahan sek KTP-ku iki, he?” (Belum bayaran, nanti kalau sudah tak bayar, apa mau saya tinggali
KTP-ku dulu, he?)
“Buat apa? Digadai juga tidak laku.”
Di tengah percakapan, melintas sebuah
motor bebek, lelaki berjaket segera menoleh.
Tit! Tit!
“Ndingaren iko Rete, isuk-isuk wes
lungo,” (Tumben itu Rete, pagi-pagi sudah
pergi,) batinnya.
“Siapa Kang, kenal?”
“Si Rete, Mbludus ae.” (Si Rete, bablas saja.)
“Ada perlu mungkin, buru-buru.”
“Yo wes nek ngono, balek aku.” (Ya sudah kalau begitu, aku pulang.)
“Ya, Kang, hati-hati, Kang.”
Brum! Brum! Brum!
Tiga tarikan tuas gas, dari tangan
lelaki berjaket, menghasilkan suara derum, bersamaan lampu yang juga menyala,
meski tepi langit mulai terlihat cahaya semburat kemerahan.
Belum juga roda motor berputar, dari
arah belakang terdengar suara benturan keras.
Brakk!
Lelaki berperut buncit itu kembali ke
tepi jalan.
“Astagfirullah! Ada yang jatuh Kang!”
pekiknya, seraya memandang ke ujung jalan yang sedikit menurun, masih sedikit
samar oleh suasana pagi.
“Sopo!” (Siapa!)
“Sepertinya pengendara tadi!” dengan
menggulung sarung, lelaki itu berlari meninggalkan lelaki berjaket yang masih
di atas motor.
“Pak Rete? Kuapok! Ben bongko ngisan!”
(Pak Rete! Syukur! Biar mati sekalian)
Tanpa mematikan motor, lelaki itu menggumam.
“Ayo, Kang! Kita bantu!” teriak
lelaki itu setengah berlari menuju jalan menurun.
“Gah!” (Tidak mau!) teriaknya membalas.
“Siapa yang kecelakaan Kang?” Istri
penjual bensin ke luar setelah mendengar teriakan suaminya.
“Pak Rete! Koyoke kae Pak Rete seng
tibo.” (Pak Rete, sepertinya itu Pak Rete
yang terjatuh.)
“Kok bisa toh ya, jalan masih sepi
begini.”
“Ayo, Kang, kita bantu, siapa tahu
parah,” imbuhnya segera menyusul sang suami.
Tanpa menjawab, dengan memutar gas,
motor merah melaju meninggalkan tempat itu.
“Pawarto apik iki,” (Kabar bagus ini,) batinnya di atas
motor, menerobos jalan aspal yang berbelok ke kiri, lalu menderu menyusuri
jalanan lengang menuju timur.
****
“Mak! Mak!”
Sesampainya di dalam rumah, lelaki
itu melempar sarung ke bangku kayu, bergegas ke dapur, sebuah lampu pijar
terlihat masih menyala, menerangi sosok perempuan yang tak lain adalah
Warsinah.
“Pak Rete! Pak Rete ….” Napasnya
terengah, terus menuju meja dan menuang segelas air.
“Pak RT? Memangnya kenapa? Ada apa?”
tanya Warsinah tak kalah panik.
“Pak Rete tumburan, matek!” (Pak Rete tabrakan, mati!)
“Kata siapa!”
“Kok jare! Awakku roh dewe, pas ngisi
bensin neng warunge Wakijo, Pak Rete, lewat ngebut, lha trus brak! Matek!.”
(Kok katanya! Aku tahu sendiri, sewaktu mengisi bensin di warungnya Wakijo, Pak
Rete, lewat dengan kebut, terus brak! Meninggal!)
“Innalillahi wainailahirojiun.”
Warsinah menyebut, atas kabar duka yang disampaikan suaminya, dia tak lain
adalah Kuswanoto.
“Benar itu Pak ’e?”
“Mosok awakku gawe-gawe, yo tenan!
Wes gek ndang diumumno neng Mejid ae.” (Masak aku mengada-ada, benar itu! Sudah
langsung saja diumumkan di Masjid saja.”
“Benar itu?” ulang Warsinah, dia
kurang yakin atas kabar yang dibawa.
“Alakmasyalallah, mosok to awakku
ngapusi, wes moro’o neng omahe Sopyan! Kon ngumumno neng Mejid, ben ndang do
ngelayat!” (Masya Allah, masak aku
berbohong, sudah sana pergi ke rumah Sopyan! Suruh dia mengumumkan di Masjid,
biar segera orang-orang melayat!)
“Terus sekarang Pak Rete, di mana?”
“Kok jek takok ae, yo digowo neng
Rumah Sakit! Opo kon ngejarno nglekar neng dalan ae, ha!” (Kok masih tanya, ya dibawa ke Rumah sakit! Apa disuruh dibiarkan di
jalan saja, ha!)
“Apa tidak sebaiknya kita tanya dulu
kebenarannya dengan istri Pak RT, pak?”
“Nggo opo? Wes pesti iko Pak Rete,
lha wong awakku apal kambek motore, pawakane yo Pak Rete, wes pesti iko Dek ‘e,
Pak Rete, wes matek!” (Untuk apa? Sudah
pasti itu Pak Rete, la saya paham motornya, juga perawakannya tak lain adalah
Pak Rete, sudah pasti itu dia, Pak Rete, sudah meninggal!)
Warsinah malah menggaruk-garuk
kepala, dia sendiri kurang yakin atas kabar suaminya, bukan tanpa alasan, sebab
suaminya sangat tak suka Ketua RT kampung ini, entah apa sebabnya.
“Kok kukur-kukur, wes gek ndang kono
budal!” (Kok garuk-garuk, sudah sana
berangkat!)
“Kita ke rumah Pak RT, biar lebih
yakin kalau itu Pak RT atau bukan,” usul Warsinah.
Kuswanoto terdiam, masuk akal ucapan
Warsinah.
“Sudah ayo ke sana.” Warsinah lalu
menarik tangan Kuswanoto yang terpaku berfikir, dengan mengendarai motor,
mereka bergegas ke rumah Ketua RT setempat.
Belum juga mereka meninggalkan
halaman rumah. “Tunggu … tunggu dulu Pak e’.” Warsinah menepuk-nepuk pundak
suaminya.
“Opo neh!” (Apa lagi!) hardik Kuswanoto.
“Komporku belum aku matikan,” ujar
Warsinah.
“Alakmasaallah, guoblok! Wes gek
ndang kono! Duwe bojo kok puekoke pol!” (Masya
Allah, tolol! Sudah sana cepat! Punya istri kok goblok benar!)
Tanpa menghiraukan ocehan suaminya,
Warsinah lari kembali ke rumah, pikirannya ke dapur, empat iris tempe goreng
tepung, sudah dipastikan menghitam, gosong.
****
Perempuan itu terus tersedu isak,
Warsinah mencoba menenangkan istri Ketua RT.
“Memang sudah tiga hari ini, dia ada
Bimtek, di gedung pertemuan sebuah hotel di kota, Mbakyu.” Istri Ketua RT yang
juga teman Warsinah, membenarkan kalau suaminya pagi tadi pamit untuk mengejar
waktu agar datang tepat waktu.
“Lha tenan to Mak? Enggak salah to?” (La benar ‘kan Mak, tidak salah to?) potong
Kuswanoto.
“Yang sabar ya, kami berdua ikut
prihatin atas musibah ini,” tenang Warsinah dengan terus mengelus-elus bahu
istri Pak RT.
“Hu hu hu, kok jadi seperti ini to Mbakyu,
hu hu hu.” Semakin dalam Istri Ketua RT meratap di bahu Warsinah.
Warsinah turut larut dalam kesedihan,
bagaimana pun, Pak RT adalah orang yang mengajukan nama suaminya untuk
memperoleh PKH, bantuan beras tiap bulan, jelas diterima.
“Genah wes, genah, nek ngono, tak
langsung ngubungi uwong-uwong kon kumpul, nyepakno sembarang kalir seng
diperlukno.” (Jelas sudah, jelas, kalau begitu aku langsung menghubungi
orang-orang untuk menyiapkan segalanya yang diperlukan.)
“Hu hu hu.”
“Yang sabar ya, sudah … sudah.”
Warsinah terus mengelus bahu istri Pak RT, seraya menoleh ke arah suaminya yang
sudah ke luar menuju motor di halaman.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment