Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK WARSINAH BAB 1

 

BAB 1

“Ndang mak! Sendal! Endi sendal ku, halah yoh sue ne!” teriak Kuswanoto yang berdiri di depan pintu.

“Sek to pak! Jek dandan ki lo!” sahut suara dari dalam.

Sekali lagi Kuswanoto memperhatikan batik cokelat yang dia kenakan, dipadu dengan celana hitam.

“Uwong rumangsaku ora sabaran!” ketus Warsinah seraya menyerahkan selop hitam.

“Amplop! Amplope ojo lali,” kata Kuswanoto menyodorkan wajahnya.

“Wes!” sambar Warsinah.

“Sek, sek, sek!” cegah Kuswanoto saat Warsinah memasukan kembali amplop ke dalam tas cangklong.

“Apa lagi to Pak!” sentak Warsinah.

“Di longi ae duite nggo tuku udud, lha wong wingi yo bar nyumbang to,” kata Kuswanoto seraya merebut amplop putih dari dalam tas.

“Di kurangi piye to?” Warsinah terlihat bingung.

“Yo di longi separo, kokean iku, timbangane awakku gak ngudud, coto to!”

“Yo isin to Pakne kalau nyumbang segini, apa nanti kata Pak Rete,” ucap Warsinah kesal.

“Halah! Sakmono yo wes okeh! Nyoh!” Kuswanoto mengembalikan amplop yang telah dia ambil separo isinya.

“Mosok yo sepuluh ribu, kebangetan to Pakne!”

“Wes to! Dadi wong wedok ki kudu manut mbek wong lanang, gak usah kokean protes!”

Warsinah melirik sebal ke arah suaminya.

“Wes ayo mangkat, selak entek ko lawuhe!”

Warsinah yang mengenakan gamis hijau dengan kerudung senada, berjalan di belakang Kuswanoto. Dua puluh tiga puluh meter untuk menuju jalan depan yang langsung berhadapan dengan warung Pondi.

Tampak pasangan suami istri berjalan serah dengan tujuan Kuswanoto dan Warsinah.

“Deneng ora nganggo kupluk rika kang,” sapa lelaki itu dengan logat ngapak.

“Halah iyo! Makne mbaleko neh jikokno peciku neng cantolan paku, wes ndang!” perintah Kuswanoto.

“Angger-angger,” gerutu Warsinah.

“Heh Mun Saimun , nyumbang piro awakmu,” bisik Kuswanoto setelah menarik tangan Saimun.

“Nyong sih biasa kang, satus umum mbok,” jawab Saimun yang dari Banyumas.

“Rika sih anu nyumbang pira?” tanya balik Saimun.

“Yo podo kambek awakmu hehehe.” cengir Kuswanoto yang berkumis tebal itu.

“Pendak minggu kok rumangsaku duwe gawe ae Pak Rete,” gerutu Kuswanoto.

“Deneng sui temen Yayune,” ucap istri Saimun.

“Lha kok nggumun Warsinah, wong tak warai seng gesit ngono, gak klemak-klemek dadi wong wedok, panggah ae! Angel!”

“Ayuh sih la Pak mangkat ndisit.” Jawil istri Saimun.

“Nyong ndisit ya kang,” pamit Saimun berjalan meninggalkan Kuswanoto.

Sepeninggal Saimun, Kuswanoto berjalan ke warung yang ada di seberang jalan.

“Nunggu siapa kang, temannya lo sudah pada berangkat dari tadi,” kata Pondi yang duduk di balik meja dengan penuh barang dagangan.

“Ngenteni Warsinah, peciku keri, udute sebungkus,” ucap Kuswanoto, seraya merogoh saku batiknya.

“Utang minggu kemarin sekalian mau di bayar to?”

“Halah! Utang sitik ae, ben sek” seru Kuswanoto.

“Lo to? Kalau di tagih malah Njenengan seng muring,” ujar Pondi, bujang tua yang belum juga menikah.

“Ko nek wes bayaran tak lunasi kabeh, gak usah kuatir.” Kuswanoto lalu menyulut ujung kereteknya.

“Pakne ayo!” terik Warsinah dengan peci hitam di tangannya.

“Di gandeng bojone, ben ketok romantis, hehehe,” ledek Pondi.

~*~

Jalan menurun berkerikil yang mengarah selatan tampak ramai oleh pasangan yang mengenakan baju rapi, Kuswanoto dan Warsinah berjalan paling belakang.

“Minggu wingi nggone Pak Broto, Minggu iki nggone Pak Rete , kesok minggu nggone sopo neh, ben biangkrut sisan pendak minggu nyumbang!” umpat Kuswanoto dalam perjalanan.

“Ya sudah to Pakne, namanya juga tetangga punya gawe, ndak boleh kondo begitu” tenang Warsinah.

“Lha yo mosok angger minggu onok ae wong duwe gawe, gak mikiri tonggone duwe duwek ta ogak, koclok do an!” kesal Kuswanoto.

“Njenengan itu piye to Pakne, mbok ya sudah! Lha wong yang untuk nyumbang juga duitku, bukan duitnya Njenengan,” kata Warsinah bermaksud untuk tak terus mengumpat.

“Yo jelas di belo to, lha wong mboh onok opo awakmu kambek Pak Rete!”

“Heh Pakne, tak bilangan ya, aku sama Pak Rete itu ndak ada hubungan apa-apa, males aku!” seru Warsinah lalu berjalan cepat meninggalkan suaminya.

“Makne heh! Enteni! Makne!” teriak Kuswanoto yang telah membuat Warsinah kesal.

“Setiap ada sumbangan pasti menggerutu, ya wong namanya hidup bermasyarakat, ya wajar to kalau kita menghadiri undangan tetangga,” kata Warsinah yang di kejar oleh Kuswanoto.

“Duwek! Duweke ki lo ndi nek nyumbang terus!” ucap Kuswanoto dengan logat kasarnya.

“Lha buktinya kita masih bisa nyumbang to!”

“Pokoknya Pakne tinggal berangkat ndak usah kokean ini anu, kokean ita itu, wes!”

Kuswanoto terdiam, saat satu pasangan yang berjalan di depaknya menoleh ke arah mereka.

“Wes ayo! Ndak usah ngajak rame di tempat orang!” Warsinah lalu menggandeng tangan suaminya, dan memasang senyum saat langkah-langkah mereka hampir sampai didepan enam orang penerima tamu.

Ada empat kapling tenda yang terpasang, di bawahnya, kursi-kursi itu nyaris penuh oleh penduduk yang datang menghadiri undangan Pak RT, dalam rangka mengkhitan anak bungsunya.

“Maturnuwun lo Yu, sudah menyempatkan waktu untuk memenuhi undangan kami” sambut seorang perempuan yang mengenakan kerudung ungu.

“Sama-sama Mbak,” ucap Warsinah dengan senyum ramah.

Lalu mereka menyalami pengantin sunat dan beralih menyalami lelaki yang kalau di tilik dari wajah sepantaran Kuswanoto.

“Monggo yu, maturnuwun nggeh, wes ngentengno jangkah nekani undangan kulo,” sapa lelaki yang tak lain adalah Pak RT.

“Maturnuwun nggeh kang.” Salam Pak Rete yang di balas senyum nanggung oleh Kuswanoto, hanya menggerakan ujung kumisnya saja.

Mereka lalu di sambut dan diarahkan oleh seorang panitia untuk duduk menghadap meja panjang yang telah berisi aneka pacitan.

“Njenengan mau kopi apa teh kang,” tawar salah satu panitia yang di belakangnya tampak pula orang yang membawa lengser besar.

“Heh Pakne! Di tawani kae lo!” colek Warsinah.

“Kopi,” jawab Kuswanoto singkat.

“Mbok ya seng sumeh kenapa, ini di tempat kondangan,” bisik Warsinah memperingatkan suaminya yang terlihat kesal.

“Ngurus!” sahut Kuswanoto.

Kuswanoto memang akhir-akhir ini lebih sering uring-uringan melihat kedekatan Warsinah dengan Pak RT. Sejak mereka mendadak dapat bantuan beras dari bantuan Program Keluarga Harapan. Di tambah Warsinah belakangan sering di jemput Pak RT, dan di antar kala menjelang surup.

“Monggo, monggo kang,” ajak lelaki yang menegenakan peci, menggiring semua orang yang duduk sederet dengan Kuswanoto untuk segera mengambil tempat diantara antrean menuju meja yang sudah berisi makanan di atasnya.

“Ayo Pakne,” ajak Warsinah seraya menarik tangan Kuswanoto.

“Wareg!” tolak suaminya.

“Lah ra ilok seperti itu, wes ayo, isin di delok liyone kae,” bujuk Warsinah.

“Monggo kang, monggo, monggo sesarengan kaleh rencange.” Lelaki berpeci itu setengah membungkuk dan mempersilahkan Kuswanoto untuk segera antre.

Setelah melirik Pak RT yang sibuk menyalami tamu, Kuswanoto akhirnya beranjak meninggalkan kursi untuk menuju antrean.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search