CERKAK WARSINAH BAB 1
BAB 1
“Ndang mak! Sendal! Endi sendal ku,
halah yoh sue ne!” teriak Kuswanoto yang berdiri di depan pintu.
“Sek to pak! Jek dandan ki lo!” sahut
suara dari dalam.
Sekali lagi Kuswanoto memperhatikan
batik cokelat yang dia kenakan, dipadu dengan celana hitam.
“Uwong rumangsaku ora sabaran!” ketus
Warsinah seraya menyerahkan selop hitam.
“Amplop! Amplope ojo lali,” kata
Kuswanoto menyodorkan wajahnya.
“Wes!” sambar Warsinah.
“Sek, sek, sek!” cegah Kuswanoto saat
Warsinah memasukan kembali amplop ke dalam tas cangklong.
“Apa lagi to Pak!” sentak Warsinah.
“Di longi ae duite nggo tuku udud,
lha wong wingi yo bar nyumbang to,” kata Kuswanoto seraya merebut amplop putih
dari dalam tas.
“Di kurangi piye to?” Warsinah
terlihat bingung.
“Yo di longi separo, kokean iku,
timbangane awakku gak ngudud, coto to!”
“Yo isin to Pakne kalau nyumbang
segini, apa nanti kata Pak Rete,” ucap Warsinah kesal.
“Halah! Sakmono yo wes okeh! Nyoh!”
Kuswanoto mengembalikan amplop yang telah dia ambil separo isinya.
“Mosok yo sepuluh ribu, kebangetan to
Pakne!”
“Wes to! Dadi wong wedok ki kudu
manut mbek wong lanang, gak usah kokean protes!”
Warsinah melirik sebal ke arah
suaminya.
“Wes ayo mangkat, selak entek ko
lawuhe!”
Warsinah yang mengenakan gamis hijau
dengan kerudung senada, berjalan di belakang Kuswanoto. Dua puluh tiga puluh
meter untuk menuju jalan depan yang langsung berhadapan dengan warung Pondi.
Tampak pasangan suami istri berjalan
serah dengan tujuan Kuswanoto dan Warsinah.
“Deneng ora nganggo kupluk rika kang,”
sapa lelaki itu dengan logat ngapak.
“Halah iyo! Makne mbaleko neh jikokno
peciku neng cantolan paku, wes ndang!” perintah Kuswanoto.
“Angger-angger,” gerutu Warsinah.
“Heh Mun Saimun , nyumbang piro
awakmu,” bisik Kuswanoto setelah menarik tangan Saimun.
“Nyong sih biasa kang, satus umum
mbok,” jawab Saimun yang dari Banyumas.
“Rika sih anu nyumbang pira?” tanya
balik Saimun.
“Yo podo kambek awakmu hehehe.”
cengir Kuswanoto yang berkumis tebal itu.
“Pendak minggu kok rumangsaku duwe
gawe ae Pak Rete,” gerutu Kuswanoto.
“Deneng sui temen Yayune,” ucap istri
Saimun.
“Lha kok nggumun Warsinah, wong tak
warai seng gesit ngono, gak klemak-klemek dadi wong wedok, panggah ae! Angel!”
“Ayuh sih la Pak mangkat ndisit.” Jawil
istri Saimun.
“Nyong ndisit ya kang,” pamit Saimun
berjalan meninggalkan Kuswanoto.
Sepeninggal Saimun, Kuswanoto
berjalan ke warung yang ada di seberang jalan.
“Nunggu siapa kang, temannya lo sudah
pada berangkat dari tadi,” kata Pondi yang duduk di balik meja dengan penuh
barang dagangan.
“Ngenteni Warsinah, peciku keri,
udute sebungkus,” ucap Kuswanoto, seraya merogoh saku batiknya.
“Utang minggu kemarin sekalian mau di
bayar to?”
“Halah! Utang sitik ae, ben sek” seru
Kuswanoto.
“Lo to? Kalau di tagih malah Njenengan
seng muring,” ujar Pondi, bujang tua yang belum juga menikah.
“Ko nek wes bayaran tak lunasi kabeh,
gak usah kuatir.” Kuswanoto lalu menyulut ujung kereteknya.
“Pakne ayo!” terik Warsinah dengan
peci hitam di tangannya.
“Di gandeng bojone, ben ketok
romantis, hehehe,” ledek Pondi.
~*~
Jalan menurun berkerikil yang
mengarah selatan tampak ramai oleh pasangan yang mengenakan baju rapi,
Kuswanoto dan Warsinah berjalan paling belakang.
“Minggu wingi nggone Pak Broto,
Minggu iki nggone Pak Rete , kesok minggu nggone sopo neh, ben biangkrut sisan
pendak minggu nyumbang!” umpat Kuswanoto dalam perjalanan.
“Ya sudah to Pakne, namanya juga
tetangga punya gawe, ndak boleh kondo begitu” tenang Warsinah.
“Lha yo mosok angger minggu onok ae
wong duwe gawe, gak mikiri tonggone duwe duwek ta ogak, koclok do an!” kesal
Kuswanoto.
“Njenengan itu piye to Pakne, mbok ya
sudah! Lha wong yang untuk nyumbang juga duitku, bukan duitnya Njenengan,” kata
Warsinah bermaksud untuk tak terus mengumpat.
“Yo jelas di belo to, lha wong mboh
onok opo awakmu kambek Pak Rete!”
“Heh Pakne, tak bilangan ya, aku sama
Pak Rete itu ndak ada hubungan apa-apa, males aku!” seru Warsinah lalu berjalan
cepat meninggalkan suaminya.
“Makne heh! Enteni! Makne!” teriak
Kuswanoto yang telah membuat Warsinah kesal.
“Setiap ada sumbangan pasti
menggerutu, ya wong namanya hidup bermasyarakat, ya wajar to kalau kita
menghadiri undangan tetangga,” kata Warsinah yang di kejar oleh Kuswanoto.
“Duwek! Duweke ki lo ndi nek nyumbang
terus!” ucap Kuswanoto dengan logat kasarnya.
“Lha buktinya kita masih bisa
nyumbang to!”
“Pokoknya Pakne tinggal berangkat
ndak usah kokean ini anu, kokean ita itu, wes!”
Kuswanoto terdiam, saat satu pasangan
yang berjalan di depaknya menoleh ke arah mereka.
“Wes ayo! Ndak usah ngajak rame di
tempat orang!” Warsinah lalu menggandeng tangan suaminya, dan memasang senyum
saat langkah-langkah mereka hampir sampai didepan enam orang penerima tamu.
Ada empat kapling tenda yang
terpasang, di bawahnya, kursi-kursi itu nyaris penuh oleh penduduk yang datang
menghadiri undangan Pak RT, dalam rangka mengkhitan anak bungsunya.
“Maturnuwun lo Yu, sudah menyempatkan
waktu untuk memenuhi undangan kami” sambut seorang perempuan yang mengenakan
kerudung ungu.
“Sama-sama Mbak,” ucap Warsinah
dengan senyum ramah.
Lalu mereka menyalami pengantin sunat
dan beralih menyalami lelaki yang kalau di tilik dari wajah sepantaran
Kuswanoto.
“Monggo yu, maturnuwun nggeh, wes
ngentengno jangkah nekani undangan kulo,” sapa lelaki yang tak lain adalah Pak
RT.
“Maturnuwun nggeh kang.” Salam Pak
Rete yang di balas senyum nanggung oleh Kuswanoto, hanya menggerakan ujung
kumisnya saja.
Mereka lalu di sambut dan diarahkan
oleh seorang panitia untuk duduk menghadap meja panjang yang telah berisi aneka
pacitan.
“Njenengan mau kopi apa teh kang,” tawar
salah satu panitia yang di belakangnya tampak pula orang yang membawa lengser
besar.
“Heh Pakne! Di tawani kae lo!” colek
Warsinah.
“Kopi,” jawab Kuswanoto singkat.
“Mbok ya seng sumeh kenapa, ini di
tempat kondangan,” bisik Warsinah memperingatkan suaminya yang terlihat kesal.
“Ngurus!” sahut Kuswanoto.
Kuswanoto memang akhir-akhir ini
lebih sering uring-uringan melihat kedekatan Warsinah dengan Pak RT. Sejak
mereka mendadak dapat bantuan beras dari bantuan Program Keluarga Harapan. Di
tambah Warsinah belakangan sering di jemput Pak RT, dan di antar kala menjelang
surup.
“Monggo, monggo kang,” ajak lelaki
yang menegenakan peci, menggiring semua orang yang duduk sederet dengan
Kuswanoto untuk segera mengambil tempat diantara antrean menuju meja yang sudah
berisi makanan di atasnya.
“Ayo Pakne,” ajak Warsinah seraya
menarik tangan Kuswanoto.
“Wareg!” tolak suaminya.
“Lah ra ilok seperti itu, wes ayo,
isin di delok liyone kae,” bujuk Warsinah.
“Monggo kang, monggo, monggo
sesarengan kaleh rencange.” Lelaki berpeci itu setengah membungkuk dan
mempersilahkan Kuswanoto untuk segera antre.
Setelah melirik Pak RT yang sibuk
menyalami tamu, Kuswanoto akhirnya beranjak meninggalkan kursi untuk menuju
antrean.
No comments:
Post a Comment