Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

MBAH SURO 10


 

“Buussh!”             

Kuswanoto kembali meniup satu patung pahatan dari galih kayu di tangannya. Senyum mengembang menggambarkan rasa puas akan hasilnya. Dibolak-balik beberapa kali patung setinggi satu jengkal tangan itu.

“Rampung wes,” batinnya.

Sekali lagi, dia mengamati wajah patung. “Hehehehe, podo,” kekehnya seraya mengangguk.

“Patung lagi, patung lagi … untuk apa to Pak.” Warsinah meletakkan bak besar berisi pakaian dari mesin pengering.

“Halah! Wes menengo!” ujar Kuswanoto.

“Kayak enggak ada kerjaan lain,” kata Warsinah yang mulai membentang pakaian di tali jemuran.

“Seni lo iki Makne, seni!” Kuswanoto tersenyum dengan menunjukkan patung hasil pahatan ke istrinya.

“Seni opo? Lha yo mending laku dijual,” gerutu Warsinah.

Kuswanoto tak menggubrisnya, lalu beranjak dari balok kayu yang dua bulan terakhir sering dia duduki, meninggalkan tiga pahat dan satu palu kayu.

 

Dengan senyum yang masih terpasang, Kuswanoto berdiri di sisi tempat tidur, terakhir dia mengamati patung dari galih kayu laban, lalu meletakkannya di atas meja kamar.

~*~

“Jam berapa katanya cucumu datang ke sini Pak?” tanya Warsinah setelah menaruh bak hitam di sudut dapur.

“Jare jam sepuluh,” jawab Kuswanoto dengan mulai menyulut ujung kereteknya.

“Aku kalau membayangkan Sekar kok capek sendiri, urus dagangan perabot, belum lagi harus keluar kota kulak dagangan.” Warsinah mengambil tempat di sisi suaminya.

“Yo nek iku awakmu Makne, gak iso adoh soko awakku!” ledek Kuswanoto.

“Tapi Pakne, ya kan kasihan dengan anak-anaknya yang sering ditinggal.”

“Lah, yo onok Mbabane, gak usah mbok pikir!”

Warsinah menghembuskan napas panjang, bak orang yang ikut merasakan betapa sibuknya sang anak.

“Tilulit … tilulit ….”

“Angkaten Mak,” perintah Kuswanoto untuk Warsinah mengangkat telepon yang berdering.

“Ndak bisa, Njenengan saja yang angkat.”

“Mangkane, dadi uwong seng modern sitik!” Kuswanoto bergegas meraih telepon genggam di atas lemari kayu.

“Sekar?” batin Kuswanoto.

“Halo nduk,” sapa Kuswanoto mengawali pembicaraan.

“O iyo, nduk, iyo … gurung, oiyo nduk.” Terlihat Kuswanoto mengangguk beberapa kali.

“Onok, kate ngomong ta?” tanya Kuswanoto kepada suara dari dalam telepon.

“Oyo wes … yo, yo nduk.” Kuswanoto menoleh ke arah Warsinah.

“Anakmu, kate ngomong ta gak?” tanya Kuswanoto menyodorkan telepon ke Warsinah.

 Warsinah menerima telepon dari tangan Kuswanoto. “Halo … iki Mamak nduk.”

“Tak metu sek Mak, kate golek cet,” kata Kuswanoto meninggalkan Warsinah yang sedang berbicara dengan Sekar.

~*~

Di sisi belakang dapur, setelah menggosok dengan ampelas halus, kini tampak berwarna hitam pada bagian bawah, memperjelas kolor yang di kenakan patung, yang memiliki garis pahat menyerupai wajahnya. Diamati sejenak patung yang dia letakkan pada tatakan papan.

Matahari mulai meninggi, saat motif lurik ke abu-abuan terbentuk dari sapuan kuas kecil, membalut baju patung.

“Kok belum datang yo Pak.” Suara Warsinah mengagetkan Kuswanoto yang sudah bergerak mengecat blangkon seliwer.

“Delok ngkas yak’e,” ucap Kuswanoto dengan tatap fokus dalam memoles motif parang pada detail blangkon.

“Aku kok gregetan lihat patung itu!” ujar Warsinah yang duduk di belakang, dahinya berkerinyit mengamati wajah patung yang belum tersentuh ujung kuas.

“Lapo,” ucap Kuswanoto membalikkan badan.

“Ndak, kok sepintas mirip dengan Njenengan, apa itu patung Njenengan sendiri?” Warsinah bergeser dengan meliukkan kepala ke samping saat tubuh suaminya menghalangi pandang.

“Iki jenenge Mbah Suro.”

“Mbah Suro?” Warsinah menatap Kuswanoto yang tersenyum halus.

“Mbah Suro siapa?” imbuhnya.

“Halah wes menengo.” Lalu Kuswanoto mulai melanjutkan mengecat wajah, dan juga warna kulit.

“Belum bayaran Pak?”

“Gurung, ginio,” sahut Kuswanoto yang membelakangi Warsinah.

“Lha kok mengapa, ya buat belanja.”

Kuswanoto tak menghiraukan Warsinah yang menatapnya dengan wajah kecut.

“Lha jare oleh duit soko unduh lombok.”

“Ya sudah habis to, lha kemarin buat nyumbang Winarti yang lahiran.” Warsinah membetulkan jarik yang membalut bagian bawah tubuhnya.

“Pak Suwono gak mben dino onok, sak wulan pisan nembe moro.” Kuswanoto mencoba memberi pengertian, kalau bayaran jaga rumah sebulan sekali dia terima.

“Njalok Sekar?” Kuswanoto menawari untuk meminta uang kepada sang anak.

“Ndak Pakne! Njenengan ndak malu apa, sudah banyak Sekar membantu kita.”

“Yo wes, gak usah nggresulo,” balas Kuswanoto enteng.

Warsinah hanya terima diam, bukannya dia tak bersyukur dengan apa yang ada, tetapi hasil upah buruh unduh dan bayaran suaminya dari jaga malam di rasa memang hanya pas buat makan.

“Jikokno hengponku Mak.”

“Untuk apa lagi.”

“Lha iki delok neh rampung, kate tak photo.”

Tempat yang menyatu dengan dinding dapur, beratap asbes tanpa dinding itu terlihat berantak oleh sisa kayu dari pahatan Kuswanoto. Di sisi sebelah kiri, hutan kecil yang menandakan bahwa rumah ini berada di ujung kampung, walaupun begitu, ada jalan setapak di depan rumah yang kerap di lalui beberapa orang untuk menempuh jalan lebih cepat mencapai kebun sayur di lereng sebelah timur.

“Cekrek! Cekrek!”

Dilihatnya hasil tangkapan photo dari kamera telepon genggam. Deretan gigi putih nan rapi terlihat dari senyum Kuswanoto, menandakan bahwa dia puas akan karya yang telah dia buat selama lima hari kemarin.

“Pak! Pakne!” teriak Warsinah saat sebuah mobil berhenti di halaman rumah.

Buru-buru Kuswanoto meninggalkan tempat itu, teringat akan ucapan sang anak di telepon, bahwa ke dua cucunya sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

 

~*~

 

“Mbah ...,” teriak Bagus terlihat turun dari mobil yang mengantarnya menjejak halaman rumah papan bercat hijau.

Wajah semringah Kuswanoto menyambut Bagus yang lari menuju peluk lelaki yang dia panggil Mbah kakung.

Terlihat pula satu bocah lainnya juga berlari, dan mengambur ke dalam pelukan Warsinah.

“Mbah kakung kangen Le,” kata kuswanoto mengelus rambut Bagus.

“Wes ayo, mlebu,” imbuhnya, mengajak cucu untuk segera masuk, seiring mobil hitam melaju meninggalkan halaman.

“Brukk!” Albar melempar tas punggung yang dia bawa.

“Lha kok di taruh di bawah?” tanya Warsinah.

“Itu mainan kami Mbah,” jawab Albar, segera dia berlari menuju ruang tengah setelah melihat Kuswanoto menggandeng kakaknya.

“Wes do mangan gurung? Tanya Kuswanoto.

“Belum Mbah, tapi pakde yang mengantar Bagus tadi membelikan sate sewaktu di jalan,” ucap Bagus.

Segera Bagus membuka tas punggung yang dia pegang.

“Punyaku!” rebut Albar ketika Bagus akan mengambil bungkusan yang ada di dalam tas.

“Iya nanti aku ambil!” seru Bagus seraya menepis tangan Albar.

“Gak mau! Albar mau pilih sendiri!” Albar mencoba merebut tas Bagus.

“Lah! Lah! Ngono ae kok yo rebutan!” bentak Kuswanoto.

“Ada apa to?” tanya Warsinah yang muncul di ambang pintu.

“Albar Mbah, dia mau ini,” ucap Bagus menunjukkan tas.

“Koyok gak tau mangan! Wes kono wehno Mbah Putrimu kono!” kata Kuswanoto.

“Sini, sini, Mbah Putri ambilin,” pinta Warsinah lalu membawa tas ke dapur.

“Lho cah ayu kok gak melok ta Mak?”

“Dik Menur ikut Mamak Mbah.” Bagus yang menjawab.

“Tadi Sekar bilang kalau titip Albar dan Bagus, kalau Menur ikut Sekar,” taMbah Warsinah dengan dua piring berisi tusukan sate di tangan.

“Ni Le Gus, Bar,” ucap Warsinah meletakan piring di lantai.

“Lha ndekku endi Mak?”

“Apanya?” tanya Warsinah

“Satene,” ucap Kuswanoto melongok ke piring cucunya.

“Ealah wong, sate punya cucunya kok ya?” balas Warsinah.

“Mbah kakung mau? Ni ….” Bagus memberikan satu tusuk sate.

“Kok gur siji!”

“Nih.” Albar memberikan satu tusuk lagi.

Kuswanoto lalu mengambil separuh milik Albar dan separuh punya Bagus. “Mbah Kakung yo gelem kok eg.”

“Mbaaahhhh!” teriak Albar dan Bagus.

~*~

Rumah Kuswanoto kini ramai oleh teriakan Albar dan Bagus, kehadiran dua cucu membuat hati Warsinah sedikit bahagia oleh polah tingkah mereka. Dengan di temani Bagus, Warsinah pergi ke warung untuk membeli gula pasir.

 “Patung siapa Mbah?” tanya Albar.

Kuswanoto menoleh, tak menjawab pertanyaan sang cucu.

“Kok mirip Mbah kakung,” imbuh Albar yang berjongkok di sisi Kuswanoto seraya mengamati patung yang memiliki kumis tebal.

“Namanya siapa Mbah?”

“Mbah Suro,” jawab Kuswanoto.

“Kok pakai baju seperti punya Mbah kakung, topinya juga sama.” Albar mencoba untuk menyentuh patung tersebut dengan ujung jari.

“Hus! Jek teles cete!” cegah Kuswanoto dengan memegang lengan Albar.

“Iki duk topi, tapi blangkon, ko koyok neng cantolan kamar EMbah kakung, deloken kono,” perintah Kuswanoto dengan logat medok.

Segera Albar berlari menuju kamar Mbah kakungngnya.

“Iya Mbah! Sama!” teriak Albar dari dalam kamar.

Segera Albar lari kembali ke belakang rumah, sejenak dia celingak celinguk mencari Mbah kakung yang sudah tak ada, juga patung Mbah Suro.

“Mbah … Mbah,” panggil Albar ketakutan, sekarang hanya dia sendiri di rumah, Bagus ikut Mbah Putri ke warung, sementara Mbah kakung hilang.

Suasana di belakan rumah mendadak jadi mencekam, Albar menatap belukar yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Mbah, Mbah kakung,” panggilnya pelan, matanya liar mencari keberadaan Kuswanoto.

Albar semakin ketakutan saat ada yang bergerak dari dalam belukar. “Mbahhhh!” Albar seketika lari masuk kedalam.

“Duk! … bleg!”

“Adoh, doh … doh yong!” kaget Kuswanoto seraya memegang bagian selangkangannya.

Albar hanya menatap bingung, “Mbah.”

“Mbah mbeh, Mbah mbeh, lapo jane!” bentak Kuswanoto seraya memegangi perut yang mendadak mulas saat kepala Albar membentur sesuatu di balik sarungnya.

“Mbah kakung tidak apa-apa?” tanya Albar saat melihat Kuswanoto meringis.

“Untung gak pecah ndoke! Duh yong … sampek pecah di seneni Mbah Putri awakmu Le.” Kuswanoto terus meringis, melihat itu Albar beranjak dan langsung memeluk Mbah kakung, “Albar minta maaf Mbah, Albar ndak sengaja, tadi Albar melihat ada yang bergerak-gerak di hutan itu,” kata Albar seraya menunjuk ke sisi kiri.

“Yo wes! Yo wes!, Mbah kakung gak opo-opo!”ucap Kuswanoto lalu meraih ceret plastik, dan langsung menenggaknya.

“Patung Mbah Suro kok ndak ada Mbah?” tanya Albar dengan wajah polosnya.

“Wes tak simpen,” jawab Kuswanoto, lalu duduk njegang di bangku kayu.

“Di simpan dimana Mbah, Albar mau patung itu.” Di akhir ucap, Albar segera menjatuhkan kepalanya di pangkuan Kuswanoto.

“Lha awakmu jare nggowo dolanan teko omah,” ucap Kuswanoto dengan mengelus kepala Albar.

“O iya.” Albar kembali menuju ruang tengah di mana dia melempar tas pertama kali sewaktu masuk ke rumah.

 

**************

Malam kembali hadir dengan memajang bintang, tak ada sinar rembulan di sana. Angin yang berhembus masih membawa sisa hangat mentari, menerobos dari pintu dapur yang terbuka sedikit.

“Ngengg ….”

“Bomm! Bomm.”

Teriak Albar memainkan sebuah mobil tank mainan.

“Wes bengi Le, gek mapan kono,” kata Kuswanoto membuat Albar menghentikan laju mobil mainan.

“Belum ngantuk, ngenggg … boom,boom,” sahut Albar apa adanya.

“Uncalno koreke Mbah Le.” Tunjuk Kuswanoto ke arah korek gas yang tak jauh dari Bagus.

“Mbah kakung ini merokok terus, nanti cepat mati,” kata Bagus dengan menyerahkan korek.

“Huss! Ngawor ae nek ngomong! Kamu pingin Mbahmu mati hah!” Kuswanoto melotot, Bagus tersenyum lalu memeluk Warsinah yang rebahan menghadap televisi.

“Ndak boleh ngomong seperti itu, saru! Sama orang yang lebih tua harus bicara yang sopan,” timpal Warsinah mendekap Bagus.

“Ya Mbah,” ujar Bagus.

“Apa ndak jaga to Pakne,”

Kuswanoto menghembuskan asap keretek ke udara, matanya tak lepas dari layar telepon genggam. Tampak jari-jari nya menekan huruf-huruf di panel keyboard. Begitu seriusnya dia mengamati hasil ketikan yang tertulis, sesekali terlihat dia memicingkan satu mata.

“Pakne.”

Masih juga Kuswanoto menatap ke layar di genggaman tangan.

“Mbahhh!” teriak Bagus.

“Lapo to jane bengok-bengok!” Kuswanoto menoleh ke arah Bagus.

“Dipanggil Mbah Putri, diam saja.” Bagus segera mencolek Mbah Putrinya.

“Opo,” ucap Kuswanoto mendongak.

“Ndak berangkat jaga? Sudah hampir jam sembilan ini,” kata Warsinah memperingatkan Kuswanoto untuk tak telat datang di rumah Suwono.

“Prei.”

“Libur gimana? Nanti kalau ke apesan, terus ada yang hilang bagaimana!” Warsinah bangkit duduk.

“Gak ogak nek ilang, onok kamerane neng nduwur,” jawab Kuswanoto dengan terus menggerakan jari-jari di atas layar kaca.

“Jangan meremehkan tanggung jawab.”

“Halah! Gak ogak nek enek seng ilang, ilango yo ke rekam!” ketus Kuswanoto.

“Mbah,” panggil Albar.

“Ada apa Le!” sahut Warsinah.

“Albar ngantuk, tidur yo Mbah.”

“Turu kambek Mbah kakung yo Bar,” sahut Kuswanoto dengan tangan terus mengetik.

“Ndak mau, Albar mau tidur sama Mbah Putri!” jawab Albar yang berdiri di ambang pintu dengan mata mulai sendu.

“Yo wes!”

“Mbah main game ya?” tanya Albar.

“Game gundulmu iku, nulis!” jawab Kuswanoto lalu menjetikkan jari membuang abu rokok.

“Nulis apa sih Mbah, memang Mbah kakung dulu sekolah,” seloroh Bagus.

“O, untumu! Ngene-ngene yo tau mangan bangku sekolah seng bangkune dowo, nek lungguh sak mejo isine arek papat! Sembrono!”

“Hikhikhik.” Bagus terkikik mendengarnya.

Kuswanoto meraih bungkus rokok berwarna merah itu, tak lama lalu meremasnya.

“Diangkrek! Entek ududku,” batinnya.

“Bar jikok kaus putih Mbah neng nduwur amben Le.” Dengan perasaan malas, Albar menuruti perintah Mbah kakungnya.

“Ke mana Mbah?” tanya Bagus.

“Neng warung, lapo? Melok ta?”

“Halah! Ndak usah sudah malam!” sambar Warsinah.

“Krungu gak jare Mbah Putrimu,” ucap Kuswanoto seraya mengenakan kaus.

“Ndak keluyuran Pakne! Langsung pulang!” seru Warsinah.

“Yo!” sahut Kuswanoto lalu menutup pintu depan.

~*~

Bagus menatap layar telepon genggam Mbah kakungnya, dia baca pelan-pelan setiap tulisan.

“Mereka lalu aku hidupkan, dengan datangnya sebuah sinar yang akan membawa mereka melintasi waktu.”

“Waktu di mana aku menulis ceritanya.”

Di sentuhnya tanda kembali, lalu meninggalkan halaman draft. Diperhatikannya dengan saksama gambar sampul dari cerita tersebut. “Mbah Suro 10” ucapnya lirih.

Tampak lelaki dengan baju lurik serta kepala berhias blangkon dengan wajah kokoh berkumis tebal.

“Seperti foto Mbah kakung,” batin Bagus.

Kembali Bagus menyentuh dengan ujung jari layar di hadapannya, membawa Bagus ke daftar isi cerita. Jari Bagus menggesek ke atas, hingga layar menampilkan kembali draf cerita, Mbah Suro 10

Sementara di luar, langkah kaki Kuswanoto semakin dekat dengan pintu, buru-buru Bagus menyentuh tanda titik tiga di ujung kanan layar. Dengan cepat Bagus menyentuh kata ‘hapus’ kemudian memilih ‘ya’.

“Gurung turu Le?”

Bagus sontak kaget, dengan cepat dia menyembunyikan telepon genggam Kuswanoto di belakang tubuhnya.

“Lapo malah ngadek neng kono ae, gek turuo kono!” di akhir ucap, Kuswanoto menyamping untuk mengambil telepon genggam yang dia taruh di bangku sebelumnya.

Bagus bergeser dengan terus menghadap Kuswanoto.

“Heh?” desah Kuswanoto.

“Roh HP ne Mbah kakung Le?”

Bagus menggeleng, dengan sedikit wajah takut.

“Tak deleh kene mau!” Kuswanoto lalu menatap Bagus yang berdiri seperti tangan terikat ke belakang.

“Opo iku seng mbok delekno, HP ne Mbah Yo! Kene balikne, mbukak video ngonoan yo!” hardik Kuswanoto.

“Ndak, Bagus ndak liat video,” jawab Bagus cemberut.

“Vidio saru iku! Arek cilik gak oleh nonton, gorene!”

Bagus perlahan menyerahkan telepon genggam, lalu berlari menuju kamar, takut di marah oleh Kuswanoto, karena telah berani membuka isi menu yang bergambar huruf W berwarna oranye.

“Ngawur ae!” gerutu Kuswanoto lalu membuka menu galeri, dimana banyak video yang dia download.

“Arek iku mau nonton video gak yo, hem?” batin Kuswanoto.

~*~

“Hoamm!”

Berkali-kali Kuswanoto menguap di depan TV. Di liriknya kembali telepon genggam yang ada di atas bantal.

“Ngantok wes, kesok neh nglanjutno gawe cerito.” Kata hatinya.

Dengan menekan lama tombok di samping kanan, “Blipp!” telepon genggam telah ia non aktifkan.

“Sumuke.” Di lempar kaos yang dia kenakan ke atas bangku, lalu meraih remote TV, menggantinya dengan siaran berita malam.

“Menurut pengakuan korban, dia telah di setubuhi delapan kali oleh ayah tirinya, aksi biadab itu lakukan sewaktu sang istri pergi bekerja sebagai buruh upahan pemetik cabe.”

Kuswanoto melirik ke arah pintu di sisi kirinya, tampak tirai kamar masih terbuka. Segera di beranjak dan melangkah ke kamar.

Warsinah tidur di tepi dengan menghadap Albar, sementara paling ujung, Bagus sudah tertidur nyenyak dalam dekap sarung Mbah kakungnya.

“Klek!”

Kamar mendadak gelap setelah Kuswanoto menekan sakelar.

Matanya sendiri sudah terasa berat, dia harus mengalah untuk malam ini dengan tidur di depan TV, dengan cepat dia menurunkan tirai biru itu.

“Glodak!” Kuswanoto berdiri tak bergerak setelah mendengar suara dari kolong tempat tidur.

“Palingo yo tikus kawin,” batinnya.

Dengan menggeleng, lalu Kuswanoto meninggalkan depan pintu yang tertutup tirai.

Belum dua langkah, Kuswanoto berhenti.

“Glodak! Glodak!”

Kuswanoto menoleh ke arah pintu kamar.

Teringat olehnya bahwa di kolong tempat tidur itu dia menyimpan beberapa patung pahatan ke dalam sebuah kotak papan.

“Klek!” ruangan itu kembali terang. Sekali lagi dilihat istri serta ke dua cucunya yang sudah lelap dalam buai mimpi.

Kuswanoto berjongkok, menyingkap ujung seprai. “Huss!” usirnya kepada tikus yang dia pikirkan.

Bola matanya liar menyapu, mencari sesuatu yang mungkin bergerak, dan mengusir tikus untuk segera pergi, sebab bisa saja patung pahatannya di kerat binatang bergigi tajam tersebut.

Tak ada yang mencurigakan, bahkan setelah sekian lama dia menunggu, suara itu tak jua terdengar.

“Huss! Huss!”

Lalu Kuswanoto menurunkan ujung seprai, dan ….

“Klek!”

Bunyi itu terdengar bersamaan dengan turunnya sakelar lampu.

“Glodak.”

“Klek!” lampu kamar kembali menyala.

Dengan satu gerak cepat Kuswanoto membuka ujung seprai, matanya membelalak saat mendapati patung Mbah Suro sudah keluar dari kotak papan.

Dalam genggamannya, Kuswanoto mengamati patung yang menyerupai wajahnya. Lalu dia menarik kotak dari kolong, membukanya, tampak tiga patung lainnya masih berada di dalam kotak.

“Kok iso metu dewe?” gumam Kuswanoto.

Pandangannya tertuju ke kotak setinggi dua jengkal dengan lebar sepanjang lengannya.

Dengan perlahan, Kuswanoto memasukan patung Mbah Suro, menutupnya perlahan.

“Aneh to, kok iso metu,” batinnya.

“Srooookkk!” kotak papan itu lalu dia dorong masuk kembali kedalam kolong.

Kuswanoto mengusap-usap kedua tangannya, lalu menggulung sarung.

“Klek!” Kembali kamar menjadi gelap.

~*~

Mata Kuswanoto nyaris terpejam, saat suara dari dalam kamar kembali terdengar.

“Glodak! Glodak … glodakk!”

“O asu ki!” umpat Kuswanoto.

“Klek!” lampu kembali menyala.

“Sroookkk, srooookkk!”

Dua kotak papan langsung dia tarik keluar dari kolong tempat tidur.

Segera dia buka kedua penutup itu atas.

Sejenak Kuswanoto tertegun, tak ada yang aneh dengan patung yang semuanya berjumlah enam, dengan dua lainnya di dalam kotak terpisah.

Dikeluarkan semua patung yang telah di cat, Kuswanoto berdiri, mengamati patung dalam genggam. Sebuah patung laki-laki yang mengenakan baju hitam dengan lilitan jarik batik parang, serta udeng yang menghias kepala.

Kumis melintang dengan alis mata tebal itu terlihat marah seraya menunjukkan ke arah depan.

Kuswanoto menghembuskan napas, mengingat sejarah yang mendasari baginya untuk membuat patung tersebut.

Tampak senyum tipis di bibir Kuswanoto mengingatnya, lalu meletakan kembali patung lelaki marah itu.

Matanya kembali tertarik dengan patung yang ukurannya paling kecil, itu ada di kotak terpisah, kotak yang ukurannya lebih kecil, dan hanya berisi dua patung.

Patung anak kecil yang mengenakan kaos lurik merah, tersenyum manis menampilkan deretan gigi susu yang tumbuh rapi.

Menatap mata yang seakan mengerjap kepadanya.

“Pakne!”

Sontak Kuswanoto kaget, mendapati Warsinah sudah duduk di tepi tempat tidur.

“Sudah malam mbok ya besok lagi, ngapain semua di bongkar-bongkar,” Warsinah menggulung rambutnya yang terlihat acak-acakan.

“Seng ngubrah-obrah ki yo sopo!”               

Warsinah melanjutkan kembali tidurnya, Kuswanoto menatap mata patung, cerita yang pernah dia buat kala itu, membuatnya memutuskan untuk mencari galih dan memahat membentuk bocah kecil, yang dia beri nama, Kusno Aji.

“Bocah bagus,” batin Kuswanoto seraya memasukkan kembali patung Kusno Aji, menutup, lalu mendorong kotak masuk ke kolong.

Kuswanoto tersenyum saat meraih satu patung dari cerita Mbah Suro yang pernah dia buat di wattpad. Lelaki tampan yang dia cat berwarna kuning, menjadikan semakin terlihat bersih kulit yang di miliki, tokoh yang tak bisa di pisahkan dari dari patung yang dia cat tadi siang, Juragan Ngadiman.

“Sroookkk!”

“klek!”

Keadaan kembali gelap, meninggalkan Warsinah bersama ke dua cucunya yang masih pulas, sementara di bawah kolong tempat tidur, penutup kotak papan itu terlihat bergerak-gerak, tampak jari-jari kecil mencoba untuk terus membuka penutup.

“Cepat angkat!”

“Akhhgg!”

“Glodak!”

Penutup itu kembali terbuka. “Bagaimana Mbah? Aku tak bisa melihat apa-apa.” Terdengar suara dari dalam kotak.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search