Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 4

 

BAB 4

“Oalah Kang, Kang ... temenan kue Rika nyumbang mung limang ewu?”

“Gak nduwe duwek!” jawab Kuswanoto kepada Saimun.

“Mbok ya nyelang ndisit ambi batire napa, nyong be ngutang ambi tanggane.”

“Nek nyumbang seng penting opo?”

“Ikhlas.”

“Yo wes! Ginio di bahas neh hah!” kata Kuswanoto setengah menyikut lengan Saimun.

“Baiklah bapak-bapak, untuk pengerjaannya mau di gotong royong atau kita upahkan kepada tuKang?” pertanyaan Pak RT hanya di jawab dengan saling tatap diantara mereka.

“Wah kalau gotong royong saya ndak sempat Pak RT, saya sibuk cari uang,” celetuk satu warga.

“Iya Pak RT, saya juga dagang kalau pagi, sepertinya gak bisa saya kalau harus gotong royong,” timpal Samamudin.

“Kalau kita gotong royong, bisa menghemat anggaran,” ucap Pak RT menjelaskan.

Hanya suara saling bisik dan obrolan, belum juga ada yang bilang setuju atau mengiyakan apa yang di ajukan Pak RT.

“Jadi bagaimana bapak-bapak?” giliran Ustad Sopyan bertanya, sejenak suasana hening kembali.

“Enaknya kita upahkan saja Pak, kalau gotong royong sepertinya kita semua gak sempat, sibuk cari nafkah untuk keluarga pak Ustad.”

“Sih giliran nyumbang do pamer, deneng di jaluki tulung gotong royong apda kayak kuwe, do ra kober, kepriwe sih!” seru saimun yang dibalasn tatapan mata mereka.

“Heh Mun! Kamu kan memang kerjannya nyayur, ya jelas ndak sesibuk kami, nyayur kan bisa di tinggal, lha kalau kami kan ndak bisa,” balas Misdu yang bertubuh paling jangkung.

“Begini, begini ... kalau kita upahkan pekerjaan ini akan memakan banyak anggaran, sedangkan kita di kejar waktu oleh pihak penyalur wakaf, kita hanya di batasi empat belas hari.”

“Kalau kita upahkan untuk dua tuKang dua kernet, kalau seratus lima puluh ribu tuKang dan seratus dua puluh kernet, itu hasilnya tujuh juta lebih, dan itu sudah memakan separuh anggaran biaya kita.”

“Pokoknya kami ndak setuju kalau gotong royong pak RT, kita semua sudah nyumbang, mosok ya kita suruh ngerjain juga,” potong Pak Jumadi yang sepertinya dari tadi mempengaruhi bapak-bapak yang lain untuk menolak gotong royong.

“Kalau kita upahkan, terpaksa kita kasih harga dua ratus ribu untuk dua orang, ya hitung-hitung selebihnya sedekah tenaga,” kata Pak RT menambahi.

“Yah! Siapa yang mau Pak RT, seratus sehari,” timpal Mukidi.

“Ya mau bagaimana lagi, anggaran kita tidak begitu banyak, ini juga belum barang-barang yang biasa saja di luar dugaan, seperti kabel pipa instalasi dan lain-lain.”

“Suruh saja Kang Kuswanoto yang nuKangi, lagi pula nyumbangnya juga lima ribu, hitung-hitung dia nyumbang tenaga, bagaimana bapak-bapak, setuju ndak.”

“Setujuuuuu,” jawab mereka kompak menjawab pertanyaan Samamudin.

“Iyo! Mbarang do di jaluki tulung tenogo do kabotan!” ketus Kuswanoto membalas sahutan mereka.

“Lha yo bener lo Kang, kita sudah menyumbang banyak, lha Njenengan kan cuma lima ribu, kalau mau nyumbang lebih Njenengan ndak punya uang, ya di ganti saja dengan tenaga, seratus ribu lumayan to?” terlihat Samamudin berdiri seraya menunjuk Kuswanoto.

“Lha nek lumayan lapo gak awakmu ae seng nandaangi, ginio kudu awakku, opo mergo awakku nyumbang limang ewu!” Kuswanoto tak mau kalah dia berdiri dengan wajah geram memerah.

“Yo iyo lah kudune, mosok konco-konco do nyumbang okeh nggo mejid kampunge dewe, Njenengan gur limang ewu, ijole yo tenogo to menurutku, piye lur ... setuju gak karo pendapatku.”

“Setujuuuuu.”

“Sudahlah Pak RT, mending Kang Noto saja, yang nuKangi, dia kan mantan tuKang.”

“TuKang gendaan,” Entah suara siapa itu yang pasti Kuswanoto seketika meradang.

“Sopo seng muni kui mau hah! Sopo, jal tak pingin weroh! Sopo! Ngomongno uwong koyok wess paling suci ae!”

“Sudah, sudah, kenapa melebar kemana-mana musyawaroh kita,”

“Bagaimana Kang, Njenengan mau ndak jadi tuKangnya, sampaikan lihai jadi tuKang tikung, hahahahaha.’

“Sudah to sudah!”

“Tidak baik membuka aib kawan sendiri.”

“Bukan aib Pak Ustad tapi kenyataannya begitu, sekampung juga sudah tahu kalau Kang Noto sering gendaan sama Sri, itu ibunya Aji.”

Bukan hanya Kuswanoto yang merasa di buat malu, wajah Pak Rt juga seketika memerah, sayang, tak ada yang memperhatikan wajahnya, semua mata masih tertuju kepada Kuswanoto yang berdiri, menjadi bahan candaan.

“Jujur dan mengakui semua apa yang kita lakukan itu lebih mulia lo Kang,”

“Plukkk!”

Kopian Kuswanoto melanyang dan membentur wajah Samamudin yang terus ngoceh membicarakan dirinya.

“Njenengan nantangin saya! Iya, apa Njenengan pikir saya takut sama brengose Njenengan iku hah!”

“Yo wes rene jal, ojok sampek awakku seng temandang rono!”

Suasana semakin panas, ketika Kuswanoto melewati beberapa orang untuk mendekati Samamudin yang telah mempermalukannya.

“Wis lah Kang, ra patut kie neng mejid, ora usah diladeni, wong gendeng koh Rika ladeni! Wis lah lungguh!” lerai Saimun mencoba menenangkan Kuswanoto.

“Lha wong kenyataannya begitu kok di bilang gak mau, malah marah,” gerutu Samamudin, yang juga di pisahkan oleh beberapa warga.

“Astagfirullah? Sudah, sudah bapak-bapak, kita di sini untuk musyawaroh tentang pembangunan, kenapa malah menjadi kisruh begini!” Ustad Sopyan akhirnya berdiri diantara Kuswanoto dan Samamudin yang tengah bersitegang.

“Tak blekrek cangkemu nek asal muni!”

“Wis laah Kang aja kayak kue lah, medeni nek Rika ngamuk neng kene, wis lah ... wis lah!”

“TuKang selingkuh diomong kok gak gelem, ngoco-ngoco, putumu wes telu, ra nduwe isin!” Samamaudin masih saja nyerocos.

“Sudah to sudah, ya Allah? Sudah tua-tua semua kok ya kayak anak kecil!” bentak Ustad Sopyan.

“Rene! Reneo! Tak tak dugang cuangkenmu! Reneooo! Diancook!” keluar sudah aslinya, Kuswanoto mengumpat dengan terus berontak dalam pegangan beberapa warga.

“Astagfirullah! Sudah! Sudah ... ya Allah, nyebut-nyebut!” Pak RT akhirnya angkat bicara seraya berdiri di samping Ustad.

“Tingal bilang iya! Saja kok repot!” masih saja Samamudin menggerutu.

“Iyo wes! Ito awakku gelem dadi tuKang! Mergo awakku nyumbang limang ewu, seneng awakmu! Matamu suwek!”

“Opo Njenengan ngomong opo mau!” Samamudin kembali berontak.

“Sudah, sudah ampuuuunnn ... ini kok malah jadi begini, ya Allah!”

Keributan tak terelakkan ketika Kuswanoto marah seraya terus berontak dari pegangan Saimun dan beberapa warga yang mencoba memisah mereka.

“wis mulih lah mulih! Rusuh nek Rika gampang emosian kayak kie, wes tua ra denger ngisin apa!” maki Saimun sewaktu berhasil membawa Kuswanoto keluar masjid.

“Yo ngomong ae gak sanggup nuKangi opo kabotan nek korban wektu, nek nyumbang ae di pamer-pamerno, gak usah nggowo-nggowo uurusan pribadine uwong, diancok ane!”

“Uwis lah Kang, uwis, Rika wis weruh mbok kepriwe Samamudin kae uwonge, wis lah ayo mulih.”

Kuswanoto akhirnya pulang dengan perasaan dongkol, suara gaduh masih terdengar dari warga yang juga ikut, membubarkan diri.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search