CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 4
BAB 4
“Oalah Kang, Kang ...
temenan kue Rika nyumbang mung limang ewu?”
“Gak nduwe duwek!” jawab
Kuswanoto kepada Saimun.
“Mbok ya nyelang ndisit
ambi batire napa, nyong be ngutang ambi tanggane.”
“Nek nyumbang seng penting
opo?”
“Ikhlas.”
“Yo wes! Ginio di bahas
neh hah!” kata Kuswanoto setengah menyikut lengan Saimun.
“Baiklah bapak-bapak,
untuk pengerjaannya mau di gotong royong atau kita upahkan kepada tuKang?”
pertanyaan Pak RT hanya di jawab dengan saling tatap diantara mereka.
“Wah kalau gotong royong
saya ndak sempat Pak RT, saya sibuk cari uang,” celetuk satu warga.
“Iya Pak RT, saya juga
dagang kalau pagi, sepertinya gak bisa saya kalau harus gotong royong,” timpal Samamudin.
“Kalau kita gotong royong,
bisa menghemat anggaran,” ucap Pak RT menjelaskan.
Hanya suara saling bisik
dan obrolan, belum juga ada yang bilang setuju atau mengiyakan apa yang di
ajukan Pak RT.
“Jadi bagaimana
bapak-bapak?” giliran Ustad Sopyan bertanya, sejenak suasana hening kembali.
“Enaknya kita upahkan saja
Pak, kalau gotong royong sepertinya kita semua gak sempat, sibuk cari nafkah
untuk keluarga pak Ustad.”
“Sih giliran nyumbang do
pamer, deneng di jaluki tulung gotong royong apda kayak kuwe, do ra kober,
kepriwe sih!” seru saimun yang dibalasn tatapan mata mereka.
“Heh Mun! Kamu kan memang
kerjannya nyayur, ya jelas ndak sesibuk kami, nyayur kan bisa di tinggal, lha
kalau kami kan ndak bisa,” balas Misdu yang bertubuh paling jangkung.
“Begini, begini ... kalau
kita upahkan pekerjaan ini akan memakan banyak anggaran, sedangkan kita di
kejar waktu oleh pihak penyalur wakaf, kita hanya di batasi empat belas hari.”
“Kalau kita upahkan untuk
dua tuKang dua kernet, kalau seratus lima puluh ribu tuKang dan seratus dua
puluh kernet, itu hasilnya tujuh juta lebih, dan itu sudah memakan separuh
anggaran biaya kita.”
“Pokoknya kami ndak setuju
kalau gotong royong pak RT, kita semua sudah nyumbang, mosok ya kita suruh
ngerjain juga,” potong Pak Jumadi yang sepertinya dari tadi mempengaruhi
bapak-bapak yang lain untuk menolak gotong royong.
“Kalau kita upahkan,
terpaksa kita kasih harga dua ratus ribu untuk dua orang, ya hitung-hitung
selebihnya sedekah tenaga,” kata Pak RT menambahi.
“Yah! Siapa yang mau Pak
RT, seratus sehari,” timpal Mukidi.
“Ya mau bagaimana lagi, anggaran
kita tidak begitu banyak, ini juga belum barang-barang yang biasa saja di luar
dugaan, seperti kabel pipa instalasi dan lain-lain.”
“Suruh saja Kang Kuswanoto
yang nuKangi, lagi pula nyumbangnya juga lima ribu, hitung-hitung dia nyumbang
tenaga, bagaimana bapak-bapak, setuju ndak.”
“Setujuuuuu,” jawab mereka
kompak menjawab pertanyaan Samamudin.
“Iyo! Mbarang do di jaluki
tulung tenogo do kabotan!” ketus Kuswanoto membalas sahutan mereka.
“Lha yo bener lo Kang,
kita sudah menyumbang banyak, lha Njenengan kan cuma lima ribu, kalau mau
nyumbang lebih Njenengan ndak punya uang, ya di ganti saja dengan tenaga,
seratus ribu lumayan to?” terlihat Samamudin berdiri seraya menunjuk Kuswanoto.
“Lha nek lumayan lapo gak
awakmu ae seng nandaangi, ginio kudu awakku, opo mergo awakku nyumbang limang
ewu!” Kuswanoto tak mau kalah dia berdiri dengan wajah geram memerah.
“Yo iyo lah kudune, mosok
konco-konco do nyumbang okeh nggo mejid kampunge dewe, Njenengan gur limang
ewu, ijole yo tenogo to menurutku, piye lur ... setuju gak karo pendapatku.”
“Setujuuuuu.”
“Sudahlah Pak RT, mending Kang
Noto saja, yang nuKangi, dia kan mantan tuKang.”
“TuKang gendaan,” Entah
suara siapa itu yang pasti Kuswanoto seketika meradang.
“Sopo seng muni kui mau
hah! Sopo, jal tak pingin weroh! Sopo! Ngomongno uwong koyok wess paling suci
ae!”
“Sudah, sudah, kenapa melebar
kemana-mana musyawaroh kita,”
“Bagaimana Kang, Njenengan
mau ndak jadi tuKangnya, sampaikan lihai jadi tuKang tikung, hahahahaha.’
“Sudah to sudah!”
“Tidak baik membuka aib
kawan sendiri.”
“Bukan aib Pak Ustad tapi kenyataannya
begitu, sekampung juga sudah tahu kalau Kang Noto sering gendaan sama Sri, itu
ibunya Aji.”
Bukan hanya Kuswanoto yang
merasa di buat malu, wajah Pak Rt juga seketika memerah, sayang, tak ada yang
memperhatikan wajahnya, semua mata masih tertuju kepada Kuswanoto yang berdiri,
menjadi bahan candaan.
“Jujur dan mengakui semua
apa yang kita lakukan itu lebih mulia lo Kang,”
“Plukkk!”
Kopian Kuswanoto melanyang dan membentur wajah Samamudin
yang terus ngoceh membicarakan dirinya.
“Njenengan nantangin saya!
Iya, apa Njenengan pikir saya takut sama brengose Njenengan iku hah!”
“Yo wes rene jal, ojok
sampek awakku seng temandang rono!”
Suasana semakin panas,
ketika Kuswanoto melewati beberapa orang untuk mendekati Samamudin yang telah
mempermalukannya.
“Wis lah Kang, ra patut
kie neng mejid, ora usah diladeni, wong gendeng koh Rika ladeni! Wis lah lungguh!”
lerai Saimun mencoba menenangkan Kuswanoto.
“Lha wong kenyataannya
begitu kok di bilang gak mau, malah marah,” gerutu Samamudin, yang juga di
pisahkan oleh beberapa warga.
“Astagfirullah? Sudah, sudah bapak-bapak, kita di
sini untuk musyawaroh tentang pembangunan, kenapa malah menjadi kisruh begini!”
Ustad Sopyan akhirnya berdiri diantara Kuswanoto dan Samamudin yang tengah bersitegang.
“Tak blekrek cangkemu nek
asal muni!”
“Wis laah Kang aja kayak
kue lah, medeni nek Rika ngamuk neng kene, wis lah ... wis lah!”
“TuKang selingkuh diomong
kok gak gelem, ngoco-ngoco, putumu wes telu, ra nduwe isin!” Samamaudin masih
saja nyerocos.
“Sudah to sudah, ya Allah?
Sudah tua-tua semua kok ya kayak anak kecil!” bentak Ustad Sopyan.
“Rene! Reneo! Tak tak
dugang cuangkenmu! Reneooo! Diancook!” keluar sudah aslinya, Kuswanoto
mengumpat dengan terus berontak dalam pegangan beberapa warga.
“Astagfirullah! Sudah!
Sudah ... ya Allah, nyebut-nyebut!” Pak RT akhirnya angkat bicara seraya berdiri
di samping Ustad.
“Tingal bilang iya! Saja
kok repot!” masih saja Samamudin menggerutu.
“Iyo wes! Ito awakku gelem
dadi tuKang! Mergo awakku nyumbang limang ewu, seneng awakmu! Matamu suwek!”
“Opo Njenengan ngomong opo
mau!” Samamudin kembali berontak.
“Sudah, sudah ampuuuunnn
... ini kok malah jadi begini, ya Allah!”
Keributan tak terelakkan
ketika Kuswanoto marah seraya terus berontak dari pegangan Saimun dan beberapa warga
yang mencoba memisah mereka.
“wis mulih lah mulih!
Rusuh nek Rika gampang emosian kayak kie, wes tua ra denger ngisin apa!” maki Saimun
sewaktu berhasil membawa Kuswanoto keluar masjid.
“Yo ngomong ae gak sanggup
nuKangi opo kabotan nek korban wektu, nek nyumbang ae di pamer-pamerno, gak
usah nggowo-nggowo uurusan pribadine uwong, diancok ane!”
“Uwis lah Kang, uwis, Rika
wis weruh mbok kepriwe Samamudin kae uwonge, wis lah ayo mulih.”
Kuswanoto akhirnya pulang
dengan perasaan dongkol, suara gaduh masih terdengar dari warga yang juga ikut,
membubarkan diri.
No comments:
Post a Comment