CERKAK AMBAL WARSO
CERKAK AMBAL WARSO
SINOPSIS:
Pagi yang mengesalkan bagi Kuswanoto saat Pondi pemilik warung tiba-tiba datang menagih, dan menyita motor.
Berusaha keras untuk menebus dengan mendatangi kedua sahabatnya, justru semakin membuat dia merasa seperti orang yang paling papa di dunia.
****
Samamudin menelepon dengan kabar tawaran kerja, tetapi malah membuatnya makin terhina.
Menemui Sri untuk sekadar mendinginkan kepala, malah nyaris meledak saat melihat janda pujaan hatinya sedang bergayut dalam bopong Pak RT.
Menjadi penjual ikan dia lakoni demi sepuluh lembar rupiah merah untuk mengambil motor dengan segera dari tangan Pondi.
****
Pertemuannya dengan Pak Karsono memberikan setitik harap untuk bisa menebus motor, dan itu terbukti.
Bahkan dengan bantuannya pula, semua dendam, dan urusan sakit hati terbalaskan sudah, meski satu perjanjian harus dia sepakati. Ya, tidak ada yang gratis di dunia ini, dan tidak ada jalan lain bagi Kuswanoto selain menerima kesepakatan itu.
****
Satu ambulans datang menjemputnya. Tekanan hidup yang datang bertubi-tubi membuatnya dinyatakan harus menjalani perawatan kejiwaan.
Satu RT datang menjenguk, dan semua di sana terungkap kenapa kesialan-demi kesialan terus menghujaninya beberapa hari ke belakang.
Pak Karsono juga datang setelah semua warga yang membesuknya pulang. Janji yang pernah disepakati harus dibayar lunas malam itu juga.
BAB 1
Tin!
Pintu rumah terlihat tertutup.
"Mak!" teriak Kuswanoto di depan pintu.
"Mak!"
Tak ada sahut jawab dari dalam.
"Jane neng ngendi to wonge ki." (Sebenarnya ke mana orangnya ini).
Suasana masih terlihat lindap. Hanya semburat keemasan di kaki langit bagian timur.
Kuswanoto memilih masuk melalui pintu belakang.
"Mak."
Tidak ada Warsinah di dapur. Terlihat kompor masih menyala dengan satu panci tertutup.
Kemudian memilih ke kamar.
Rutinitas jaga malam di kantor desa membuatnya sedikit menguap saat merebahkan tubuh di atas balen.
"Pak, sudah pulang toh!" Suara Warsinah dari dapur.
"Wes." (Sudah).
"Ko endi, Mak!" (Dari mana, Mak!).
"Dari belakang," jawab Warsinah seraya muncul dari ambang pintu.
"Uncalno sarungku kene." (Lemparkan sarungku).
"Tiga hari lagi ada kondangan di tempatnya Pak Tulus. Anaknya dikhitan." Seraya menyerahkan sarung kepada suaminya.
"Terus?"
"La kok terus? Ya, aku ke sana mau bawa apa? Aku sendiri juga belum bayaran."
"Ngutang ae sek, ngutang." (Berutang dulu, berutang).
"Ah, utang sudah setinggi gunung, Pak." Warsinah lalu duduk di tepi balen dengan membekap baju, jaket, serta satu sarung lain yang harus dia cuci.
"Kalau diingat-ingat. Pak Tulus itu, ya baik orangnya dengan kita. Iya toh?"
"Nyileh sek ambek Pak Ali. Mosok gak diwei?" (Pinjam dulu dengan Pak Ali. Masak tidak dikasih?).
"Minggu ini saja, aku masih punya utang. Belum yang minggu kemarin, juga belum aku bayar. Aku malu toh, Pak."
"La awakmu megawe kok. Yo dipotong bayaran rak iso ta?" (La kamu bekerja kok. Ya dipotong bayaran apa tidak bisa?).
"Hialah, Pak. Bayaran upah unduh tidak seberapa. Untuk menutupi kebutuhan kita sehari-hari saja pas-pasan."
"Apa Njenengan, pinjam saja dulu sama Pak Rete. Sekadar untuk kondangan."
"Gah! Gak kere!" (Tidak! Tidak sudi!).
"La terus?"
"Sak onoke ae lah, Mak. Nggo opo dipekso-pekso nek nyatane gak onok, he?" (Seadanya saja, Mak. Untuk apa dipaksakan kalau kenyataannya tidak ada, he?).
"Ya Allah, Pak. Baru kali ini loh Pak Tulus punya hajat. La, ya masak ke sana cuma bawa gula kopi saja. Malu aku."
"Yo, onoke iku kok. Kon piye neh, he?" (Ya, adanya itu kok. Mau bagaimana lagi, he?).
"Ya usaha toh, Njenengan. Pinjam sama siapa dulu. Nanti kalau Njenengan, sudah gajian ya, dibayar."
"Kate nyileh sopo. Usume laib koyok ngene." (mau pinjam siapa. Musim krisis seperti ini).
"Ya, usaha toh. Bagaimana toh, Njenengan."
"Wes kono gek gawe wedang. Ko tak pikire." (Sudah sana buatkan wedang. Biar aku yang memikirkannya).
Warsinah beranjak menuju mukena, dan sajadah yang tergantung di sudut kamar.
Tak ada cakap terdengar, hanya Kuswanoto yang mengembuskan napas berat berkali-kali seraya memangku kepala dengan lipat tangan di atas bantal.
"Urep kok ngene men yo. Utang pateng teletek." (Hidup kok begini amat ya. Utang di mana-mana).
"Namanya juga hidup, Pak," sahut Warsinah dengan makin bertambahnya pakaian di dekap tangan.
"Opo awakku meranto ae yo, Mak. Neng kampung golek gawean yo angel. Takok rono-rene yo gak onok lokak penggaean." (Apa aku merantau saja ya, Mak. Di kampung cari kerja susah. Bertanya ke sana-sini tidak ada lowongan).
"Ngenteni wong ngongkon mbangun opo to opo yo, longko." (Menunggu orang menyuruh bangun apa kek apa ya, tidak ada).
Warsinah berlalu tanpa menimpali.
Kuswanoto meraih HP di atas meja. "Balek kate medet. Malah disambati duwek." (Pulang mau tidur. Malah berkeluh duit). Menggerutu.
Dia buka aplikasi per pesanan. Tidak ada pesan masuk.
Beralih ke status. Tidak ada nama Sri dengan statusnya yang biasa memajang foto diri.
Sejenak dia meletakkan HP. Mendengus sekali.
Tak ada gambaran pekerjaan saat dia memandang jumantara kamar. Pikirannya terbebani dengan keluh istrinya kini.
"Piye, yo?" (Bagaimana, ya?)
Tok! Tok! Tok!
"Sopo, Mak!" (Siapa, Mak!).
"Bangun toh, Pak. Dilihat sana!" balas Warsinah dari dapur.
Tok! Tok! Tok!
"Sek!" (Tunggu!).
"Sopo to isuk-isuk wes ndayoh ki. Gak tatan tenan!" (Siapa yang pagi-pagi sudaah bertamu. Tidak tahu aturan!).
"Kulonuwun." (Permisi).
"Kulonuwun, Kang!" (Permisi, Kang!). Suara dari depan pintu.
"Yo. Monggo!" (Ya. Silakan!), balas Kuswanoto dengan menggulung sarung.
Krek.
"Awakmu, Ndi? Ndingaren isuk-isuk wes rene? Mlebu." (Kamu, Ndi? Tumben pagi-pagi sudah ke sini? Masuk).
Pondi masuk mengikuti Kuswanoto.
"Onok opo, he?" (Ada apa, he?).
Kuswanoto sejenak melirik buku yang sangat dia kenal.
"Mau menagih, Kang."
"Nagih?" (Menagih?).
"Iya."
"Ini sudah dua bulan loh, Kang."
"Yo sabar. Gung gajian." (Sabar. Belum gajian).
"La bosan saya. Itu-itu terus alasannya."
"Ogak lo. Awakmu ki nagih kok mruput men. Koyok-koyok awakku ki bakal minggat ae." (Tidak loh. Kamu ini menagih kok pagi buta. Seperti aku ini mau minggat saja).
"La Njenengan, cuma lewat tok. Tidak pernah mampir. Mampir-mampir kalau tidak rokok, ya bensin. Warungku bisa mati, Kang. Njenengan, bayarnya selalu molor. Dulu janjinya tiap gajian bayar. La ini, sudah dua bulan belum bayar."
"Yo sabar sek ginio." (Sabar dulu kenapa).
"Saya ini isi barang warung pakai duit, Kang. Barang yang saya beli tidak mau dibayar dengan kata sabar."
"La gung gajian kok." (La belum gajian kok).
"Njenengan, kalau datang ke warung mau bon. Bibirnya manis. Giliran ditagih banyak alasan. Saya ini mau belanja ke pasar, Kang."
"Kate mbok pletet yo awakku gung nyekel duwek nek saiki, Ndi." (Mau kamu peras aku belum pegang uang kalau sekarang, Ndi).
"Tidak bisa, Kang. Utang harus dibayar ...."
"Yo, nggko!" (Ya, nanti!).
Kuswanoto mulai meradang.
"Kok malah, Njenengan. Harusnya itu saya yang marah. Datang ke warung bilangnya gajian. Mana? Mana, he?"
"La kate dibayar mbek opo, ha? Seperak budek awakku gung nyekel duwek." (La mau bayar dengan apa, ha? Sepeser uang aku belum pegang duit).
"Opo jembut iki didol, he?" (Apa bulu ini yang mau dijual, he?).
Kuswanoto lalu masuk ke kamar meninggalkan Pondi yang duduk seraya meletakkan buku bon.
Kuswanoto muncul tak lama setelahnya.
"Iki, KTP-ku. Cekelen nek gak percoyo." (Ini KTP-ku. Pegang kalau tidak percaya).
"Untuk apa KTP. Memangnya bisa belanja barang bayar dengan KTP."
"Nggo jaminan." (Untuk jaminan).
"Digadai juga tidak laku. Paling juga sudah mati itu KTP."
"He, ngawor! KTP-ku iki seumur hidup!" (He, mengawur! KTP-ku ini seumur hidup!).
"Saya tidak mau tahu. Pokoknya bayar. Saya mau belanja barang warung."
"Ada apa toh, Pak. Pagi-pagi kok sudah geger." Warsinah muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Iki lo. Menungso gak tatanan blas! Isuk-isuk wes nagih. Ngisin-ngisini. Nek krungu tongo kepiye." (Ini loh. Manusia tidak tahu aturan sama sekali! Pagi buta sudah menagih. Memalukan. Kalau terdengar tetangga bagaimana).
"Saya tidak peduli, Kang. Njenengan, datang juga tidak tahu waktu. Pagi-pagi sudah bon! Malam mau tutup warung, bon! Siang, bon! Lalu apa bedanya kalau saya tagih pagi-pagi, ha?"
"Memangnya bon di warung sudah berapa, Mas?" kepada Pondi.
"Ini loh, Yuk War. Rp1.000.000,00."
"Kok banyak sekali. Memangnya bon apa saja?" Warsinah juga menoleh ke arah suaminya.
"Bon rokoknya Kang Noto saja hampir Rp500.000,00 Belum lagi beras, pulsa listrik, pulsa HP, ditambah belanja yang lain-lain."
"Aduh. Bagaimana ini toh, Pak. Bon rokok, kok sampai Rp500.000,00."
Kuswanoto hanya bisa diam mendengar jumlah bon rokoknya.
"Apa tidak bisa tempo dulu, Mas?" tanya Warsinah.
"Sudah dua bulan loh, Yuk War. Macet uang warung, kalau begini terus saya tidak bisa belanja."
"Bagaimana ini, Pak."
"Yo, mboh!" (Ya, tidak tahu!).
"Loh kok tidak tahu. Makanya kalau bon itu kira-kira. Rokok saja bisa habis sebanyak itu."
"Makanya rokoknya itu dikurangi." Masih, omel Warsinah.
"Iki yo wes tak longi siji-siji ko bungkuse." (Ini juga sudah saya kurangi satu-satu dari bungkusnya).
"Membela diri saja kalau dibilangi!"
"Lalu bagaimana ini, Kang?" Pondi menunjukkan sederet angka hasil bon Kuswanoto.
"Lah mbohlah! Mumet sirahku!" (Entah! Pusing kepalaku!).
"Aku juga pusing, Kang. Uang warung tertahan lama kalau Njenengan, tidak mau bayar."
"Loh. Seng gak kate nyaur ki yo sopo! Gung nyekel duwek! Mbok kate mbok tekak guluku gak bakal duwe duwek! Kok panggah mbrengkel ae!" (Loh. Yang tidak mau bayar ya siapa! Belum pegang duit! Mau kamu cekik leherku tidak bakal punya duit! Kok masih saja tidak percaya!).
"La terus solusinya bagaimana? Kok malah marah-marah Njenengan!"
"HP Njenengan, saya sita. Nanti kalau sudah bisa bayar Njenengan, ambil. Bagaimana?"
"Yo, gak iso! Penak men!" (Ya, tidak bisa! Enak sekali!).
"Nagih kok mekso!" (Menagih kok memaksa!).
"Ya kalau tidak mau. Njenengan, ya carikan uang buat bayar!"
"Neng ndi, he? Neng ndi!" (Ke mana, he? Ke mana!).
Status Lengkap: (Baca di Wattpad).
No comments:
Post a Comment