TIPU-TIPU JARANAN
Apa yang menjual dari jaranan? Eh, kamu sudah tahu jaranan atau belum. Kalau belum, nama paling populer untuk semua suku adalah kuda lumping. Tahu to sekarang apa itu jaranan?
Kalau di daerah pakde, jaranan sudah dikombinasi dengan budaya
suku Osing. Lebih atraktif, tetapi tidak menghilangkan asal usul jaranan itu
sendiri.
Kalau kamu jawab yang menjual dari jaranan adalah gerak tari,
maka bisa jadi iya. Namun, apakah kamu tahu kalau pemilik paguyuban jaranan
sendiri tidak sependapat dengan itu, hanya beberapa persen saja bila memang
iya. Yang menjual dari jaranan adalah ‘ndadi’, atau bahasa gampangnya
kesurupan. Itu yang paling menjual dari sebuah paguyuban jaranan.
Daya tarik jaranan adalah saat para penarinya kesurupan, Lur.
Ada yang kesurupan roh monyet, ada yang kesurupan roh babi. Macam-macam roh
yang merasuki hingga banyak penari kesurupan dengan gaya masing-masing. Ada
juga yang kesurupan janda kidul kali ... lupakan yang ini. Itu khayalan pakde
saja. 😁
Pokoknya kesurupan itu seperti pemerintah yang bikin
jantungan rakyatnya dengan berbagai kebijakan aneh.
Astagfirullah cangkemku!
Eh, Lur. Yakin itu kesurupan? Bagaimana kalau hanya akting?
Hayo loh!
Pakde kebetulan tumbuh besar dalam lingkungan budaya, tetapi
bukan jaranan, yakni budaya Ponorogo. Tahu to budaya yang ada di Ponorogo?
Benar sekali bila kamu jawab Warokan dan Reog.
Meskipun begitu, pakde yang lahir dan hidup di Jawa Timur
tahu persis bagaimana ‘drama’ yang disuguhkan dalam jaranan.
Pakde punya banyak kawan yang masih mengagungkan budaya,
salah satunya jaranan. Mereka tak segan bongkar rahasia, meski pakde sudah tahu
dari penjelasan mendiang bapak pakde tentang jaranan.
Bukan pakde mau mengobok-obok rahasia perusahaan, tetapi agar
kamu tahu kalau yang kamu saksikan saat penari jaranan kesurupan itu sebenarnya
... kasih tahu tidak, ya? 😁
Sebelum pakde kasih tahu, bicara soal kesurupan dalam
jaranan, ada dua sisi pandang yang biasanya muncul.
****
Sebagai orang awam, banyak yang meyakini penari benar-benar ketempelan
roh leluhur, makhluk gaib, atau kekuatan gaib penjaga wilayah di mana jaranan
digelar.
Tanda-tanda penari kesurupan yaitu berubah perilaku drastis,
matanya kosong, badannya kebal saat makan beling atau berjalan di bara api,
suaranya kadang berubah.
Biasanya setelah selesai, ada pawang yang menyadarkan dengan
doa, taburan kemenyan atau siraman air bunga. Setiap pawang punya cara
masing-masing untuk mengusir roh yang merasuki penarinya.
Akan tetapi, pandangan psikologis berkata lain, Lur.
Kesurupan bisa dianggap fenomena trance.
Tubuh penari masuk kondisi ekstase karena musik gamelan yang
repetitif, suasana pertunjukan, sugesti, dan keyakinan penari.
Dalam kondisi ini, rasa sakit bisa berkurang, kesadaran
terbelah, dan tubuh bisa melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan. Jadi, tidak
selalu ada roh yang masuk, tetapi lebih ke pengaruh sugesti, psikologi massa,
dan kondisi tubuh.
Bahasa bayinya, mereka tidak kesurupan, tetapi tersugesti. Paham
ya sampai sini.
“Ah, tidak, Pakde. Mereka itu benar-benar kesurupan kok.”
He, Paimin! Pernah lihat orang kesurupan belum?
“Pernah, Pakde.”
Mereka menari? Menurut saja disuruh pawang? Kok bisa orang
kesurupan menari dengan irama, bahkan dengan begitu luwesnya!
“Jadi, mereka tidak kesurupan, Pakde?”
Kan sudah pakde jelaskan dari dua sudut pandang to tadi. Secara
budaya, jaranan memang punya dimensi spiritual dan magis. Akan tetapi, kalau
dibaca dengan kacamata modern, bisa juga disebut trance atau kondisi psikis
tertentu.
“Jadi, apakah benar-benar kesurupan, Pakde?”
Bagi yang percaya mistis ... iya, roh gaib masuk.
Bagi yang rasional ... lebih ke kondisi trance dan sugesti.
“Ayolah, Pakde. Katakan yang sesungguhnya.”
Oke, oke! Kesurupan dalam jaranan itu bohongan alias akting!
Pemain jaranan wajib totalitas dalam kesurupan. Bukankah itu yang menjadi daya
tarik dalam jaranan? Penari sengaja berpura-pura kesurupan supaya pertunjukan
lebih seru.
Kamu tahu to sekarang?
“Apakah ini Walid ... eh valid, Pakde?”
Ya. Pakde harus katakan kalau ini valid.
Efek makan beling yang kamu tonton sebenarnya trik panggung. Penonton
yang awam sulit membedakan. Jadi, tetap terkesan menakjubkan.
Tidak! Pakde tak akan tulis bagaimana trik makan beling.
Takutnya kamu nanti kesurupan lalu pecahin kaca jendela tetangga dan mengunyah
pecahannya. 😁
Benar, Lur. Kesurupan dalam jaranan itu akting. Penari
sebenarnya sadar, tetapi terbawa suasana musik, teriakan penonton, dan suasana
magis.
Totalitas dalam berkesenian sudah ditanamkan sejak mereka bergabung
dalam sebuah paguyuban. Saat ditonton banyak orang, mereka jelas ingin
menampilkan yang terbaik, memikat penonton supaya kian takjub ketika mereka kesurupan
(pura-pura).
Anggaplah mereka menampilkan budaya, tetapi sebenarnya
paguyuban jaranan itu jual hiburan loh, Lur. Jaranan awal kali diperkenalkan
tidak ada akting kesurupan, murni sebuah tarian penghormatan.
****
Tahukah kamu kalau penari memang membiarkan dirinya larut
dalam suasana musik, gamelan, dan sorakan penonton.
Saat yang katanya kesurupan, mereka sengaja masuk ke karakter
makhluk gaib supaya terlihat meyakinkan. Tujuannya jelas ... memukau penonton.
“Serius, Pakde. Itu bohongan?”
Ya, kesurupan dalam jaranan sering terjadi karena dorongan
totalitas demi konten ... eh, demi penonton.
Mereka sadar betul bahwa penonton butuh sensasi dan atraksi kesurupan
dibuat dramatis, supaya seru.
Intinya, penari jaranan yang kesurupan itu “main peran”.
Terlebih zaman modern seperti era sekarang, jaranan lebih
condong ke hiburan.
Blak-blakan saja, Lur. Penari kesurupan bukan karena roh, tetapi
akting demi dramatisasi.
Penonton pun sebenarnya sudah tahu drama ini, tetapi mereka tetap
larut karena totalitas pemain.
****
“Tidak! Itu kesurpan beneran kok, Pakde!”
Oke, kalau kamu ngotot bilang kesurupan jaranan itu sungguhan,
pakde bisa membantahnya dengan beberapa logika.
Kamu itu kalau dikasih tahu suka ngeyel. Sini pakde kasih
tahu biar otakmu jalan.
Musik gamelan jaranan itu repetitif, keras, dan cepat.
Dalam psikologi, musik semacam itu bisa bikin orang masuk
kondisi trance ... apa, ya? Gini-gini, bahasa gampangnya hipnotis ringan.
Perubahan perilaku penari bisa dijelaskan dengan sugesti dan
kondisi mental, bukan roh gaib ... ditambah tuntutan pemilik paguyuban agar
total dalam bermain peran. Bisa hancur nama besar paguyuban bila tidak total
dalam bermain peran kesurupan.
Sudah paham sampai sini?
Bila itu kesurupan kenapa hanya beberapa penari saja dan
tidak semua, ha?
Kenapa roh bisa dipanggil sesuai keinginan pawang?
Katanya pawang bisa menyadarkan dengan mantra atau doa-doa
tertentu. Faktanya, itu hanya sugesti tambahan.
Ketika pawang menyiram air atau membisikkan kata-kata di
telinga penari yang kesurupan, itu kode .. kode ya, Lur.
Kira-kira begini. “Udahan! Lo udahan akting kesurupannya.”
Masih yakin itu roh yang merasuki Kalau benar roh, kenapa
harus nurut pada pawang?
Kalau di satu tempat kesurupan hanya akting, kenapa di tempat
lain mesti dianggap asli? Kalau memang roh yang masuk, tidak mungkin bisa
diatur sesuai kebutuhan pertunjukan.
Pernah tahu kesurupan di sekolah atau tempat lain? Biasanya
di luar kendali, penuh teriakan dan histeria. Yakin sama dengan jaranan yang
katanya juga kesurupan?
Pakde simpulkan kalau kesurupan dalam jaranan itu lebih tepat
disebut performa seni ketimbang benar-benar dimasuki roh.
****
Membahas kesurupan jaranan sebenarnya membuka rahasia dapur paguyuban
atau grup jaranan. Pakde mohon maaf untuk ini, tetapi pakde yakin kamu orang
pintar, berpikir menggunakan logika sehat daripada percaya hal yang tak masuk
akal, terlebih mistik. Iya, to?
Tidak ada maksud pakde untuk membuka rahasia, hanya ingin
berbagi supaya kamu lebih pintar dan memilih menggunakan logika dari pada kayak
orang bego yang berpikir lewat perasaan.
****
Daya tarik utama jaranan adalah kesurupan ya, Lur. Kalau
jaranan cuma tari biasa dengan kuda kepang, kamu mungkin cepat bosan. Yang
bikin heboh itu justru kesurupan ... makan beling, atraksi kebal, dan masih
banyak lagi. Iya, to, Lur?
Kenapa banyak paguyuban jaranan tetap mempertahankan aura
mistis? Itu tak lebih hanya ingin membuat pertunjukan terasa sakral sekaligus
menegangkan, Lur.
Jadi, meski sebagian besar hanya akting, mereka jarang
buka-bukaan, apalagi ini rahasia dapur sebuah paguyuban, dan di sana mereka membawa
nama budaya, hiburan, serta sedikit uang.
Tidak ada orang yang kaya dengan mengelu-elukan budaya kok,
Lur. Uang hanya bagian kecil setelah mereka puas menghibur penonton.
Serius loh ini. Pelaku budaya itu tidak ada yang kaya, yang
kaya itu anggota dewan. Paham to? 😁
Pakde punya kawan, pelaku ... yang mengelu-elukan jaranan.
Dia dari Banyumas dan menyebut jaranan dengan Ebeg. Hidupnya biasa-biasa saja,
nyambi jadi ojol, konten-konten di FB-nya juga hanya jaranan dan belum
dimonetisasi sama Meta.
Terakhir kami sempat inbokan, dia terkena stroke ringan, berjalan
saja masih tertatih-tatih kayak anak yang belajar jalan, bahkan budaya yang ia
besarkan pun tidak bisa menolongnya!
Doakan pakde biar secepatnya bisa gajian lagi karena pakde
sudah janji akan memberikan sebagian pendapatan konten FB untuknya.
Kembali ke topik lagi, Lur.
Next!
****
Tahukah kamu kalau tidak semua anggota paguyuban jaranan tahu
triknya? Hanya penari senior yang tahu betul trik totalitas main peran. Jadi,
jangan harap kamu melihat penari bocah-bocah akan kesurupan. Yang bocah-bocah
hanya menjadi pembuka jaranan, jatilan.
Kalau kamu tanya dengan salah satu penari atau orang yang
tergabung dalam jaranan, mereka tidak akan terang-terangan bilang itu akting,
supaya aura magis tetap terjaga.
Penonton pun kebanyakan lebih suka percaya itu kesurupan
sungguhan, karena justru di situlah letak sensasinya.
Kalau penonton tahu itu hanya akting, ya rasa tegangnya
hilang, Lur.
Intinya, penari jaranan yang akting kesurupan harus totalitas
agar penonton merasa seperti melihat hal gaib dengan mata kepala sendiri.
Asal kamu tahu saja ya, Lur. Jaranan dulunya adalah tontonan rakyat, pengganti
bioskop atau konser kalau zaman sekarang. Jaranan juga begitu ... agar tetap
menarik, pertunjukan harus punya bumbu mistis.
Penonton senang kalau ada penari ngamuk, makan beling, atau
ditenangkan pawang ... dan itu bagian dari dramanya.
Dalam kacamata Islam, apa yang disebut kesurupan dalam
jaranan sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak benar-benar spiritual.
Banyak ulama menyebut bahwa itu hanyalah permainan atau rekayasa.
Kalau benar ada jin masuk, bagaimana mungkin bisa diatur
seenaknya? Kadang ndadi, kadang berhenti setelah disiram air bunga. Itu bukti
bahwa semua sudah diatur, bukan kesurupan sungguhan.
Bahkan sebagian ulama mengingatkan, jika kesurupan dianggap
ritual sakral, maka bisa jatuh pada kemusyrikan. Maka cara paling aman adalah
memandangnya jaranan sebagai seni pertunjukan, bukan praktik spiritual.
Sekarang kamu sudah tahu kalau itu hanya akting.
Sst! Hanya kamu yang tahu dengan membaca tulisan pakde, yang
lain biarkan saja. Siapa suruh gah follow. Iya, to?😁
Pakde itu suka orang-orang yang membantah dengan logika,
pakde sendiri kadang juga begitu ... lebih masuk akal.
Karena sekarang kamu sudah tahu kalau kesurupan dalam jaranan
itu hanya akting (terlepas bagaimana sebuah paguyuban jaranan mengemasnya agar
terlihat kesurupan beneran) tidak lengkap rasanya kalau kamu tidak tahu sejarah
jaranan. Biar kamu pintar sedikit dan lebih dekat dengan budaya kita.
Ikuti pakde!
****
Jaranan, kuda lumping, jaran kepang, ebeg, atau apalah kamu
menyebutnya sebenarnya ada banyak versi asal usulnya, tetapi yang paling masyhur
adalah versi sejarah dari Majapahit.
Jaranan lahir sebagai bentuk tarian untuk mengenang kegagahan
prajurit berkuda di zaman Majapahit. Kuda kepang, yang terbuat dari anyaman
bambu, adalah simbol perjuangan dan semangat tempur.
Seiring waktu, jaranan tak lagi hanya milik keraton Majapahit
loh, Lur. Ia merakyat. Dari alun-alun kerajaan, tarian ini pindah ke lapangan
desa. Dari upacara sakral, ia berubah menjadi hiburan rakyat. Tidak ada unsur
kesurupan. Catat!
Setelah Majapahit runtuh dan pengaruh Hindu–Buddha memudar,
kesenian ini turun ke masyarakat desa.
Nah, di tingkat rakyat, ada perubahan besar. Rakyat yang hidup
dengan kepercayaan animisme dan kejawen selalu
dikaitkan dengan “izin” dari roh penjaga tempat.
Maka, jaranan yang awalnya cuma tarian, diberi dimensi
spiritual agar dianggap sakral, bukan lagi sekadar hiburan.
Dari sinilah muncul pawang, sesaji, dan ritual pemanggilan
roh leluhur sebelum pertunjukan dimulai.
Nah, nah, nah! Sekarang kamu sudah tahu kapan ada unsur
kesurupan dalam jaranan ... ya, kejawen tadi. 😁
Di tangan orang Jawa, jaranan jadi berubah fungsi ... dari tarian
ksatria Majapahit menjadi ritual rakyat.
Wuih! Bangganya pakde jadi orang Jawa. Sedikit-sedikit
mistik, sedikit-sedikit gak ilok. Mbahmu yo ngono to, Lur? 😂
Oh, iya. Kuda kepang di masa Majapahit itu tidak ada. Catat!
Jaranan masih jadi tarian penghormatan pasukan berkuda, belum ada kuda tiruan
dari bambu seperti yang kamu tahu ya. Lur.
Bila awalnya tidak ada, alu kenapa sekarang ada kuda
lumpingnya ya, Pakde?”
Kamu tanya? Kamu bertanya-tanya?
Jawabannya, “Di tangan orang Jawa.” 😁
Di zaman Majapahit, para penari hanya menirukan gerakan
berkuda, seperti mengangkat tangan seolah memegang tali kendali, mengentak kaki
seolah mengendalikan hewan. Kadang mereka membawa tombak kayu atau perisai
untuk memperkuat kesan prajurit. Tidak mengempit kuda bambu anyam.
Nah! Setelah masa kerajaan berakhir, rakyat jelata di Jawa mulai
mengadaptasi tarian itu. Karena tak punya kuda sungguhan, mereka menciptakan jaran
kepang ... kuda pipih dari bambu dianyam, lalu dicat agar mirip kuda.
“Ah, elah! Orang Jawa lagi, Pakde.”
Pakde bilang: Pionir sih orang Jawa. 😁
Dulu bentuknya masih sangat sederhana loh, Lur. Tidak ada
warna mencolok, tidak ada hiasan rambut ijuk, cuma potongan oval dengan kepala
kuda seadanya.
Sapa yang membuat? Ya, orang Jawa to? 😁
Baru ketika jaranan semakin sering dimainkan untuk hiburan
rakyat dan acara desa, bentuk kuda mulai dibuat lebih indah dan menarik. Anyaman
bambu dipotong lebih presisi, kepala kuda dibuat lebih panjang dan ekspresif. Muncul
hiasan seperti rambut ijuk, cat merah–hitam-putih, dan motif-motif batik.
****
Oke, Lur. Pakde cukupkan sekian.
Jaranan terus berevolusi, baik dari tarian, gamelan, serta
bentuk kudanya.
Oh, iya. Pada masa penjajahan Belanda, jaranan banyak
dipentaskan untuk upacara dan perayaan rakyat. Bentuk kudanya makin beragam
loh, Lur.
Ada yang memakai bambu utuh agar lebih kuat, ada yang
mengganti bahan dengan rotan. Warna makin mencolok. Beberapa daerah menambahkan
lonceng kecil atau pita agar tampak hidup. Selain itu, bentuk jaranan mulai
dibedakan.
Kuda Lumping di Jawa Tengah bentuknya halus dan indah. Nah,
kalau jaranan Buto di Jawa Timur bentuknya lebih besar dan menyeramkan. Sebelas
dua belas kayak punya pakdemu ini. Menyeramkan bentuknya, tetapi besar. 😁
Kuda kepang loh, ya. Jangan travelling otakmu!
****
Tahu tidak kalau jaranan mulai punya nama di era Orde Baru, Lur.
Kesenian ini dianggap bagian dari kebudayaan nasional, sering dipentaskan dalam
festival, dan acara resmi pemerintah.
Jaranan terus mengalami modernisasi hingga sekarang. Tata
panggung dan kostum lebih kreatif, musik campuran gamelan dan alat modern, dan
unsur kesurupan sebagian tetap dipertahankan demi daya tarik.
Jaranan juga didaftarkan sebagai warisan budaya daerah Jawa
Timur dan Jawa Tengah.
Kini jaranan sudah tampil di festival budaya internasional
sebagai simbol seni tradisi Jawa.
****
Oke, Lur. Kesurupan dalam jaranan itu hanya akting, pemanis
hiburan karena jaranan tetap menjual hiburan, ya.
Kalau ada yang ngotot itu kesurupan benaran, bilangin saja
sama pakde ... biar nanti pakde sembur sama air jampi-jampi. 😁
Loh, loh, loh! Ini sepertinya kaki pakde mulai kesemutan ...
eh, kesurupan!
“Arghhhh! Ingkung! Mana ingkung! Capek nulisnya! Arggghhh ...
ingkung, mana ingkung!” END.
Semoga terhibur ~ Salam pakdemu (Masih kesurupan).
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment